Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Tugas Wartawan Mengkritik!

"KOK sok banget sih, Kek, wartawan, kerjanya mengkritik melulu!" entak cucu. "Ada orang salah sedikit, kurang sedikit, dia kritik! Dia sendiri bagaimana, sih?" "Memang tugas wartawan mengkritik!" jawab kakek. "Wartawan itu diniscayakan sempurna, hingga oleh masyarakat ia diberi fungsi untuk mengkritik orang yang salah! Sempurnanya itu sebatas keniscayaan, yaitu menjalankan tugas dengan memenuhi standar kompetensi profesi! Untuk itu wartawan harus membuka diri, menerima kritik terkait kinerjanya dan selalu berusaha memperbaiki dirinya! Kalau dia cuma bisa mengkritik, orang salah sedikit dia kritik tapi dirinya sendiri tak keruan dan tak mau memperbaiki diri secara etika-moral dan teknis jurnalistik, maka ia telah menjadi laknat!" 

"Kenapa jadi laknat?" potong cucu. "Karena ia telah menjadi sapu atau lap yang kotor!" tegas kakek. "Lantai kotor sedikit dia sapu malah jadi lebih kotor, kaca agak buram dia lap malah jadi gelap bersimbah kotoran!" "Lantas siapa yang mengontrol wartawan agar bisa memperbaiki diri untuk menjaga standar kompetensi profesinya?" tanya cucu. "Pertama secara formal dari UU yang memberi wartawan hak mengkritik atau mengontrol itu, tugas mengontrol wartawan diberikan kepada masyarakat lewat hak jawab dan hak koreksi dari pembaca atau audiens!" jelas kakek. "Kedua, Ombudsman bisa berupa lembaga publik seperti Dewan Pers! Dan ketiga, secara universal peran Ombudsman itu dijalankan dalam setiap penerbitan dengan pelaksana bervariasi, dari litbang sampai pimpinan, yang melakukan koreksi atas materi siaran media sendiri! 

Tokoh pers Medan G.M. Panggabean, misalnya, selaku pemimpin umum/pemimpin redaksi setiap pagi mengirim koran yang penuh coretan koreksiannya untuk dijadikan acuan rapat redaksi hari itu!" "Kalau ada kontrol dan kritik rutin sehari-hari begitu, keniscayaan sempurnanya praktek profesi wartawan dalam melakukan kritik bisa selalu terjaga!" timpal cucu. "Tapi apa tak ada batasan dalam fungsi kontrol wartawan itu?" "Tentu ada batasannya!" tegas kakek. "Kontrol atau kritik pers itu tak boleh menyangkut masalah pribadi! Kritik harus yang terkait kepentingan umum, masalah publik atau punya aspek kemasyarakatan! Dengan begitu, kontrol dan kritik pers sekaligus bisa menjadi panduan etika-moral masyarakat!" ***

0 komentar: