Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Korupsi kok kian Merajalela?


"KORUPSI kok kian merajalela? Setelah Gayus Tambunan pegawai golongan III-A korupsi Rp25 miliar, menyusul orang-orang golongan setara Gayus korupsi dalam jumlah spektakuler!" tukas Umar. "Di Makassar, lurah korupsi Rp14 miliar! Di Surabaya, juru sita korupsi lebih Rp300 miliar!"

"Kalau orang-orang sekelas itu bisa korupsi dalam jumlah sedemikian besar, betapa lebih dahsyat lagi korupsi orang-orang yang kedudukannya lebih tinggi?" sambut Amir.

"Mau jadi apa negeri kita, kalau tren korupsi semakin merajalela dengan jumlah yang gila-gilaan begitu?"

"Tentu mau naik kelas, dari negara terkorup di Asia-Pasifik, menjadi negara terkorup di dunia!" timpal Umar. "Kemungkinan itu tak mustahil, hingga Buya Syafi'i Ma'arif bermonolog 'Bubarkan KPK!' Maksud Buya, dengan kenyataan KPK terus dilemahkan--terakhir dengan vonis menangnya gugatan Anggodo atas SKPP jaksa pada pimpinan KPK Bibit-Chandra--KPK pun semakin tak bergigi! Daripada begitu, kan lebih baik dibubarkan saja! Lalu pembongkar kasus mafia hukum dan makelar kasus pajak, Susno Duadji, diserimpung! Semua itu menunjukkan, usaha memberantas korupsi selalu tidak mulus! Akibatnya, korupsi tak terancam benar oleh hukum, hingga pelaku semakin berani dan korupsi kian merajalela! Rekor terkorup di dunia pun terbuka lebar!"

"Itu mungkin terjadi karena retorika penguasa dalam memberantas korupsi tak diikuti tindakan sebanding dalam menciptakan iklim memberantas korupsi!" tegas Amir.

"Contohnya dalam kasus Century, penguasa tak mau mengakui hasil kerja pansus DPR yang mengindikasikan adanya penyimpangan aturan dalam bailout Century! Lalu retorika pendisiplinan dengan remunerasi di Kementerian Keuangan, hasilnya malah korupsi besar-besaran di kementerian itu! Juga di daerah, kasus korupsi ikut tambah ramai"

"Kalau begitu, harus bagaimana kita bersikap, agar para koruptor tenggang rasa, tak semakin ngebut korupsinya?" sela Umar.

"Tokoh panutan seperti Buya Syafi'i Ma'arif saja sudah bersikap sesinis itu! Kalau semua warga masyarakat, publik, ikut sinis dan skeptis terhadap kemauan, dan kemampuan pemerintah dalam memberantas korupsi, mungkin bisa mebuat kondisi yang berbeda!" jawab Amir. "Sebab, sikap rakyat yang konstruktif terhadap kemauan dan kemampuan pemerintah dalam memberantas korupsi selama ini justru menghasilkan sikap pemerintah yang sebaliknya dari harapan! Artinya, realitas sudah terbalik-balik, jadi sikap terbaik tentu ikut Buya, berbalik dari sikap konstruktif sebelumnya!"

Selanjutnya.....

Heboh soal Tempat KPK Periksa Wapres!


"LANGKAH Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menindaklanjuti kasus Bank Century dengan memeriksa Wakil Presiden Boediono di Istana Wapres dan Menkeu Sri Mulyani di kantornya, Depkeu, menyulut pro-kontra politisi di DPR!" ujar Umar. "Soal tempat pemeriksaan itu dihebohkan karena diskriminatif--anggota DPR diringkus--dan secara psikologis berpengaruh pada KPK!"

"Protes itu bisa dipahami! Namun, sejauh aturan hukum membenarkan, hak KPK menentukan di mana pun pemeriksaan dilakukan!" sambut Amir. "Terpenting substansi pemeriksaan, jika KPK tidak konsisten dengan inti masalah sesuai putusan DPR--ada indikasi penyimpangan dan pelanggaran hukum dalam proses bailout Bank Century, publik bisa bereaksi! Jadi, kawalan publik atas kelanjutan kasus Century harus jadi pertimbangan KPK!"

"Kecurigaan yang apriori kepada KPK itu justru lebih berpengaruh secara psikologis terhadap juru periksa KPK!" tegas Umar. "Dengan beban mental yang tumpang-tindih itu, KPK jadi lebih tertantang untuk membuktikan diri tetap lurus dalam menjalankan tugas! Dilihat dari sisi itu, pilihan tempat pemeriksaan oleh KPK itu harus diberi dukungan lebih kuat, agar hasil pemeriksaannya memenuhi substansi yang diharapkan! Hingga, pilihan tempat pemeriksaan oleh KPK itu menjadi blessing in disguise--mencapai tujuan dengan menyenangkan pihak yang diperiksa!"

"Untuk masuk kasus Bank Century KPK memang sangat berhati-hati!" timpal Amir.

"Selain gelar perkara berulang-ulang, untuk sampai tahap meminta keterangan mantan Gubernur Bank Indonesia Boediono yang kini menjabat Wapres dan Ketua KSSK yang menteri keuangan Sri Mulyani, KPK lebih dahulu meminta keterangan lebih 70 orang yang terkait kasus tersebut! Jadi, tahapan memeriksa Wakil Presiden dan Menkeu itu bisa dilihat sebagai jenjang proses menuju ke puncak atau klimaks penyingkapan kasus yang mendapat perhatian besar publik itu!"

"Dengan begitu, lebih tepat jika diberi kesempatan menjalankan tugasnya dengan ketenangan buat KPK dalam memeriksa Wapres Boediono dan Menkeu Sri Mulyani yang akan dimulai hari ini!" tegas Umar. "Sebagai negara besar layak jika kita semakin kaya dengan ragam pengalaman dalam segala hal! Lebih-lebih dalam kasus bailout Bank Century, di mana pihak pemerintah sampai sejauh ini tetap berkukuh tidak ada masalah, meski DPR lewat proses kerja pansus yang panjang telah meyakini indikasinya! Karena itu, selayaknya kita dukung KPK untuk bekerja sebaik-baiknya membuktikan di jalur hukum mana yang benar!"

Selanjutnya.....

Cermin Kota Pelajar, Metro Dominasi UN!


"DAMBAAN warga Metro menjadikan kotanya sebagai kota pelajar atau kota pendidikan mulai tecermin!" ujar Umar. "Pada ujian nasional (UN) 2010 tingkat SMA sederajat, dari rata-rata kelulusan Provinsi Lampung 96%, Metro mengukir prestasi tertinggi, 99,67%!"

"Bukan hanya persentasi kelulusan tertinggi diraih Metro!" sambut Amir. "Nilai tertinggi dalam mata pelajaran yang diujikan, juga didominasi pelajar Metro!"

"Seperti dikemukakan pengamat pendidikan Unila, Dr. Herpratiwi, selain ditentukan kecerdasan para pelajar, prestasi itu juga didukung berbagai faktor hingga tercipta iklim belajar yang kondusif!" timpal Umar. "Mulai guru yang bagus, sarana dan prasarana yang memadai, hingga lingkungan belajar yang baik! Tak kalah penting, pengelolaan dan pembinaan yang mampu mengondisikan proses belajar-mengajar lebih tenang dan efektif!"

"Sinergi semua dimensi itu harus dijaga agar tetap harmonis, bukan semata untuk meningkatkan prestasi ke masa depan, bahkan lebih penting lagi guna mempertahankan prestasi yang telah dicapai!" tegas Amir. "Lazimnya, lebih berat mempertahankan dibanding mencapainya!"

"Kunci utamanya, tetap menjaga ketenangan dan keefektifan proses belajar-mengajar!" timpal Umar. "Artinya, semua faktor pendukung itu harus difokuskan untuk menciptakan kondisi lahir-batin guru dan para murid untuk bisa selalu konsentrasi penuh dalam proses belajar-mengajar! Gangguan seperti tunjangan guru terlambat atau kenaikan pungutan terhadap murid, harus dihindarkan!"

"Jadi, capaian prestasi ini mengisyaratkan kepada sekolah, Dinas Pendidikan, dan Pemkot (eksekutif dan legislatif) untuk melakukan 'konsolidasi ideal', menjadikan prestasi itu cantolan pengatrol bagi kemajuan kotanya dalam berbagai dimensinya!" timpal Amir. "Maksud konsolidasi ideal itu, semua sisi kehidupan layak mematut-matut diri sebagai kota par excelences pendidikan, terutama dalam perilaku para tokoh yang menjadi panutan warga! Konsolidasi ideal akan menciptakan iklim sosial-budaya kota pendidikan yang lebih mantap!"

"Namun perlu diberi wanti-wanti, UN hanyalah salah satu ukuran keberhasilan dalam pendidikan! Hasil didik terpenting, kemampuan simultan anak didik beradaptasi dan berempati--menempatkan diri dan berperan dalam masyarakat!" tegas Umar. "Untuk itu, dalam mempertahankan prestasi jangan pula sekolah mengubah sistem belajar-mengajar, hingga sejak awal telah menjadi bimbingan belajar (bimbel)--semata berorientasi demi unggul di UN. Jika itu terjadi, hasil UN justru menjadi racun perusak proses pendidikan!" ***


Selanjutnya.....

SOS, Bebek Rimba di Muara Bawang Terancam Punah!


"SEJENIS hewan langka yang nyaris punah di dunia, bebek rimba (Cairina scutulata), ditemukan di Muara Bawang, Desa Bawang, Kecamatan Punduhpidada, Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung!" ujar Umar. "Nasib bebek rimba yang populasinya menurut warga masih tersisa 100-an ekor itu kini terancam! Rawa bakau di green belt yang jadi habitat mereka sudah digambar investor untuk dibabat habis diubah jadi tambak udang!"

"Untuk itu, sinyal SOS--kondisi darurat--bendera, morse, dan berita radio harus disebar ke segenap penjuru dunia minta bantuan penyelamatan secepatnya nasib bebek rimba di Muara Bawang!" sambut Amir. "Apalagi menurut UNEP--United Nation Environment Programe--lembaga PBB untuk program (pelestarian) lingkungan, populasi bebek rimba sejenis di dunia tinggal tersisa sedikit di India dan TNWK (Taman Nasional Way Kambas), jumlahnya bahkan lebih sedikit dari yang ditemukan di Muara Bawang!"

