Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Gus Dur, Perginya Panutan Para Kiai!


"INNA lillahi wa inna ilaihi rajiun! Gus Dur wafat di RS Cipto Mangunkusumo 10 menit lalu!" Umar membaca SMS di hape-nya "Bangsa Indonesia, terutama kaum Nahdliyin, berdukacita atas kepergiannya!"

"Dengan wafatnya Kiai Haji Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, umat kehilangan tokoh karismatik panutan para kiai, yang selama ini diikuti umat tanpa mempertanyakan relevansi ucapan atau arah tindakannya!" sambut Amir. "Gus Dur tokoh karismatik yang multidimensional! Ia kiai, juga pakar, sekaligus politisi! Karismanya berawal dari ke-kiai-an dengan 'darah biru'-nya sebagai cucu pendiri Nahdlatul Ulama--ormas Islam terbesar di negeri ini! Dan itu ia lengkapi dengan kepakaran dan kiprah politik, hingga Gus Dur menjadi salah satu sumber kekuasaan di negeri ini--tak terbilang jumlahnya orang yang ingin menjadi gubernur, bupati/wali kota, anggota DPR/DPRD, atau malah jabatan struktural, harus meminta restu Gus Dur!"

"Kenapa harus minta restu Gus Dur?" kejar Umar.


"Karena karismanya yang luar biasa itu!" jawab Amir. "Gus Dur tokoh sentral di lingkaran jaringan kekuasaannya, tak ada yang berani membantah, tak ada yang berani menolak kehendaknya!"

"Begitu?" timpal Umar. "Padahal kesanku selama ini, Gus Dur seorang humanis yang demokratis! Dia tokoh utama gerakan prodem atau fordem di negeri ini? Komitmennya pada demokrasi dan civil society kuat sekali, hingga kenangan manis yang ia berikan pada bangsa ini dari masa kepresidenan dirinya adalah mengembalikan ABRI ke barak--mengakhiri peran politik praktis militer!"

"Itulah multidimensinya Gus Dur!" tegas Amir. "Sebagai humanis yang demokratis itu, meski ia sebagai pemimpin umat dari kelompok mayoritas di negeri ini, perhatian dan solidaritasnya justru selalu memberi kehangatan kalangan minoritas, kaum tertindas dan terpinggirkan!"

"Hal lain yang tak boleh dilupakan dari Gus Dur adalah kepakarannya!" sambut Umar.

"Mata pisau analisisnya amat tajam, membuat ia mudah mengemukakan sesuatu dengan visi dan gayanya yang amat segar, hingga membuat orang ger-geran tertawa! Tapi, sehabis tawanya orang terhenyak, karena inti gagasan dan pikiran yang dikemukakan Gus Dur terlalu jauh, orang sukar memahami dan mengikutinya! Di antara yang tak bisa memahami dan mengikuti jalan pikiran Gus Dur itu, tanpa kecuali orang-orang dekatnya, dengan akibat, kemudian menjauhkan diri dari (atau dijauhkan oleh) Gus Dur!"

"Dahsyatnya, berbagai dimensi karismanya itu terpadu dalam integritas kepribadian Gus Dur sebagai negarawan! Ia berpendirian teguh memegang prinsip, dengan sikap tegas yang tak bisa ditawar-tawar, berani mengambil risiko! Tak peduli risikonya kehilangan jabatan presiden!" tegas Amir. "Atas kepergiannya, Indonesia kehilangan tokoh yang tiada duanya! Selamat jalan, Gus Dur!"
Selanjutnya.....

Notes 2009, Pemimpin Samudera!

"SATU dimensi dari Astabrata, delapan karakter pemimpin Jawa, seperti samudera--cakrawala luas jiwanya dalam, gelombangnya menggelorakan semangat juang para pelaut perkasa, sampah dan kotoran sebau apa pun dibuang dari kapal atau kota ditampung semua!" ujar Umar. "Samudera memproses kotoran jadi plankton dan renik, mata rantai makanan segala jenis ikan kesayangannya! Samudera tak pernah menolak atau marah pada sampah, apalagi menudingnya fitnah atau dusta! Bau busuk dan amis sampah dia simpan sedalam mungkin, lalu senantiasa ia tebar hawa segar!"

"Kok tiba-tiba berkisah Astabrata?" potong Amir.

"Aku sedang telekonferensi dengan Temon dan kawan-kawan lewat hape di meja ini!" jawab Umar. "Mereka bingung, kenapa pemimpin yang amat mereka banggakan, akhir 2009 ini tak henti marah, menuding fitnah kian-kemari!"

"Betul Bang Amir!" sela Temon di speaker hape Umar. "Apakah reklamasi politik mempersempit bentangan samudera jadi teluk ciut, urukannya memperkeruh air dan membendung sampah hingga tak lagi mencapai haribaannya! Embusan segar angin samudera pun menyapu tumpukan sampah hingga yang merebak malah bau busuk!"

"Kenapa jadi rikuh membuat metafora melukiskan keanehan gelagat sang pemimpin?" tukas Amir. "Lugas saja, kenapa SBY yang memukau dengan gaya bijaksana, 2009 ini berubah jadi pemberang, marah melulu? Tak mencerminkan pemimpin samudera lagi, menjadi teluk sempit terkepung reklamasi yang menghalangi sampah mencapai proses daur demokrasi yang dinamis! Singkatnya, karakter SBY tidak lagi cool seperti sebelumnya!"

"Ular cari pukul!" sambut Temon. "Orang lagi sangar, sok lugas!"

"Tak perlu setakut itu! SBY itu rasional, selain akar budaya Jawanya kuat!" tegas Amir. "Dengan terus terang kalian heran, dalam dua pemilu dari semua calon dialah yang paling dekat pribadinya dengan Astabrata, kenapa sekarang berubah sejauh itu?"

"Memang! Bukan cuma Varuna--samudera--Brata yang mencerminkan luas cakrawala berpikirnya,!" timpal Temon. "Juga Indra Brata, seperti air hujan, berwibawa mengusahakan kemakmuran rakyat! Yama Brata, seperti Batara Yama, mengayomi dengan menegakkan keadilan di atas kebenaran! Surya Brata, seperti matahari, sumber energi, semangat dan kekuatan pada kehidupan! Candra Brata, seperti bulan, menerangi di kala gelap! Vayu Brata, seperti angin, selalu dekat rakyat yang dipimpinnya! Bhumi Brata, seperti bumi, teguh sebagai tempat berpijak, memberi segala miliknya untuk kesejahteraan! Dan Agni Brata, seperti api, teguh dalam prinsip, menghanguskan yang salah!"

"Itu dia!" tegas Umar. "Apa reklamasi memperluas konsesi kekuasaan itu sebanding dengan akibatnya, urukan yang menutupi sifat-sifat karakter dambaan rakyat?"

Selanjutnya.....

Notes 2009, MA Koreksi Sisdiknas!


"AMAR Mahkamah Agung (MA) dalam putusan kasasi untuk merevisi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) layak masuk Notes 2009!" ujar Umar. "Koreksi itu diperintahkan secara umum, sebagai wadah bagi isi putusan khusus berupa prakondisi--syarat-syarat dasar--untuk pelaksanaan ujian nasional (UN), yakni pemerataan peningkatan fasilitas pendidikan dan mutu guru di seluruh Tanah Air! Dengan bahasa amar sedemikian berarti, sebelum syarat-syarat dasar itu dipenuhi tidak boleh melaksanakan UN--apalagi dijadikan dasar kelulusan murid!"

"Perintah MA yang bersifat umum untuk merevisi UU Sisdiknas itu kewajiban yang mengikat bagi para pembuat UU, Presiden dan DPR!" sambut Amir. "Jadi terlalu gegabah jika seorang menteri menyalahtafsirkan secara sepihak semata untuk mengencundangi putusan MA tersebut! Akibat laku lajak menteri itu, bukan saja materiel hukum putusan MA yang dilanggar--dengan tetap akan menyelenggarakan UN tanpa memenuhi syarat-syarat dasar patokan MA--malahan menyalahi sistem ketatanegaraan!"


"Begitulah, kesalahan selalu menjadi kaprah pada tindakan yang berkuasa di negeri ini!" tegas Umar. "Laku lajak penyelenggaraan UN dikoreksi MA, malah dijawab dengan laku lajak yang lebih fatal, menyalahi sistem ketatanegaraan! Jauh lebih fatal lagi, pelanggaran prinsip dasar itu dilakukan oleh aktor utama, contoh perilaku dunia pendidikan!"

"Kesalahan terpenting dalam UU Sisdiknas yang harus direvisi, tidak diakomodasinya semangat reformasi, yakni desentralisasi--dengan realitas Sisdiknas yang sangat sentralistik!" timpal Amir. "Padahal sejak awal disepakati, hanya empat hal yang tidak didesentralisasi, yakni sistem moneter terutama pencetakan uang (pada fiskal justru ditekankan perimbangan keuangan pusat-daerah), hubungan diplomatik (meski pemda dan warga tak dibatasi hubungan ke luar negeri), hukum dan peradilan, serta keagamaan--meski ada daerah memakai sistem syariah! Jadi, masih ada penyesuaian! Cuma sistem pendidikan yang seharusnya desentralisasi malah dijalankan dengan amat sentralistik!"

"Konsekuensinya, jutaan impian yang menuntut jutaan ragam kemampuan untuk meraihnya, kandas oleh hanya di bawah 10 jenis kemampuan yang ditanamkan seragam pada seluruh anak bangsa melalui Sisdiknas yang amat sentralistik, khususnya dengan UN yang hanya mengasah kemampuan pada beberapa mata pelajaran saja!" tegas Umar.

"Tampak, desentralisasi pendidikan bahkan sampai ke spesialisasi yang tajam pada sekolah--sesuai situasi-kondisi lingkungannya--menjadi kebutuhan mutlak! Sejarah menuntun, bangsa ini bertahan dengan lokal genius yang sangat unik di semua daerah! Pendidikan yang sentralistik menumpas tuntas segala bentuk dan jenis potensi keunggulan lokal tersebut!"
Selanjutnya.....

Notes 2009, Retorika Vs Antikorupsi!


"PERTARUNGAN persepsi tentang pemberantasan korupsi antara retorika penguasa lawan gerakan publik antikorupsi memuncaki kontraisu 2009, berujung dengan kandasnya selubung formal-legalistik oleh rasa keadilan masyarakat--dengan dipilihnya jalur di luar pengadilan justru oleh lembaga penegak hukum sendiri!" ujar Umar. "Ironisnya, di balik pergulatan itu kian mencuat realitas, justru retorika merupakan lawan sesungguhnya gerakan perjuangan antikorupsi!"

"Ironika itu jadi amat menonjol pada event Hari Antikorupsi Sedunia 9 Desember!" sambut Amir. "Retorika bernada sangat tinggi mengadangnya, dengan tudingan acara itu ditunggangi gerakan sosial bermotif politik menggulingkan kekuasaan! Retorika itu berhasil membuyarkan momentum yang dibangun koalisi gerakan antikorupsi--acara Hari Antikorupsi Sedunia antiklimaks, berlangsung relatif seadanya, kurang greget!"

