Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Pola Hidup Anak Terpintar!

SEORANG mahasiswi menemui bocah peringkat satu—terpintar—di kelas V SD. Di rumah geribik berlantai tanah itu, pulang sekolah si bocah langsung membuka tudung saji. Ia isi nasi sepiring penuh dengan sayur genjer dan ikan asin goreng, lalu melahapnya hingga ludes. 

"Kok tak ada orang di rumah?" tanya tamu. "Ayahku kerja kuli bangunan!" jawab bocah. "Ibu ke ladang, pergi pagi siap masak dan mencuci pakaian, pulang petang!" "Pagi kau sarapan apa?" kejar tamu. "Sarapan nasi, sama dengan yang dimakan siang dan malam nanti!" jawab bocah. "Usai salat subuh ibu masak sekalian untuk pagi, siang, dan malam!"

"Usai makan siang ngapain?" tanya tamu. "Mengerjakan PR, kalau ada! Mumpung terang! Kalau malam gelap, rumahnya tak ada listrik!" jawab bocah. "Kalau tak ada PR, pergi main!" "Main apa?" kejar tamu. "Main apa saja, ikut teman-teman!" jelas bocah. 

"Kalau musim layang-layang, mengejar layangan putus! Main sesuai musimnya saja! Tentu tak lupa salat zuhur dan asar, dan mengaji bakda magrib bersama teman-teman! Umurku sudah lebih 10 tahun, kalau tak salat dipukul ayah!" Mahasiswi menghela napas, tak menemukan keistimewaan dari si bocah sebagai alasan ia bisa menjadi terpintar di antara teman sekelas. Salat dan mengaji juga bukan kelebihan dirinya, sebab juga dilakukan teman-temannya! Mahasiswi menemui guru kelasnya, cerita apa adanya, tak menemukan apa yang dia cari. "Saya juga memberi perhatian pada anak itu!" jelas guru. 

"Dia mengingat lebih baik pelajaran yang saya berikan dibanding teman-temannya, terutama hal baru yang kemudian dirangkai dalam soal PR. Saya amati, itu bisa dia lakukan karena sikap bertanggung jawab dengan kesadaran atas keterbatasan dirinya!" 

"Tanggung jawab dan kesadaran seperti apa?" kejar mahasiswi. "Tanggung jawab mengerjakan PR, seperti atas salatnya tanpa kontrol dari orang tuanya sekalipun!" jelas guru. "Menyadari rumahnya tak berlistrik, ia kerjakan PR sepulang sekolah! Saat itu, ingatan atas pelajaran di sekolah masih segar! Maka itu ia jadi lebih menguasai pelajaran baru karena langsung mengulangnya setiba di rumah! Sedang lainnya mengerjakan PR malam atau esok subuh, sudah tak segar lagi pelajaran baru yang diterimanya!" "Jadi ketiadaan listrik di rumahnya menjadikan dia anak terpintar?" entak mahasiswi. "Justru keterbatasan diubahnya jadi berkah!" ***
Selanjutnya.....

Sapi Beranak 2 Kali Setahun!

"APA kesibukan anakmu, di kandang sapi terus?" tanya tetangga. "Melakukan penelitian bertujuan membuat sapi beranak dua kali setahun!" jelas ayah. "Dua kali setahun?" tetangga tersentak. "Sudah kodratnya sapi beranak satu kali setahun! Mau melawan kodrat? Tak mungkin!" "Dibanding ayam, dulu setelah berumur lebih enam bulan baru bisa dipotong!" jelas ayah. 

"Kini, ayam potong usia 40 hari dipanen!" "Tapi kenapa harus dia paksakan sapi beranak dua kali setahun?" kejar tetangga. "Karena sejak pemerintah membatasi impor sapi bakalan, harga daging sapi naik lebih dua kali lipat dari semula Rp40 ribu/kg menjadi lebih Rp80 ribu/kg!" jawab ayah. "Hitungan pemerintah, stok sapi potong lokal per tahun ada 2,4 juta ekor, kekurangannya 12% saja yang perlu impor! Nyatanya stok lokal meleset hingga harga daging sapi melonjak!"

"Contoh melesetnya stok lokal itu di Lampung, dengan populasi sapi 720 ribu ekor, untuk memenuhi kebutuhan lokal setahun 36 ribu ekor saja kewalahan sehingga harga daging sapi naik dua kali lipat!" timpal tetangga. "Maka itu, untuk menurunkan ke harga semula perlu pasokan sapi dua kali lipat dari realisasi—bukan hitungan—sehingga harus diusahakan sapi beranak dua kali setahun!" tegas ayah.

"Penurunan harga daging sapi mutlak untuk meningkatkan gizi rakyat! Dengan mahalnya daging, konsumsi daging sapi rakyat rendah jauh dari kebutuhan protein semestinya!" "Menurut Menteri Perdagangan Gita Wiryawan, konsumsi daging rakyat Indonesia dewasa ini 2 kg/kapita/tahun, dalam 10 tahun harus naik jadi 20 kg! (Merdeka.com, 22-3-12)" timpal tetangga. 

"Dibanding Malaysia, menurut Wakil Presiden Boediono, konsumsi daging sapinya 47 kg/kapita/tahun (Okezone, 22-6-12), konsumsi daging Indonesia rendah sekali!" "Pantas kita kalah tanding bola dari Malaysia! Bahkan dari Singapura yang penduduknya 4,5 juta!" tukas ayah. 

"Ternyata kalah gizi! Kalau begitu untung ada perbaikan, menurut Menteri Hatta Rajasa, konsumsi daging sapi kita kini telah naik menjadi 2,2 kg/kapita/tahun! (Okezone, 28-11-12). Artinya, kalau konsisten tiap tahun naik 0,2 kg, dalam 225 tahun kita akan bisa menyamai konsumsi daging negeri jiran! Jangka waktu itu bisa dipangkas jika penelitian berhasil membuat sapi beranak dua kali setahun!" ***
Selanjutnya.....

Kompetisi dalam Harmoni!

MERESPONS pidato Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh yang mengajak partai-partai lain untuk berkompetisi dalam harmoni, bukan menjelek-jelekkan partai lain, melainkan justru saling memuji, seorang motivator dan asistennya coba membuat rumusan kunci buat memuji sebuah partai oleh partai lain! 

"Pertama untuk tiga besar, Partai Demokrat (PD), Partai Golongan Karya (Golkar), dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)," ujar motivator. "Coba sebut keistimewaan PD dengan lambang bintang tiga Mercy-nya!"

"Lambang Mercy menunjukkan mesin partai tersebut seperti mobil Mercy, tergolong mesin terbaik di dunia!" tegas asisten. "Dengan itu PD merupakan kendaraan yang amat nyaman, terutama sebagai tunggangan elite dan kader partainya! Di kota-kota besar, bus Mercy juga merupakan angkutan cepat massa (mass rapid transport), dengan kapasitas angkutnya yang cukup besar! 

Tapi merupakan kenyataan, bus Mercy itu belum menjangkau massa perdesaan yang jumlahnya cukup besar di negeri ini!" "Cukup!" tukas motivator. "Menyusul Golkar!" "Pohon beringin, lambang Golkar, secara nyata hingga sekarang masih hidup dengan kokoh di tengah alun-alun kantor bupati, terutama di Jawa!" tegas asisten. 

"Sekokoh pohon beringin itulah Partai Golkar sehingga gonta-ganti zaman pun tetap bertahan dan tetap besar! Daun beringin yang rindang mengayomi amat sejuk dan nyaman orang yang bernaung di bawahnya! Namun, luas ayoman beringin itu relatif terbatas, hingga penuh dikerumuni elite dan kader, sedang massanya bertahan zaman ke zaman menggapai asa kemakmuran di bakar teriknya matahari alun-alun!" 

"Golkar pasti bangga atas militansi massa hasil rumusanmu itu!" ujar motivator. "Lalu PDIP?" "Lambang banteng gemuk menandakan PDIP partai yang gagah perkasa dan berkecukupan!" tegas asisten. "Banteng gemuk juga cerminan kehidupan elite dan kadernya yang makmur sejahtera! 

Namun, PDIP memprofilkan sendiri massa pendukungnya sebagai wong cilik, yang tak kunjung berhasil mereka buat jadi wong besar dan gemuk seperti elite dan kadernya!" "Terbukti, saling memuji partai lain pun tetap menarik didengar massa partai sendiri!" simpul motivator. "Jadi, tampak berkompetisi dalam harmoni bukan mustahil! Suasana politik yang harmonis diperlukan bagi dasar berbangsa yang kondusif, utamanya iklim ekonomi!" ***
Selanjutnya.....

Cucu Mau Menjadi Miliarder!

KAKEK tercengang mendengar usul cucu agar kebun kakek bertanaman durian, rambutan, mangga dan lain-lain diganti tanaman jabon! "Karena harga buah tahunan itu setiap musim panen jatuh, hingga hasil penjualannya selalu mengecewakan!" alasan cucu. 

"Sedang jabon, sekali panen lima tahun per hektare bisa dapat satu miliar rupiah! Dari dua hektare kebun kakek itu kita akan menjadi miliarder!"

"Lantas, kita makan apa selama lima tahun menanti panen jabon?" tanya kakek. "Karena, meski hasil panennya tak selalu memuaskan, dari panen buah itulah biaya hidup keluarga kita selama ini! Kalau pohonnya ditumbang, bisa terguling periuk keluarga kita!" "Kalau menanam jabon biaya hidup keluarga kita bisa didapat dari kredit bank!" kilah cucu. 

"Dari perhitungan lazimnya, sisa hasil panen masih jauh lebih besar dari pelunasan kredit biaya hidup! Itu jelas lebih baik dari hasil panen selama ini yang cuma pas-pasan, bahkan sering harus ikat pinggang, dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarga!" 

"Tapi bagaimana kalau sekarang orang ramai-ramai menanam jabon, nantinya sewaktu panen harga jabon jatuh seperti dialami orang yang ramai-ramai menanam kelapa sawit waktu harganya baik?" timpal kakek. "Untuk itu sebaiknya tak buru-buru membabat pohon buah-buahan yang ada!" 