"Temuan kekayaan dunia yang luar biasa ini layak mendapat perhatian serius Pemkab Pesawaran dan Pemprov Lampung!" tegas Umar. "Langkah pertama, amankan lokasi Muara Bawang agar tak keduluan dijarah perusak lingkungan! Kedua, mewajibkan para petambak yang membuang limbah ke Way Bawang agar mengolah lebih dahulu limbahnya, baru setelah aman lingkungan dilepas ke sungai--seperti berlaku pada setiap pabrik/industri di Lampung! Ketiga, membereskan administrasinya, kalau ada izin prinsip sempat dikeluarkan segara dibatalkan, lalu dikeluarkan ketentuan sementara dari kepala daerah larangan mengganggu atau merusak kawasan tersebut!"

"Warga Bawang sangat berjasa sehingga hewan langka di dunia itu bertahan di desanya! Untuk itu, warga diajak untuk terus menjaganya, tak memburunya, dan mencegah pemburu dari luar!" timpal Amir. "Seiring dengan itu, Pemkab atau kecamatan membuat batas bagi kunjungan orang luar yang ingin melihat satwa langka itu, sebatas bisa melihat! Sebab, kalau--siapa tahu--nantinya menarik banyak pengunjung ingin menyaksikan, kalau tak dibatasi bisa mengganggu kenyamanan bebeknya!"

"Seandainya sampai ke arah itu, banyak pengunjung datang ke Bawang, kegiatan warga lokal untuk melayani pengunjung juga harus diatur dengan orientasi kenyamanan berekreasi tanpa mengganggu bebeknya!" sambut Umar. "Pokoknya, kehadiran bebek rimba di Muara Bawang harus menjadi rahmat bagi warga lokal dalam menjaga keseimbangan lingkungan dan kelestarian alam! Sikap yang baik menjaga satwa langka, menjadi teladan kebanggaan bangsa!" ***


Selanjutnya.....

Kenapa Pengemis Dijadikan Kelilip, Dinista, dan Disiksa?

"ENTAH apa yang terjadi dengan elite politik Kota Bandar Lampung--eksekutif dan legislatif--hingga anak jalanan (anjal) dan gelandangan pengemis (gepeng) mereka jadikan kelilip yang menyakitkan pandangannya!" ujar Umar. "Lalu para elite pun berusaha menghilangkan kelilip itu dengan menista lewat peraturan daerah (perda) yang memberi stigma para duafa itu buruk, sekaligus menyiksanya--jika mengemis di jalan diancam kurungan tiga bulan atau denda Rp5 juta rupiah!"

"Mungkin mereka--para elite itu--punya obsesi ukuran sukses bagi kepemimpinan mereka, yakni jika tak ada lagi pengemis di kotanya!!" sambut Amir. "Obsesi itu tentu baik jika kotanya bersih dari pengemis tercapai berkat keberhasilan para pemimpin itu meningkatkan kesejahteraan rakyat! Sebaliknya, obsesi itu buruk jika setelah terbukti elite gagal meningkatkan kesejahteraan rakyat lalu mencari jalan pintas mengeliminasi pengemis lewat menista dan menyiksanya--mengurung para pengemis dalam kamp konsentrasi--mirip Nazi!"

"Penyiapan perda untuk menutupi kegagalan elite menyejahterakan rakyat dengan menganiaya duafa itu, jelas perbuatan zalim!" tegas Umar. "Secara Ilahiah, itu abuse of power, sejumlah orang yang diberi amanah setitik kekuasaan-Nya telah jadi sombong dengan merasa tak nyaman dan jijik pada kaum duafa yang merupakan takdir, untuk teladan buat mereka yang bernasib lebih baik agar mensyukuri rahmat yang diperolehnya!"

"Kesombongan merasa bisa

mengalahkan takdir Alah atas nasib buruk manusia, dilakukan dengan cara zalim itulah abuse of power yang tiada taranya!" timpal Amir. "Untuk itu, alangkah baik jika para elite istigfar, memperbaiki kesalahan dengan ikut berusaha memantapkan lembaga amil zakat di semua masjid dan amil zakat pendukung agar mampu menggalang gerakan zakat yang lebih luas hingga mampu mengatasi kemiskinan pada skala kegiatan masing-masing!"

"Pengalaman membina amil zakat lewat takmir masjid di Bandar Lampung untuk menggarap lebih luas jenis zakat dari sebatas zakat fitrah pada Idulfitri, untuk meningkatkan kemampuan mengatasi kemiskinan di lingkungan masjidnya, terbukti tidaklah mudah!" tegas Umar.

"Bukan berarti tak bisa, tapi masih perlu waktu terutama dalam menyadarkan muzaki agar melunasi zakat harta, profesi atau jenis zakat lainnya! Maka itu, jika realitas amil zakat yang baru mulai memperluas garapan ini dijadikan dalih menghabisi kaum duafa dengan cara kekerasan--diburu dengan ancaman hukuman berat--jelas merupakan tindakan gegabah, menzalimi duafa!"

Selanjutnya.....

Pemerintah Kejam kepada Pengemis!


"RANCANGAN Peraturan Daerah (Raperda) Kota Bandar Lampung mengancam anak jalanan (anjal) dan gelandangan pengemis (gepeng) yang meminta-minta di jalan kurungan tiga bulan dan denda Rp5 juta!" ujar Umar. "Sedang warga yang memberi uang atau barang kepada anjal dan gepeng, sanksi kurungan satu bulan atau denda Rp1 juta!"

"Pemerintah kok jadi begitu kejam kepada kaum papa peminta-minta, para pengemis!" entak Amir. "Entah ajaran setan mana yang dipakai! Sebab, ajaran agama yang benar umumnya menekankan agar mengasihi fakir miskin dan anak-anak terlantar, apalagi yang tengah terancam kelaparan!"

"Memang! Di negeri komunis saja, di Kota Suzhou, China, di Gerbang Underpass, pejalan kaki di depan McDonald, atau juga di Pasar Yuyuan, Shanghai, terdapat pengemis, tidak diapa-apakan!" tegas Umar. "Jadi terlihat pemerintah kita jauh lebih kejam dari komunis yang ateis--tak bertuhan!"

"Dalih jika mau membantu mereka bisa lewat lembaga amil zakat, boleh-boleh saja!" timpal Amir. "Tapi kita juga harus jujur dan objektif, sejauh mana keefektifan lembaga itu mengatasi anjal dan gepeng selama ini! Semua memang berharap lembaga amil zakat bisa mengatasi masalah kemiskinan! Tapi, hal itu masih pada tingkat harapan, das solen, belum menjadi das sein! Tugas kita semua untuk membina lembaga amil zakat hingga mumpuni dalam menjalankan fungsinya! Tapi sejauh ini, belum maksimal seperti diharapkan!"

"Sebaliknya, pemerintah--tingkat mana pun--sebagai representasi negara, punya kewajiban konstitusional; fakir miskin dan anak telantar dipelihara oleh negara--UUD 1945 Pasal 34," tegas Umar. "Arti kata dipelihara di situ tentu sama dengan kewajiban kepala keluarga terhadap keluarganya--istri, anak, dan batih lainnya di rumah, harus dilindungi dan dicukupi! Jadi, justru pemerintah yang seharusnya bertanggung jawab terhadap nasib anjal dan gepeng, bukan malah mengancam hukuman tiga bulan kurungan atau denda Rp5 juta! Dari mana anjal dan gepeng dapat uang Rp5 juta--ancaman yang sama sekali tidak rasional!"

"Karena itu, silakan membuat perda tentang anjal dan gepeng, tapi isinya harus dirombak total!" sambut Amir. "Subjek aturannya diganti, sebagai upaya mengimplementasikan konstitusi! Jadi, buat anjal dan gepeng diatur hak-haknya sesuai konstitusi, sedang kepada pemerintah diatur kewajiban-kewajiban konstitusionalnya! Kata kunci Perda itu terletak pada kewajiban kepala daerah/wakil, jika gagal memelihara atau mengurus anjal dan gepeng dinyatakan melanggar konstitusi, hingga bisa langsung dimakzulkan!" ***

Selanjutnya.....

Model Repong buat Pengelolaan HKm!


"SALUT buat bupati Tanggamus yang memfasilitasi 24 ribu kepala keluarga mendapatkan sertifikat mengelola lahan hutan kemasyarakatan (HKm) dari menteri kehutanan!" ujar Umar. "Sertifikat diterima sembilan kelompok tani di lima register hutan Tanggamus, dengan luas 19 ribu hektare!"

"Berarti, 19 ribu hektare untuk 24 ribu keluarga!" sambut Amir. "Untuk jatah lahan seluas itu per keluarga, di bawah jatah transmigrasi dua hektare per keluarga, kapasitas lahan HKm itu sebenarnya hanya sebatas survival--untuk bertahan hidup! Maka itu, harus ada metode kultur bertani yang tepat untuk mengelolanya, selain agar sufisien--mencukupi kebutuhannya, juga bisa menjaga standar pengelolaan HKm sesuai ketentuan!"

"Salah satu model yang layak diusulkan untuk itu mungkin kultur repong, model tradisional khas Lampung!" tegas Umar. "Kekhasannya dicirikan oleh penganekaragaman jenis tanaman pada sebidang lahan, yang secara keseluruhan bisa memenuhi kebutuhan harian, musiman, dan tahunan! Tentu saja, perlu bimbingan teknis yang tepat dari para ahli untuk mengujudkannya!"

"Jelas, tanpa pengelolaan yang tepat atas luas lahan yang relatif terbatas buat setiap keluarga itu, hingga bisa mengakibatkan terjadinya masa paceklik panjang, bisa berekses negatif!" timpal Amir. "Ekses dimaksud, iming-iming menggiurkan bagi mereka yang tinggal di kawasan hutan, adalah menjarah hutan! Ekses itu tentu harus dihindarkan! Jika terjadi, tujuan HKm tak tercapai! Tujuan HKm itu, menjadikan rakyat sebagai bagian penjaga hutan, malah menjadi perusak hutan!"

"Dengan izin pengelolaan HKm hanya selama 35 tahun, model repong yang diterapkan juga harus disesuaikan!" sambut Umar. "Jika pada model asli tanaman jangka panjangnya damar, yang bisa menghasilkan getah sampai ratusan tahun, pada HKm mungkin lebih tepat enau atau aren, yang menghasilkan nira untuk gula merah mulai usia 10 sampai 15 tahun, dengan tandan terakhir mendekati tanah pada usia 30-an tahun, untuk kemudian inti pohonnya dibuat sagu. Sedang tanaman utama kalau dalam repong aslinya kopi, mungkin bisa ditukar dengan cokelat--kakao, yang produksinya tak terbatas musim!"

"Pokoknya, pilihan tanaman yang tepat menjadi penentu tercapainya tujuan HKm!" tegas Amir. "Bahkan, jika pilihan tanaman sangat tepat, meski luas lahan relatif terbatas, bukan hanya tingkat survival yang bisa dicapai petani, tapi juga tingkat kesejahteraan hidupnya! Maka itu, bupati lain diharap cepat memproses KHm, agar puluhan ribu keluarga warganya yang tak punya lahan bisa segera mendapat kesempatan serupa!"