"Dengan sukses itu, terutama sebagai revans atas kandasnya retorika berselubung formal-legalistik pada kasus cicak lawan buaya, retorika kembali diandalkan untuk mementahkan persepsi publik terkait skandal Bank Century!" tegas Umar. "Tidak kepalang tanggung, retorika bukan lagi semata lewat pernyataan atau pidato-pidato, diperkuat lagi lewat jalur komersial--serial iklan yang intens di media massa utamanya televisi, membentuk logika publik tentang relevansi membantu bank di masa krisis, untuk menghapus memori publik atas penggelontoran dana Rp6,7 triliun untuk memenuhi CAR (modal sendiri) 10 persen sebuah bank kecil!"

"Retorika memang cenderung selalu overdosis! Seperti iklan, tarifnya bisa lebih Rp20 juta per setengah menit pada prime time!" timpal Amir. "Namun itu sebanding dengan dampak retorika multidimensi yang bukan saja bisa larut dalam memori publik dalam jangka panjang, melainkan juga memperlemah sendi-sendi gerakan yang menjadi target! Contohnya, meski Bibit-Chandra diaktifkan kembali, pascakasus cicak lawan buaya KPK tak setajam dan segalak sebelumnya--ikut tak kunjung bisa menjadikan Anggodo sebagai tersangka!"

"Di mana letak keistimewaan retorika sehingga selalu unggul dalam pergulatan wacana publik, bahkan saat momentumnya matang seperti pada Hari Antikorupsi Sedunia?" tanya Umar.

"Karena retorika berkendara kekuasaan yang menguasai medan di semua lini!" jawab Amir. "Konon lagi dalam skandal Bank Century, selain kekuasaan politik, juga kekuasaan uang--terkait Bank Indonesia sebagai pusat moneter dan Departemen Keuangan pusat

fiskal! Sehingga, kalau soal iklan televisi, meski tampil atas nama lembaga atau yayasan apa pun itu, soal uang untuk retorika masalah kecil!"

"Kalau begitu 2009 memang tahun yang istimewa, kurun di mana opini publik antikorupsi mampu mengungguli retorika--meski cuma sementara!" timpal Umar. "Viva opini publik! Viva retorika!" ***


Selanjutnya.....

Notes 2009, Publik Mendikte Elite!


"SO, what wrong ketika watak jabatan jadi lebih dominan mengaktual ketimbang integritas atau kepribadian asali sang tokoh?" tukas Umar.

"Saat tokoh idealis-kritis mendapat jabatan kekuasaan, wataknya bisa berubah jadi buto terong?"

"Dalam 2009, ada gejala memuncak di balik what wrong itu! Publik, rakyat kebanyakan atau jelata, terkulminasi didih batas kesabarannya, tecermin pada respons mereka lewat Facebook dan koin untuk Prita terkait penderitaan yang kelewat batas para korban penyimpangan watak elite!" sambut Amir.


"Bahkan keadaan jadi berbalik seperti film Robert Redford, Lions for Lambs--saat singa-singa dipermainkan domba! Publik--rakyat kecil dan lemah, sang domba--mendikte elite--singa! Kesan itu menonjol dalam gumpalan-gumpalan kumulonimbus informasi pers, yang secara komprehensif (media cetak dan elektronik) menggalang banjir bandang opini publik menggelontor tumpukan kotoran yang menyesakkan kehidupan bangsa!"

"Tapi apa inti penyebab perubahan watak itu?" potong Umar.

"Kekuasaan sebagai dunia elite itu seperti ruang besar berpengatur udara tersendiri, siapa saja masuk ruangan itu dan menghirup udaranya, tanpa sadar ia berwatak dan berperilaku seperti orang-orang dalam ruangan tersebut!" jelas Amir.

"Ruang besar itu sendiri bernama kultur, dalam hal ini kultur kekuasaan dengan ciri-ciri amat khas sesuai historisnya! Lazimnya kultur, menggerakkan dari bawah sadar! Itu disadari kaum revolusioner, yang lewat revolusi berusaha mengubah kultur kekuasaan itu, tapi secara prinsip tak pernah berhasil--sebab, saat masuk ruangan itu, watak mereka juga berubah menjadi seperti orang borjuis yang mereka singkirkan melalui revolusi!"

"Lantas, bagaimana geliat publik lewat gebrakan opininya melalui beragam media, yang dalam 2009 bisa menjadi banjir bandang melabrak penyimpangan watak elite?" tanya Umar.

"Itu kekhasan 2009, yang mungkin akan menjadi bahan studi menarik di masa depan!" jawab Amir. "Karena, seperti lazimnya banjir bandang, terjadi sekali-sekali dengan adanya proses sebab-akibat yang menjadi pemicunya! Seusai banjir bandang, biasanya orang berbenah terhadap sebab-akibat dimaksud! Di lain pihak, pers tak mudah untuk membentuk kembali gumpalan kumulonimbus opini publik guna membuat hujan besar yang bisa menjadi banjir bandang!"

"Maksudmu, banjir bandang itu hanya mengubah sedikit dan sejenak watak elite dari kultur bawah sadar kekuasaan?" kejar Umar.

"Bisa disimak saksama, perubahan sedikit dan sejenak itu pun tidaklah tulus--telunjuk lurus kelingking berkait!" tegas Amir. "Lebih tepat lagi, hal itu terjadi semata karena retorika jebol oleh banjir bandang opini publik! Menambal retorika jelas lebih mudah daripada membuat banjir bandang!" n 
Selanjutnya.....

Notes 2009, Sirkulasi Elite Politik!


"2009 tahun yang riuh dengan pertarungan elite di gelanggang politik!" ujar Umar.

"Dibuka dengan unjuk kekuatan pemilu legislatif, lanjut ke pemilu presiden, berujung hak angket DPR atas skandal Bank Century yang berlanjut ke 2010!"

"Pemilu legislatif melanjutkan proses perputaran roda sejarah dengan sirkulasi elite politik di semua tingkatan, lokal, provinsi dan nasional, kali ini giliran Partai Demokrat naik ke atas! Demokrat menggantikan posisi Partai Golkar--pemenang Pemilu 2004, yang sebelumnya menggantikan posisi PDIP, pemenang Pemilu 1999!" sambut Amir.

"Perputaran elite antarpartai menguasai mayoritas wakil rakyat itu cermin relatif tingginya dinamika politik nasional dekade pertama Abad 21! Namun, dinamika tinggi itu hanya terjadi pada rakyat pemilih! Sedang elitenya, setiap baru saja berkuasa ujug-ujug jadi status quo--jalan di tempat, sehingga setiap kali segera ditinggalkan oleh rakyat! Meski dengan pengalaman sebagai pelajaran segamblang itu, Partai Demokrat yang baru berkuasa juga tampak siap ikut mengulang sejarah--keburu berlagak status quo! Gaya politik di parlemen yang defensif dari opini publik dalam berbagai kasus mutakhir, mengawali gejalanya!"


"Ketimpangan dinamika elite dari rakyatnya itu bukan semata terjadi di politik!" tukas Umar. "Di bidang hukum dan teknologi informasi (TI), tanpa kecuali! Kasus Prita Mulyasari dan penetapan tersangka korupsi pimpinan KPK (Bibit-Chandra), jadi isyarat elite hukum tertinggal dari rakyat, baik dalam hukum itu sendiri maupun dalam TI. Ketinggalan elite hukum dari rakyat terutama dalam memaknai keadilan bukan kepalang, hingga mengundang people power lewat IT (facebook)--lebih setengah juta akun dan nyaris Rp1 miliar koin recehan dalam kasus Prita, dan 1,2 juta akun lebih dalam kasus Bibit-Chandra, hingga mengundang Presiden menggunakan hak prerogatifnya membentuk tim verifikasi independen dan usaha penyelesaian di luar pengadilan! Semua itu tercetak tebal di notes 2009, sebagai mile stone kemajuan opini publik!"

"Orientasi status quo pada setiap elite yang sedang berkuasa (baik politik maupun hukum), membuat sirkulasi elite hanya terjadi secara fisis! Sedang dalam idea atau sikap-lakunya, jebul kurang lebih sama--semata demi kepentingan kekuasaan dan hak-hak istimewanya!" timpal Amir. "Akibatnya rakyat selalu terkecoh! Memilih wayang janoko, saat naik panggung jogetannya kok cakil, atau malah buto terong! Di panggung yang tampil bukan watak asli tokohnya yang khas, tapi watak jabatan--seolah ada cetakannya, setiap jabatan punya model watak tertentu--sehingga gonta-ganti tokoh pun dalam sirkulasi elite, watak orang yang duduk di suatu jabatan akan selalu sama!
Demonstran paling idealis sekalipun, ketika menduduki jabatan kekuasaan wataknya berubah, bisa jadi buto terong juga! So what wrong, gitu lo!" ***

Selanjutnya.....

Aksi Perampok Nekat di Lampung!


"KAWANAN perampok nekat beraksi di Lampung, menggondol Rp2,75 miliar dari mobil bank yang membawanya!" ujar Umar. "Disebut nekat, karena beraksi siang bolong, terhadap mobil bank yang dikawal polisi bersenjata otomatis, penyergapan dilakukan di depan pos dijaga seregu satpam, di sisi jalan raya lintas Sumatera yang ramai pula!"

"Dari cara penyergapan dengan senjata api laras panjang dan pendek hingga relatif mudah melumpuhkan polisi bersenjata otomatis--bahkan merampas senjatanya--mengindikasikan para pelaku bukan pemain lokal yang umumnya cuma bersenjata api rakitan!" sambut Amir. "Kalaupun ada pemain lokal yang terlibat, mungkin hanya penggambar situasi yang agak lama juga dilakukan hingga aksi mereka cukup terencana!"

"Dibanding aksi sejenis beberapa waktu lalu, menyergap mobil bank di jalan raya Metro menuju Bandar Lampung yang relatif berantakan--sopir sampai tergilas mobil--hingga polisi lebih mudah mencari pelakunya, aksi kali ini lebih rapi!" tukas Umar.


"Kerapian itu bisa membuat polisi lebih sulit mencari pelakunya! Lebih-lebih, jika benar pelaku utama merupakan pemain luar daerah! Kecuali, nomor polisi lokal pada mobil yang dipakai pelaku bisa menuntun ke petunjuk lebih jelas!"

"Harapan tentu, seprofesional apa pun penjahat yang beraksi di Lampung selalu bisa diringkus polisi!" timpal Amir. "Betapa, jika mobil dengan pengawalan polisi saja bisa jadi sasaran empuk penjahat, bagaimana pula dengan mobil warga yang tanpa pengawal! Di sisi lain, kegagalan polisi mengatasi kejahatan, wilayahnya bisa dijadikan 'ladang' oleh penjahat!"