"Jabon beda, kek!" sela cucu. "Moratorium penebangan hutan berlaku di seluruh dunia, jadi kebutuhan kayu sebagai pengganti atau substitusinya akan terus meningkat, terutama untuk bahan pembuatan kertas seperti jabon!" "Tapi, dari semula punya kebun buah-buahan yang mencukupi kebutuhan keluarga, lalu tiba-tiba bergantung hidup dari kredit bank, apalagi untuk mendapatkan kredit itu pasti sertifikat tanahnya diagunkan ke bank, rasanya aneh sekali!" tukas kakek. "Kalau gagal panen atau harga jatuh utangnya tak tertutupi hasilnya, tanahnya disita bank!" 

"Itu risiko usaha!" timpal cucu. "Ciri bisnis modern itu orang berani mengambil risiko!" "Tapi ini risiko yang tak bisa ditoleransi!" entak kakek. "Meski begitu, keinginanmu menanam jabon tetap bisa ditampung sebagai salah satu tanaman dalam kebun kakek yang berpola repong! Tak sebanyak yang kau inginkan, tapi seperempatnya bisa! Bagaimana?" "Seperempatnya tak bisa jadi miliarder!" keluh cucu. "Tapi jadi jutawan, oke juga!" ***
Selanjutnya.....

Semua Diharap Tutup Mata!

SEORANG abang mendorong becaknya berisi penumpang melawan arus lalu lintas di jalan padat mobil! Melawan arus di situ satu-satunya jalan yang bisa becak lalui dari pangkalan mereka menuju pasar sebagai tujuan utama para penumpang, justru sebagai alternatif menghindari kawasan tertib lalu lintas—sebutan halus buat daerah bebas becak! 

"Secara praktis mereka itu kelompok warga taat hukum, karena pilihan jalan melawan arus itu mereka tempuh sebagai wujud ketaatan pada peraturan kawasan tertib lalu lintas di mana becak dilarang melintas!" tegas Umar.

"Sebaliknya, jika mereka melawan arus hingga cukup mengganggu pemakai jalan yang datang dari arah sesuai peraturan lalu lintas, selain tak ada pilihan jalan lain, becak itu tak melanggar peraturan! Sebab, di pangkal jalan itu tak ada rambu larangan becak melawan arus!" 

"Maka itu becak yang melawan arus itu tidak ditangkap polisi!" timpal Amir. "Demikian pula pemakai jalan lainnya bisa memahami ketika harus jumpa becak melawan arus di lajur jalan kendaraannya! Karena itu, yang terasa cuma kejanggalan, becak bebas melawan arus!" 

"Bersamaan kejanggalan yang jalan bertahun-tahun tanpa solusi itu, semua pihak diharap tutup mata atas ketidakjelasan aturan lalu lintas yang berakibat kesemrawutan itu!" tegas Umar. "Di sisi lain, terkesan seolah warga permisif pada terjadinya pelanggaran hukum lalu lintas dengan membiarkan terus becak melawan arus, padahal secara formal tanpa rambu larangan, mereka tak melanggar hukum!" 

"Begitulah!" tukas Amir. "Padahal, yang terjadi sebenarnya justru pengaturan lalu lintasnya yang kacau, kurang memperhatikan semua kepentingan masyarakat, terutama kaum lemah seperti abang becak sehingga mereka dipaksa harus berjuang melawan arus dan dikorbankan dengan kesan buruk seolah mereka suka melanggar hukum!" 

"Untuk itu, penguasa lalu lintas kota mungkin perlu mengatur ulang aturan lalu lintas di lokasi seperti itu, salah satunya dekat Pasar Bambu Kuning, Bandar Lampung!" tutur Umar. "Pengaturan ulang dimaksud dengan memberi sedikit kemudahan kepada abang becak yang jasanya masih dibutuhkan utamanya oleh ibu-ibu tua yang lemah turun dari angkot atau bus di ujung Jalan Teuku Umar tak mampu jalan kaki menyeberang menuju Bambu Kuning!" ***
Selanjutnya.....

Cucu Pelaut Mengail di Kolam (3)

"JALESVEVA JAYAMAHE! Di lautan kita jaya! Itulah semboyan pelaut, yang tak perlu diragukan merupakan jaminan kesejahteraan masa depan bangsa jika ditangani secara proporsional!" tegas nelayan. 

"Itu berarti secara mendasar digarap skenario pengembangannya, mulai memajukan keilmuannya, mendorong proses pendidikannya, dan merintis aplikasi teknologi, bisnis dan pemantapannya sebagai kekuatan ekonomi bangsa yang berbasis kesejahteraan seluruh rakyat!"

"Semua itu harus bertolak dari political will penguasa yang didukung komitmen semua komponen bangsa, terutama elitenya!" timpal teman. "Suatu kemauan politik dan komitmen elite yang tulus, bukan seperti selama ini yang terkait dengan kepentingan rakyat, cuma retorika bahkan sandiwara!" "Harapan sempat muncul sekejap di era Gus Dur, tapi karena kurang conform dengan kepentingan elita dalam skala luas, bukan hanya gagasan memprimadonakan kelautan, malah sekalian bersama Gus Dur-nya tergusur!" tukas nelayan. 

"Pengalaman itu menunjukkan, kemauan politik penguasa saja tak cukup!" "Terkait kepentingan elite yang beraneka corak dan ragamnya, perlu proses rasionalisasi lewat semacam Renaisans, atau bahkan Revolusi!" timpal teman. "Artinya, mendorong pemikiran dan orientasi mengarah ke laut sebagai sumber kemakmuran bangsa tak mudah! Selain tokoh yang mumpuni untuk memelopori usaha itu masih langka, perlu waktu untuk sampai mencapai kondisi kepepet baru bisa diharap karena terpaksa, tak ada pilihan lain!" 

"Posisi kelautan sebagai pilihan terakhir dari berbagai dimensi itu akan berpengaruh pada penderitaan nelayan jadi berkepanjangan, dengan realitas kemiskinan dan kesengsaraan yang juga semakin dalam!" tegas nelayan. "Hal itu memang tak cukup kuat sebagai pemicu Renaisans maupun Revolusi yang dibutuhkan bangsa ini untuk mengubah orientasinya dari pertumbuhan ekonomi! Maka itu, dont cry for nelayan, Indonesia!" 

"Tak perlu cengeng!" entak teman. "Dua per tiga wilayah negeri ini laut, sehingga dengan mengabaikan esensialnya potensi laut berarti melupakan dua per tiga sumber kesejahteraan bangsanya! Jika sejauh ini mayoritas warga bangsa belum sejahtera, karena memang cuma sepertiga dari potensi wilayah negerinya yang dimanfaatkan optimal!" *** (Habis)
Selanjutnya.....

Cucu Pelaut ‘Mancing’ di Kolam! (2)

"MASALAHNYA dewasa ini kita terjebak dalam kondisi yang sudah sedemikian rupa adanya, hasil proses sejarah yang setapak demi setapak menjauhkan bangsa dari orientasinya terhadap pengutamaan kelautan!" tegas teman. 

"Bukti untuk itu mudah, lihat kehidupan nelayan yang telantar di seantero nusantara! Kelautan cuma ditangani sebagai salah satu sektor, padahal menyangkut dua per tiga wilayah negara!" "Kuperhatikan di sekolah juga tak ada mata pelajaran khusus tentang kelautan, pelajaran tetap yang diberikan teratur, berlanjut, dan berjenjang tingkat pengetahuannya!" timpal nelayan.

"Bahkan, untuk muatan lokal saja pun! Padahal, secara universal kelautan sebagai ilmu (oseanologi) bukan hal baru! Tapi di Indonesia, sebatas pusat studi pun langka!" "Itu dia!" tukas teman. "Indonesia jelas negara nusantara terpenting di dunia, sewajarnya menjadi pelopor ilmu kelautan! Keinginan itu terkuak saat Presiden Gus Dur yang singkat itu, kini kembali redup!" 

"Disimak dari pandangan Gus Dur, pemerintah Indonesia sejak awal bergaya Mataram, berorientasi daratan-pedalaman!" timpal nelayan. "Lebih ideal sebenarnya gaya Sriwijaya yang melanglang samudera, seperti diteruskan Majapahit dengan penguatan sisi daratan dan peran ekonomi pesisir!" 

"Begitulah diskursus panjang yang tak kunjung memikat penguasa untuk meredefinisi konsep pembangunan akibat dikejar tuntutan pertumbuhan ekonomi yang dijadikan ukuran sukses agar mendapat pujian dari negara-negara maju!" tegas teman. 

"Tekanan pada pertumbuhan itu bertujuan agar kemampuan negeri kita membeli produk-produk mereka terus meningkat sesuai kebutuhan mereka! Akibat terus mengejar pertumbuhan melalui leading sector—keuangan, pertambangan dan energi, industri perakitan, dan perdagangan, nelayan yang tak leading untuk pertumbuhan ditinggalkan!" 

"Begitulah, secara strategis aspek keilmuan dan pendidikan kelautan tak membersitkan harapan ke masa depan! Sedang secara praksis, dalam konsep dan perencanaan pembangunan nasional aspek kelautan relatif cuma basa-basi—bandingkan besar dan luas cakupan anggarannya dengan sektor-sektor lain!" ujar nelayan. "Cucu pelaut pun akan makin mapan mengail di kolam karena di laut sendiri pun ikannya sudah habis dikeruk nelayan asing dengan kapal peralatan ultramodernnya!" ***
Selanjutnya.....

Cucu Pelaut Mengail di Kolam!

SEORANG nelayan tersentak, saat ke kota diajak teman mengail di kolam. “Mengail di kolam?” tukasnya. “Kalian di kota ini mengerdilkan jiwa generasi muda! Cucu moyang pelaut gagah berani penakluk samudera, jiwanya kalian bonsai dengan mengail di kolam yang tanpa tempaan diterjang badai ganas!” Temannya terengah mendengar entakan tamu. 