Selanjutnya.....

‘Xenolatri’, Pilihan Bangsa Terpuruk!


"FC Barcelona kalah dari Inter Milan kok kau yang uring-uringan, semua jadi serbasalah bagimu?" tegur nenek. "Kalau yang kalah itu Tim Nasional Indonesia, nenek bisa mengerti!"

"Tim nasional? Mana mungkin masuk semifinal Piala Champions Eropa!" sergah cucu.

"Lagi pula, bukan cuma aku yang kesal Barca kalah! Juga banyak warga negeri kita kesal akibat MU gagal!"
Nenek terkesiap. "Kenapa warga bangsa kita jadi xenolatri--gandrung, mencintai, membanggakan, bahkan memuja yang asing?" tukasnya kemudian.


"Karena tak ada yang bisa dibanggakan di negeri sendiri!" timpal cucu. "Dan itu bukan hanya dalam sepak bola! Di politik, semakin banyak anggota parlemen masuk bui! Di bidang hukum, polisi, jaksa, dan hakim terlibat mafia hukum, dicopot dari jabatannya! Di keuangan, pencolengan pajak merajalela--setelah kasus Gayus, terbongkar lagi di Surabaya dalam skala lebih fantastis--ironisnya itulah hasil nyata remunerasi di Departemen Keuangan yang menghabiskan belasan triliun pinjaman dari Bank Dunia! Bagaimana mungkin kami dipaksa untuk membanggakan semua itu?"

"Aku juga ogah membanggakan realitas bangsa yang terpuruk itu!" tegas nenek. "Tapi, xenolatri sebagai pilihan bangsa terpuruk bisa berakibat lebih buruk! Karena, xenolatri merasuki warga bangsa terpuruk dengan impian dan ekspektasi yang melambung terlalu tinggi, tidak realistis! Jadi tidak kontekstual, terlalu jauh dari kemampuan dirinya sendiri pun! Parahnya, dengan begitu ia enggan pula jadi bagian dari solusi mengatasi keterpurukan bangsanya--malah cuma gemar menuding yang jelek melulu! Akibatnya usaha perbaikan urang dukungan semangat dan daya, hingga 'bisul' di tubuh bangsa yang justru meletus beruntun--masalah baru berkejaran muncul!"

"Meski terdengar banyak benarnya, pandangan nenek itu xenofobia, takut pada yang asing!" timpal cucu. "Padahal xenolatri itu sebaliknya, membuka cara berpikir lebih luas, hal-hal asing didamba menginspirasi untuk tidak hidup seperti katak di bawah tempurung! Bayangkan kalau tak ada xenolatri sebagai sarana melihat keluar tempurung, semua realitas terpuruk malah dipuja sebagai yang ideal! Contohnya dalam sepak bola, pengurus PSSI justru mengklaim prestasi sekarang ini yang terbaik sesuai sistem! Lalu, semua usaha berbuat benar guna melakukan perbaikan menjadi sia-sia! Begitu pula dalam hukum, Susno yang berusaha berbuat benar malah dipojokkan--dengan alasan usaha baiknya itu dilakukan di luar sistem! Jadi jangan salahkan xenolatri, tapi pangkal semua masalah justru pada keterpurukannya yang sistemik!" ***

Selanjutnya.....

Hakim Gayus Akui Menerima Suap!


"KETUA Majelis Hakim kasus Gayus Tambunan di PN Tangerang, Muhtadi Asnun, mengakui terima suap Rp50 juta sehari sebelum memvonis bebas murni Gayus!" ujar Umar. "Asnun mengakui itu pada Komisi Yudisial. Kata Asnun, hakim anggota Haran Tarigan dan Bambang Widyatmoko tidak menerima bagian dari uang yang ia terima!"

"Namun banyak orang meragukan kebenaran pengakuan hakim itu!" timpal Amir.

"Meragukan apa?" entak Umar. "Jelas orang sudah mengaku terima suap, diragukan kebenarannya!"

"Yang diragukan kebenarannya jumlah suap yang ia terima" tegas Amir. "Masak terkait kasus dana Rp25 miliar di rekening Gayus, untuk sebuah vonis bebas murni nilainya cuma Rp50 juta? Lebih lagi dikaitkan laporan PPATK, dalam masa sidang pengadilan kasusnya Gayus menarik uang tunai dari rekeningnya di bank Rp5 miliar lebih!"

"Untuk kasus suap terpenting pengakuan terima suap, ia sudah terjerat UU Antikorupsi!" timpal Umar. "Soal jumlahnya, nomor sekian!"

"Tapi orang tak habis pikir, mengakui terima suap masih cari lebihan!" tukas Amir.

"Maksudnya, kalau nanti diwajibkan mengembalikan uang suap yang diterimanya, dia tetap dapat jujul--sisa dari uang yang dia terima! Jadi lucu, sudah dalam posisi demikian masih cari untung! Lebih lucu lagi jika benar ia cuma terima Rp50 juta--keadilan hukum dia perjualbelikan begitu murah!"

"Pengakuan hakim itu memang menggelitik!" sambut Umar. "Tapi masalah ini harus dilihat lebih jauh dalam konteks realitas praktek peradilan di negeri kita! Bisa dibayangkan kalau ruang sidang pengadilan telah berubah fungsi, dari tempat mencari keadilan menjadi tempat jual-beli vonis!"

"Dan sebagai tempat dagang putusan hukum itu hakim tidak main sendiri!" tukas Amir.

"Menurut KY (Lampung Post [21-4]), hakim masuk skenario yang direkayasa sejak penyidikan dan penuntutan sehingga tak proaktif mendalami kasus yang disidangkan! Selain rekayasa seperti dalam kasus Gayus, KY juga memberi contoh (Metro TV, [21-4]) dalam kasus narkoba, pesakitan yang pada awal ditangkap sebagai pengedar, dalam prosesnya kemudian disidang dan divonis cuma sebagai pengguna--beda hukumannya jauh!"

"Maka itu, pengakuan hakim Asnun terima suap harus dijadikan pintu masuk MA dan KY untuk membersihkan mafia hukum dari sisi hakimnya!" timpal Umar. "Agar simultan dengan pembersihan yang dilakukan kepolisian dan kejaksaan dengan bantuan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum! Karena pengadilan muara proses hukum, meski dari hulu (jaksa dan polisi) jernih, jika di muara keruh produk akhir hukum juga keruh!"

Selanjutnya.....

‘Ise do Mangatur Nagara? Hepeng!’


"DARI pembicaraan telepon Anggodo sadapan KPK yang dibuka MK, sampai kasus Gayus Tambunan, semakin terang wujud ungkapan warung kopi di Sumatera Utara, Ise do mangatur nagara on? Hepeng!--Siapa yang mengatur negara ini? Duit!" ujar Umar. "Di sana lazim setiap ada orang selesai berkasus, kalah atau menang, beredar bisik-bisik, “Habis berapa ekor kerbau atau berapa rante sawah? Satuan ukuran luas tanah di sana sama dengan Lampung, rante (400 m2)--sepersepuluh acre--satuan ukuran luas tanah versi Inggris!"

"Kata do dalam bahasa Batak juga mirip dengan do bahasa Inggris! Ise do mangatur dengan I do love you!--do berarti (yang) sungguh-sungguh!" timpal Amir. "Bahwa yang sungguh-sungguh mengatur negara ini duit bukan hanya terkait aparat hukum seperti dimaksud dalam rekaman Anggodo, atau uang pajak bisa dicoleng dan dibagi-bagi dalam kasus Gayus! Tapi, juga dibuktikan banyak anggota DPR dalam berbagai tugasnya mengatur negara--dari membuat UU sampai seleksi pejabat lembaga negara!"

"Dengan benarnya ungkapan duit yang mengatur negara itu, tak pelak lagi siapa yang banyak duit selalu diuntungkan, masalah apa pun dia hadapi akan selalu menunjukkan keunggulannya!" tegas Umar. "Konsekuensi logisnya, mereka yang kalah duit akan selalu kalah dalam segala hal!"


"Sebenarnya ungkapan itu sudah diperhalus oleh Adam Malik dengan menghilangkan kata 'duit', menjadi 'semua bisa diatur!' Lalu, dengan simpul sama Gus Dur membuat timpalan, 'begitu saja kok repot!' Maksudnya, tak perlu repot, semua bisa diatur!" sambut Amir. "Penghalusan dari Adam Malik dan Gus Dur tidak memberi kesan berbau duit! Dalam perkembangan peradaban, setelah ada revisi ungkapan dengan menghilangkan hal negatif di dalamnya, prakteknya dalam kehidupan sehari-hari seharusnya mengikuti dimensi baru! Ternyata tidak begitu dengan faktor duit dalam mengatur negara! Ini gejala adanya anomali dalam perkembangan peradaban kita, sehingga faktor negatif justru menguat dan terlembaga!"

"Anomali perkembangan budaya dengan semakin menguatnya faktor-faktor negatif bisa terjadi ketika determinan (superkultur) yang menjadi penggerak poros dinamika bawah sadar dari suatu peradaban sebenarnya sebuah kebudayan negatif!" tegas Umar. "Sang determinan adalah kelompok dominan--yang berpengaruh kepada mayoritas warga! Dalam determinasi kebudayaan negatif itu, basis-basis moralitas justru terdesak ke posisi defensif, menjadi kontrakultur! Itu terjadi karena uang didaulat sebagai penentu oleh para penentu--kelompok dominan!" ***

Selanjutnya.....

Pengadilan Kabulkan Gugatan Anggodo!


"PN--Pengadilan Negeri--Jakarta Selatan dengan hakim tunggal Nugroho Setyadi mengabulkan permohonan praperadilan Anggodo Widjoyo atas surat keterangan penghentian penuntutan (SKPP) yang dikeluarkan kejaksaan terhadap kasus Bibit-Chandra" ujar Umar. "Menurut hakim, aspek sosiologi tak pernah digunakan dalam pertimbangan hukum dan tidak sesuai Pasal 140 Ayat (2) KUHAP, hingga melawan hukum! Hakim pun memerintahkan kasusnya dlanjutkan ke pengadilan!"

"Apa dasar gugatan Anggodo?" tanya Amir.

"Menurut hakim, Anggodo memiliki legal standing (kedudukan hukum) sebagai korban kasus korupsi sehingga bisa mengajukan gugatan!" jawab Umar. "Untuk itu, kejaksaan sebagai termohon menurut Jampidsus Marwan Effendy akan melakukan banding!"

"Kasus Bibit-Chandra dijadikan tersangka oleh polisi yang terkenal dengan cicak lawan buaya, mengundang simpati masyarakat luas, hingga lebih sejuta facebooker mendukung Bibit-Chandra! Tekanan publik itu mendorong Presiden SBY membentuk Tim Delapan dipimpin Adnan Buyung Nasution, dan SKPP jaksa implementasi rekomendasi tim yang diakomodasi Presiden! Pada saat itu, SKPP diasumsikan memenuhi rasa keadilan rakyat yang direpresentasikan oleh lebih sejuta facebooker!" tegas Amir. "Putusan PN terakhir ini mengeliminasi proses yang melahirkan SKPP, yang oleh hakim disebut aspek sosiologi! Jadi, masalahnya hanya pada sebutan proses yang membidani kelahiran SKPP! Jika disebut rasa keadilan masyarakat, ia dikenal dalam sistem hukum yang bahkan mewajibkan hakim untuk mengembangkan hukum dengan menggali rasa keadilan masyarakat! Tapi kalau disebut aspek sosiologi, tentu lain ceritanya!"

"Soal pilihan sebutan itulah yang mungkin akan diuji di peradilan lebih tinggi, jika kejaksaan banding!" timpal Umar. "Tapi, putusan PN ini bisa mengundang reaksi publik kembali, terutama terkait penggugatnya, Anggodo--tokoh hebat sehingga meski rekaman pembicaraaannya telah dibuka di MK terkait atur-mengatur penegak hukum sampai seorang jaksa agung muda jatuh, polisi tak bisa menetapkan Anggodo sebagai
tersangka! Bahkan KPK juga perlu waktu untuk menetapkannya tersangka!"

"Pokoknya putusan PN itu secara tak langsung mengangkat kembali 'ketokohan' Anggodo di percaturan hukum!" tegas Amir. "Namun, sistem hukum seperti apakah yang kita bangun, jika setiap kali cuma bisa mengangkat Anggodo sebagai tokoh idealnya?"

Selanjutnya.....

Budaya Massa Dirampas Elite!

"REFORMASI itu budaya massa!" ujar Umar. "Ia ditegakkan oleh aksi massa mahasiswa melawan rezim Orde Baru yang memuncak sepanjang awal 1998. Proses klimaks dimulai Tragedi Trisakti 12 Mei, gugurnya sejumlah mahasiswa! Ini memicu amuk massa, rakyat merusak, membakar, dan menjarah dalam kerusuhan 13-15 Mei, yang berakibat negara chaos! Kulminasi tercapai saat lebih seperempat juta mahasiwa dengan aneka warna jaket almamater berhimpun di gedung DPR-MPR Senayan, hingga Soeharto terpaksa meletakkan jabatan pada 20 Mei!"

"Ciri reformasi sebagai gerakan aksi massa bukan monopoli Ibu Kota!" sambut Amir.

"Di daerah-daerah--tanpa kecuali Lampung--amuk massa merusak dan membakar simbol kekuasaan Orde Baru bahkan berlarut-larut! Termasuk menjadi sasarannya, sejumlah mapolsek--wujud fisik kekuasaan yang terdekat dengan rakyat!"

"Begitulah, hingga di daerah-daerah reformasi lebih identik dengan amuk massa yang mudah tersulut oleh masalah sepele, sampai kebiasaan membakar hidup-hidup maling!" timpal Umar.

"Namun, reformasi yang beresensi budaya massa itu kemudian dimanipulasi elite saat menyusun kembali kehidupan bernegara yang justru sangat elitis! Berkutat di balik simbol masyarakat madani (civil sosiety), amendemen konstitusi dan produk UU keturunannya lebih berorientasi kepentingan elite! Reformasi sebagai hasil perjuangan rakyat dan mahasiswa dengan budaya massa itu telah dirampas elite untuk memuaskan kepentingan mereka--lebih sempit lagi, kepentingan parpol!"

"Hal itu menonjol sekali dalam aturan rekrutmen pemimpin lembaga pemerintahan dari pusat sampai daerah yang hanya bisa diikuti (kader) partai politik--belakangan dominasi ini dikoreksi Mahkamah Konstitusi--MK!" tegas Amir.

"Lebih jauh lagi, elite politik membangun kekuatan-kekuatan tandingan untuk mengalahkan budaya massa sebagai esensi reformasi yang telah mereka rampas--berupa organisasi massa beratribut paramiliter di bawah partai! Elite pemerintahan membangun Polisi Pamong Praja (Pol. PP), yang besarnya jauh dari kebutuhan sebenarnya!"

"Masalahnya, apakah dengan segala kelicikan elite itu budaya massa sebagai esensi reformasi bisa benar-benar dieliminasikan?" timpal Umar. "Dari berbagai peristiwa, dari perlawanan rakyat Koja, Cina Benteng Tangerang, sampai bentrokan massa lawan Pol. PP (dan polisi) yang nyaris setiap hari diberitakan televisi, terbukti budaya massa masih tetap hidup! Tepatnya, budaya massa merupakan sesuatu yang tetap ada dan tetap hidup sekalipun telah dirampas oleh elite!" ***

Selanjutnya.....

Berpacu dengan Masalah Baru!


"NEGARA kita bukan berpacu mencapai kemajuan! Tapi, justru berpacu dengan masalah baru yang muncul silih berganti membelitnya!" ujar Umar. "Kasus Century belum tuntas secara hukum dan politik, muncul Susno menyanyikan mafia hukum dan makelar kasus (markus) pajak di Polri! Baru masuk tahap jelasnya siapa Mr. X alias SJ, langkah Susno diganjal di bandara! Ee, ndilalah meletus tragedi berdarah di Koja!"

"Realitas berpacu dengan masalah baru mulanya kurang disadari banyak orang! Kemunculan Susno dengan masalah baru pun sempat dicurigai cuma “aktor orderan istana” untuk pengalihan isu dari kasus Century!" sambut Amir. "Apalagi nyanyian Susno dipadu aransemen Satgas Pemberantasan Mafia Hukum yang juga datang dari istana! Tapi setelah belasan orang terimbas nyanyiannya, termasuk jenderal polisi dan sederet pejabat Ditjen Pajak, orang berbalik mengidolakan Susno! Saat pijar bintang Susno dipadamkan, muncul tragedi berdarah Koja--baru orang menyadari kenyataan pacuan masalah baru mengadang!"

"Menurutmu, kenapa masalah baru bisa muncul secara berpacu begitu?" kejar Umar.


"Mungkin karena di antara kita banyak yang suka memendam masalah, dalam arti tak menuntaskan setiap masalah yang ditangani, akibatnya banyak masalah tetap membara seperti api dalam sekam hingga menjadi bom waktu!" jawab Amir. "Ketika waktunya sampai, tak tertahankan, beruntunlah jelegar-jelegur masalah baru meledak!"

"Tapi kalau meletusnya masalah baru berpacu begitu cepat, sedang dalam keadaan tenang saja tak bisa diselesaikan tuntas, masalah akan semakin menumpuk hingga kian kewalahan pula mengatasinya! Akibatnya, tertinggal semakin jauh lagi kita dari bangsa-bangsa lain!" timpal Umar. "Padahal, bom-bom waktu yang meledak terakhir ini bersifat fundamental--mafia di lembaga-lembaga penegak hukum, markus pajak yang mencoleng pendapatan negara, dan solusi kekerasan dalam penyelesaian masalah oleh Pemda--yang jika tak dituntaskan semua bisa menjadi bom waktu lebih fatal di masa depan!"

"Hidup--terutama berbangsa--adalah suatu proses belajar!" tegas Amir. "Selama ini, proses belajar itu digunakan untuk belajar mengakal-akali, justru di poros sendi-sendi fundamental tadi! Akibatnya, bukan hanya mengganjal putaran roda kemajuan bangsa, tapi masalah-masalah juga dipendam jadi bom waktu! Pacuan masalah baru yang kini terjadi, memberi peluang untuk belajar dengan benar! Jika peluang itu disia-siakan, apalagi dengan formalisme yang selama ini justru menjadi bungkus kebusukan, bangsa ini bisa terpuruk lebih parah lagi!" ***

Selanjutnya.....

'Civis Romanus', Hak Warga Negara!


"ERA 2000 tahun lalu, Romawi telah menguasai dunia dengan prinsip Civis Romanus--jaminan perlindungan dari Kaisar bagi setiap warga negara Romawi di pojok dunia mana pun! Barang siapa menyakitinya, akan berurusan dengan kekuasaan Kaisar!" ujar Umar.

"Hampir semua konstitusi modern mengadopsi prinsip itu, negara wajib melindungi setiap warga negaranya! Tapi prinsip itu yang juga berlaku pada konstitusi kita belum berjalan dengan baik! Pol. PP diberi perangkat organik untuk memukuli rakyat, seperti terjadi di Koja, Tanjung Priok, Jakarta Utara, Rabu sore!"


"Tampak pemenuhan hak warga negara sesuai konstitusi, terkait kewajiban negara melindungi rakyatnya, masih perlu ditingkatkan!" sambut Amir. "Praktek konstitusi, masih cenderung lebih repot dengan hak-hak elite terkait keamanan jabatannya, dari presiden dan jajaran eksekutif, anggota parlemen, sampai ke lembaga-lembaga tinggi negara lainnya! Setiap hari rakyat dipukuli Pol. PP dan aparat lainnya di mana-mana, luput dari pengorientasian itu masalah konstitusi--pelanggaran atas hak mendapat perlindungan dari segala bentuk penistaan dan penyiksaan--termasuk gangguan, pengambilan atau perusakan hak miliknya--oleh siapa pun!"

"Yang menjadi tontonan di layar kaca setiap hari justru pedagang kaki lima, tunawisma, dan kaum tak berdaya sejenisnya dikepruk, dagangan dan peralatan usaha mereka dirusak, dihancurkan atau disita tanpa putusan pengadilan!" tukas Umar.

"Sudahlah hak perlindungan dari konstitusi tak mereka dapatkan, hak lain setiap warga negara yang juga melekat pada diri mereka--hak mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, secara bersama telah dikecundangi! Tapi oleh siapa?"

"Tentu oleh pihak yang setiap ada protes, kritik, atau demo selalu mengingatkan jangan melanggar konstitusi!" jawab Amir. "Padahal, pihak dimaksud sebagai representasi negara dalam memenuhi kewajiban konstitusi terhadap rakyat, dengan rakyat yang wajib diberi perlindungan itu telah menjadi sasaran gebukan dan pembelasahan rutin Pol. PP atau aparat lain sebagai bawahannya, secara langsung setiap kali terbukti kealpaan atas kewajibannya itu! Sekaligus alpa dari kewajibannya menjamin hak setiap warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan!"

"Jadi, tragedi berdarah Koja harus jadi cambuk bagi aparat Pemerintah Pusat dan daerah, sebagai bukti telah keliru dalam mengimplementasikan konstitusi selama ini!" tegas Umar. "Atau, menganggap kekeliruan itu justru tradisi!" ***

Selanjutnya.....