"Untuk itu, selain usaha meringkus para pelaku perampokan, ada hal-hal khusus yang layak jadi perhatian polisi!" sambut Umar. "Terutama peningkatan kemampuan anggota menghadapi situasi kritis! Bukan saja skill mengatasi ancaman penjahat, tapi juga mengoordinasi bantuan! Seperti petugas yang sebenarnya curiga pada mobil yang membuntuti mereka sepanjang jalan, seharusnya dia menghubungi Mapolres Lampung Tengah yang terletak di tepi jalan raya untuk mendapat tambahan pengawalan, atau malah membelokkan mobil yang dikawalnya masuk Mapolres! Tepatnya, kematangan untuk mengantisipasi situasi perlu ditingkatkan!"

"Koordinasi pengamanan seperti itu tak semata pada petugas di mobil! Tapi harus komprehensif, dengan skenario yang tersistem baik!" tegas Amir. "Kuncinya memang petugas di mobil, yang harus dilengkapi alat komunikasi! Bukan saja dia bisa menghubungi dan berkomunikasi dengan setiap polsek dan polres yang dilalui, juga bisa dimonitor satuan tugasnya sejak dia melapor mobilnya berangkat! Penjahat sudah semakin canggih dan nekat, polisi harus lebih unggul dalam segala hal untuk mengatasinya!" ***
Selanjutnya.....

Arus Balik Century Gate, Justifikasi!


"GUMAM warga selentingan, ada arus balik Century Gate!" ujar Umar. "Seperti apa?"

"Masak arus balik berupa pembenaran atau justifikasi terhadap bailout Bank Century begitu gamblang tak kau simak?" tukas Amir. "Pertama, iklan televisi yang ditayangkan intens, bunyinya, 'penyehatan bank di saat krisis, menyelamatkan ekonomi dari krismon! Jangan dipolitisasi!' Kedua, gerakan mendukung Sri Mulyani dan Boediono di Facebook! Dukungan untuk Sri Mulyani kemarin sore sudah lebih 700, sedang untuk pasangan dengan Boediono sudah lebih 200 facebookers! Semua itu belum cukup, seluruh pegawai Depkeu dari staf terbawah sampai dirjen memakai pita hitam bertulisan 'M' di lengan bajunya, dilakukan sampai masalah Century Gate yang menimpa Sri Mulyani selesai!"

"Kayaknya arus balik itu berpengaruh ke Pansus DPR yang sedang berusaha mengungkap Century Gate!" timpal Umar. "Dalam memeriksa mantan gubernur dan deputi senior gubernur BI, Pansus sebagian besar lebih menjurus untuk pencerahan mengenai seluk-beluk sistem perbankan! Sedang yang serius pun ikut terjebak batasan pimpinan rapat pada masalah FPJP (fasilitas pendanaan jangka pendek), terutama legalitasnya! Akibatnya, nyaris tak ada yang telak menohok dengan hasil audit investigasi BPK yang menegaskan Rp2,8 triliun dana talangan dikucurkan tanpa dasar hukum--sekaligus sebagai inti masalah, di balik kebijakan penyehatan Bank Century, ada yang membonceng mengalirkan dananya di luar ketentuan--seperti petunjuk PPATK!"


"Kalau cara kerja Pansus terus begitu, lebih fokus pada legalitas FPJP yang diberikan BI dengan menghindari soal pembonceng dan aliran dana, hasil kerja Pansus bisa ikutan cuma menjustifikasi atau pembenaran atas penyehatan bank dengan talangan Rp6,7 triliun itu!" tukas Amir. "Prakiraan itu didasari faktor kualitatif Pansus, di antaranya ada anggota yang menanya 'apakah dana LPS (Lembaga Penjamin Simpanan) itu uang negara?' Padahal, LPS didirikan dengan modal dasar dari negara (APBN) sebesar Rp4 triliun, yang dalam satu kasus menyangkut bank sekecil Century modal dasar dari negara itu ewes-ewes, bablas, dengan banjir bandangnya ikut menghanyutkan Rp2,7 triliun uang rakyat yang dihimpun lewat pungutan dari bunga bank para nasabah yang disetorkan bank ke LPS!"

"Meski banjir bandang Century Gate membawa hanyut uang negara dan uang rakyat sedemikian besar, daya dobraknya akan bisa diredam ketika kekuasaan berhasil menguasai media massa dengan gelontoran arus balik yang intensitasnya cukup mendominasi tayangan!" timpal Umar. "Artinya, akibat politisi membawa masalah ini menjadi pertarungan kekuasaan, bukan pada tempatnya mengharap kebenaran yang menang, tapi sewajarnya jika yang berkuasa menang!" 
Selanjutnya.....

CPNSD, Nasib Guru Honorer Murni!


SETIAP ada pengumuman hasil tes calon pegawai negeri sipil (CPNSD), seorang guru honorer murni ikut sibuk membeli koran untuk melihat apakah namanya tercantum!

"Mengambil formasi apa?" tanya pemuda peserta testing di dekatnya.

"Formasi apa?" guru honorer itu balik bertanya.

"Dalam tes CPNSD setiap peserta memilih formasi!" jelas pemuda. "Jadi ibu tidak ikut tes?"

"Aku guru honorer!" jawab ibu. "Dalam pidato Presiden SBY pada Hari Guru 2 Desember 2008 yang kutonton di televisi jelas dia katakan, akhir 2009 semua guru bantu dan guru honorer selesai diangkat! Kupikir, di pengumuman penerimaan CPNSD akhir tahun 2009 ini namaku akan muncul! Katanya, mendapat pengangkatan otomatis!"


"Ini hasil tes CPNSD untuk penerimaan umum, jadi khusus buat yang ikut tes! Bukan otomatis!" jelas pemuda. "Lagi pula, guru bantu dan honorer yang dapat pengangkatan otomatis itu khusus yang masuk formasi atau data base Depdiknas 2005! Itu yang dijanjikan presiden selesai diangkat 2009!"

"Formasi lagi!" entak bu guru. "Bagaimana cara masuk formasi itu? Aku sudah mengajar lebih 15 tahun, kenapa tak masuk formasi dan ikut dapat pengangkatan otomatis? Demikian pula banyak guru honorer murni yang bernasib sepertiku!"

"Manalah kutahu!" timpal pemuda. "Memang tak adil, kalau guru yang sama-sama mendidik anak bangsa mengalami diskriminasi, ada yang dapat pengangkatan otomatis, tapi banyak pula yang meski sudah lebih lama mengajar malah tidak masuk formasi! Mungkin perlu heregistrasi, agar semua guru yang punya fungsi dan peran sama bagi bangsa mendapatkan perlakuan dan penghargaan yang adil!"

"Maaf ya, Dik, saya salut pada simpatimu!" tegas guru. "Tapi seberat-berat mata memandang, lebih berat bahu kami yang memikul deritanya! Kau berkali-kali menyebut formasi, selama ini tak ada sosialisasi pada kami guru honorer murni apa itu formasi dan bagaimana cara mengisinya! Ada kecenderungan, kalau ada peluang seperti formasi itu, yang berkuasa menanganinya secara diam-diam, seolah kami tak punya hak untuk itu!"

"Sebaiknya ibu dan kawan-kawan proaktif dalam mencari informasi!" tegas pemuda.

"Contohnya di pengumuman hasil tes CPNSD ini, banyak formasi guru yang tak terisi! Padahal, di sisi lain, banyak guru honorer yang tak jelas nasibnya!"

"Bagaimana kami harus proaktif cari informasi, dengan honor yang amat kecil kami harus tugas mengajar di kelas pagi dan kelas sore agar bisa menambah pendapatan!" tegas guru. "Belum lagi, kami guru honorer tempat mengajarnya di pelosok-pelosok jauh, yang ditinggalkan oleh guru PNS untuk berjubel di pinggiran kota atau daerah ramai! Kalau kami proaktif cari informasi, harus meninggalkan murid telantar tak ada yang mengajar! Jadi, hanya sikap adil penguasa yang bisa memperbaiki nasib kami! Sayangnya, sejauh ini hal itu belum terlihat!"
Selanjutnya.....

Century Gate, Menyoal Sikap Presiden!

"SIKAP Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menolak imbauan Pansus Century Gate DPR agar menonaktifkan Boediono dari wakil presiden dan Sri Mulyani dari menteri keuangan, dipersoalkan!" ujar Umar. "Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin menyatakan tidak harus dilihat dari sisi hukum, tapi dilihat dari sisi moral. Secara moral memang sebaiknya demikian (nonaktif). Anis Matta, Wakil Ketua DPR dan Sekjen PKS, senada, menyatakan ini soal etika politik. seharusnya Presiden sudah mengerti keinginan publik." (Koran Tempo, 20-12-2009)
"Itu yang memasalahkan!" sambut Amir. "Objektif dong, pasti banyak yang mendukung Presiden!"

"Memang!" tegas Umar. "Pendukung sikap Presiden itu Yusril Ihza Mahendra, ahli hukum tata negara. Menurut dia, tidak ada institusi yang berwenang menonaktifkan wakil presiden, termasuk Presiden sendiri. Karena, presiden dan wakilnya dipilih langsung! Juga Agung Laksono, wakil ketua umum Partai Golkar, menyatakan dalam UUD dan UU Kementerian Negara, tidak ada yang mengatur penonaktifan. Kecuali sudah ada proses persidangan."

"Dilihat dari esensi pernyataan kedua pihak, yang menentang dan mendukung, terjadi benturan antara pendekatan etika-moral dan pendekatan hukum!" timpal Amir. "Ini
membuat kita dituntut berpikir lebih jauh, karena seharusnya, etika-moral merupakan sumber dari hukum! Artinya, idealnya hukum itu merupakan implementasi dari etika-moral masyarakatnya! Jika etika-moral dan hukum tidak nyambung, berarti ada mata rantai yang hilang--missing link, khususnya dalam pengamalan hukum--sehingga implementasi hukum lepas dari etika-moral!"

"Mata rantai itu hilang sehingga etika-moral dan hukum tidak
nyambung karena kasusnya terkait politik, lebih khusus lagi politik kekuasaan!" tegas Umar. "Dilihat prosesnya, Pansus DPR mengimbau itu setelah rapat tertutup membahas isi amplop tertutup dari PPATK! Karena ketertutupan isi amplop itu harus dijaga sesuai amanat MA, maka tanpa membuka isi amplop itu pada publik Pansus menyampaikan imbauan penonaktifan! Artinya, secara etika-moral isi amplop itu cukup untuk dijadikan dasar imbauan tersebut! Kalau hukum diamalkan berorientasi etika moral, proses lahirnya imbauan itu sudah cukup sebagai dasar!"

"Tapi karena hukum lebih berorientasi politik kekuasaan, hukum semata tergantung pada bunyinya sedang semangatnya dikesampingkan, sendi etika-moral yang merupakan semangat itu tak dipakai hingga hukum pun tidak nyambung dengan etika-moral!" sela Amir. "Masalah ini bisa terjadi sudah diprediksi sejak awal oleh para penyusun UUD, sehingga mereka wanti-wanti, hidup-matinya UUD dan hukum tergantung pada semangatnya! Jika semangatnya hidup UUD itu akan hidup, sedang jika semangatnya mati UUD tinggal nama! Masalahnya, sudah sejauh itukah praktek konstitusi dan hukum kita?" ***
Selanjutnya.....

Darurat Iklim, Manusia Jadi 'Alien'!


"APAKAH alien--makhluk dari planet lain--memang seperti dalam film?" tanya anak. "Seperti manusia, tapi kaki dan tangannya kecil, perut buncit, kepala besar dengan mata bundar melotot?"

"Itu cuma gambaran Hollywood, terutama Steven Spielberg yang membuat film alien!" jawab ayah. "Gambar itu memperingatkan, jika pemanasan global tak dihentikan, temperatur jadi sangat tinggi, tubuh manusia dari generasi ke generasi akan menyusut akhirnya jadi seperti alien dari planet yang iklimnya lebih dahulu rusak itu!"

"Akibat pemanasan global manusia juga bisa jadi alien!" tukas anak.


"Asyik! Naik piring terbang keliling alam semesta dengan kecepatan cahaya!"

"Kendaraan ruang angkasa berkecepatan cahaya itu belum bisa dibuat manusia!" tegas ayah. "Manusia baru bisa membuat supersonik dengan dua atau tiga kali kecepatan suara! Kecepatan cahaya 10.000 km per detik, sedang kecepatan suara 1.800 km per jam!"

"Busyet!" entak anak. "Makhluk perutnya busung lapar begitu pintarnya bukan kepalang!"

"Dan itu mereka capai jutaan tahun lalu!" timpal ayah. "Planet mereka letaknya jutaan tahun cahaya dari bumi, kalau mereka terbang dengan kecepatan cahaya dan sampai di bumi sebagai UFO--unidentified flying object--abad ini, berarti berangkatnya jutaan tahun lalu!"

"Kalau begitu lama di perjalanan, makhluk yang terlihat seperti anak busung lapar itu bisa jadi hantunya!" tegas anak. "Juga makhluk di bumi, kalau temperaturnya sudah lebih 100 derajat Celsius, pasti manusia aslinya tewas dan yang gentayangan di bumi tinggal hantunya!"

"Itu tak boleh terjadi, sehingga PBB mengadakan Pertemuan Puncak Darurat Iklim di Kopenhagen, mencegah pemanasan global satu dekade ke depan ini tak melewati dua derajat Celsius!" tegas ayah. "Tapi negara-megara berkembang kecewa, karena usulan biaya yang mereka ajukan untuk merehabilitasi hutan tak dicantumkan dalam kesepakatan! Juga, tingkat penurunan buangan gas rumah kaca negara industri yang memicu pemanasan global, tak ditetapkan batasannya!"

"Berarti, kita bisa lebih cepat jadi alien!" tukas anak. "Sebab, jika setiap dekakde temperatur bumi tak terbendung naik dua derajat, satu abad naik 20 derajat, sudah tak betah lagi manusia pakai baju! Beberapa abad ke depan, manusia kembali ke zaman purba--tanpa busana!"

"Itu hanya terjadi pada rakyat negeri berkembang yang miskin, tak mampu hidup dalam kapsul berpendingin!" timpal ayah. "Warga negeri maju tetap nyaman dalam kapsul berpendingin, meski setiap keluar terpanggang! Jadi, negeri-negeri berkembang harus mandiri, jangan mengemis melulu, merehabilitasi sendiri hutannya agar lingkungannya tetap sejuk! Jika negeri maju terpanggang buangan gas rumah kacanya sendiri, pasti mereka turunkan juga!"
Selanjutnya.....

Paranoid, Korupsi seperti Asma!


PRIA paro baya belajar golf, sudah memukul lebih 10 ribu bola tetap main di drive--tempat belajar memukul--tak kunjung ikut bermain di lapangan! Lazimnya, setelah memukul 3.000 bola orang lain berani turun ke lapangan.

"Bapak sudah bisa memukul dengan semua jenis stik, kenapa tak mencoba bermain di lapangan?" tanya pelatih. "Banyak pasangan main yang setara Bapak kemampuannya!"

"Nanti saja, musim kemarau!" jawab pria. "Panjang lapangan lebih lima kilometer, kalau hujan aku tak sempat berteduh! Padahal, kena hujan sedikit saja asmaku kambuh!"

"Ada kedi memegangi payung buat Bapak!" jelas pelatih. "Dalam golf yang memukul bola dengan filling, seminggu saja tak memukul kemampuan berubah, apalagi menunggu musim kemarau!"


"Pakai payung pun kalau hujannya diiringi angin, tetap saja ketampias!" entak pria.

"Kalau Bapak paranoid pada hujan, momentum yang sudah tercapai setelah memukul 10 ribu bola ini bisa hilang!" tukas pelatih. "Seperti penguasa paranoid terhadap gerakan antikorupsi bisa jadi gerakan menggulingkan kekuasaan, momentum pemberantasan korupsi yang matang jadi sia-sia!"

"Jadi korupsi seperti asma atau bengek yang bersarang sebagai penyakit keturunan?" sambut pria.

"Korupsi di lingkungan birokrasi pemerintahan memang penyakit keturunan, dalam arti warisan kultur amtenar yang feodalistis di zaman penjajahan!" tegas pelatih. "Akibat korupsi yang berakar dalam birokrasi dan paranoid terhadap hujan gerakan antikorupsi, negara kita jadi seperti Bapak yang bertahan main di driving, dalam persaingan global pelayanan usaha publik dan bisnis oleh birokrasi pemerintahan kita ranking-nya rendah sekali!"

"Serendah apa ranking-nya?" kejar pria.

"Menurut data International Financial Corporation 2008, pelayanan usaha publik dan bisnis oleh birokrasi pemerintahan di negara kita menduduki peringkat 123, dibanding Malaysia peringkat 24, Thailand 13, Vietnam 5, dan Singapura peringkat teratas! (Miftah Toha, Kompas [17-12-2009])" jelas pelatih. "Jadi, untuk persaingan dalam skala Asia Tenggara saja negeri kita di posisi underdog, dengan jarak perbedaan yang jauh sekali--nyaris 100 tingkat! Semua itu jelas akibat sifat koruptif dalam berbagai hal--terutama waktu--yang berakar di birokrasi pemerintahan kita!"

"Penyakit birokrasi pemerintahan kita juga kegemukan! Sering kulihat, di kantor-kantor pemerintahan pegawai berjubel tak banyak yang dikerjakan!" timpal pria.

"Konsekuensinya, biaya pegawai dan kelembagaan yang disebut dengan anggaran rutin
jadi membengkak, jauh lebih besar dari anggaran pembangunan dan anggaran untuk rakyat! Ini berakibat pembangunan jadi lambat, semakin jauh tertinggal dari negeri-negeri sekawasan! Lebih celaka lagi, sudah pun kegemukan, koruptif pula!" ***
Selanjutnya.....

Pansus, Potret Elite Suka Berlebihan!


SEORANG anak menangis dalam acara ulang tahun di rumah tetangga. "Dibagi cokelat satu seorang sama dengan teman-teman lainnya, kok malah menangis?" tanya guru TK, sang pembawa acara.

"Kalau memegang makanan cuma sebelah tangan dia menangis!" jelas baby sitter pendamping si anak. "Maunya kedua tangannya memegang!"

"O.., bakat elitenya, suka berlebihan, sejak kecil sudah menonjol, ya?" sambut bu guru. "Seperti Pansus Skandal Bank Century, merekrut tenaga ahli pendamping tugasnya sampai 24 orang!"


"Itu mah bukan mau kerja, tapi kenduri!" timpal seorang ibu yang menemani anaknya. "Mangan ora mangan asal ngumpul!"

"Ora mangan gimana?" entak ibu lainnya. "Dana Pansus sudah mereka usulkan Rp5 miliar! Dengan honor tenaga ahli Rp7,5 juta seorang per bulan, untuk tenaga ahli saja sebulan Rp180 juta!"

"Untuk anggota DPR yang terima lebih Rp40 juta sebulan, uang segitu kecil!" tukas ibu pertama. "Apalagi tenaga ahli itu amat mereka perlukan untuk menggantikan pekerjaan, agar mereka bisa tinggal terima bersih hasilnya dan dijamin lebih baik ketimbang kalau mereka kerjakan sendiri!"

"Jadi dengan gaji anggota DPR yang besar itu, tugasnya malah disuruh kerjakan orang lain yang dibayar DPR dengan honor relatif jauh lebih kecil dari mereka?" timpal ibu kedua.

"Mereka kan orang-orang terhormat, jadi tidak harus kerja keras untuk menyelesaikan tugasnya!" tegas ibu pertama. "Itulah potret elite kita, panutan bangsa! Jadi kalau warga masyarakat juga ikutan maunya dapat uang banyak tanpa kerja keras, sehingga siap berbuat apa saja demi meraih tongkrongan untuk itu, wajar saja! Semangat kerja keras jadi langka, karena bukan lagi penentu sukses yang diteladankan elite!"

"Selain langka semangat kerja keras, juga tak bisa menajamkan fokus pada inti masalah!" timpal ibu kedua. "Lihat saja setiap Pansus rapat, bicaranya bertele-tele, melebar tak menentu, lantas terjebak ke masalah tetek-bengek, berputar-putar habis waktu di sudut yang tak relevan!"

"Seperti semestinya fokus membahas sepeda, sepeda ada rodanya, pada roda ada pentil terbuat dari karet, lantas semua bicara membahas kebun karet!" tukas ibu pertama.

"Lucunya, mereka menyadari itu, sehingga merekrut sebanyak mungkin staf ahli agar ada yang menangani inti masalah secara fokus! Dengan begitu, meski mereka tak bisa menghentikan kebiasaannya suka berlebihan, tugas mereka diharapkan bisa diselesaikan oleh tim ahli! Nantinya, mereka tinggal membacakan kesimpulan akhir dan rekomendasi yang telah disiapkan tim ahli!"

"Sudah ibu-ibu, kita mulai acara ulang tahunnya!" potong ibu guru. "Kalau kita bicarakan sikap elite yang suka berlebihan, tak pernah habis! Karena, hal itu mereka lakukan berkelanjutan dengan setiap kali pakai modus baru!" n

Selanjutnya.....

Hukum, Serbasalah-Menyalahkan!

"PATRI..., Bu!" seorang tukang solder menjajakan jasanya sambil mengentak kecrekan di tangannya. "Semua perkakas dapur yang bocor, terbuat dari apa saja, kaleng, aluminium, plastik, melamin, bisa ditambal! Garansi satu tahun!"
"Patri!" seorang ibu bergegas keluar menenteng panci bertangkai. "Bocornya cuma merembes, tapi kalau diterawang terlihat bolongnya!"
Tukang solder gemetar memegang panci yang dia terima dari si ibu. "Berat sekali!" ujarnya. "Panci ini bukan kaleng, bukan aluminium, bukan plastik, bukan pula melamin! Bahannya plat baja, bagian dalam dilapisi seperti teflon, tapi palsu! Kalau asli tak mungkin bocor!"

"Tapi bisa ditambal, kan?" kejar si ibu.
"Alat dan bahan yang saya punya tak bisa dipakai menambal panci ini!" jelas penyolder. "Karena bahan dasarnya plat baja, mungkin harus dilas!"