“Sungguh mati, kami tak berpikir sejauh itu dengan hobi kami mengail di kolam!” ujarnya. “Mengail di kolam kami lakukan sekadar killing time, melepas penat kerja sepekan, relaksasi untuk bekerja kembali sepekan ke depan! Jadi, tak ada maksud mengerdilkan jiwa generasi muda dari tantangan nyata warisan nenek moyang menaklukkan samudera!”

“Tapi kenyataannya itulah yang terjadi!” tegas nelayan. “Cakrawala pandangan generasi muda dipersempit dari luasnya samudera tinggal pada sepetak kolam ikan! Tanpa tantangan sebanding dengan realitas yang menghadang, dicekoki fantasi kemudahan meraih ikan-ikan gemuk yang di lepas ke kolam! Kalau tujuannya hanya menangkap ikan yang telah dimasukkan ke kolam, buat apa pakai pancing? Pakai seser saja, setiap angkat bisa beberapa ekor!” 

“Kalau diseser, tak ada seninya!” keluh teman. “Justru saat ujung kail terasa disambar ikan itulah sensasi asyiknya mengail di kolam!” “Omong kosong!” tukas nelayan. “Tanpa sensasi sentuhan ikan itu kail purse seine menaikkan ikan ke kapal dalam hitungan detik per ekor! Memancing di kolam menghabiskan waktu secara sia-sia sembari berharap kailnya disentuh ikan yang sudah disediakan nian! Itu fantasi yang absurd, tak menambah cerdas, apalagi menanamkan geloranya semangat juang nenek moyang penakluk samudera!”  

“Cara berpikir orang kota yang dicukupi aneka fasilitas kemudahan cara hidup modern jelas beda dengan kalian di pelosok yang masih hidup seperti nenek moyang, listrik saja tak ada!” kilah teman. “Karena kalian penentu arah bangsa difasilitasi serbakemudahan sebagai konsumen, bangsa kita semakin tertinggal dan tergantung pada bangsa-bangsa pembuat fasilitas tersebut!” tegas nelayan. 

“Sementara nelayan kita masih pakai perahu nenek moyang, nelayan asing menguasai samudera dengan kapal penangkap merangkap pabrik berjalan memenuhi pesanan segala merek ikan kaleng di pasar dunia! Dan kalian, malah memancing di kolam!” ***
Selanjutnya.....

Keyakinan Penjual Es Cendol!

SEORANG sopir angkot goyang kepala kagum melihat seorang penjual es cendol mendorong gerobaknya untuk jualan di musim hujan yang turun berulang pagi, siang, dan malam! "Gaya jalannya yakin sekali akan tetap ada pembeli es cendolnya!" tukasnya. 

"Jelas, hanya keyakinan membaja yang bisa membuat banyak warga masyarakat kita tetap berusaha di tengah kondisi tak kondusif seperti penjual es cendol itu!" timpal penumpang di sampingnya. "Keyakinan begitu ditopang oleh iman yang absolut bahwa sepanjang Tuhan masih memberinya napas, maka Tuhan akan memberinya rezeki!" "Tapi menurut logikanya, di musim hujan yang dingin begini tak mungkin ada orang membeli es cendol yang dingin itu!" tegas sopir.

"Logisnya begitu!" timpal penumpang. "Tapi jika Tuhan menghendaki agar si penjual es cendol mendapat rezeki, justru di musim hujan yang dingin mencekam banyak perempuan jadi mengidam! Orang mengidam—tanda awal kehamilan—sering berperilaku aneh, musim dingin justru ingin minum es cendol! Belum lagi kebiasaan orang kita suka iseng, dingin pun tak kepalang minum es cendol!" 

"Mengidam dan iseng itu bisa berpadu, semisal pada pengidam jabatan!" potong sopir. "Itu terjadi pada seseorang saat mengidam posisi hakim agung, pada seleksi di DPR ia iseng selayak orang bercanda, mengusulkan agar hukuman bagi pemerkosa diperingan, karena menurut dia, yang memerkosa dan yang diperkosa sama-sama menikmati!" 

"Itu contoh banyak perilaku aneh tak logis di negeri kita, di antaranya ada yang bisa jadi sumber rezeki bagi warga yang berusaha pada kondisi tak kondusif!" tukas penumpang. "Seperti perilaku iseng orang-orang berduit yang membuat orangnya hidup royal membeli barang yang tak benar-benar dia perlukan, menjadi sumber rezeki bagi orang-orang yang jualan barang suplementer—bukan kebutuhan pokok—dengan keyakinan yang sama dengan penjual es cendol, akan ada orang datang membeli dagangannya! Di balik semua itu, kami juga kagum pada kalian sopir angkot!" "Kenapa kagum?" kejar sopir. 

"Sejak ada bus kota baru, penumpang angkot kalian sering terlihat cuma dua atau tiga orang, tapi kalian tetap jalan!" ujar penumpang. "Pasti karena kami punya keyakinan sekuat penjual es cendol!" tegas sopir. ***
Selanjutnya.....

Menggapai Takdir Terbaik!

“KASIHAN sekali!” entak cucu menyimak berita televisi. “Dua petugas kebersihan ditemukan tim SAR tewas terjebak banjir di basement dua lantai di bawah tanah sebuah plaza di Jalan Thamrin, Jakarta! Di basement itu ditempatkan ruang petugas kebersihan—cleaning service—yang ditenggelamkan air bah Rabu lalu!” “Ajal di tangan Tuhan!” timpal kakek. “Di kasur pun kalau saatnya tiba, ajal tak bisa ditolak!” 

“Takdir yang membedakan tewas terjebak banjir di basement gedung pencakar langit dengan wafat di kasur!” tegas cucu. “Takdirnya petugas kebersihan sedemikian karena arsitek maupun pemilik gedung gegabah basement-nya aman 100% dari limpahan banjir, sehingga menempatkan markas petugas kebersihan di lantai bawah tanah itu!”

“Tapi arsitek tak bisa sepenuhnya disalahkan karena pemerintah tak memberi peringatan serius ancaman banjir pada setiap basement di Jakarta, sekalipun Jakarta saat bernama Batavia dibangun dengan konsep Amsterdam, sebuah kota di bawah permukaan laut!” timpal kakek. 

“Konsep itu tak menjadi acuan pembangunan Batavia masa kini, sehingga terjadilah banjir besar Rabu akibat terjangan rob—pasang ekstratinggi Teluk Jakarta—berpadu dengan curah hujan tinggi di wilayah Jakarta yang airnya tertahan tak bisa mengalir ke laut, diperparah banjir kiriman dari hulu, Puncak dan Bogor!” “Begitulah situasi di balik takdir malang petugas kebersihan, bertolak dari kondisi kepemimpinan pembangunan Ibu Kota yang serbasalah!” tegas cucu. 

“Namun, warga selaku pribadi maupun rakyat dari masyarakat bangsa tak boleh pasrah, bersikap fatalistik menyerah pada takdir yang sedemikian! Karena Tuhan memberi domain kepada manusia untuk berusaha, meski harus ingat domain Tuhan menentukan hasilnya! Tuhan menyuruh manusia mengubah nasibnya, berusaha keras menggapai takdir terbaik, baik per seorangan maupun bersama sebagai sebuah kaum!” 

“Usaha untuk itu dimulai dari dorongan kepada pribadi setiap warga agar sejak kecil belajar bersungguh-sungguh supaya bisa menggapai takdir lebih baik dari mereka yang disekap bermarkas di basement!” tukas kakek. “Lalu para pemimpin tak lupa membuat aturan buat menjamin keamanan buat memuliakan sesama manusia! Bukan cuma mau kedudukan tinggi dan harta melimpah, melainkan mengorbankan dan merendahkan martabat sesama manusia!” ***
Selanjutnya.....

Persaingan Studi Banding!

DUA rombongan studi banding legislatif lain daerah asal Indonesia bertemu di peron, ruang tunggu penumpang Gerbong 15 dan 16 kereta peluru Shinkansen, Tokyo. Kedua gerbong bernomor itu dikhususkan untuk memuliakan perokok pada setiap rangkaian kereta api yang berkecepatan 300 km per jam tersebut. 

"Luar biasa dihargainya perokok di Jepang ini!" ujar legislator dari rombongan satu. "Studi banding kemari amat tepat untuk menyusun perda memuliakan perokok! Lihat asbak-asbak besar dari plat baja bersih berkilat! Tak perlu khawatir puntung melimpah ke lantai!"

"Lebih tepat kami, studi banding untuk perda keamanan dan ketepatan waktu transportasi publik!" timpal rombongan dua. "Sejak awal operasinya menyambut Olimpiade Tokyo pada 1 Oktober 1964, sampai sekarang tak ada kecelakaan berarti dialami Shinkansen! Untuk deteksi dini gempa bumi dilengkapi peranti Fastech 260, hingga saat gempa besar Chuetsu Oktober 2004, meski kereta keluar rel tak ada korban tewas karena kendaraan darat supercepat itu sempat lebih dahulu berhenti!" 

"Untuk ketepatan waktunya juga!" timpal teman rombongan dua. "Pada 2008 pengelola melaporkan rata-rata Shinkansen tepat dalam 0,1 menit, atau 6 detik! Itu dihitung dari 160 ribu perjalanan semua rutenya. Rekor sebelumnya dari 1997 tercatat 0,3 menit atau 18 detik! Bandingkan dengan transportasi publik di negeri kita, bahkan pesawat udara pun bisa di-delayed hitungan jam!" 

"Keamanan dan ketepatan waktu transportasi publik itu penting untuk negeri kita, tapi masih jauh dari kemampuan mewujudkannya!" tegas rombongan satu. "Karena itu, kalian bisa sia-sia membuat perda karena tak mungkin dipenuhi mayoritas operator!" 

"Tapi kita harus berusaha ke arah itu, agar jelas orientasi ke depannya!" tegas rombongan dua. "Sebaliknya perda merokok, di Jepang ini tanpa perda orang tertib merokok pada tempatnya! Di negeri kita, ada perda larangan merokok di ruang publik dengan ancaman denda pun orang tetap merokok di sembarang tempat!" "Itu karena di negeri kita prohibitionistik, asal melarang saja, tak disiapkan tempat alternatif seperti Gerbong 15 dan 16 Shinkansen ini!" tegas rombongan satu. 