Solusi Kekerasan, Koja pun Berdarah!


"SOLUSI kekerasan telah jadi unggulan pemerintah daerah nyaris di seantero negeri! Polisi Pamong Praja (Pol. PP) dilengkapi pelindung diri dan tongkat penggebuk, sengaja dibenturkan dengan rakyat-pedagang kaki lima, tunawisma, dan kaum tak berdaya lainnya! Bentrok berdarah di Koja, Tanjung Priok, Jakarta Utara, klimaksnya!" ujar Umar. "Sedikitnya tiga orang tewas, 66 Pol. PP, 10 polisi, dan 54 warga luka berat!"

"Tragedi berdarah itu terjadi akibat rakyat mempertahankan tanah wakaf Habib Hasan bin Muhammad al Hadad yang bergelar Mbah Priok--terkait ketokohannya sebagai perintis Pelabuhan Tanjung Priok!" timpal Amir. "Tanah seluas 5,4 hektare yang diwakafkan sejak Abad 18 itu, entah lewat rekayasa hukum seperti apa kini secara administratif diklaim sebagai milik PT Pelindo II. Pengalihan hak secara sepihak--tanpa setahu ahli waris wakaf--termasuk lewat sidang pengadilan antarpihak yang tak berhak atas tanah wakaf itulah biang kerok bentrok berdarah sepanjang Rabu hingga Kamis dini hari!"

"Ironisnya, tanah wakaf itu sampai terakhir ini masih efektif sebagai pengikat silaturahmi murid dari para pelanjut dakwah Habib Hasan alias Mbah Priok dari berbagai penjuru Tanah Air!" tegas Umar. "Selain pengajian rutin malam Jumat yang diikuti ratusan orang, pada hari-hari tertentu bisa dihadiri ribuan orang! Rupanya, di negeri yang kian dikooptasi koruptor ini, kegiatan rohani masyarakat itu tidak dinilai penting! Juga nilai historis wakaf Mbah Priok sebagai pusat siar ajaran Islam itu kurang dihormati-- cerminan bangsa kerdil yang tak menghargai sejarahnya!"

"Lebih tragis lagi, dari pembicaraan lewat telepon Wakil Gubernur DKI di Metro TV Rabu malam diketahui, gerak maju atau mundur pasukan Pol. PP menebar bencana itu sepenuhnya dikendalikan pimpinan dari Kantor Wali Kota Jakarta Utara--tanpa melihat langsung situasi lapangan!" timpal Amir. "Jauh lebih buruk lagi, pernyataan Wakil Gubernur bahwa sampai malam saat ia bicara di televisi itu tak ada korban jiwa! Padahal sejak petang televisi nasional telah menyiarkan korban tewas sedikitnya dua orang! Menyedihkan, hari gini pemimpin masih berdusta di siaran televisi."

"Semua itu terjadi akibat salah kaprah kalangan pemerintah daerah menjadikan solusi kekerasan lewat Pol. PP sebagai unggulan menyelesaikan masalah!" tegas Umar.

"Memprihatinkan, itu mencerminkan kapasitas kepemimpinan kepala daerah rendah dalam penyelesaian masalah, atau sikap otoriter pada dirinya lebih dominan! Hanya dua alasan itu dasar menjadikan solusi kekerasan sebagai unggulan!"

Selanjutnya.....

Militansi Massa Kaus Merah!


"JALAN satu bulan aksi puluhan ribu massa Kaus Merah pendukung Thaksin Shinawatra--mantan Perdana Menteri Thailand--menguasai Bangkok, semangat dan stamina tetap tinggi! Mereka teguh menuntut pembubaran parlemen dan PM Abhisit Vejajiva mundur!" ujar Umar. "Militansinya kian kokoh, menutup rapat pintu negosiasi, meski bentrok dengan aparat keamanan Sabtu dan Minggu menewaskan 14 pemrotes, wartawan Reuters Hiro Muramoto, dan lima dari militer!"

"Militansi itu kata kuncinya, sehingga meski telah sekian lama melancarkan aksi tak muncul sedikit pun masalah, semisal berebut makanan!" sambut Amir. "Apalagi perjuangan mereka mendapatkan energi baru, Senin lalu Komisi Pemilihan Umum Nasional Thailand lewat keputusan yang diambil melalui voting membubarkan Partai Demokrat yang dipimpin PM Abhisit karena telah melanggar aturan pemilu--tidak melaporkan dana kampanye yang diterima 258 juta baht!"


"Militansi massa berkaus merah itu berlatar khas sistem politik Thailand yang sering terjadi kudeta militer!" tegas Umar. "Thaksin dijatuhkan dan dijadikan buron rezim militer dengan tuduhan korupsi pajak atas jual-beli satu perusahaannya berbasis informasi! Kekuasaan parlemen sekarang, meski hasil pemilihan umum sipil, praktis masih dianggap bayangan rezim militer! Melanggar aturan pemilu! Jadi, militansi menjadi harga mati perjuangan mengembalikan supremasi sipil!"

"Lebih dari itu, militansi itu bisa terbentuk dan melembaga berkat para tokoh Kaus Merah punya integritas dan kredibilitas di tengah massanya, langsung menjadi koordinator lapangan aksi!" timpal Amir. "Nama tokoh Kaus Merah yang sering dikutip pers Barat, antara lain Kokaev Pikulthong, Weng Tojirakarn, dan Jaran Ditapichai, siang dan malam mereka bersama massa--dengan pengeras suara memotivasi perjuangan! Jadi bukan cuma karena faktor Thaksin!"

"Tapi tanpa Thaksin di belakang mereka, siapa mampu mendukung logistik lebih 50 ribu pemrotes hingga mampu bertahan sedemikian lama?" tukas Umar. "Artinya, militansi harus didukung berbagai dimensi, dari pemimpin yang dipercaya sampai logistiknya cukup!"

"Dengan prakondisi militansi massa Kaus Merah Thailand yang seperti itu, untuk sekarang ini sulit dibayangkan bisa terjadi di Indonesia!" timpal Amir. "Selain tokoh politiknya banyak kebat-kebit dapat giliran ke pengadilan terkait kasus korupsi, demo yang digerakkan nyaris semua elemen masyarakat sipil dan dipromosikan besar-besaran, yang hadir jauh lebih kecil dari perkiraan!"

Selanjutnya.....

Susno, Polisi di Negeri Mafia!


"DI negeri mafia hukum, makelar kasus dan pencoleng pajak, seorang polisi berpangkat komisaris jenderal bernama Susno Duadji yang tengah membongkar jaringan tindak pidana semua biang korupsi itu justru dinista oleh slagorde korps sendiri--tempat ia rela berkorban jiwa sebagai bukti cintanya pada nusa dan bangsa!" ujar Umar.

"Berbagai penistaan dia alami saat membongkar jaringan segala jenis mafia hukum itu, dari dikucilkan korps, dituding berkhianat mencederai nama baik instansinya, sampai dikuntit ke mana pun pergi, lalu ditangkap dengan perlakuan seperti teroris, saat pemeriksaan tak boleh ditemui pengacaranya--apalagi didampingi pengacara, hak setiap pesakitan!"


"Semua itu memang hanya mungkin terjadi di negara yang dikuasai para koruptor dengan segala bentuk mafia dan makelarnya!" sambut Amir. "Lebih celaka lagi, perlakuan terburuk dialaminya ketika ia usai memberikan keterangan tambahan kepada Satgas Pemberantasan Mafia Hukum di kelembagaan presiden, yang oleh Satgas diakui memberi banyak masukan baru yang cukup penting!"

"Rupanya pertemuan kedua Susno dengan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum itu membuat panik banyak pihak yang takut ketahuan boroknya, sehingga tindakan keras untuk meringkus--dengan tujuan membungkam--Susno pun dilakukan bertubi-tubi!" tukas Umar.

"Tak kepalang, saking kerasnya tindakan terhadap Susno itu mengimbas penghalangan terhadap pelaksanaan tugas wartawan yang meliput peristiwa penangkapan Susno itu!"

"Demikianlah fakta-fakta brutal ditonton warga bangsa yang berharap Susno berhasil membebaskan mereka dari cengkeraman para koruptor dengan segala biangnya yang menyengsarakan hidup mayoritas rakyat!" timpal Amir. "Malang nian, perjuangan Susno itu segera berakhir di tengah jalan! Sebab, perjuangan yang menguras energi dan penuh tekanan lahir-batin itu telah merangsek ketahanan fisik dan mentalnya, tetapi justru dihalangi dengan tindakan ekstra saat ia hendak pergi berobat!"

"Lebih malang lagi, di negeri yang didominasi koruptor itu cuma ada satu orang polisi yang bernama Susno!" sambut Umar. "Andaikan saja ada satu regu, hingga bisa dibentuk task force (satuan tugas), mungkin rakyat tidak putus harapan! Sebab tanpa seorang Susno, Satgas Pemberantasan Korupsi bentukan presiden pun tak bisa berbuat lebih baik dari sekadar sidak dan menyerahkan hasilnya kepada internal instansinya!"

"Tanpa Susno, tak mustahil pemberantasan korupsi kembali seperti sediakala!" tegas Amir. "Sporadis dan cenderung tebang pilih!"

Selanjutnya.....

Serangan Balik Skandal Century!


"SAAT lanjutan proses politik skandal Bank Century di DPR fade out--istilah film dari gambar jelas meredup dan hilang--prospeknya, serangan balik yang dibangun justru fade in--dari samar jadi semakin jelas--menggantikan isi frame di layar!" ujar Umar.

"Serangan balik itu mengarah ke inisiator membuka skandal Century di DPR dari PKS, Misbakhun, terkait tuduhan L/C fiktif di Bank Century! Kata polisi, Misbakhun telah jadi tersangka, meski menurut pengacaranya, Luhut Simanjuntak, belum ada surat resmi untuk status tersangka Misbakhun!" (Metro TV, [12-4])


"Serangan balik itu dibangun Staf Ahli Presiden Andi Arief di ujung masa kerja
Pansus Century!" sambut Amir. "Misbakhun komisaris di PT Selalang International yang dituduh terlibat L/C fiktif! Direktur PT itu, Franky Ongkowidjojo, lebih dahulu ditetapkan tersangka! Artinya, tuduhan Andi Arief telah diproses polisi, bukti pendahuluan cukup untuk menjadikan keduanya tersangka, bersama tersangka lain dari Bank Century!"