"Katamu semua perkakas dapur yang bocor bisa ditambal!" entak si ibu.
"Entahlah, Bu! Aku jadi pusing!" timpal penyolder. "Ada saja barang baru, yang aku belum mengerti apa sebenarnya itu dan bagaimana
nambalnya!"
"Aku lebih pusing lagi dengan munculnya masalah baru yang tak jelas juntrungannya!" tegas ibu. "Siang-malam menonton televisi beritanya soal-soal hukum yang membingungkan terus! Dari duha sampai magrib tak putusnya sidang kasus Antasari, dari hari ke hari muncul masalah baru yang menambah pusing penonton! Rapat-rapat Pansus Skandal Century bertele-tele, melebar jadi polemik ke mana-mana soal rekaman yang inti tuduhannya malah dibantah! Di KPK heboh soal RPP--rencana peraturan pemerintah--tentang penyadapan, tapi oleh Mahkamah Konstitusi dinyatakan melanggar konstitusi! Pokoknya, kita rakyat ini cuma bisa semakin bingung karena di kalangan atas yang harus jadi teladan dalam hal hukum, saling silang pandangan, seolah hukum kita tak punya standar! Lantas, dari mana kita dapatkan kepastian hukum, kalau hukum
telah kehilangan standar begitu?"

"Maaf, Bu! Saya lebih pusing, semula merasa semua perkakas dapur bisa saya tambal, kaleng, plastik, aluminium, melamin, ternyata ada saja barang baru yang tak bisa saya tambal!" timpal penyolder. "Soal berita televisi, dulu saya rajin
nonton di tetangga! Tapi sejak seperti kata ibu, cuma memusingkan, tak pernah nonton lagi!"

"Beruntunglah kau yang pusing tertinggal oleh kemajuan teknologi tidak ditambah pusing lagi dengan simpang siur hukum yang memenuhi sajian berita televisi nasional!" tegas ibu. "Tapi warga lain, banyak yang sudah pun pusing oleh kesulitan memenuhi kebutuhan hidupnya, masih diperpusing lagi oleh berita hukum di televisi! Prosesnya dari hari ke hari bukan membuat warga semakin paham hukum, tapi akibat sini salah situ juga salah, hukum jadi lebih dipahami sebagai yang serbasalah-menyalahkan belaka!"
Selanjutnya.....

Rakyat Dambakan Arjuna-Srikandi!


TEMON tinggal satu-satunya orang dari kawasan desa transmigran yang bisa menggambar wayang Arjuna dan Srikandi pada sebutir kelapa gading muda untuk tingkeban--upacara tujuh bulan kehamilan anak pertama. Setiap minggu ada saja yang datang minta bantuannya untuk itu.

"Kenapa harus Arjuna dan Srikandi?" tanya Temin.

"Supaya kalau anaknya laki-laki seperti Arjuna, kalau perempuan seperti Srikandi!" jelas Temon. "Juga petunjuk, kalau bacokan ayah si bayi waktu membelah kelapa itu lurus anaknya laki-laki!"

"Apakah semua itu terbukti?" kejar Temin.

"Logikanya, kalau tidak terbukti kebiasaan itu pudar, karena orang jadi enggan!" jawab Temon.


"Tapi kuperhatikan, anak-anak lahiran kawasan sini tak banyak yang tampan seperti Arjuna atau secantik Srikandi!" tukas Temin. "Kalau ada yang tampan dan cantik, sepadan ayah--ibunya!"

"Yang paling didambakan rakyat bukan tampan atau cantiknya wajah, tapi watak kesatrianya yang tegas, berani bersikap meski ada risiko!" tegas Temon. "Arjuna, jadi idola dengan sosoknya sebagai problem solver, tokoh penuntas masalah yang dilakukannya secara kesatria, tegas dan siap berkorban! Sosok itu bisa diperankan siapa saja sesuai skala peran di lingkungannya!"

"Berarti rakyat membutuhkan banyak Arjuna dan Srikandi yang berperan pada skala lingkungan tokohnya!" timpal Temin. "Tapi sosok dambaan yang seharusnya menjadi bagian dari masyarakat itu justru langka dalam masyarakat! Akibat langka sosok problem solver di tengah masyarakat, rakyat kebanyakan terpaksa harus selalu berjuang sendiri untuk mengentaskan diri, keluarga dan warganya dari kemiskinan! Apa
inti masalahnya?"

"Feodalisme di lapisan elite kita dengan status oriented, rupanya telah merebak ke lapisan sosial terbawah hingga meski mereka masih mendamba Arjuna dan Srikandi, dalam prakteknya mereka sudah lepas dari role oriented--orientasi fungsi dan peran--seperti ditanamkan wayang!" jelas Temon. "Anak jelata yang sejak usia tujuh bulan dalam kandungan sudah diidamkan jadi problem solver yang fungsional berperan sebagai bagian dalam masyarakat, malah ikut-ikutan berburu status! Akibatnya, warga masyarakat lapisan terbawah cenderung terus semakin lemah, karena selalu kehilangan unggul-unggul--sosok tulang punggung warga yang bisa diandalkan--karena mereka ikut berburu status dan saat berhasil, orientasinya beralih ke level elite, bukan lagi ke warga aslinya!"

"Pakai apa anak-anak jelata direposisi ke asalnya, agar tak ikutan status oriented?" kejar Temin.

"Sistem pendidikannya yang harus diubah, bukan anaknya!" tegas Temon. "Sistem pendidikan kita terlalu status oriented, tak kenal role oriented! Tamat SMP, SMA, tak tahu peran apa yang bisa diambilnya dalam masyarakat! Padahal, wajib belajar cuma sampai SMP!"
Selanjutnya.....

Polemik Century Gate, Bau Durian!

DAGANG durian, Temin kesulitan mendapatkan dagangan! Durian di tengkulak hasil unduhan, bukan jatuhan! "Pembeli memilih durian dengan mencium! Bau durian unduhan tak seharum jatuhan!" ujar Temin. "Durian unduhan tak laku!"

"Gampang mengatasi penciuman pembeli!" timpal tengkulak. "Ambil durian jatuhan, isinya yang harum masukkan ke ember berisi air, lalu aduk! Airnya cipratkan ke kulit semua durian unduhan, harum durian jatuhan melekat di semua durian! Baunya cukup menyengat dalam mobil ber-AC!"

"Jadi mengalihkan bau durian jatuhan ke kulit durian unduhan? Tidak ada pedagang durian mau melakukan itu!" entak Temin. "Kasihan pembeli, sampai rumah dibuka duriannya mentah! Masak dagang durian saja harus seperti elite politik di DPR, melakukan polemik pengalihan perhatian hingga penanganan Century Gate melebar dan rakyat tidak fokus lagi pada inti masalah!"

"Itu namanya trik! Dagang juga seperti politik, harus pintar trik!" timpal tengkulak. "Hasil trik lebih besar dari yang lurus-lurus saja! Contohnya durian unduhan ini harga kulaknya lebih murah dari jatuhan, dengan trik bisa kau jual seharga durian jatuhan! Untungmu jadi lebih besar!"

"Tapi trik itu menurut kamus berarti tipuan!" tegas Temin. "Jadi, baik dagang maupun berpolitik sebaiknya hindari penggunaan trik!"

"Ah, pesulap bekerja dengan trik!" ujar tengkulak. "Tapi tak ada yang merasa dirugikan!"

"Jelas berbeda pesulap dengan pedagang, apalagi politisi yang menjalankan amanah rakyat!" tegas Temin. "Kalau politisi memakai trik, mengalihkan perhatian dari inti masalah dengan polemik, waktunya habis untuk polemik! Inti masalah cuma kebagian sisa waktu, yang mentah jadi layu! Akibat trik-trik pula sepanjang sejarah hak angket DPR selalu layu, tak pernah tuntas!"

"Maunya tuntas seperti apa?" timpal tengkulak.

"Tuntas tas-tas-tas!" tegas Temin. "Tas pertama, tuntas menyingkap penyimpangan kebijakan, untuk bank kecil di-bailout sampai Rp6,7 triliun! Jika bailout untuk mencukupi modal sendiri (CAR) 10 persen, berarti harus dibuktikan pernah ada dana pihak ketiga parkir di bank itu sebesar Rp67 triliun! Tas kedua, kejelasan aliran dana yang oleh BPK disebut tidak berdasar hukum sebesar Rp2,8 triliun lebih! Tas ketiga, harus jelas hirarki tanggung jawab pengambilan keputusan bailout, termasuk jalur hirarki siapa bertanggung jawab ke siapa semua yang hadir pada rapat KSSK untuk bailout! Misal, Marsilam hadir atas nama lembaga apa yang bertanggung jawab pada siapa! Hirarki kepada siapa dia bertanggung jawab itulah, pihak yang harus bertanggung jawab!"

"Harapan itu terlalu jauh, tak bisa tuntas!" entak tengkulak. "Apalagi jika trik untuk semua itu sudah siap di balik polemik yang sok seru itu! Jadi, bukan tas-tas-tas, tapi trick and trick!--cara untuk mendapatkan permen--saat Halloween!" n
Selanjutnya.....

Rakyat Kreatif Ekspresikan Nurani!


"RAKYAT Indonesia sungguh kreatif, tak kehabisan cara mengekspresikan hati nurani, yang bukan saja memikat dukungan publik, tapi juga dalam menemukan cara-cara baru!" ujar Umar. "Dalam kasus Prita Mulyasari, misalnya, terjadi dua gelombang ekspresi nurani yang menggebrak ruang publik, mengaktual jadi people power! Pertama lewat Facebook, dalam waktu singkat meraih dukungan lebih 500 ribu facebookers! Kedua lewat Koin Buat Prita, dalam waktu relatif singkat berhasil menghimpun Rp500 juta lebih!"

"Pesatnya eskalasi dukungan dalam kasus Prita, akibat putusan hukum bertentangan dengan hati nurani rakyat!" sambut Amir. "Putusan hukum itu ibarat bensin yang disiramkan ke ilalang kering hati nurani rakyat, ketika disulut lewat Facebook dan koin, langsung marak! Masalahnya, kenapa hukum membuat hati nurani rakyat jadi ilalang kering? Padahal, setiap proses hukum didahului pro-justisia 'Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa', di mana hati nurani merupakan God Spot--titik Illahiah setiap insan!"


"Berarti pokok masalah pada tidak relevannya produk hukum dengan pro-justisia!" tegas Umar. "Tapi itu bukan selalu berarti kesalahan aparat hukum baik itu polisi, jaksa, atau hakim! Tapi bisa pada Undang-Undang (UU) atau hukum formal yang dengan sifat positivistiknya tidak terjamin 'nyambung' dengan sifat Illahiah hati nurani--karena UU diciptakan tidak terlepas dari kepentingan tersembunyi pembuatnya--lazim disebut kepentingan status quo kekuasaan!!"

"Soal itu sebenarnya selalu disadari para pembuat UU, hingga dalam UU Kekuasaan Kehakiman ditegaskan kewajiban hakim menggali hukum berdasar rasa keadilan masyarakat--keadilan yang berakar pada hati nurani rakyat!" timpal Amir. "Dari berbagai kasus yang dimasalahkan publik, terlihat masalah kreativitas menjalankan amanah UU untuk menggali rasa keadilan masyarakat itu yang cenderung kurang, sehingga putusan yang secara hukum mungkin benar, bertentangan dengan hati nurani!"