"Kita cuma melarang dan melarang, tanpa savety valve—saluran pengaman—bagi kebiasaan warga yang di negeri lain dihormati, bahkan dimuliakan!" ***
Selanjutnya.....

Ubah Klise Jadi Realitas! (2)

"APAKAH hanya komisi resmi dari perusahaan angkutan cukup buat membiayai usaha dan hidupmu?" cecar ayah. "Sudah kukatakan, itu langkah awal dalam menciptakan peluang dengan mencari relasi atau mitra bisnis!" jawab anak. "Pertama jelas, relasi atau mitra baru itu masih coba-coba mengikuti saran dan jalan kita! Barulah kalau terbukti dia mendapatkan hasil lebih baik dari sebelumnya, ia mulai tertarik berhubungan dengan kita! Ketertarikan itu menjadi dasar kuat bagi kita untuk membangun kepercayaan mitra bisnis tersebut pada usaha kita! Artinya, setelah langkah awal tadi, kita lanjut ke langkah berikut membangun kepercayaan!" "Bagaimana pula itu dilakukan?" kejar ayah. 

"Misal, kita ajak diskusi tentang biaya proses produksi yang lebih murah tapi hasilnya jauh lebih baik!" jelas anak. "Seperti pakai pupuk organik cair yang secara keseluruhan jauh lebih murah daripada pupuk kimia! Manfaatnya ganda, bukan cuma menyuburkan tanah, melainkan juga membersihkan tanah dari segala bentuk bakteri dan virus yang mengganggu tanaman! Pupuknya juga menumbuhkan plankton yang terus berkembang memberi kesuburan pada tanah mencukupi semua kebutuhan tanaman sepanjang musim! Dengan kepraktisan kerja memelihara tanaman dan hasil panen yang lebih baik dari sebelumnya, kepercayaan itu bisa terbangun lebih baik!" 

"Dan kau tak mencari untung dari pupuk cair yang kau promosikan itu, melainkan cukup komisi resmi dari pabriknya?" potong ayah. "Betul!" tegas anak. "Kalau kepercayaan mitra bisnis sudah baik, selanjutnya 'terserah kita'! Itu prinsipnya! Pada tahap awal itu tak perlu terlalu banyak mitra bisnis yang dirangkul, meski tetap diusahakan maksimal! Karena, setelah terbukti semua usaha kita memberi manfaat lebih baik pada mitra bisnis, follower akan bertambah dengan sendirinya!" "Berarti usahamu bukan berburu laba, melainkan kepercayaan!" tukas ayah. "Kepercayaan itu fondasi usaha, sedang laba buah dari kepercayaan!" tegas anak. "Tanpa kepercayaan, laba meski bisa didapat sifatnya sementara! Sedangkan dengan kepercayaan, sepanjang kepercayaan sebagai pohonnya masih ada, laba sebagai buahnya selalu bisa diharap! Dalam era jasa dewasa ini banyak usaha hidup cukup dari komisi resmi, semisal dari travel agensi sampai stasiun pompa bensin!" ***
Selanjutnya.....

Ubah Klise Menjadi Realitas!

USAI diwisuda S-1, bersama kedua orang tua yang menghadiri wisudanya seorang pemuda langsung pulang kampung! 

"Apa telingamu tahan mendengar celoteh sinis warga desa, susah payah menuntut ilmu di kota, akhirnya cuma pulang kampung menjadi orang desa kembali?" tanya ayahnya. "Karena lazimnya, orang sekolah tinggi bekerja dan tinggal di kota, hidup dengan gaya modern!"

"Kenapa peduli ocehan orang?" jawab anak. "Pulang kampung bukan akhirnya, tapi justru awal! Sedang akhirnya, nanti di ujung setelah langkah awal yang saya mulai dari desa!" "Awal seperti apa?" kejar ayah. 

"Awal usaha apa adanya, sederhana!! Modalnya cukup dari KUR--kredit usaha rakyat!" jelas anak. "Intinya, kalau di kota cuma bisa makan gaji karena untuk memulai usaha selain modal, tempat dan fasilitas lainnya tak punya, di desa kita bisa membuka usaha, menciptakan lapangan kerja dan menggaji orang!" 

"Daripada cari kerja lebih baik menciptakan lapangan kerja itu cuma klise!" tukas ayah. "Tantangannya justru di situ, bagaimana bisa mengubah klise menjadi realitas!" tegas anak. 

"Untuk membuka usaha hal pertama yang penting adalah tekad, lalu kemampuan menciptakan sendiri peluang!" "Menciptakan peluang? Kamu pikir mudah?" entak ayah. "Banyak usaha baru gagal karena tak mendapat peluang, semua peluang sudah terisi alias tertutup! Kau gegabah pula mau menciptakan peluang!" 

"Kenapa belum apa-apa ayah patah arang?" tukas anak. "Untuk memulai usaha pengumpul hasil bumi misalnya, peluang kita ciptakan lewat membuka informasi berapa harga pada pembeli utama di kota, berapa ongkos transpor dan kuli bongkar muat, lantas kepada pemilik barang kita jamin menerima utuh sepenuhnya semua penjualan hasil bumi miliknya, tanpa kita ambil satu sen pun! Jadi, kita cuma membantu sebagai penunjuk jalan baginya untuk mendapatkan penjualan hasil panen yang maksimal! 

Pasti dia akan memilih kita sebagai mitra bisnisnya!" "Lantas kau dapat apa?" tanya ayah. "Cukup komisi resmi dari perusahaan angkutan sebagai pencari muatan buat truknya!" tegas anak. "Kalau tak serakah, banyak peluang bisa diiptakan! Sebagai pedagang pengumpul jangan mau bagian lebih besar dari yang panen, jelas peluangnya tertutup!" ***
Selanjutnya.....

Bersyukur Ditolong Tuhan

PAK Ogah yang sukarela mengatur lalu lintas di putaran balik arah didatangi seorang sopir. "Kembalikan uang ratusan ribu yang aku salah ngasih tadi!" ujar si sopir. "Aku disuruh nyonya besar beli sarapan, saat mau membayar uang ratusan ribu yang dia beri tak ada, tinggal ribuan yang seharusnya kuberikan padamu! Berarti ratusan ribunya kukasihkan kamu!" 

"Ntar kulihat dulu di sakuku!" jawab Ogah. "Tak mengaku terima uang ratusan ribu pula kamu!" entak sopir langsung merogoh saku celana Ogah. "Ini dia uangnya! Sok tak sadar kamu, ada orang salah ngasih uang!"

"Aku memang tak melihat uangnya!" jelas Ogah. "Karena setiap terima, uangnya kuremas dan langsung kumasukkan kantong!" "Orang seperti kamu tak bisa dipercaya!" tegas sopir. "Kalau tak kurogoh sendiri, pasti kau tak mengaku terima uang ratusan ribu!" "Dasar! Dia yang salah ngasih, orang yang dituduh tak jujur!" gerutu Ogah. "Orang yang hidup dari recehan seperti kita memang mudah jadi alamat prasangka buruk, dicap tak bisa dipercaya, tak jujur dan lainnya!" timpal teman Ogah mengatur lalu lintas saat makan siang di warteg. 

"Namun, bersyukurlah kita telah ditolong Tuhan, Dia selamatkan dari kemungkinan uang besar yang salah ngasih tadi hasil korupsi dari bos si sopir! Bisa jadi itu jalan Tuhan menjaga kebersihan darah daging tubuh kita dari unsur-unsur yang bisa menjadi kayu api neraka!" "Semoga begitu!" sambut Ogah. "Tapi aku kesal diremehkan, dituduh tak jujur!" "Itu ujian berat buat kamu untuk bersabar! Dan kamu lulus!" tegas teman. "Kalau sakuku yang dirogoh paksa tadi, bisa kutinju dia!" 

"Tak boleh begitu!" timpal Ogah. "Jangankan sampai berkelahi dengan sopir! Bersikap kasar saja bisa membuat pemakai jalan tak nyaman dengan kehadiran kita, bisa merugikan para pengatur lalu lintas partikelir umumnya! Karena, nantinya bisa dianggap mengganggu hingga harus dibersihkan dari jalanan!" "Memang, apa pun pekerjaan kita harus kita lakukan sebaik-baiknya dengan menjaganya dari segala bentuk pencemaran perilaku dan moral, sebagai rasa sayang dan hormat pada sumber penghidupan kita!" tegas teman. "Pencemaran terhadap kehormatan pekerjaan itu yang dilakukan koruptor sehingga jenisnya harus dibasmi dari muka bumi!" ***
Selanjutnya.....

Pinggang Dandang Ramping!

TUKANG patri mendapat pesanan membuat dandang berpinggang ramping, ukuran besar untuk kebutuhan menanak nasi buat orang banyak saat pesta. “Kenapa pinggang dandang harus ramping?” ia tanya pemesan. “Bukankah jauh lebih mudah membuat dandang yang bulat lurus saja?” 

“Saya juga tak tahu kenapa pinggang dandang harus ramping!” jawab pemesan. “Tapi sudah tradisi, pinggang dandang dibuat ramping! Juga kukusan dari bambu bentuknya kerucut mengecil ke bawah, secara teknis memasaknya
pakai uap air sama dengan dandang, nasinya di tempat yang mengerucut ke bawah!” “Pasti itu salah satu produk genius lokal nenek moyang kita!” timpal tukang patri. 

“Dengan bentuk begitu, penampang api di bawah luas sehingga mendapatkan pembakaran lebih besar, sedangkan uapnya dibuat terfokus agar uap panas yang dipancarkan ke atas jadi lebih padat membuat lebih cepat masak!” “Kemungkinan begitu masuk akal!” sambut pemesan. 

“Tak kalah penting bentuk dandang, yang kegunaannya terutama untuk menanak nasi waktu pesta, dibuat sedemikian untuk mengingatkan orang justru saat pesta, ketika makanan berlimpah, agar mengencangkan ikat pinggang, senantiasa menjaga kesehatan!” 