"Pokoknya, seperti sepak bola, serangan balik itu dilakukan terorganisasi, hingga keberhasilan mencetak gol--menjebloskan Misbakhun ke terali besi--tinggal soal waktu!" tegas Umar. "Boleh saja Luhut dan tim pengacara Misbakhun punya bukti-bukti L/C itu tidak fiktif, lengkap fakta transaksi riil hingga administrasi pelaksanaan kewajiban PT pada Bank Century sampai bulan terakhir, belum tentu mampu membendung serangan balik yang dimainkan dengan efektif!"

"Tapi, di balik semua itu, esensi sesungguhnya adalah berebut frame dan layar tayangan media massa--yang saling tak ada tawar-menawar--dalam adu unggul citra sebagai andalan di arena politik Indonesia dewasa ini!" timpal Amir. "Bukan simplifikasi pembukaan skandal Century dan serangan baliknya, tapi faktor citra
memang telah menjadi determinan dalam pergulatan politik!"

"Apa dampak dari determinasi itu?" kejar Umar.

"Segala upaya lebih ditumpukan hanya untuk menyangga citra!" tegas Amir. "Ketika semua dimensi pengelolaan negara oleh semua pihak diorientasikan ke sana, nyaris setiap langkah dan kegiatan sekadar bagian retorika memenangkan polemik! Dampak lebih jauhnya, citra bukan kenyataan yang sesungguhnya, tapi pseudomatis, gambaran seolah-olah semata!"

"Jadi hanya seolah-olah ini atau itu?" tukas Umar. "Dan itu hasil pergulatan memenangkan dominasi atas frame atau layar media massa! Dilihat dari situ, dengan fade in-nya serangan balik tadi, juga kiprah Satgas Mafia Hukum yang sedang fade in, tampak kubu penguasa sedang di atas angin!"

Selanjutnya.....

KUHP, Karena Uang Habis Perkara!

"KUHP--dibaca karena uang habis perkara--yang populer 1950-an, ternyata tetap berlaku sampai sekarang! Kasus Gayus Tambunan membuktikan itu dengan sempurna--tersangka pasal berlapis dengan bukti-bukti kuat berujung vonis bebas!" ujar Umar. "Artinya, praktek permainan hukum sepanjang lebih 60 tahun lebih kita merdeka belum beringsut sedikit pun!"

"Bahkan, dengan kesempurnaan hasilnya setelah melewati tahapan proses di semua lembaga penegak hukum--kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan, tampak praktek permainannya juga jadi lebih canggih!" timpal Amir. "Itu tecermin dari pemberian nama satuan tugas (satgas) bentukan presiden untuk memberantasnya--mafia hukum!


Maksudnya, praktek permainan hukum itu sudah menjadi kejahatan terorganisasi di semua tahapan dan jenjang proses hukum, sekaligus melibatkan orang luar dan orang dalam lembaga-lembaga penegak hukum! Dengan demikian bisa disebut, kondisinya sudah sangat buruk!"

"Lebih buruk lagi akibatnya!" tukas Umar.

"Karena, asal pintar dalam arti bisa mengakses ke dalam 'sistem' yang efektif berlaku dalam praktek mafia hukum tersebut, pencolengan uang negara baik di sektor penerimaan (pajak dan sejenisnya) maupun pembelanjaan (proyek, program dan sejenisnya), proses suap, pemerasan, penipuan, dan sejenisnya pada orang yang menjalani proses hukum, proses politik (meloloskan UU, sewa perahu calon kepala daerah dan sejenisnya), proses birokrasi pelayanan publik nyaris di semua instansi (dari perizinan sampai keterangan pencari kerja), sampai segala bentuk pungli, secara keseluruhan menyedot dan mengalihkan sebagian besar uang untuk menyejahterakan rakyat menjadi hanya buat kemakmuran kelompok terbatas!"

"Memang, jika dihitung uang yang tersedot oleh kelompok terbatas itu jumlahnya signifikan dalam mengencundangi kesejahteraan rakyat!" timpal Amir. "Setahun pajak nasional bisa tersedot Rp140 triliun, atau setara 20 persen (yang juga terjadi pada penerimaan lain termasuk pajak daerah), dari pembelanjaan anggaran nasional dan daerah 30 persen (standar KPK), dan segala macam yang lainnya tadi, mungkin mencapai 30 persen dari total pendapatan nasional kotor (PDB) yang seharusnya untuk kemakmuran rakyat tersedot hanya untuk kelompok terbatas! Semua itu bisa terjadi berkat dalil karena uang habis perkara--peluang segala bentuk pencolengan terbuka lebih lebar oleh 'jaminan' adanya mafia hukum!"

"Bayangkan, karena uang habis perkara, cuma kelompok terbatas saja yang bisa hidup makmur!" tegas Umar. "Sedang rakyat jadi sekarat melarat!"
Selanjutnya.....

Pilkada Rawan Konflik Sara!


"PILKADA--pemilihan umum kepala daerah--langsung, terutama tingkat kabupaten/kota di mana hubungan emosional para kandidat dengan pendukung relatif dekat, sejak awal

“diwanti-wanti” rawan konflik sara-suku, agama, ras, dan antargolongan!" ujar Umar. "Untuk itu, para kandidat dan tim suksesnya diharapkan tidak mengeksploitasi pendekatan berbau sara, agar pilkada di daerahnya tidak memicu konflik yang jika sempat tersulut bisa berkepanjangan!"

"Masalah sering timbul bukan dari kandidat atau tim sukses “ring satu” (yang terdaftar di KPUD), melainkan pada tim sukses lapisan bawah--di akar rumput--yang sejak awal sering gegabah dalam meraih kepercayaan kandidat terhadap dirinya, dengan memasang sendiri target perolehan suara yang berlebihan!" sambut Amir. "Ketika harus membuktikan kemampuan dirinya itulah, tim sukses lapisan bawah menghalalkan segala cara, tanpa kecuali menyulut sentimen sara!"


"Maka itu, ketika gejala ke arah itu muncul, seperti gara-gara pertandingan sepak bola antardesa terjadi perkelahian antarkelompok warga berbau sara, konfliknya harus segera “dikarantina” agar tak terjadi eskalasi--peningkatan dan perluasan--konfliknya!" tegas Umar. "Lebih dari itu, para kandidat dan tim sukses “ring satu” harus segera melakukan konsolidasi jaringannya sampai lapisan terbawah, mengamankan para pendukungnya agar tak terlibat konflik berbau sara tersebut!"

"Memang, hanya jika semua kandidat dengan tim suksesnya bisa mengamankan seluruh jajaran pendukungnya tak terlibat konflik berbau sara itu, konflik di lapangan juga akan teredam dengan sendirinya!" sambut Amir. "Teredam dalam arti sebatas fisik, sedang peredaman dalam sentimen atau stereotipe tertentu, tetap perlu dilakukan lewat perdamaian oleh tokoh-tokoh warga setempat--dengan dukungan pemimpin formal!"

"Selanjutnya, meski perdamaian bisa tercapai, para kandidat dengan tim sukses “ring satu” dan kalangan pemimpin daerah tak boleh cepat puas!" timpal Umar. "Iklim sosial-politik yang kondusif harus dibangun seksama, terutama dengan kian taatnya semua tim sukses menjalankan aturan main pilkada! Karena, semakin dekat hari 'H' pilkada akan meningkat pula suhu politik! Jika sampai terjadi kecurangan dari salah satu tim sukses, risikonya bisa langsung menyulut bara konflik yang sebelumnya pernah membara!"

"Tersulutnya bara konflik di ambang hari 'H' itu bisa fatal!" tegas Amir. "Karena, bisa menjadi arena balas dendam dari pihak yang merasa kalah saat perdamaian terjadi!" ***

Selanjutnya.....

Rasa Adil Rakyat Tersayat Pedih!


"TAYANGAN Metro TV atas derita keluarga Kadana, korban pemerasan dan penipuan makelar kasus (markus) di Indramayu, suami dipenjara istri dan enam anaknya tidur di kandang kambing, menyayat pedih rasa keadilan rakyat!" ujar Umar. "Lebih pedih lagi, pejabat polisi yang seharusnya bertindak pada markus justru mengancam untuk menindak yang menyuap dan disuap! Kasus pemerasan dan penipuan (dengan intimidasi dan bujuk rayu) hingga rumah Kadana terjual, dipelintir ke kasus suap yang menempatkan korban jadi tersangka!"

"Modus memelintir dari pemerasan dan penipuan menjadi kasus suap yang menempatkan korban sebagai tersangka itu membuat markus di jajaran penegak hukum tidak terusik! Korban takut, jika mengungkap kasus pemerasan dan penipuan itu malah jadi tersangka!" sambut Amir. "Untuk itu, diperlukan kejernihan penerapan hukum pada kasus demikian, mewaspadai modusnya! Seperti kasus Kadana, betapa pedih tersayat rasa adil rakyat saat derita korban sedemikian parah, markus-nya malah nyaman seolah tak terjangkau hukum!"


"Jadi tepat sekali Metro TV menghadirkan Denny Indrayana dari Satgas Pemberantasan Mafia Hukum ketika Casnawi, abang Kadana, tampil mengungkap kasus itu di televisi!" tegas Umar. "Dari penuturan Casnawi diketahui, lewat intimidasi menyiksa Kadana, lalu agar tak disiksa lagi harus dipindah tahanan dan untuk itu bayar! Pokoknya lewat berbagai dalih korban terkuras sekitar Rp14 juta, hingga rumah Kadana terjual! Tapi janji-janji markus yang orang dalam lembaga penegak hukum itu tak jadi kenyataan, bahkan Kadana divonis penjara 7 tahun! Casnawi yang yakin adiknya tidak bersalah mengamuk di depan PN Indramayu usai vonis hakim, memaki markus!"

"Ketepatan penghadiran Satgas Mafia Hukum itu karena membumikan Satgas pada realitas derita rakyat kecil akibat kekejian praktek markus, yang meski dari segi rupiahnya mungkin kecil, tetapi eksesnya terhadap kemanusiaan dan penderitaan rakyat besar sekali!" timpal Amir. "Keterlibatan Satgas dalam kasus ini efektif! Terbukti, setelah acara Casnawi dan Satgas di televisi, pejabat polisi yang semula mengacungkan pasal suap, berubah jadi pasal penipuan oleh markus dengan ancaman hukuman 4 tahun penjara!"

"Itu bukti pentingnya kerja sama media massa dan Satgas Mafia Hukum serta lembaga-lembaga penegak hukum dalam pembersihan markus!" tegas Umar. "Layak disadari, sepedih-pedihnya sayatan realitas derita korban markus, masih lebih pedih lagi menyayat hati rakyat ucapan ngawur, melintir, dan tak logis dari pejabat, aparat hukum atau wakil rakyat!" ***

Selanjutnya.....

Sasaran Baru Lagi dari Susno Duadji!