"Dengan di lain pihak rakyat lebih kreatif dalam mengekspresikan hati nurani setiap ada putusan yang bertentangan dengan rasa keadilannya, kekurangkreatifan aparat hukum memenuhi amanat untuk menggali rasa keadilan mencuat, dengan akibat rendahnya mutu putusan hukum!" tegas Umar. "Mutu putusan hukum yang rendah pada standar rasa keadilan masyarakat, sehingga tidak relevan dengan hati nurani rakyat, bisa menurunkan kepercayaan publik pada proses hukum! Jika hal itu berlarut-larut, bisa membuat nurani seperti ilalang kering, dengan pemantik kecil pun bisa terbakar, menjadi perlawanan rakyat seperti lewat Facebook dan koin dalam kasus Prita! Logikanya, hal itu bisa dihindari jika aparat hukum tak kalah kreatif dari rakyat dalam pengamalan pro-justisia dan amanah UU!"
Selanjutnya.....

Tim Sepak Bola Kita Masuk Kotak!


"TIM nasional sepak bola Indonesia masuk kotak di SEA Games Laos, dengan posisi juru kunci grup pula! Artinya, tim sepak bola nasional jeblok abis!" ujar Umar. "Kadar mutunya, 1-1 lawan Singapura, dicukur Laos 0-2, takluk 1-3 dari Myanmar!"

"Soal itu ada yang berkilah, sebenarnya sepak bola kita maju, tapi negeri lain jauh lebih pesat!" timpal Amir. "Kilah itu berasumsi, sepak bola bagian dari pembangunan nasional, jadi bergerak seirama pembangunan nasional--yang selalu melangkah maju sesuai data dalam retorika skala domestik!"
"Soal langkah maju pembangunan itu, ada pula yang berkilah seperti di treadmill, alat olahraga berlari di tempat! Seluruh tenaga dan energi dikerahkan, bermandi keringat, napas ngos-ngosan, tapi tetap berlari di situ-situ saja, tak beranjak ke mana pun!" timpal Umar.

"Begitu pula sepak bola kita, sudah berkompetisi sistem liga seperti Eropa, status pemain di-pro-kan dengan sistem kontrak dan gaji, mendatangkan sparing pemain asing, juga pelatih asing! Tapi hasilnya, dibanding tim-tim nasional sekawasan yang dulu underdog pun, sepak bola kita kalah!"


"Dibanding tim-tim underdog yang dulu dengan mudah dikalahkan, kini kita kewalahan dan malah kalah dari mereka, secara nyata kita mundur!" tegas Amir. "Tapi analoginya memakai treadmill yang senantiasa tetap melangkah maju, jadi tak mengenal istilah mundur!"

"Kalau begitu untuk melihat realitas bangsa kita, terutama posisinya dalam persaingan global, tidak lagi cukup dengan analogi dan skala domestik! Buktinya, dengan membusungkan dada kita bangga pakai analogi dan skala domestik, baru dihadapkan Laos saja babak-belur!" timpal Umar.

"Dalam melangkah ke persaingan global, kalau membina 11 orang pemain sepak bola saja gagal membuktikan keunggulan, bagaimana bisa yakin kita mampu unggul bersaing global sebagai bangsa yang terdiri dari ratusan juta rakyat tanpa spesialisasi dan penguasaan teknis sepiawai pemain sepak bola? Lebih jauh lagi, dengan rata-rata tingkat pendidikan rendah!"

"Tapi bagaimana kalau pembinaan sepak bola sebenarnya sisi terburuk dari pembinaan warga bangsa ini, sehingga tak bisa dijadikan barometer pembinaan bangsa secara umum?" tukas Amir.

"Pembinaan sepak bola justru yang paling terpola dengan berbagai hal tadi!" sambut Umar. "Meski, bisa saja ada yang kurang! Misalnya, dalam pembinaan mental! Frekuensi keributan dalam pertandingan sepak bola kita relatif tinggi! Bahkan pada grand final Sriwijaya FC lawan Persipura, di Palembang, pertandingan tak bisa diselesaikan!"

"Kalau soal mental, bukan dominasi pemain bola!" tegas Amir. "Tanpa kecuali di kalangan pemimpin bangsa, yang terkenal santun pun kini ikut jadi temperamental! Berarti masuk kotaknya tim sepak bola kita di Laos justru merupakan aktualisasi kelemahan umum bangsa, faktor mentalnya!" ***

Selanjutnya.....

Prita, Ketika Hukum Senilai Recehan!


"VONIS denda Rp204 juta atas keluhan Prita di e-mail pribadinya yang dijatuhkan Pengadilan Tinggi Banten direspons masyarakat luas dengan gerakan Koin Buat Prita!" ujar Umar. "Gerakan itu berupa perlawanan terbuka terhadap putusan hukum yang tak adil, lewat pembuktian putusan itu cuma senilai recehan! Dan terbukti, dalam beberapa hari saja gerakan itu berhasil mengumpul recehan lebih Rp500 juta!"

"Paling memprihatinkan, perlawanan terbuka itu mengekspresikan penilaian publik bahwa hukum telah menjadi komoditas yang diperjual-belikan secara murahan, cuma seharga uang recehan!" sambut Amir. "Itu layak menjadi cambuk bagi kita semua untuk introspeksi, karena realitas hukum merupakan aktualisasi dari persepsi masyarakat terhadap hukum itu sendiri! Artinya, jika dalam persepsi masyarakat hukum itu cuma recehan, apalagi persepsi itu telah dijadikan tindakan nyata memperlakukan hukum secara terbuka cuma senilai recehan, tak bisa dielakkan hukum memang telah menjadi recehan!"

"Pasti ada sebab-akibat hukum terjerumus serendah itu!" tebak Umar.


"Tentu!" tegas Amir. "Itu kausalitas dari proses penegakan hukum yang telah terjerumus dalam anomali terburuk! Baik itu anomali Solon, hukum dipraktekkan seperti sarang laba-laba, hanya bisa menjerat yang lemah, jika terkait yang kuat berantakan--seperti pada kasus-kasus besar yang dijadikan hak angket DPR! Maupun anomali Hobbes, hukum itu seperti mata pisau, hanya tajam ke bawah, sedang ke atas tumpul!"

"Persepsi publik yang menempatkan hukum pada anomali terburuk bukan lagi semata di tataran nasional!" timpal Umar. "Lewat kasus Prita hal ini diangkat International Herald Tribune (IHT) edisi akhir pekan lalu sebagai artikel halaman pertama! Lawan Prita memang RS berlabel 'internasional'! Hal terpenting yang dikemukakan IHT, kasus itu memperlihatkan betapa rakyat jelata di Indonesia mudah terperangkap dalam sistem hukum paling korup di dunia!"

"Kita memang tidak harus mendaulat setiap yang dikatakan media asing pasti benar!" tegas Amir. "Tapi sebagai tamparan ke wajah kita, wajarkah jika kita tetap bersikap seolah-olah tak terjadi apa-apa di negeri ini? Sikap demikian jelas amat keterlaluan! Lebih-lebih karena judgment asing itu telak menohok martabat kita sebagai bangsa--yang selalu mengklaim punya peradaban luhur! Seluhur apa dengan stigma terkorup di dunia itu?"

"Maka itu, persepsi masyarakat tentang praktek hukum sebagai bisnis recehan maupun judgment sistem hukum kita terkorup di dunia tak layak disepelekan kalangan penegak hukum!" timpal Umar. "Untuk itu tak perlu diajari harus berbuat apa, tapi tahu sendirilah seharusnya bagaimana sebagai pemandu bangsa berperadaban luhur!"
Selanjutnya.....

Relasi Antikorupsi-Penegakan HAM!


"MASSA aksi damai Hari Antikorupsi Sedunia di Jakarta dan kota-kota lain tak sedahsyat yang dicemaskan!" ujar Umar. "Kenapa jadi begitu?"

"Gerakan massa diperkirakan membeludak karena dicemaskan penguasa! Pencemasan bernada antipati pada gerakan massa, menyulut semangat perlawanan rakyat terutama yang kurang dapat perhatian pemerintah!" jawab Amir. "Tapi, setelah Presiden SBY Selasa malam pidato menyambut Hari Antikorupsi Sedunia di Istana, juga merestui gerakan massa itu, massa jadi tak tertantang lagi untuk demo! Apa asyiknya demo yang direstui!"

"Meski begitu, aksi massa antikorupsi kan tetap relevan?" kejar Umar.

"Sangat relevan!" tegas Amir. "Lebih lagi relasinya dengan Hari Hak-Hak Asasi Manusia (HAM) Sedunia 10 Desember! Oleh PBB, Hari Antikorupsi memang dirangkai dengan Hari HAM. Beda dengan Resolusi PBB lain jatuh pada tanggal dideklarasikan, seperti Deklarasi HAM 10 Desember, Hari Antikorupsi dideklarasi 31 Oktober 2003, hari 'H' ditetapkan 9 Desember, dirangkai dengan Hari HAM!"

"Apa alasannya?" potong Umar.


"Sekjen PBB Kofi Annan, promotor resolusinya, menyebutkan, korupsi merugikan kaum miskin karena mengalihkan dana pembangunan, melemahkan kemampuan pemerintah untuk menyediakan layanan dasar, serta menghambat bantuan ataupun investasi asing!" jelas Amir. "Jadi, korupsi merupakan pelanggaran HAM paling telak, kejahatan tak kenal rasa perikemanusiaan, tanpa peduli pada hak kaum miskin, digolongkan kejahatan luar biasa--extraordinary crime!"

"Lantas, kenapa deklarasi antikorupsi di Monas berbunyi, pemberantasan korupsi harus dimulai dari Istana?" tanya Umar. "Padahal, dalam pidato Selasa malam Presiden SBY menegaskan, selama lima tahun ia telah membuat izin pemeriksaan atas 138 pejabat publik--gubernur, bupati, wali kota, anggota legislatif dalam kasus korupsi!"

"Soal harus dimulai dari Istana, itu teori mata air! Kalau dari mata air teratas jernih, aliran ke bawah bisa ikut bersih! Jika dari atas sudah keruh, aliran ke bawah lebih keruh!" jawab Amir. "Sedang 138 penindakan selama lima tahun, berarti setahun 26, sebulan cuma dua! Itu relatif kecil dibanding eksesifnya korupsi secara nasional, apalagi di daerah! Padahal kita punya 400-an Kejari dan 400-an Polres, kalau setiap Kejari dan Polres setahun satu kasus saja, bisa 800 kasus setiap tahun!"

"Setahun satu kasus, kerja Kejari dan Polres lebih lambat dari keong, dong!" entak Umar.