“Dalam skala lebih luas, kehidupan berbangsa dan bernegara, peringatan leluhur lewat bentuk dandang itu bahkan penting sekali” tegas tukang patri. “Agar, meski sumber alam negeri kita berlimpah kita harus bertahan tetap mengencangkan ikat pinggang, seperti tetapnya bentuk pinggang dandang!” 

“Sayangnya, para pemimpin generasi lalu tak memperhatikan lambang-lambang maupun isyarat-isyarat yang dibuat leluhur di seputar kehidupan sehari-hari mereka!” ujar pemesan. “Mereka mabuk dengan kekuasaan atas segala sumber daya alam yang berlimpah, dikuras dan dihambur-hamburkan dalam pesta-pesta yang memberi kepuasan sesaat, tanpa ingat akan nasib anak-cucunya kelak!” 

“Meski itu kelakuan generasi terdahulu, elite sekarang harus bersikap lebih dewasa justru di tengah realitas sumber daya yang serbaterbatas!” tegas tukang patri. “Jangan pula sudah pun sumber serbaterbatas, elitenya tak mengencangkan ikat pinggang, rakyatnya malah tak kebagian bahkan untuk hidup sebatas garis kemiskinan pun!” ***
Selanjutnya.....

Rahasia Sukses Pelukis Wajah!

SEORANG pelukis mangkal di taman melayani pengunjung yang minta disketsa wajahnya. Di hari libur banyak peminat, mereka siap antre dengan mengatur nomor giliran sendiri. Meski ia tak menetapkan tarif, orang yang puas memberinya Rp100 ribu atau lebih sketsa wajahnya yang ia garap sekitar 30 menit itu. 

"Apa rahasia sukses Anda?" tanya wartawan dalam wawancara untuk penulisan profilnya. "Anda saksikan sendiri!" jawab pelukis. "Semua puas menerima sketsa wajahnya! Mungkin karena sketsa yang saya buat tak terlalu jauh berbeda dari wajah aslinya!"

"Bagaimana mereka bisa memastikan sketsa Anda mirip wajahnya?" kejar wartawan. "Mereka kan setiap hari becermin!" tegas pelukis. "Tentu mereka bisa menilai sketsanya sungguh merupakan gambar asli wajahnya!" "Kalau sketsa Anda benar-benar mirip wajahnya yang asli, kenapa yang wajahnya jelek, seperti perempuan yang solekan wajahnya menor tadi, juga puas?" tanya wartawan. 

"Soal jelek, cantik, tampan itu subjektif, citarasa pribadi setiap orang!" tegas pelukis. "Anda nilai jelek, kalau dia sendiri menilai dirinya cantik atau tampan, yang berlaku penilaian subjektif dirinya! Tentu ia puas dengan apa yang dia anggap terbaik atas dirinya!" 

"Aku tak yakin orang puas kalau wajah jeleknya dilukis apa adanya!" tukas wartawan. "Kalau itu, kita wajib mengikuti ajaran agama!" tegas pelukis. "Tak boleh mengungkap apalagi menonjolkan kejelekan orang! Sebaliknya, kita harus mengangkat dan menonjolkan kebaikan dan kelebihannya!" 

"Berarti itulah rahasia sukses Anda! Mengikuti dengan taat ajaran agama!" sambut wartawan. "Kejelekan pada hidung, misalnya, Anda tutupi dengan shadow seperti dilakukan pada hidung foto model! Bibir memble diberi garis penegas palsu seperti lazimnya solekan masa kini! Hasil akhirnya, wajah yang Anda sketsa jadi tampak ideal tanpa mengubah dasar wajah aslinya!" 

"Itu justru model riasan gaya posmo—post modernist—di mana wajah masa kini dibuat menjadi harmonis dengan hyperreality—penegasan riasan yang menciptakan kesan ideal semua unsurnya!" tegas pelukis. 

"Hyperreality itu realitas buatan yang diciptakan lewat kesan—seperti kesan yang diciptakan media seorang tokoh itu baik, dermawan! Padahal, kesan di media itu bisa jadi digenjot untuk menutupi sejati dirinya koruptor!" ***
Selanjutnya.....

Tangkal Generasi Perusak!

PAK Guru mengamati sejumlah anak yang bersaing mengejar layang-layang putus dengan galah di tangan. Saat sebuah layang putus, mereka berkejaran menuju tempat jatuhnya layang. Di titik itu Pak Guru melihat kejadian luar biasa. Layang yang telah terkait galah seorang anak dicolok galah anak lain! Bahkan setelah layang dipegang peraihnya robek direbut anak lain! "Kenapa Pak Guru goyang kepala?" tanya pria yang dari tadi memperhatikannya. "Jauh berbeda dengan zaman saya belia dulu!" jawab Pak Guru. "Dulu di ujung galah kami ikat cabang perdu dari belukar! Dengan perdu di ujung galah, sasaran pertama adalah benang layang yang putus untuk digulung sampai layang rapat ke perdu secara utuh! Zaman itu, kalau ada yang berhasil meraih layang, anak lain menghormati dengan tak merebutnya!" "Aturan tak tertulis itu kini tak berlaku lagi!" timpal pria. 

"Ujung galah tak pakai perdu lagi untuk menjaga keutuhan layang yang didapat, tapi jadi tajam kalau kena layang rusak! Layang rusak itu diperebutkan hingga tak bisa dipakai lagi! Mereka puas bukan karena dapat layang utuh, tapi karena berhasil merusaknya!" "Apakah itu pertanda hadirnya generasi perusak?" kejar Pak Guru. "Simpul generasi perusak itu justru mahasiswa, seperti tayangan televisi, sering melancarkan aksi destruktif!" jawab pria. "Dalam masyarakat gejalanya justru lebih serius! Jika menangkap begal, warga bukan saja membakar motor begal, malah membakar hidup-hidup begalnya!

 Kalau kebetulan polisi sempat mengamankan begal yang sudah dihajar warga, mengevakuasi begalnya ke kantor polisi sukar! Rumah tempat polisi menahan begal dikepung massa!" "Itu karena rakyat sudah tak percaya proses hukum, jadi main hakim sendiri!" tegas Pak Guru. "Korelasinya terlihat pada anak-anak, tak pakai aturan saat bersaing merebut layang! Lewat anak-anak itu tecermin akar gejalanya, tak menghargai usaha yang berhasil meraih berkat kelebihan yang dimiliki (galah lebih panjang) maupun keberuntungan (titik tempat meraih yang tepat)." "Berarti guna menangkal merebaknya generasi perusak, selain lewat memulihkan kepercayaan rakyat pada proses hukum, perlu ditumbuhkan tiga nilai itu sejak belia—menghargai usaha, kelebihan, dan keberuntungan orang lain!" ujar pria. "Tanpa peran ketiga nilai itu, merebaknya generasi perusak sukar ditangkal!" ***
Selanjutnya.....

Tidak Percaya Politikus

BUS rombongan politikus meninjau kantong kemiskinan di daerah
terpencil mengalami musibah. Tapi baru setelah hari ketiga tak ada kabar dari rombongan, barulah orang di Ibu Kota menduga ada yang tak beres! Pencarian pun dilakukan.

Karena tujuannya jelas, heli pencari segera menemukan lokasi kecelakaan bus. Namun, ketika mendarat mereka terkejut, jenazah para politikus sudah dimakamkan warga daerah terpencil itu."Karena sudah tiga hari meninggal, kalau tak dikebumikan jadi bangkai!" jkelas warga pada tim pencari. "Semua kami beri tanda dengan tulisan namanya, sesuai identitas di saku!"

"Apakah bisa dipastikan semua politikus tewas dalam kecelakaan ini?" tanya tim pencari."Sebenarnya ada juga yang mengaku belum meninggal!" jawab warga. "Tapi Bapak tahu sendirilah, perkataan politikus sering tak bisa dipercaya!""Waduh!" entak tim pencari. "Bapak-bapak bisa dapat masalah! Kalian harus buktikan bahwa perkataan politikus tak bisa dipercaya!"

"Gampang! Buktinya banyak! Terutama dalam kasus korupsi!" tegas warga. "Saat disebut tersangka korupsi dirinya terlibat, mereka membantah dengan melecehkan tersangka sebagai pembohong, lalu menyatakan ucapan tersangka itu tak bisa dipercaya! 

Tapi setelah dirinya dapat giliran dijadikan tersangka oleh KPK dan kasusnya disidangkan, pengadilan membuktikan bersalah dan dijatuhi hukuman penjara maupun denda! Semua kasus politikus yang sedemikian jelas membuktikan, perkataan politikus tak bisa dipercaya!"

"Tapi tak bisa disamaratakan semua politikus tak bisa dipercaya!" tegas tim. "Seperti para politikus yang memilih meninjau kantong kemiskinan di daerah terpencil ini, justru ketika rekan-rekan politikus lainnya ramai-ramai studi banding akal-akalan ke luar negeri, seperti studi peternakan ke Kota Paris yang tak ada ternaknya! Dengan itu asumsi warga daerah ini mengenai politikus bisa keliru!""Tentu saja bisa keliru!" timpal warga. 

"Tapi kerja politik bergantung pada mayoritas! Setiap putusan sesuai kehendak mayoritas yang tak bisa dipercaya itu! Hasil kunjungan minoritas ke kantong kemiskinan yang dilakukan setiap priode pun tak mengubah nasib warga miskin, karena prioritasnya disisihkan mayoritas!" ***
Selanjutnya.....

Anak Meniru Bahasa Babu!

SEPASANG suami istri berkunjung ke rumah teman membawa dua anaknya, yang langsung gabung bermain dengan anak tuan rumah. Sambil melayani tamu, rupanya nyonya rumah memperhatikan anak-anak bermain. "Bagaimana sih, Jeng, cara mendidik anak-anak supaya bicaranya bisa sopan begitu? Dialek bahasa Indonesianya juga lurus, seperti dalam film!" tanya nyonya rumah ke tamunya. 

