"KRISIS anggaran Lampung Tengah membawa hikmah pentingnya membuat model standar penyusunan APBD beretika!" ujar Umar. "Krisis Lampung Tengah menyajikan orientasi etis APBD--dengan prioritas pembayaran utang (defisit)--tapi terlalu ekstrem, banyak kewajiban rutin telantar! Suatu model harus ideal, seimbang pengamalan kewajiban etis dan kewajiban rutin!"
"Terpenting standar etikanya, yang bukan berarti setiap utang atau defisit APBD itu haram!" tegas Amir. "Defisit APBD jadi tidak etis karena defisitnya digunakan untuk pola hidup berlebihan eksekutif dan legislatif, dari mobil kepala daerah berharga lebih satu miliar, sampai foya-foya studi banding rombongan baik eksekutif maupun legislatif!"
"Etisnya anggaran defisit untuk apa?" sela Umar.
"Untuk investasi!" tegas Amir. "Terutama yang secara ekonomis meningkatkan pertumbuhan, seperti irigasi, jalan dan jembatan, sarana pasar, sehingga nilai tambah perekonomian daerah meningkat sekaligus meningkatkan PAD untuk menutup lubang defisit APBD! Jika defisit untuk rutin apalagi konsumtif, pembangunan (investasi) terbengkalai, pertumbuhan ekonomi rendah dan defisit dari waktu ke waktu terus membengkak, daerah semakin tak mampu membayar utang!"
"Tepatnya harus dibuat garis tegas, defisit hanya boleh untuk investasi--tak termasuk mobil dan fasilitas pejabat!" timpal Umar. "Sedang belanja rutin dan fasilitas pejabat harus disetel 70 persen dari total penerimaan nondefisit yang diperoleh dari PAD, bagi hasil provinsi dan pusat, serta dana pusat lainnya! Sedang yang 30 persen untuk pelayanan publik--anggaran untuk rakyat!"
"Jadi, rumusan etika dalam APBD adalah menjaga defisit haram untuk belanja fasilitas kepala daerah dan legislatif, belanja kepentingan eksekutif dan legislatif disesuaikan kemampuan anggaran!" tegas Amir. "Di lain pihak, untuk keseimbangan kewajiban etis dan kewajiban rutin, pembayaran utang (defisit) yang diambil dari anggaran rutin harus dijaga untuk tidak sampai anggaran rutin kolaps seperti yang terjadi di Lampung Tengah!"
"Etika dalam pengelolaan anggaran juga tak lepas pada anggaran rutin!" tambah Umar.
"Dalam hal ini prioritas memenuhi kepentingan kelompok lemah seperti tunjangan guru dan gaji pegawai honorer, aparat desa, yang selama ini justru selalu dikalahkan oleh kepentingan kelompok elite! Akibatnya, yang lemah sering terlantar sedang yang kuat selalu nikmat berlebihan!"
"APBD beretika bisa diharapkan menjadi satu pilar keadilan sosial sesuai cita-cita kemerdekaan!" tegas Amir. "Jika anggaran tak adil, lewat apa lagi pemerintah mewujudkan cita-cita itu?"
Kata Kunci
Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani
Senin, 05 April 2010
Membuat Model APBD Beretika!
Langganan:
Posting Komentar
0 komentar:
Posting Komentar