"GELAGAT mengidam dana CSR—corporate social responsibility (tanggung jawab sosial perusahaan)—belakangan terlihat di kalangan politisi daerah, eksekutif, dan legislatif!" ujar Umar. "Ada kepala daerah mengundang pengusaha di daerahnya membahas pengelolaan CSR pengusaha tersebut, ada pula kalangan DPRD yang bicara CSR sebagai sumber pendapatan asli daerah—PAD!"
"Dana CSR itu penyisihan sebagian keuntungan bersih perusahaan berdasar UU No. 40/2007 tentang Perseroan Terbatas, pasal 74 menetapkan pewajiban terhadap tanggung jawab sosial dan lingkungan!" timpal Amir. "Tapi sejauh ini belum ada peraturan pemerintah (PP) pelaksanaan pasal tersebut! Kementerian Lingkungan Hidup yang menyusun peraturan dimaksud Desember 2010 menyatakan, rancangan aturan itu selesai Juni 2011. Jadi kalau selama ini sudah ada perusahaan mengeluarkan CSR 2,5% sampai 5%, semata inisiatif dan kebijakan perusahaan itu sendiri!"
"Berarti, sebelum ada regulasi standar tentang CSR, langkah kepala daerah dan anggota DPRD itu tak ada salahnya!" tegas Umar. "Namun agar tak kontroversial nantinya, lebih baik jika para politisi daerah menunggu selesainya peraturan tentang
"Meski demikian, ada baiknya politisi daerah tak terlalu berharap bisa menambah penerimaan kas daerahnya—kemudian dialirkan ke sakunya--dana CSR! Karena setoran perusahaan ke kas negara telah dilakukan lewat mekanisme beraneka pajak, lalu dana bagi hasil pajak itu telah dialirkan kas negara ke kas semua daerah!" jelas Amir.
"Justru filosofi CSR itu agar perusahaan memiliki arti sosial, ekonomi, dan budaya terhadap masyarakat sekitar di lingkungan operasi usahanya! Tidak enclave (tertutup dari kepentingan) warga sekitar seperti perusahaan di zaman penjajah karena merasa cukup hanya dengan membayar pajak!"
"Semangat enclavism masih ada pada sejumlah pengusaha! Mereka mengajukan judicial review Pasal 74 UU 40/2007 itu ke MK, dengan alasan CSR tumpang-tindih dengan pajak! Tapi, sampai kini belum berhasil!" sambut Umar. "Jadi, kalau pemerintah daerah membuat ketentuan menarik CSR untuk kas daerah, justru membuktikan terjadinya tumpang-tindih itu! Di lain sisi, dengan itu pula pemerintah merampas bagian warga sekitar lokasi perusahaan karena kalau diproses lewat keranjang APBD, bagian terbesar dananya justru nyasar ke pos belanja elite politisi daerah!"
"Lagi pula, kalau politisi daerah memaksa harus menyicip CSR, namanya harus diubah!" tegas Amir. "Jadi CPR, corporate politician responsibility!" ***
0 komentar:
Posting Komentar