"Anak-anak saya ngomongnya kasar, ikut teman-teman mainnya di gang kampung kami!" Nyonya tamu terkesiap, baru itu mengetahui bahasa anaknya sopan, jauh lebih baik dari anak-anak sahabatnya itu. "Pendidikan khusus untuk bahasa sih tak ada!" jawabnya. "Mungkin ikut cara bicara orang-orang di kompleks perumahan kami! Sebab, kami sendiri, suami-istri berangkat kerja bakda subuh, mereka belum bangun, pulang kerja bakda isya mereka sudah tidur!" 

"Guru bahasa sejak mereka mulai belajar bicara jelas pengasuhnya!" timpal suaminya. "Diasuh baby sitter?" kejar nyonya rumah. "Bukan, babu biasa!" jawab tamu. "Kami dapat lewat tetangga, anak warga sekampungnya! Pengasuhnya itu sudah tamat SMP, tapi karena orang tuanya tak mampu tak lanjut sekolah!" "Berarti bahasa anakmu yang sopan itu meniru pengasuhnya, bahasa tradisi babu!" simpul tuan rumah. "Realistis saja, bahasa anak kalian lebih baik dan itu hasil asuhan babunya! Untuk itu, karena tak bisa dielakkan terutama oleh keluarga yang suami-istri bekerja mau tak mau harus menyerahkan anaknya pada babu, peran babu amat besar dalam pendidikan usia amat dini, sejak belajar bicara!" "Maksudmu kualitas generasi mendatang tak terlepas dari peran babu sehingga perlu ada pembinaan khusus terhadap para babu mulai bahasa, pengetahuan tentang pengasuhan anak, dan hal terkait lainnya?" sambut tamu.

 "Tentu bukan sejenis sertifikasi dan dijadikan syarat untuk bekerja, melainkan pembinaan dilakukan kepada mereka yang telah bekerja sebagai babu pengasuh anak majikannya!" "Kegiatan pembinaan babu itu layak dijadikan program Dinas Tenaga Kerja sebagai bagian dari pelayanan terhadap tenaga kerja, yang demi pekerjaannya harus meninggalkan anak-anaknya diasuh babu di rumah!" tegas tuan rumah. "Prakteknya Dinas Tenaga Kerja bisa dibantu LSM demi meningkatkan kualitas generasi mendatang sejak usia amat dini!" ***
Selanjutnya.....

Pelajaran Moral dari Buaya!

HERMAN Sanusi, mantan Bupati Lampung Tengah, bercerita waktu ia jadi Sekda Lampung Utara menghadiri rapat para Sekda di Medan, dibawa ke peternakan buaya. Di situ terdapat ratusan buaya. Di pintu masuk ada penjual bebek, dia beli seekor. 

Saat bebek dilempar ke kolam, ada buaya yang dari jarak 30 meter mendengar suaranya meloncat ke arah bebek. Sebaliknya, sejumlah buaya besar yang dekat bebek itu malah diam saja. Ia tanya petugas di situ, apakah buaya yang diam saja itu sakit? Dijawab, buaya-buaya itu sehat. Dari pagi sudah banyak pengunjung melempar bebek, jadi mereka kenyang.

Tabiat buaya memang begitu, kalau sudah kenyang tak mau ikut berebut makanan lagi! "Dari cerita itu ternyata kita keliru selama ini, mengira buaya rakus dan serakah!" tukas Umar. "Ternyata naluri buaya malah mengenal rasa kenyang sehingga merasa cukup dan tak perlu lagi ikut berebut makanan! Sebaliknya manusia, banyak yang tak kenal istilah kenyang! 

Sudah menumpuk makanan dan harta cadangan yang tak tanggung-tanggung banyaknya pun, masih merasa kurang dan tak henti untuk ikut berebut terus!" "Dengan contoh itu tampak, kayaknya manusia harus memetik pelajaran moralitas tentang makna cukup dari buaya Medan itu! Agar tak terlalu serakah!" timpal Amir. 

"Buaya saja bisa menahan diri untuk memberi kesempatan pada mereka yang lapar, yang belum mendapat bagian! Sedang manusia banyak yang tak pernah merasa cukup seberapa banyak pun telah dia dapatkan!" "Lebih buruk lagi, selain mau menguasai lebih banyak dengan tidak memberi kesempatan pada orang lain, meski sudah kekenyangan manusia masih mau menindas dan menghisap sesamanya untuk mendapat tambahan nikmat bagi dirinya yang tak pernah bisa terpuaskan!" tukas Umar. 

"Itu penyebab yang lemah tak berdaya semakin tersingkir dengan kondisi semakin serba kekurangan, sementara yang kuat dan tak kenal kenyang semakin perkasa menguasai segala sumber kehidupan yang seyogianya buat kemakmuran bersama!" "Artinya, realitas dunia kehidupan manusia ini lebih buruk dari kolam peternakan buaya yang terkenal buas sekalipun!" timpal Amir. "Bahkan lebih buruk dari buaya, manusia sudah saling memangsa di antara sesamanya--homo homini lupus!" ***
Selanjutnya.....

Melestarikan 'Dubang' Nenek!

"NAIK bus antarprovinsi, nenek mengeluarkan kantong sirihnya. Cucu berbisik, "Tak boleh nginang dalam bus! Nanti dubang-nya (ludah merah residu makan sirih) dibuang ke mana? Dibuang lewat jendela nyiprat ke penumpang lain, atau kena kain sarung sandaran kursi!" 

"Dubang kubuang dalam plastik hitam yang kubawa untuk muntahan kalau mabuk di jalan!" jawab nenek terus meramu kinangan dengan kapur dan gambir. "Menginang tradisi sejak nenek moyang! Maka itu perhatikan, tak ada larangan menginang dalam bus. Larangan yang dipasang cuma untuk merokok!"

"Tapi aku cemas, nenek menginang dalam bus dubang-nya menciprati orang!" keluh cucu. "Kan ada susur (tembakau dikepal) penyeka dubang!" tegas nenek. "Menginang ini tradisi untuk menyehatkan mulut dan gigi agar selalu bersih dari bakteri! Daun sirihnya mengandung antibiotik, kapurnya kaya kalsium, belum lagi gambir dan pinangnya punya khasiat sendiri! Buktinya lihat gigi nenek, sampai setua begini masih utuh! Sedang gigimu, ada yang sudah disisip gigi palsu, ada yang rompal ditambal! Karena itu, kalian harus melestarikan tradisi menginang warisan nenek moyang ini!" 

"Melestarikan tradisi menginang? Gadis masa kini banyak yang jijik melihat susur! Konon lagi disuruh memoleskan ke mulutnya!" kilah cucu. "Tanpa kecuali gadis desa! Maka itu, kayaknya agak sulit melestarikan tradisi yang satu ini!" "Kenapa sulit? Kan bisa dipaksa!" entak nenek. "Dulu nenek dipaksa untuk pangur—gigi seri atas diratakan dengan gerinda kecil!" 

"Dulu memang bisa main paksa! Sekarang tak mungkin!" tukas cucu. "Pelestarian tradisi dan budaya sekalipun, tak bisa main paksa! Proses pelestarian tradisi berlangsung secara saksama dengan penyesuaian pada kebutuhan maupun etika dan moralitas zamannya! 

Penyesuaian itu berlangsung dengan penyaringan unsur-unsur yang bertentangan dengan zaman ini, seperti unsur yang adiktif, cacat moral, dan syirik! Adiktif—mengandung kecanduan—seperti madat pada tradisi Indian, cacat moral yang berbau pelacuran seperti tayuban zaman dahulu, dan syirik yang menyertakan roh-roh halus dalam permainan atau pekerjaan lain!" 

"Jadi menginang ini karena susurnya tembakau kau golongkan adiktif?" entak nenek. "Aku tak mengatakan begitu!" kilah cucu. "Tapi bisa saja generasi baru menilai begitu!" ***
Selanjutnya.....

Meminjam Tabungan Anak!

SEORANG pemotong rumput keliling dengan mesin gendong, termangu menunggu istrinya pulang belanja. Uang selembar Rp50 ribuan hasil kerja kemarin diambil istrinya dari saku celananya untuk belanja. 

Ia menunggu uang kembalian lima ribu untuk beli satu liter premium buat mesin rumputnya."Mana, lima ribu!" pintanya saat istri pulang. "Untuk beli bensin mesin rumputku! Kemarin sore diburu hujan tak sempat beli bensin!"

"Uangnya habis untuk belanja!" jawab istri "Bagaimana mau cari duit kalau bensin mesin rumputku kosong?" timpal suami. "Biasanya menyembunyikan uang untuk beli rokok!" tukas istri. "Sok tau!" entak suami. "Cari utangan dulu!" "Bensin tak bisa ngutang!" sahut istri. 

"Gini aja! Kita colok celengan anak! Dia sudah ke sekolah, tak tahu tabungannya diambil!" "Kita pinjam dulu, nanti kalau ada uang diam-diam kita kembalikan!" tegas suami. "Asal tak lupa mengembalikan! Sebab, orang tua sering lupa kalau meminjam dari anak atau cucu! Seperti kekayaan alam negeri ini, hutan-hutan digundul, bahan tambang terutama minyak bumi dikuras sampai tinggal kerak terakhir, semua itu dipinjam dari anak-cucu tapi dihabiskan untuk foya-foya masa kini oleh generasi kakek-neneknya!" 

"Itu bukan lupa mengembalikan, tapi tak bisa mengembalikan tabungan anak-cucu yang telah mereka habiskan!" timpal istri. "Dasar generasi kakek-nenek yang serakah!" 

"Kekayaan alam tabungan anak-cucu itu diludeskan untuk memacu pertumbuhan ekonomi, cara yang jika tetesan limpah-ruah kekayaan itu untuk rakyat ternyata kecil, dimaklumi oleh ndoro bule yang diuntungkan dengan pemberian hak mengeruk kekayaan alam kita!" tegas suami. 