"KAMIS (8-4) saat Susno Duadji dialog dengan Komisi III DPR, Jaksa Agung Muda Pengawasan Hamzah Tadja mengumumkan, Kejaksaan Agung membebastugaskan dari jabatan struktural dua jaksa--Kepala Kejaksaan Tinggi Maluku Poltak Manullang dan Asisten Tindak Pidana Khusus Kejati Jawa Tengah, Cyrus Sinaga!" ujar Umar. "Keduanya dianggap bertanggung jawab atas ketakcermatan penanganan kasus markus pajak Gayus Tambunan! Poltak sebelumnya direktur prapenuntutan di Kejaksaan Agung, sedang Cyrus Sinaga ketua tim jaksa peneliti dan ketua tim penuntut umum kasus Gayus!"

"Semakin banyak 'korban' pengungkapan Susno atas markus pajak dan mafia hukum di instansi-instansi penegak hukum!" sambut Amir. "Seiring itu, di Komisi III DPR, Susno memberi sasaran tembak baru, aktor intelektual pengatur kegiatan markus di Polri berinisial SJ--nama lengkapnya disampaikan dalam rapat tertutup! Dengan sasaran baru yang strategis ini, bakal lebih banyak lagi 'korban' pecahan peluru yang dilontar Susno!"

"Tapi kenapa banyak anggota Komisi III DPR tidak fokus pada pokok masalah markus pajak dan mafia hukum yang diungkap Susno, kenapa tidak mengungkapnya waktu ia Kabareskrim?"


"Kenapa banyak anggota DPR tak fokus ke pokok masalah, itu soal gaya pribadi masing-masing!" jawab Amir. "Sedang kenapa baru diungkap sekarang, tidak waktu dia Kabareskrim, awam pun bisa menjawab--karena baru sekarang hidayah datang padanya! Soal motif Susno mengungkap itu, yang juga ditanya banyak anggota DPR, tentu cuma Susno sendiri yang tahu--sebab alasan-alasan heroik kalaupun ada Susno kemukakan sebagai motifnya, masih harus diuji sejarah!"

"Lalu tudingan Susno merusak citra Polri yang dicintainya dengan mengungkap markus dan mafia hukum?" kejar Umar.

"Pernyatakan Susno merusak citra Polri dengan membongkar markus dan mafia hukum itu, sebenarnya justru sebaliknya!" tukas Amir. "Citra Polri sudah rendah sebelum Susno mengungkap markus dan mafia hukum, seperti dirasakan Susno dalam kasus cicak lawan buaya--publik mutlak mendukung cicak! Jadi, tak mustahil pengalaman Susno dalam cicak lawan buaya itu menyadarkan dirinya tentang terpuruknya citra Polri, kesadaran mana merendahkan hidayah pada dirinya hingga membulatkan tekad membersihkan markus dan mafia hukum demi meningkatkan kembali citra Polri! Untuk tekadnya itu, Susno siap menerima risikonya! Buktinya, sasaran baru dia luncurkan, menguras dua brankas stok kasus simpanannya!"

Selanjutnya.....

Terbukti, PDIP Tahan Gergaji!

"PIDATO Megawati Soekarnoputri di Kongres III PDIP menegaskan partainya tetap sebagai oposisi--pengimbang!" ujar Umar. "Mega menolak PDIP menjadi pragmatis dengan berkoalisi demi kursi atau jabatan di pemerintahan! Sikap Mega itu dipuji Ketua Umum Nasional Demokrat Surya Paloh, yang hadir pada acara PDIP di Bali itu, sebagai sikap yang monumental!"

"Pujian Surya wajar mengingat sikap itu Mega tegaskan sebagai penghargaan pada kader-kader militan PDIP di daerah-daerah yang mampu bertahan dari gempuran pragmatisme, bahkan memenangkan pemilu legislatif maupun pemilu presiden 2009!" sambut Amir. "Penghargaan itu disampaikan Mega dari lubuk hati paling dalam, hingga saat mengucapkan suaranya gemetar dan air matanya berkaca-kaca!"


"Memang tak mudah mempertahankan PDIP agar tak terbelah oleh tarikan pragmatisme yang amat kuat belakangan, antara lain justru dari dalam partainya sendiri!" tegas Umar. "Isu yang hampir memastikan PDIP jatuh ke pelukan penguasa yang marak menjelang kongres ini pun jadi antiklimaks! Sekaligus dengan itu terbukti, PDIP tahan gergaji--setajam apa pun gesekan untuk membelahnya!"

"Sikap tegar yang diekspresikan dengan tegas menolak pragmatisme politik itu, menjadi bersifat monumental bukan sebatas bagi kader PDIP, tapi juga bisa dipetik sebagai pelajaran bagi kaum muda bangsa!" timpal Amir. "Karena, itu timbul justru di tengah menguatnya gejala pragmatisme politik, sehingga nyaris dianggap lazim saja perolehan dukungan rakyat dalam pemilu cuma ditukar dengan sejumlah porsi kekuasaan! Maka itu, dianggap aneh bahkan dikesankan sebagai pengkhianat ketika PKS dan Golkar, dalam Pansus Bank Century, memilih berpihak pada nurani konstituennya ketimbang kepentingan koalisi berkuasa yang telah memberinya porsi kekuasaan!"

"Pengalaman PKS dan Golkar dalam koalisi--yang sampai dituding pengkhianat--itu, layak menjadi pelajaran! Tanpa kecuali bagi PDIP!" tegas Umar. "Dan Mega menariknya lebih jauh, membongkar sekaligus menolak akar masalahnya, pragmatisme politik! Jelas, amatlah tidak layak dukungan rakyat dalam pemilu yang amat mulia dengan sebutan 'suara rakyat suara Tuhan' itu jika cuma ditukar dengan porsi kekuasaan bagi segelintir elite partai semata, apalagi jika hal itu dilakukan dengan mengencundangi nurani konstituennya!"

"Apalagi konstituen PDIP mayoritas fanatik dan militan!" timpal Umar. "Kalau pucuknya tumbang digergaji pragmatisme, bisa seperti anak ayam kehilangan induk!"
Selanjutnya.....

Mafia Pajak Usik Presiden!


"PRESIDEN Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memerintahkan kasus mafia pajak dibongkar habis!" ujar Umar. "SBY mengaku dirinya terusik kasus Gayus Tambunan yang tergolong praktek penyimpangan berbau mafia atau persekongkolan bahkan telah melebar hingga masuk ke wilayah fundamental! Ini harus kita tuntaskan, tegasnya!"

"Perintah Presiden itu tegas dan jelas, jadi tak ada alasan aparat hukum untuk coba-coba mencari dalih atau kilah guna melindungi sejawat korpsnya yang terlibat!" sambut Amir. "Namun, masih ada yang harus didiskusikan, tentang apa yang dimaksud Presiden sebagai wilayah fundamental! Wilayah itu bisa ditafsirkan sebagai pajak yang merupakan fondasi kehidupan bernegara-bangsa! Tapi juga bisa ditafsir moral, yang keruntuhannya bisa merusak secara fatal kehidupan berbangsa!"


"Tafsir yang benar untuk wilayah fundamental itu justru paduan keduanya, pajak dan moral, pilar bagi terwujudnya keadilan substantif maupun keadilan hukum!" tegas Umar. "Rusaknya sistem dan mekanisme pajak berakibat buruk pada usaha mewujudkan keadilan sosial dan ekonomi yang bersifat substantif bagi hidup rakyat banyak! Sedang rusaknya sistem dan mekanisme pajak akibat runtuhnya moralitas itu, dalam kasus mafia pajak, sekaligus mengimbas pada rusaknya moral aparat penegak hukum, sehingga praktek hukum terjebak tanpa berorientasi keadilan!"

"Maka itu, mafia pajak, mafia hukum dan makelar kasus (markus) sebagai aktualisasi dari rusaknya moralitas aparat pajak dan aparat hukum, harus ditangani secara bersih dari persekongkolan dan kongkalikong--berselubung solidaritas korps!" timpal Amir.

"Untuk itu Presiden menegaskan, agar publik diberi penjelasan yang baik seputar perkembangan kasusnya! Jadi, andai ada usaha menyimpangkan jalannya pengusutan untuk mengalihkan perhatian dari pokok masalah sebenarnya, publik harus cepat mengoreksinya!"

"Gelagat ke arah itu memang terbayang, semisal mengalihkan sorotan publik ke arah tanggung jawab Susno sebagai Kabareskrim saat kasus itu diproses, sehingga secara kelembagaan ia justru penanggung jawab utama di lembaga itu!" tegas Umar. "Untuk pengalihan proses itu mungkin ada dua hal yang layak disimak. Satu, Susno sebagai whistle blower--peniup semprit--pengungkap penyimpangan di lembaga yang pernah dia pimpin itu! Dua, dalam sistem pidana hanya orang yang terlibat suatu kejahatan yang harus menanggung risikonya!"

"Sebagai whistle blower, Susno justru bisa dipidana jika tahu ada kejahatan tak dia laporkan!" timpal Amir. "Tapi, Susno juga harus siap menanggung risiko jika nanti bisa dibuktikan terlibat!"

Selanjutnya.....

Membuat Model APBD Beretika!


"KRISIS anggaran Lampung Tengah membawa hikmah pentingnya membuat model standar penyusunan APBD beretika!" ujar Umar. "Krisis Lampung Tengah menyajikan orientasi etis APBD--dengan prioritas pembayaran utang (defisit)--tapi terlalu ekstrem, banyak kewajiban rutin telantar! Suatu model harus ideal, seimbang pengamalan kewajiban etis dan kewajiban rutin!"

"Terpenting standar etikanya, yang bukan berarti setiap utang atau defisit APBD itu haram!" tegas Amir. "Defisit APBD jadi tidak etis karena defisitnya digunakan untuk pola hidup berlebihan eksekutif dan legislatif, dari mobil kepala daerah berharga lebih satu miliar, sampai foya-foya studi banding rombongan baik eksekutif maupun legislatif!"

"Etisnya anggaran defisit untuk apa?" sela Umar.


"Untuk investasi!" tegas Amir. "Terutama yang secara ekonomis meningkatkan pertumbuhan, seperti irigasi, jalan dan jembatan, sarana pasar, sehingga nilai tambah perekonomian daerah meningkat sekaligus meningkatkan PAD untuk menutup lubang defisit APBD! Jika defisit untuk rutin apalagi konsumtif, pembangunan (investasi) terbengkalai, pertumbuhan ekonomi rendah dan defisit dari waktu ke waktu terus membengkak, daerah semakin tak mampu membayar utang!"

"Tepatnya harus dibuat garis tegas, defisit hanya boleh untuk investasi--tak termasuk mobil dan fasilitas pejabat!" timpal Umar. "Sedang belanja rutin dan fasilitas pejabat harus disetel 70 persen dari total penerimaan nondefisit yang diperoleh dari PAD, bagi hasil provinsi dan pusat, serta dana pusat lainnya! Sedang yang 30 persen untuk pelayanan publik--anggaran untuk rakyat!"

