"DARI pembicaraan telepon Anggodo sadapan KPK yang dibuka MK, sampai kasus Gayus Tambunan, semakin terang wujud ungkapan warung kopi di Sumatera Utara, Ise do mangatur nagara on? Hepeng!--Siapa yang mengatur negara ini? Duit!" ujar Umar. "Di sana lazim setiap ada orang selesai berkasus, kalah atau menang, beredar bisik-bisik, “Habis berapa ekor kerbau atau berapa rante sawah? Satuan ukuran luas tanah di sana sama dengan Lampung, rante (400 m2)--sepersepuluh acre--satuan ukuran luas tanah versi Inggris!"
"Kata do dalam bahasa Batak juga mirip dengan do bahasa Inggris! Ise do mangatur dengan I do love you!--do berarti (yang) sungguh-sungguh!" timpal Amir. "Bahwa yang sungguh-sungguh mengatur negara ini duit bukan hanya terkait aparat hukum seperti dimaksud dalam rekaman Anggodo, atau uang pajak bisa dicoleng dan dibagi-bagi dalam kasus Gayus! Tapi, juga dibuktikan banyak anggota DPR dalam berbagai tugasnya mengatur negara--dari membuat UU sampai seleksi pejabat lembaga negara!"
"Dengan benarnya ungkapan duit yang mengatur negara itu, tak pelak lagi siapa yang banyak duit selalu diuntungkan, masalah apa pun dia hadapi akan selalu menunjukkan keunggulannya!" tegas Umar. "Konsekuensi logisnya, mereka yang kalah duit akan selalu kalah dalam segala hal!"
"Sebenarnya ungkapan itu sudah diperhalus oleh Adam Malik dengan menghilangkan kata 'duit', menjadi 'semua bisa diatur!' Lalu, dengan simpul sama Gus Dur membuat timpalan, 'begitu saja kok repot!' Maksudnya, tak perlu repot, semua bisa diatur!" sambut Amir. "Penghalusan dari Adam Malik dan Gus Dur tidak memberi kesan berbau duit! Dalam perkembangan peradaban, setelah ada revisi ungkapan dengan menghilangkan hal negatif di dalamnya, prakteknya dalam kehidupan sehari-hari seharusnya mengikuti dimensi baru! Ternyata tidak begitu dengan faktor duit dalam mengatur negara! Ini gejala adanya anomali dalam perkembangan peradaban kita, sehingga faktor negatif justru menguat dan terlembaga!"
"Anomali perkembangan budaya dengan semakin menguatnya faktor-faktor negatif bisa terjadi ketika determinan (superkultur) yang menjadi penggerak poros dinamika bawah sadar dari suatu peradaban sebenarnya sebuah kebudayan negatif!" tegas Umar. "Sang determinan adalah kelompok dominan--yang berpengaruh kepada mayoritas warga! Dalam determinasi kebudayaan negatif itu, basis-basis moralitas justru terdesak ke posisi defensif, menjadi kontrakultur! Itu terjadi karena uang didaulat sebagai penentu oleh para penentu--kelompok dominan!" ***
Kata Kunci
Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani
Selasa, 20 April 2010
‘Ise do Mangatur Nagara? Hepeng!’
Langganan:
Posting Komentar
0 komentar:
Posting Komentar