"Itu pun syukur kalau bisa! Konon lagi mata air di aliran bawah juga banyak berlumpur sejak awal!" timpal Amir. "Sejak melamar jadi pegawai (CPNS), prosesnya keruh! Bisa keruh pula sepanjang arus pengabdian! Jadi, harus dijernihkan dari mata air teratas, mata-mata air bawahnya, serta sepanjang aliran! Untuk itu, tak cukup satu kasus setahun setiap kejari dan polres! Apalagi lebih rendah!" n 

Selanjutnya.....

Debar Hari Antikorupsi Sedunia!

"HARI Antikorupsi Sedunia 9 Desember disongsong rakyat Indonesia dengan berdebar-debar cemas, apakah akan jadi seperti kerusuhan Mei 1998, atau people power menjatuhkan Marcos di Filipina!" ujar Umar. "Debar itu justru bertolak dari ucapan Presiden SBY telah mendapat informasi tentang apa, siapa, dan sasaran demo Hari Antikorupsi yang akan jadi gerakan sosial besar bermotif politik menjatuhkan pemerintahannya!"

"Semakin mendebarkan lagi setelah KPK--Komisi Pemberantasan Korupsi--selaku lembaga paling afdal menyelenggarakan acara Hari Antikorupsi, malah memaklumatkan tidak ikut memperingati hari penting itu!" sambut Amir. "Langkah KPK itu membuat suasana menyambut Hari Antikorupsi kian mencekam! Bakal seperti apa jadinya jika KPK yang gagah berani saja, nyalinya jadi ciut?"

"Debar itu diperseru lagi dengan apel siaga aparat keamanan kota-kota besar yang dengan kekuatan penuh siap menghadapi demo Hari Antikorupsi di 400-an kota 33 provinsi!" timpal Umar. "Apakah mungkin, hal-hal yang dicemaskan itu terjadi?"

"Suatu hal dicemaskan karena ada kemungkinan bisa terjadi!" tegas Amir. "Sang bijak menekankan agar memproyeksikan kemungkinan terburuk lalu persiapkan simpul terbaik cara mengatasinya!"

"Kemungkinan terburuknya jadi seperti kerusuhan Mei 98, tergantung dua hal!" sambut Umar. "Ada penembakan terhadap demonstran seperti dialami sejumlah mahasiswa Trisakti 12 Mei 98! Kedua, ada provokator yang menyulut penjarahan dan pembakaran pusat-pusat bisnis seperti 13--15 Mei 98! Simpul antisipasinya, barisan keamanan harus terjaga bersih dari penembak misterius, agar tidak seperti dalam kasus Trisakti! Kedua, membayangi setiap yang dicurigai sebagai provokator dan mencegah setiap geraknya yang menjurus anarkis, bukan hanya yang menyelinap di antara massa, lebih lagi yang muncul di pusat bisnis!"

"Sedang peluang jadi people power ala Filipina, tak didukung prakondisi sama--terbunuhnya tokoh oposisi (Ben Aquino, suami Corry), ada kelompok perwira muda membelot prooposisi, ada radio ¯Veritas yang mengerahkan warga agar
memblokir jalan tank dan panser menuju markas oposan--yang tetap bisa siaran meski studionya direbut militer!" tegas Amir. "Jadi, satu-satunya kemungkinan yang bisa mencemari aksi damai massa antikorupsi adalah pengerahan massa tandingan oleh kalangan prokorupsi, mirip Pam Swakarsa--gabungan preman dan jawara-- pada 1999, sehingga menyulut konflik horizontal!"

"Hal serupa sudah dicoba kelompok massa yang mengaku pro-Polri, berusaha mengacau acara massa antikorupsi di Bundaran HI dua pekan lalu!" timpal Umar. "Jadi, jika kekacauan terjadi akibat munculnya kelompok tandingan, jangan salahkan pihak aksi damai, karena jelas masalahnya pada promotor massa tandingan--bisa ditebak, dari kelompok yang risi pada gerakan antikorupsi!"
Selanjutnya.....

Rintangan Tambah, Kebocoran Naik!

KAKEK main golf pairing dengan cucunya. Di tee ground kakek bernostalgia, "Dulu, di hole par 5 ini kakek selalu birdie min satu, saat mujur pukulan ketiga bisa langsung masuk hole, hasilnya eagle¯--min dua!"

"Sekeras apa pun pukulan kakek, dengan fairway ini berbelok tiga kali dipagari pepohonan tinggi, bisa on di green pada pukulan empat saja sudah hebat!" bantah cucu. "Apalagi dengan rintangan danau pada pukulan kedua dan bunker panjang pada pukulan berikutnya!"

"Lima belas tahun lalu pohon-pohon di pinggir fairway itu masih kecil, belum setinggi sekarang! Bola bisa memintas di atasnya, jadi lebih dekat ke green!" tegas kakek. "Sekarang pohonnya sudah tinggi, tak bisa lagi pukulan melintasi atasnya! Dengan pukulan sesuai alur fairway, rintangan danau dan bunker panjang jadi
efektif! Akibatnya, untuk par saja kakek sukar, sering bogie--plus satu, atau malah double bogie--plus dua!"

"Kalau begitu seperti korupsi! Tambah rintangan membuat harus menambah 'pukulan', akibatnya tingkat korupsi naik!" tukas cucu. "Pada era 1980-an menurut Prof. Soemitro Djojohadikusumo kebocoran anggaran belanja negara 30 persen, lalu era 1990-an Bank Dunia menyebut kebocoran 30 persen, di era 2000-an ditambah rintangan--polisi bisa menindak korupsi dan kehadiran KPK, kata Tumpak Hatorangan Panggabean dari KPK kebocoran anggaran malah naik jadi 35 persen!"

"Masalahnya seperti di lapangan golf, yang dulu belum menyulitkan sekarang jadi rintangan nyata, harus diatasi hingga menambah jumlah pukulan!" timpal kakek. "Teman kakek seorang kontraktor mengeluh, bukan cuma rintangan formal yang sekarang makin ketat, yang dulu bukan masalah pun sekarang tak bisa dielakkan! Contohnya, jika dahulu orang kalah tender biasa, sekarang harus diberi uang mundur oleh pemenang tender! Kalau tidak, bisa menyampaikan sanggahan ke mana-mana dengan alasan dicari-cari--tendernya tidak fair! Akibatnya bukan saja keuntungan menipis, malah menambah pukulan sampai triple bogie--plus tiga pukulan! Kebocoran naik jadi 35 persen!"

"Di lapangan golf, rintangan bisa diatasi dengan skill (kemampuan teknis) dan kematangan mental olahragawan!" tegas cucu. "Tapi terkait korupsi, bagaimana cara mengatasi rintangan-rintangan struktural dan nonstruktural itu?"

"Manusia dan dunianya itu seperti ikan di kolam!" jawab kakek. "Jika air kolam terkontaminasi zat-zat nonorganik, ikan-ikan tak bisa mengelak harus bernapas dalam air tercemar itu! Manusia juga begitu, ketika hidup dalam masyarakat negara-bangsa yang korup! Tak ada cara lain, seperti ikan yang airnya harus dibersihkan dari cemaran, masyarakat negara bangsa juga harus dibersihkan dari korupsi! Tanpa itu, ditambah rintangan cuma akan menambah pukulan yang harus dilakukan, kebocoran anggaran negara juga ikut naik!"
Selanjutnya.....

Kedi Golf Lampung tak Pakai Beha!

"ASYIK main golf di Lampung!" ujar Heri asal Jakarta, peserta Lampung Post Golf Turnamen di Padang Golf Sukarame, menelepon temannya. "Kedi Tangerang kalah seksi dari kedi Lampung!"

"Seseksi apa kedi Lampung?" tanya Heru.

"Kedi Lampung tak pakai beha!" tegas Heri.

"Sama sekali tak pakai kutang?" kejar Heru.

"Serius!" tegas Heri. "Pokoknya nobra, bebas dari yang namanya beha ataupun kutang!"

"Kenapa gak ngajak-ngajak ke Lampung?" timpal Heru. "Kususul, ya?"

"Aku pulang sore ini!" jawab Heri. "Kukirim saja foto kedinya ke e-mail Blackberry-mu!"

"Busyet!" teriak Heru melihat foto kiriman, balik menelepon Heri. "Jelas tak pakai beha, kedinya cowok semua!"

"Maka itu, kalau pakai beha kan malah banci!" sambut Heri. "Tapi begitulah, dalam konteks zaman yang terbalik-balik sekarang, ketika bicara lurus dan logis malah terdengar aneh!"

"Seperti demo Hari Antikorupi Sedunia 9 Desember serentak di seluruh Indonesia, dicemaskan oleh Presiden SBY bisa menjadi gerakan sosial besar yang bermuatan politik!" timpal Heru. "Ucapan Presiden itu lurus dan logis, malah dianggap aneh dan disebut reaktif berlebihan! Padahal, jika demo antikorupsi berlangsung serentak di seluruh Tanah Air, jelas merupakan suatu gerakan sosial yang bukan hanya besar, malah dahsyat! Suatu gerakan yang sedemikian dahsyat, bukan cuma bermuatan politik, bahkan bisa menjadi elektro magnetik goncangan politik!" "Dengan demikian pokok masalahnya, kenapa korupsi bisa menjadi episentrum gerakan sosial besar itu? Karena, korupsi tidak ditempatkan secara tepat dan benar di tee ground untuk dipukul sekeras mungkin dengan tongkat wood agar terpelanting sejauh-jauhnya dari negeri kita!" tegas Heri.

"Jadi, kekuatan besar gerakan sosial itu bisa diorientasikan menjadi tongkat wood yang powerfull memukul sekeras-kerasnya bola korupsi agar terpelanting sejauh-jauhnya!"

"Bukan malah diadang, atau dibelokkan arahnya dari sasaran seperti skenario yang terbaca di balik hak angket Century Gate!" timpal Heru. "Bola golf saja kalau pukulan wood dari tee off diadang bisa kelenger, apalagi gerakan sosial besar di seantero negeri! Sedang jika arus kekuatan besar itu dibelokkan, bisa mengakibatkan kerusakan pada hal-hal yang sesungguhnya tak perlu!"

"Berarti, ucapan Presiden itu tak perlu dibelokkan logikanya dengan polemik yang malah membuat masalah kian tak jelas!" tegas Heri. "Jika informasi dan perkiraan Presiden tentang gerakan sosial besar itu benar, yang harus dilakukan justru antisipasi menanganinya secara bijaksana agar membawa maslahat dalam memberantas korupsi! Bukan menghadang atau membelokkan, bisa lebih besar mudarat dari maslahatnya!"

Selanjutnya.....

Hak Angket, Kecelakaan Sejarah!


"DARI waktu ke waktu, penggunaan hak angket DPR cuma berujung menjadi kecelakaan sejarah! Pansus selalu gagal menembus tembok kekuasaan untuk mendapatkan dan mengurai informasi kepada rakyat, boro-boro menyeret pihak yang harus bertanggung jawab!" ujar Umar. "Padahal, setiap masalah diangkat DPR ke penggunaan hak angket sangat telak menggerogoti kehidupan negara-bangsa! Contohnya, masalah BLBI terkait pengurasan uang negara Rp6,7 triliun lebih! Lalu masalah BBM, dari pengekspor jadi pengimpor dan dengan kekayaan perut bumi yang berlimpah, BBM malah jadi pos terbesar pengeluaran APBN!"

