"SEKILO jeruknya berapa, Bang?" tanya pembeli.
"Sepuluh ribu!" jawab si abang, penjual.
"Mahal sekali!" tukas pembeli. "Dijamin manis?"
"Kalau tak manis tak usah bayar!" tegas penjual.
"Kalau begitu saya minta dua kilo, tapi yang asam saja!" ujar pembeli.
"Kasihan, Neng...!" sambut penjual. "Yang asam pagi-pagi buta, sebelum subuh, sudah habis!"
"Memangnya pagi buta sebelum subuh yang asam ada?" kejar pembeli.
"Sebelum subuh berarti belum gosok gigi, mulut kita semua asam!" jawab penjual.
"Setiap orang mendapatkan yang asam itu secara gratis!"
"Kalau cuma itu yang gratis, percuma!" timpal pembeli. "Tapi kalau yang gratis seperti fasilitas yang diperoleh anggota DPRD, gratis jalan-jalan melancong dengan dalih studi banding, atau malah gratis jalan-jalan dapat uang bekal lebih besar saat melakukan bimbingan teknis—bimtek! Gratis yang begitu, baru mantap!"
"Itu bukan gratis, Neng!" tegas penjual. "Itu uang rakyat, yang melalui konspirasi antara legislatif dan eksekutif—kedua pihak saling memahami mitra-kuasanya memuaskan kepentingan dengan menghabiskan uang rakyat itu! Akibatnya, fungsi legislatif mengontrol eksekutif pun tak jalan!"
"Kalau dengan itu fungsi kontrol legislatif terhadap eksekutif jadi mandul, memang bukan gratis, malah jauh lebh mahal lagi harga studi banding dan bimtek itu—terutama bagi rakyat yang membiayai mereka!" tukas pembeli. "Perlu kritik dan kontrol terhadap legislatif agar fungsi kontrolnya pada eksekutif tak mandul!"
"Sudah capek media massa mengkritik legislatif semua jenjang! Tapi tampaknya kalangan wakil rakyat sudah imun dari kritik, hingga tak mau peduli lagi setajam apa pun kritik media massa disajikan!" tegas penjual. "Dengan tak mempan lagi kritik media pada legislatif, yang menikmati hasilnya justru eksekutif—menjadi nyaman tanpa adanya kritik dan kontrol efektif dari legislatif!"
"Rupanya itu penyebabnya, kalangan eksekutif—terutama di pusat—
belakangan ini jadi alergi kritik!" timpal pembeli. "Kalau di masa Orde Baru alergi itu masih ditutup-tutupi, eksekutif rezim sekarang justru ditunjukkan secara terbuka, bahkan dengan pernyataan yang esensinya menggelisahkan warga karena melanggar UU Pers—membatasi kebebasan pers!"
"Pernyataan yang bisa menggelisahkan itu seperti yang asam di pagi buta dipaksakan ke muka kita!" tegas penjual. "Kasihan pejabat eksekutif yang memaksa diri menebar bau busuk dari asam napasnya itu ke ruang publik!" ***
Kata Kunci
Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani
Selasa, 22 Februari 2011
Yang Asam Gratis, Kritik pun Mandul!
Label:
dprd lampung,
Mandul,
Sembako
Langganan:
Posting Komentar
0 komentar:
Posting Komentar