"ANDAI Indonesia tanpa Indo, tayangan sinetron di televisi negeri ini tak didominasi artis tampan dan cantik berkuit putih dengan mata biru!" ujar Umar. "Ceritanya juga tak berputar-putar di rumah mewah dengan gaya hidup yang jauh dari realitas mayoritas warga bangsanya! Cerita yang lebih realistis dengan konflik-konklik nyata yang dihadapi warga biasa seperti di Papua, atau Ambon, NTT, bahkan Nias, dan Mentawai, akan terakomodasi lebih memadai jika mendapat porsi jam tayang lebih proporsional!"
"Di sepak bola juga tak perlu terlalu mengandalkan naturalisasi pemain-pemain Indo sekadar untuk bisa juara di kawasan ASEAN!" timpal Amir. "Cukup pemain lokal pilihan dari Sabang sampai Merauke, asal dilatih dengan baik di bawah manajemen sepak bola nasional yang 'mumpuni', bisa diharap untuk tampil pada kompetisi antarbangsa di tingkat lebih tinggi! Jangan pula sampai terjadi, kehadiran atlet naturalisasi justru menyingkirkan kesempatan yang sebenarnya menjadi peluang atlet lokal, hingga seperti di sinetron, peluang artis lokal semakin terdesak dan terus mengecil!"
"Jadi beda dari film India dan China yang justru lebih menonjolkan aspek lokal baik artis maupun ceritanya!" tegas Umar. "Pengaruhnya sebagai dambaan bagi remaja putri dan ibu-ibu muda juga berbeda! Di Indonesia, remaja putri dan ibu-ibu muda yang aslinya berkulit hitam manis mendambakan kulitnya berubah menjadi putih seperti artis Indo, idolanya! Tak kepalang, krim pemutih kulit pun dipakainya overdosis, sehari seharusnya cukup satu kali, mereka pakai dua atau tiga kali, semakin penasaran ketika kulitnya yang hitam manis tak kunjung jadi putih seperti Indo!"
"Itu belum terkait arti tontonan sebagai tuntunan yang justru merupakan esensi sajian cerita untuk memperkaya khazanah tentang kehidupan bagi penontonnya!" timpal Amir. "Karena cerita-cerita sinetron diangkat dari konflik kelas sosial yang berbeda dari mayoritas warga penontonnya, konten dan konteksnya tak nyambung dengan realitas hidup mayoritas penonton—akibatnya, fungsi sinetron itu tak lebih sekadar jual impian gaya hidup yang tak mungkin terwujud!"
"Jelas beda jika Indonesia tanpa (berlebihan mengeksploitasi dan menononjolkan) Indo, potensi artis dan cerita lokal dari Sabang sampai Merauke bisa digalang sehingga jauh lebih kaya dengan keanekaragaman hikmah yang sekaligus memperkuat integritas bangsa!" tegas Umar. "Tapi hal terakhir itu mustahil karena industri hiburan dikuasai segelintir orang, bukan lagi milik sebuah bangsa!" ***
Kata Kunci
Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani
Senin, 07 Februari 2011
Indonesia tanpa Indo!
Langganan:
Posting Komentar
0 komentar:
Posting Komentar