"Jadi, rumusan etika dalam APBD adalah menjaga defisit haram untuk belanja fasilitas kepala daerah dan legislatif, belanja kepentingan eksekutif dan legislatif disesuaikan kemampuan anggaran!" tegas Amir. "Di lain pihak, untuk keseimbangan kewajiban etis dan kewajiban rutin, pembayaran utang (defisit) yang diambil dari anggaran rutin harus dijaga untuk tidak sampai anggaran rutin kolaps seperti yang terjadi di Lampung Tengah!"

"Etika dalam pengelolaan anggaran juga tak lepas pada anggaran rutin!" tambah Umar.

"Dalam hal ini prioritas memenuhi kepentingan kelompok lemah seperti tunjangan guru dan gaji pegawai honorer, aparat desa, yang selama ini justru selalu dikalahkan oleh kepentingan kelompok elite! Akibatnya, yang lemah sering terlantar sedang yang kuat selalu nikmat berlebihan!"

"APBD beretika bisa diharapkan menjadi satu pilar keadilan sosial sesuai cita-cita kemerdekaan!" tegas Amir. "Jika anggaran tak adil, lewat apa lagi pemerintah mewujudkan cita-cita itu?"

Selanjutnya.....

Krisis Anggaran Lampung Tengah!


"KABUPATEN Lampung Tengah krisis anggaran--APBD, diberitakan nyaris bangkrut!" ujar Umar. "Berbagai kewajiban belum dibayar, seperti tunjangan guru, tunjangan penghasilan aparat pemerintahan desa!"

"Tak masuk akal Lampung Tengah krisis anggaran!" potong Amir. "Karena Lampung Tengah itu kabupaten induk yang perekonomian masyarakatnya relatif lebih solid dibanding kabupaten lain di Lampung! Tentu ada orang miskin, tapi jumlahnya tak cukup menjadikannya sebagai daerah tertinggal! Kabupaten yang masuk daerah tertinggal saja bisa bertahan, masak Lampung Tengah tak bisa? Mungkin ada masalah dalam pengelolaan anggarannya!"


"Masalahnya sudah diketahui publik!" tegas Umar. "Dana APBD Rp28 miliar beku di Bank Tripanca yang sudah ditutup! Lalu sisa anggaran cuma angka-angka, sedang uangnya tidak ada!"

"Itu masalah nyata yang tak bisa dibantah!" tukas Amir. "Tapi jadi tambah ruwet karena dua faktor itu dijadikan fait accompli dalam menyusun anggaran baru yang tanpa masalah--artinya tetap menjadikan dana yang belum bisa cair itu sebagai bagiannya--sehingga ketika dana itu tak bisa cair, anggarannya langsung jadi masalah!"

"Di-fait accompli tentu agar pihak terkait bisa didesak mencairkan dana itu!" kilah Umar. "Tak di-fait accompli juga salah, masa dana tidur sebanyak itu dibiarkan lelap?"

"Tapi lebih baik realistis, dari sumber-sumber yang konkret saja, agar anggaran stabil!" tegas Amir. "Apalagi fait accompli itu oleh eksekutif dan legislatif dilakukan berlebihan! Yakni, dana yang ada justru dialihkan untuk membayar utang (defisit) anggaran, hingga seperti kata Bupati Mudiyanto Thoyib, defisit anggaran yang pada 2009 masih Rp73 miliar, pada APBD 2010 bisa ditekan tinggal Rp6 miliar! (Lampung Post, [1-4]) Artinya, ada dana Rp67 miliar disisihkan untuk itu! Jadi, jika anggaran berjalan goncang, sebenarnya merupakan konsekuensi dari pilihan kebijakan yang dari segi etika tidaklah buruk!"

"Dilihat dari segi etika krisis anggaran Lampung Tengah itu sebagai konsekuensi pilihan kebijakan, justru menjadi contoh baik bagi daerah lain!" tegas Umar.

"Lebih-lebih kabupaten/kota yang defisit anggarannya tak terkendali, mengeruk dana untuk membiayai kemewahan eksekutif dan legislatif dari utangan--yang jika berkelanjutan cuma membebani utang pada anak-cucu! Sebagai contoh baik jalan etis itu, Lampung Tengah harus mampu mengatasi krisis anggaran yang sedang terjadi! Jika krisis bisa diatasi, Lampung Tengah justru menjadi model sempurna bagi penyusunan APBD beretika!"
Selanjutnya.....

Yang Terperosok di Lubang Sama!


"APA benar, keledai tak terperosok di lubang yang sama dua kali?" tanya cucu.

"Itu hanya peribahasa!" jawab Nenek. "Artinya, binatang yang paling dungu pun tak mengulangi kesalahan yang sama! Tapi sesungguhnya, keledai hewan paling bandel! Ditarik ke depan dia mundur, didorong ke belakang justru maju!"

"Kalau keledai begitu dungu dan bandel, kenapa dalam peribahasa itu dikesankan keledai pintar dan mau belajar dari pengalaman?" kejar cucu.

"Agar manusia yang punya akal sehat tak bersikap dan bertindak lebih dungu dan lebih bandel dari keledai! Belajarlah dari pengalaman, guru paling bijaksana!" tegas nenek. "Tak jauh dari situ harapan Kapolri Bambang Hendarso Danuri pada segenap jajaran Polri dengan masalah yang terjadi di Bareskrim sekarang, terkait kasus mafia pajak Gayus Tambunan! Agar peristiwa ini jadi proses pembelajaran, ke depan jangan terperosok lagi di lubang yang sama!" (Kompas, [3-4]).


"Untuk itu peribahasanya harus diubah, tidak terperosok ke lubang yang sama tiga kali!" timpal cucu. "Nenek pura-pura lupa, sebelum ini jajaran Bareskrim--dari Kepala (Suyitno Landung), Direktur II (Samuel Ismoko), dan Kanit II (Irman Santosa)--pernah terperosok kasus pembobolan BNI, hingga kena pidana berjenjang dari 18 bulan, 20 bulan, dan 2 tahun! Jadi, kasus mafia pajak ini terperosok yang kedua bagi jajaran Bareskrim!"

"Berarti cukuplah dua kali terperosok, jangan sampai tiga kali!" tukas nenek. "Hal itu tentu tak hanya berlaku bagi perorangan atau satuan tugas, juga bukan cuma Bareskrim, tapi segenap jajaran Polri! Bukan pula di lubang yang sama bergantian! Jadi, seperti dinyatakan Kapolri, menjadi pembelajaran bersama seluruh slagorde Polri!"

"Untuk itu, dimulai dari bagian atasan membuat contoh positif, tidak mewajibkan bawahannya memberi setoran, artinya membuktikan sistem setoran dari bawahan ke atasan tak dikenal dalam tubuh Polri!" timpal cucu. "Sebaliknya, karena gaji bawahan relatif kecil, atasan yang bermurah hati berusaha menyejahterakan jajaran bawahannya!"

"Lebih dari itu, selain bersikap profesional dalam hierarki atasan-bawahan, semangat kebersamaan (solidaritas korps) dengan saling mengingatkan untuk menjaga nama baik korps, terus ditumbuhkembangkan!" tegas nenek. "Artinya, atasan tak harus arogan dengan menolak saran atau sapaan mengingatkan dari bawahan, karena kebaikan bisa datang dari mana saja! Masalah sering timbul hanya karena atasan merasa superman, membuat bawahan jadi inferior, kesalahan pun berulang, dan kian dalam! Ini yang mengakibatkan atasan gantian terperosok di lubang yang sama!"

Selanjutnya.....

Gayus Tambunan Sang Primadona!


"GAYUS Tambunan benar-benar jadi primadona! Pers nasional, televisi dan koran, dalam beberapa hari terakhir ini sepenuhnya dia kuasai!" ujar Umar. "Apa dengan begitu ia tak malah jadi idola--seperti layaknya selebritas yang bagi massa sering tak jadi masalah hitam-putih tokohnya?"

"Sebagai primadona tayangan media massa, tidak mustahil Gayus dijadikan idola! Lebih-lebih nanti, ketika dia punya nyali untuk membuka jaringan mafia pajak!" sambut Amir. "Pada saat itu nanti, tak beda dengan citra Susno, setelah membuka jaringan makelar kasus (markus) citranya jadi positif! Tentu tak semua orang bisa menerima kenyataan itu, tapi jika dilihat dari kepentingan publik yang lebih luas, dalam hal ini tersingkapnya jaringan mafia hukum dan markus, tanpa adanya tokoh Susno--kemudian Gayus--masih mustahil sistem yang menyelubunginya bisa tersingkap!"


"Berarti, hanya kalangan yang merasa rugi sistem yang menyelubungi kejahatan itu jebol yang masih menganggap Susno pengkhianat, atau Gayus sekadar pencoleng!" tukas Umar. "Padahal, Gayus hanya sebuah 'pion', jika ia dikawal baik hingga bisa merobohkan 'queen' atau 'benteng', ia tak lagi sekadar pencoleng! Ketika dalam kesaksiannya ia bisa menumbangkan buah-buah catur besar di Ditjen Pajak, hak istimewa dalam perlindungan saksi jadi miliknya! Di negara maju, selain keringanan hukuman atas keterlibatannya dalam suatu mafia, 'pion' seperti itu bisa dapat jaminan masa depan dengan penggantian identitas dan tempat hidup baru yang jauh dari jangkauan balas dendam mafia yang ia bongkar!"

"Artinya, posisi Gayus sebagai saksi kunci untuk menjaring ikan-ikan yang jauh lebih besar, oleh penegak hukum harus diperlakukan sebagai the golden boy--diprioritaskan pengamanan diri dan keluarganya, agar usaha mengorek keterangan dari Gayus bisa maksimal! Dengan itu, seluruh jaringan mafia pajak bisa digulung tuntas!" timpal Amir. "Seiring itu, janji Susno membuka brankas kasus-kasus mafia jajaran penegak hukum juga difasilitasi tim independen yang berintikan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum unit kerja presiden--setelah blessing in disguise--keberuntungan terselubung--dari nyanyian Susno sebelumnya!"

"Jalan untuk itu terbuka dengan telah adanya UU Perlindungan Saksi, didukung tekad Kementerian Keuangan membersihkan lingkungannya setelah kebobolan kasus Gayus!" tegas Umar. "Juga, oleh kemauan keras Satgas Mafia Hukum memperbaiki kinerjanya, tidak ewuh pakewuh lagi hingga cuma menyerahkan penyelesaian kasus mafia hukum kepada pimpinan instansinya!"

Selanjutnya.....