"Akibatnya, hasil peludesan kekayaan alam negeri kita itu cuma dinikmati segelintir elite berkuasa dan kroni serta ndoro bulenya! Sedang rakyatnya makin sengsara berkelanjutan hingga anak cucu karena tabungan mereka telah dihabiskan!" "Ndoro bule itu diuntungkan mental inlander para pemimpin kita, yang bangga dipuji bule!" tukas istri. "Contohlah Hugo Chavez di Venezuela, tak butuh pujian bule, memaksa renegosiasi bagi hasil tambang, take it or lived! Hasilnya ketimbang angkat kaki, bule-bule itu akhirnya nurut juga, kok!" ***
Selanjutnya.....

Kemiskinan Semakin Dalam!

"BANJIR di kampung kita semakin dalam dibandingkan tahun lalu," tukas Umar. "Penyebabnya, tanggul kanal dekat kampung ditinggikan agar banjir kiriman tak melimpah ke kampung kita!" jawab Amir. "Akibatnya, air hujan kampung kita tak bisa melewati tanggul yang ditinggikan itu, genangan air di kampung kita pun semakin dalam! Nasib kampung kita mirip kemiskinan yang juga semakin dalam!"

"Kalau banjir makin dalam akibat tanggul kanal ditinggikan, kemiskinan jadi semakin dalam karena garis kemiskinan dinaikkan dari Rp248,645 pada Maret 2012 menjadi Rp263,008 pada September 2012!" timpal Amir. "Dengan garis kemiskinan naik 5,81%, warga miskin yang konsumsinya tidak naik jadi kian jauh dari garis kemiskinan, makin dalam pula posisinya di jurang kemiskinan!"

"Kondisi itu dalam terminologi statistik disebut kemiskinan semakin dalam!" ujar Umar. "Garis kemiskinan semakin jauh dari jangkauan warga miskin! Indeks kedalaman kemiskinan nasional BPS, dari 1,88 pada Maret 2012 menjadi 1,90 September 2012. Lampung kondisinya lebih buruk dari 2,26 jadi 2,52 pada priode sama!" "Meski demikian, tanggul kanal maupun garis kemiskinan tetap harus ditinggikan!" tegas Amir.

"Tanggul ditinggikan agar terhindar dari banjir bandang, garis kemiskinan dinaikkan agar kian realistis! Kalau dengan kurs Rp9.500/dolar AS garis kemiskinan Rp248 ribu/bulan Maret 2012 setara 87 sen dolar AS/hari, naik jadi Rp263 ribu/bulan September 2012 setara 92 sen dolar AS/hari, naik 5 sen dolar! Artinya kian mendekati 1 dolar AS/hari, menuju garis kemiskinan Bank Dunia 2 dolar AS/hari!"

"Meskipun penyesuaiannya cuma beda tipis dari tingkat inflasi, garis kemiskinan yang semakin realistis diperlukan agar Pemerintah Pusat dan daerah tak pandang enteng garis kemiskininan, hingga makin serius menangani kemiskinan!" timpal Umar. "Coba cermati APBD provinsi/kabupaten/kota, cari mata anggaran yang mencerminkan keseriusan menangani kemiskinan, mungkin masih sulit ditemukan! Itu isyarat penanganan kemiskinan masih sebatas retorika!"

"Padahal, indeks keparahan kemiskinan nasional juga memburuk dari 0,47 jadi 0,48—Lampung dari 0,50 jadi 0,62—Maret—September 2012!" tegas Amir. "Artinya semakin banyak warga miskin terjebak dalam kelompok terburuk kondisi sosial ekonominya!" ***
Selanjutnya.....

Otomatis Atasi Kemiskinan!

"HOREEE! Kita masuk koran!" sorak Eman menemui teman-temannya di gardu kamling. Mereka itu mantan perambah yang lahan garapannya di kawasan hutan dilegalisasi jadi hutan kemasyarakatan. 

"Lihat ini beritanya!" "Mana?" sambut rekannya menyambar koran dan membacanya, "Orang miskin di Lampung berkurang 34.800 orang! Ini beritanya? Tak ada menyebut nama atau alamat kita?" "Tapi yang dimaksud berita itu pasti kita!" Eman ngotot. 

"Karena cuma kawasan hutan kemasyarakatan kita ini yang panen perdana kopi dengan hasil luar biasa, hingga secara otomatis mengatasi kemiskinan warganya yang sebelumnya sengsara panjang! Waktu antara Maret ke September 2012 itu tepat sekali dengan masa panen kopi saat warga kita membelanjakan amat banyak uang, sehingga konsumsi per jiwanya melampaui garis kemiskinan terakhir Rp263,008 per jiwa, seperti disebut dalam berita itu!"

"Memang kalau bukan berkat limpahan rezeki luar biasa dari Yang Maha Pengasih, tak mudah warga miskin bisa melonjak nasibnya sampai melewati garis kemiskinan!" timpal rekan. "Tanpa kehendak-Nya, tak mudah mengentaskan 34.800 orang dari jurang kemiskinan dalam waktu enam bulan, berarti 5.800 orang per bulan, atau 193 orang setiap hari! Menjamu sekali makan 193 orang miskin setiap hari saja mungkin pemerintah daerah enggan, karena bisa kewalahan, apalagi mengentaskannya dari jurang kemiskinan!" 

"Memang, usaha mengentaskan kemiskinan lebih tepat pakai cara otomatis melalui pemberian kesempatan untuk kerja keras kepada warga miskin begini!" tegas Eman. "Karena, kalau pakai anggaran tunai, malah habis untuk membiayai kegiatan pengelola proyeknya! Buktinya, dengan APBN 2012 sebesar 99,2 triliun untuk mengatasi kemiskinan meleset dari target (MI, 4-1), justru warga pinggiran hutan seperti kita yang keluar dari kemiskinan tanpa cipratan dana itu!" 

"Tapi kenapa Lampung malah masuk 10 besar provinsi termiskin (MI, 3-1) bersama Papua, Papua Barat, Maluku, NTT, Aceh, NTB, Bengkulu, Gorontalo, dan DIY?" kejar rekan. "Karena semakin eskalatif pertambahan jumlah warga perambah di kawasan hutan seantero Lampung yang tak jelas nasibnya!" tegas Eman. "Mereka menanti diberi legalitas, kesempatan mengatasi kemiskinan secara otomatis!" ***
Selanjutnya.....

Mabuk Kuda Sembrani!

PAWANG jaran kepang (kuda lumping) seketika pucat. Seorang penonton yang ikut mabuk, kerasukan, saat ia tanya mengaku dirinya kuda sembrani! Ini pertama kali sang pawang dikunjungi tokoh penguasa yang bisa terbang dari mitologi planet negeri kuda! Ia panggil tiga asistennya untuk memberi tahu hal itu. "Beri pengamanan ekstra untuk tamu kehormatan kita!" perintah pawang. "Apalagi dia merasuki orang yang belum biasa main jaran kepang, gaya permainannya sebagai penguasa bisa membahayakan dirinya sendiri maupun penonton!" "Tindakan apa yang paling ditakutkan bisa membawa bencana dari permainan kuda sembrani?" tanya asisten. 

"Ia memanjat pohon kelapa lalu loncat dari pucuknya karena ia merasa bisa terbang!" jelas pawang. "Dalam mitosnya kuda sembrani bisa terbang, tapi penonton yang dirasukinya itu kan tak bisa! Saat mabuk kuda sembrani, bisa saja ia menjadi rumongso iso—merasa bisa!" "Rumongso iso jadi pemimpin itu yang di zaman reformasi merepotkan rakyat!" timpal asisten. "Asal punya uang dan mengira bisa membeli suara rakyat, orang jadi rumongso iso jadi pemimpin! Tapi karena ia seperti orang yang kerasukan kuda sembrani, loncat dari pucuk pohon kelapa, bukan cuma dirinya yang celaka, rakyat juga jadi korban!" "Cepat minta bantuan penonton mencari net bola voli untuk dijadikan jaring pengaman kalau dia manjat kelapa!" perintah pawang ke asistennya. "Minta orang-orang dengan jaring pengaman siaga dekat pohon kelapa! Kita harus berusaha semaksimal mungkin agar tak terjadi kecelakaan fatal!"

 "Beginilah kalau ada orang mabuk kuda sembrani!" gumam asisten. "Repotnya sama dengan akibat ada orang yang rumongso iso, mabuk kekuasaan! Rakyat jadi korban, tak dapat manfaat berarti dari kepemimpinannya, waktu habis sia-sia cuma untuk power building (membangun kekuasaan) sang penguasa!" "Itu kalau orang yang kerasukan aslinya bisa memanjat!" timpal pawang. "Ada cerita, orang yang karasukan aslinya tak bisa memanjat kelapa! Sampai di atas ia tak bisa naik mencapai pucuk, tapi untuk turun juga tak bisa! Repot orang satu negeri dibuatnya untuk menurunkan dia dengan selamat! Begitu orang kerasukan kuda sembrani, rumongso iso, tapi akhirnya merepotkan orang banyak!" ***
Selanjutnya.....

Kerja Tak Kerja Rp100 Ribu!

SEORANG kontraktor membawa buruh dari kampungnya untuk mengerjakan proyek di kabupaten lain. "Status kalian buruh harian, bekerja delapan jam sehari dari pukul tujuh sampai dua belas, istirahat satu jam, kerja lagi sampai pukul empat!" jelas kontraktor. "Upah kalian sehari kalau kerja Rp75 ribu. Kalau ada masalah nonteknis di luar kuasa perusahaan jadi tak bisa kerja, diberi Rp25 ribu sehari untuk biaya hidup, sarapan dan dua kali makan! Itu karena kalian kubawa bekerja jauh dari rumah!" "Jadi kerja Rp75 ribu, tak kerja Rp25 ribu?" ulang seorang buruh ingin lebih jelas. "Betul!" jawab kontraktor. "Upah dibayar setiap hari sebelum keringat kalian kering! Terserah kalian mau makan apa dengan upah itu, atur sendiri! Perusahaan menyiapkan bedeng untuk tempat tidur kalian!"

Tiga hari bekerja seorang buruh sakit. Mandor membawa ia ke puskesmas, lalu diistirahatkan di bedeng. Sorenya ia ikut antre gajian. "Kerja Rp75 ribu tak kerja Rp25 ribu, jadi Rp100 ribu!" ujarnya saat mendapat giliran. "Maksudmu tadi pagi kau kerja dibayar Rp75 ribu, lalu siangnya kau sakit dan tak kerja harus dibayar khusus lagi Rp25 ribu?" tanya mandor. "Betul! Janji bos kan begitu!" tegas buruh. "Kerja Rp75 ribu, tak kerja Rp25 ribu!" "Tapi aturan perusahaan, kalau sakit dihitung kerja, upah dibayar penuh!" jelas mandor. "Jika sakitnya tiga hari berturut tak sembuh, dikirim pulang untuk berobat gratis di RSUD dekat rumah! Setelah sembuh silakan tentukan sendiri, kembali kerja atau tidak!" "Aku sudah sembuh, kok!" timpal buruh. "Tapi, apa upahnya tak bisa dinaikkan?" 

"Dengan upah Rp75 ribu sehari, sebulan dua seperempat juta, sama UMP DKI Jakarta!" jawab mandor. "Betapa baik bos kita, upah di pelosok begini dia samakan dengan Jakarta! Ia tambahi dari tarif semestinya! Sebagian keuntungannya dari proyek ini memang ia berikan pada buruh dengan cara begitu! Jadi tak seperti bos lain, justru memeras buruh dengan mencari untung dari buruh, membayar buruh lebih rendah dari harga satuan pekerja dalam nilai proyek!" "Ternyata ada juga kontraktor yang membagi keuntungan proyek pada buruhnya lewat upah harian dan bantuan biaya hidup jika tak kerja karena hambatan nonteknis!" timpal buruh. "Kontraktor lain mau untung sendiri, malah menjadikan keringat buruh sumber labanya!" ***
Selanjutnya.....

Pisang Bapak Semakin Kecil!

SEORANG pedagang pisang goreng menolak kiriman pisang dari pemasoknya. "Mula-mula pisang yang Bapak kirim kemarin besar-besar! Lama-kelamaan semakin kecil, sekarang jadi kecil-kecil sekali!" tegas pedagang. "Akibatnya, bukan cuma pelangganku mengeluh, mereka pindah beli gorengan ke tempat lain!" "Sumpah mati, bukan aku yang membuat pisang dari kebunku dan kebun tetangga sedesaku itu jadi semakin kecil-kecil!" kilah pemasok. "Tapi umumnya tanaman pisang itu sendiri, lama-kelamaan buahnya dari setiap rumpun terus jadi semakin kecil!" "Usahakan dong supaya ukuran buah pisang di kebun kalian bisa bertahan tetap besar! Atau paling tidak perubahannya tak drastis!" tegas pedagang. 

"Apakah tak kalian sadari, dengan membiarkan pisang kalian di kebun terus semakin kecil buahnya dari waktu ke waktu begitu, berarti telah membiarkan hidup kalian hari ini lebih buruk dari kemarin, dan besok lebih buruk lagi dari hari ini! Menurut ajaran agama, keadaan seperti itu tergolong celaka! Karena dari hari ke hari buah pisang kalian terus mengecil, berarti dari hari ke hari pula kalian terus merugi!" "Tapi kami harus berbuat apa, sudah menjadi sifat alamiah tanaman pisang buah pada setiap rumpunnya dari waktu ke waktu terus semakin kecil!" jawab pemasok. "Kalau pisang cavendis yang dijual di supermarket ukuran besarnya bisa stabil dari waktu ke waktu, pisang kalian juga tentu bisa dibuat jadi sedemikian!" tegas pedagang. 

"Bisa jadi perlu dipupuk! Tidak harus pupuk kimia yang mahal, mungkin cukup pupuk kandang yang di kampung kalian melimpah! Terpenting, ada usaha agar tanaman pisang itu tak menjadi cerminan realitas hidup kalian, dari waktu ke waktu terus merugi!" "Kau ini penjual pisang goreng apa guru ngaji?" entak pemasok. "Menolak pasokan pisang saja pakai dalil ajaran agama!" "Bapak kira kalau ukuran pisang gorengku dari hari ke hari terus mengecil, pelanggan pergi, apa aku tak berpikir keras sebab-akibatnya?" sambut pedagang. "Apalagi dengan itu kondisi ekonomi keluargaku dari hari ke hari juga makin buruk! Aku tentu harus cari kata-kata yang bisa diterima akal sehat untuk memutus pasokan pisang dari Bapak! Lalu kucari pisang di pasar yang bisa memperbaiki kembali usaha dan hidup keluargaku dari hari ke hari!" ***
Selanjutnya.....

Tugas Wartawan Mengkritik!

"KOK sok banget sih, Kek, wartawan, kerjanya mengkritik melulu!" entak cucu. "Ada orang salah sedikit, kurang sedikit, dia kritik! Dia sendiri bagaimana, sih?" "Memang tugas wartawan mengkritik!" jawab kakek. "Wartawan itu diniscayakan sempurna, hingga oleh masyarakat ia diberi fungsi untuk mengkritik orang yang salah! Sempurnanya itu sebatas keniscayaan, yaitu menjalankan tugas dengan memenuhi standar kompetensi profesi! Untuk itu wartawan harus membuka diri, menerima kritik terkait kinerjanya dan selalu berusaha memperbaiki dirinya! Kalau dia cuma bisa mengkritik, orang salah sedikit dia kritik tapi dirinya sendiri tak keruan dan tak mau memperbaiki diri secara etika-moral dan teknis jurnalistik, maka ia telah menjadi laknat!" 

"Kenapa jadi laknat?" potong cucu. "Karena ia telah menjadi sapu atau lap yang kotor!" tegas kakek. "Lantai kotor sedikit dia sapu malah jadi lebih kotor, kaca agak buram dia lap malah jadi gelap bersimbah kotoran!" "Lantas siapa yang mengontrol wartawan agar bisa memperbaiki diri untuk menjaga standar kompetensi profesinya?" tanya cucu. "Pertama secara formal dari UU yang memberi wartawan hak mengkritik atau mengontrol itu, tugas mengontrol wartawan diberikan kepada masyarakat lewat hak jawab dan hak koreksi dari pembaca atau audiens!" jelas kakek. "Kedua, Ombudsman bisa berupa lembaga publik seperti Dewan Pers! Dan ketiga, secara universal peran Ombudsman itu dijalankan dalam setiap penerbitan dengan pelaksana bervariasi, dari litbang sampai pimpinan, yang melakukan koreksi atas materi siaran media sendiri! 

Tokoh pers Medan G.M. Panggabean, misalnya, selaku pemimpin umum/pemimpin redaksi setiap pagi mengirim koran yang penuh coretan koreksiannya untuk dijadikan acuan rapat redaksi hari itu!" "Kalau ada kontrol dan kritik rutin sehari-hari begitu, keniscayaan sempurnanya praktek profesi wartawan dalam melakukan kritik bisa selalu terjaga!" timpal cucu. "Tapi apa tak ada batasan dalam fungsi kontrol wartawan itu?" "Tentu ada batasannya!" tegas kakek. "Kontrol atau kritik pers itu tak boleh menyangkut masalah pribadi! Kritik harus yang terkait kepentingan umum, masalah publik atau punya aspek kemasyarakatan! Dengan begitu, kontrol dan kritik pers sekaligus bisa menjadi panduan etika-moral masyarakat!" ***
Selanjutnya.....

The Wisdom of The Kangkung


KOKI ditugasi menyiapkan menu tetap masakan kangkung parit untuk makan siang bos setiap minggu. Ia tanya bos, "Kenapa mesti kangkung parit? Kangkung urat banyak di pasar?""Kangkung parit itu alami, hidup di alam bebas, tangkai dan daunnya lebih besar dan lebih segar!" jawab bos."Tapi ada yang tumbuh liar di parit belakang rumah, terlihat kurang bersih!" tukas koki."Justru karena itu orang enggan mengambil!" timpal bos. "Karena orang enggan, ibuku dulu setiap hari bisa dapat banyak kangkung parit di seputar kampung kami, dari parit dekat rumah warga, tepian irigasi, dan rawa untuk dijual di pasar sebagai penambah petikan kangkung dari sepetak sawah kami!""Jadi ibunya bos dulu bisnis kangkung parit?" kejar koki."Bukan bisnis, tapi mencari kangkung parit dan dijual ke pasar!" tegas bos. "Sebelum dibawa ke pasar, kangkung dicuci bersih di ember besar, lalu diikat setiap sepuluh tangkai! Sampai pasar menjelang subuh kangkungnya terlihat bersih dan segar! Biasanya begitu sampai dikerubuti pedagang untuk dijual lagi di warung rumah mereka!""Kok bos fasih menceritakannya?" tanya koki."Karena sejak SMP sampai tamat SMA saya membantu ibuku mencari, membersihkan, dan mengikat kangkung!" jawab bos. "Bahkan, biaya kuliahku di Jawa, tabungan dan kiriman ibu dari uang hasil jualan kangkung parit!"Koki terkesiap! "Jadi menu kangkung parit tiap minggu itu buat bos nostalgia?" tanya koki."Bukan sekadar nostalgia!" jawab bos. "Pilihan menu tetap kangkung parit itu agar orang-orang seperti ibuku di mana pun dia berada selalu mendapat pembeli! Lebih dari itu, untuk mengokohkan akar sejarah keluarga dengan memperkuat terus-menerus kesadaran dari mana kami berasal! Khususnya buat anak-anakku agar tak sombong apalagi takabur, semua yang telah dicapai keluarga sejauh ini semata rahmat Ilahi, berkat kerja keras nenek mereka dan ketekunanku belajar!""Dari mana sumber wisdom itu?" kejar koki."Kuperoleh dari teman kuliahku, ada anak raja karet, anak raja kemenyan! Mereka banyak uang, tapi belajar sungguh-sungguh, yakin masa depan ada pada kualitas manusia yang dicapai lewat belajar!" jelas bos. "Jika anak raja karet saja begitu serius belajar, apalagi aku cuma anak kangkung parit!" ***
Selanjutnya.....