"Bertolak dari 'tradisi' warisan sejarah itu, bukan mustahil jika akhirnya hak angket Century Gate mengalami nasib sama!" sambut Amir. "Siapa bisa melawan arus sejarah?"

"Apa pokok masalahnya hingga sejarah berjalan begitu konstan?" kejar Umar.


"Karena kekuasaan berakar demikian kokoh di legislatif, sehingga meski legislatif pernah terlihat sangar, sebenarnya tetap praktis jadi subordinat eksekutif!" tegas Amir. "Itu penyebab, sekalipun legislatif menggunakan senjata pamungkas yang dimilikinya, akan selalu dengan mudah dijinakkan! Akibatnya, harapan rakyat mendapatkan sekadar informasi terkait kasus yang menyengsarakannya, tak kunjung terpenuhi--apalagi terpuaskan!"

"Begitu rupanya, pantas konsekuensinya langsung menerpa, ketidakpercayaan rakyat kepada DPR terus membesar!" timpal Umar. "Sayang! Padahal, dengan hak angket Century Gate ini kepercayaan rakyat kepada DPR mulai tumbuh kembali! Kalau nasib hak angket Century Gate sampai mengulang kecelakaan sejarah, kepercayaan rakyat pada DPR bisa habis tanpa sisa!"

"Gejala itu langsung terlihat begitu Pansus Hak Angket Century Gate selesai memilih pimpinan!" tegas Amir. "Massa pendukung hak angket--aktivis dan mahasiswa--yang hadir di gedung DPR protes, penumpang gelap dipilih jadi sopir tembak hak angket!
Hak angket mirip angkot, jika dibawa sopir tembak pasti angkot odong-odong! Kalau angkot bagus, sopirnya dipilih yang terpercaya!"

"Kenapa orang dan partai yang berkuasa berganti, tapi sejarah berulang dengan watak keuasaan yang sama pada setiap hak angket?" kejar Umar.
"Ternyata watak kekuasaan yang selalu standar, meski orang dan partai silih-berganti memegang tampuk!" tegas Amir. "Jadi kekuasaan yang selalu berhasil membuat legislatif jadi tirani mayoritas! Dengan itu, fungsi hak angket bukan membuka penyimpangan praktek kekuasaan, melainkan justru menjadi justifikator--harus menghasilkan pembenaran pada penguasa! Maka itu, sedahsyat apa pun gerakan rakyat di jalanan dan dunia maya, di jalur formal publik silakan gigit jari! Penguasa selalu menang dari yang dikuasai--kecelakaan sejarah hak angket pun selalu terjadi! Angkot hak angket diberi sopir tembak, rodanya digembosi pula!"
Selanjutnya.....

Prita Dihukum Denda Rp204 Juta!

"PRITA Mulyasari, yang sebelumnya divonis bebas PN Tangerang, pada tingkat banding divonis PT Banten membayar denda Rp204 juta kepada RS Omni!" ujar Umar. "Kasus Prita pernah mendapat perhatian luas publik, bahkan kasus pertama yang memperoleh dukungan besar lewat jejaring sosial facebooker! Masalahnya, ia menulis keluhan di e-mail pribadinya tentang layanan rumah sakit itu!"

"Publik sudah fasih masalah Prita!" sambut Amir. "Waktu itu, perlakuan hukum dianggap tidak adil, menahan di Rutan wanita Tangerang, tanpa boleh ditemui keluarganya, padahal anak Prita masih kecil! Akibatnya protes publik meluas, sampai Megawati--kala itu calon presiden--menemuinya, juga Wakil Presiden (waktu itu) M. Jusuf Kalla tak mau ketinggalan memberikan perhatian khusus! Tapi kini, pada tingkat banding PT Banten justru membalikkan kembali vonis PN Tangerang itu!"

"Tampaknya hal itu terjadi cuma bawaan musim!" timpal Umar. "Dewasa ini memang sedang musim kejutan hukum buat kaum lemah! Nenek Minah, dengan tiga buah kakao
dihukum satu setengah bulan percobaan oleh PN Purwokerto! Di Batang, Jawa Tengah juga, satu keluarga leles (memungut dari tanah) rontokan kapuk randu sisa penenan perkebunnan besar, ditahan 40 hari! Di Kediri, Jatim, dua orang yang tengah kehausan memetik sebutir semangka ditahan lebih sebulan sejak tertangkap sampai disidang pengadilan! Juga di Banten, mencuri 3 kg karet di tempatnya kerja, seorang kuli deres dihukum tiga bulan penjara!"

"Sedang seorang markus--makelar kasus--terkait korupsi ratusan miliar rupiah, Anggodo Widjojo, meski menghebohkan pembicaraan teleponnya merekayasa hukum diputar di MK, sekarang belum dijadikan tersangka!" tegas Amir. "Belum lagi dibanding skandal Bank Century Rp6,7 triliun yang demikian ruwet! KPK, BPK, dan PPATK harus gandengan untuk menyingkapnya, DPR juga harus membentuk Pansus Hak Angket untuk mengetahui ujung-pangkal masalahnya!"

"Uang Rp6,7 triliun dalam skandal Bank Century itu tidak kecil!" timpal Umar. "Seorang penulis di
Kompas (3-12) membandingkan dengan dana tanggap darurat Pemerintah Pusat untuk bencana gempa Sumbar Rp100 miliar! Berarti bencana Bank Century itu--yang digelontori dana darurat Rp6,7 triliun--skala bencananya sama dengan 67 kali bencana Sumbar! Hitung saja, kalau bencana Sumatera Barat menewaskan 200-an orang dan mengubur hidup ratusan orang lainnya, selain kerusakan fisik yang amat luas, betapa besar bencana Bank Century merusak bangsa!"

"Kalau begitu, nasib malang kaum lemah dari Nenek Minah sampai Prita cuma tumbal untuk menyorot kasus-kasus korupsi besar itu agar terlihat lebih kontras!" tegas Amir. "Keadilan model apa yang harus menumbalkan kaum lemah begitu?" ***

Selanjutnya.....

Century Gate, Bisa Jadi Pemakzulan!

"HARI ini DPR kembali menggelar rapat paripurna membentuk Panitia Khusus (Pansus) hak angket skandal Bank Century beranggotakan 30 orang!" ujar Umar. "Rapat bisa lebih seru dari paripurna Century Gate pertama, selain karena tekanan aksi mahasiswa di seantero negeri kian membara, isu angket bisa jadi pemakzulan juga santer!"

"Bukan cuma publik ramai bergunjing masalah itu, Mahkamah Konstitusi (MK) juga menyatakan siap menangani kasus pemakzulan!" sambut Amir. "Menurut Wakil Ketua MK Abdul Mukhtar Fadjar, meski tak mudah menangani kasus semacam itu, hal tersebut akan menjadi tantangan tersendiri bagi MK untuk memberikan tafsir terhadap alasan pengajuan pemakzulan atau
impeachment, di antaranya pengkhianatan (misalnya Presiden punya dua kewarganegaraan), suap/korupsi, dihukum karena kejahatan berat dengan ancaman lebih dari 5 tahun, serta melakukan perbuatan tercela." (Kompas, [3-12])

"Jadi fungsi Ketua Mahkamah Agung (MA) yang menentukan sah-tidaknya alasan pemakzulan di zaman Gus Dur, kini beralih ke MK!" timpal Umar.
"Begitulah!" tegas Amir. "Tapi menurut Mukhtar, pemakzulan bisa dilakukan hanya pada wakil presiden atau presiden, tidak harus keduanya!"

"Seperti zaman Gus Dur juga, hanya salah satu dari dwitunggal karena masa baktinya harus dicukupkan oleh salah satunya!" sambut Umar. "Tapi kenapa gunjingan publik melangkah cepat sejauh itu, sampai kemungkinan pemakzulan?"

"Namanya juga gunjingan, lazim memilih bagian yang paling seru!" jawab Amir. "Selain itu, publik juga dalam bergunjing ingin mencuatkan hal-hal yang cenderung diselubungi atau ditutup-tutupi, seperti agenda tersembunyi yang mungkin saja ada, agar sejak awal kemungkinan terburuk dari suatu proses bisa diwaspadai bersama! Apalagi ini menyangkut penggunaan hak angket DPR, yang fungsinya membuka hal-hal yang tertutup justru oleh aturan formal terkait pelaksanaan tugas para pembuat kebijakan! Jika bau hal-hal yang tertutup itu sudah tercium amat sengak, seperti Century Gate, publik segera membuat perkiraan sendiri yang bisa terlalu jauh--sebanding pedihnya penciuman mereka!"

"Dibanding bau dana nonbujeter Bulog yang berakibat pemakzulan Gus Dur, bau Century Gate di hidung publik memang jauh lebih sengak!" timpal Umar. "Sehingga, kalau publik berwacana pemakzulan, bisa jadi sebagai kontraindikasi dari lagak para penggagas hak angket yang selalu berkilah tidak ada agenda tersembunyi ke arah pemakzulan! Padahal, kalau proses investigasi angket menemukan hal yang bisa menjadi alasan pemakzulan, tak bisa dielakkan dari arah itu!"

"Tapi untuk sementara anggap saja gunjingan publik itu sebagai indahnya taman kebebasan berpendapat!" tegas Amir. "Dengan itu, Century Gate pun menjadi pupuk bagi demokrasi!" ***

Selanjutnya.....

Pro-Kontra SKPP Kasus Bibit-Chandra!

"LANGKAH kejaksaan mengeluarkan SKPP--surat ketetapan penghentian penuntutan--atas kasus Bibit-Chandra menuai pro-kontra!" ujar Umar. "Dua kelompok warga mengajukan gugatan praperadilan ke pengadilan, karena jaksa dinilai tidak tepat melakukan itu memakai dasar Pasal 140 KUHAP dengan menyatakan kasusnya cukup bukti! Karena, pasal itu mengatur SKPP bisa dikeluarkan jika kasusnya bukan tindak pidana, tidak cukup bukti, atau demi hukum!"

"Kesalahan dasar yang dipakai jaksa itu sejak awal sudah tercium justru oleh tim pengacara Bibit-Chandra, sehingga meski menandatangani acara pembebasan kliennya, tetap menyatakan akan mempelajari SKPP itu!" sambut Amir. "Kalau kasusnya cukup bukti, dalam merespons saran Presiden untuk menyelesaikan kasusnya di luar pengadilan, Jaksa Agung harus menggunakan asas oportunitas, mengeluarkan deponeering atau mengesampingkan perkara!"

"Jaksa pasti tahu liku-liku aturan hukum itu!" tukas Umar. "Karena itu, ada yang
mencurigai jaksa tidak ikhlas menyelesaikan kasus tersebut, sehingga sengaja membuat skenario dengan memasang jebakan agar bisa digugat! Terbukti, sehari SKPP keluar jebakan langsung mengena!"

"Kecurigaan seperti itu boleh-boleh saja!" tegas Amir. "Masalahnya terpulang ke Jaksa Agung an sich, sebagai pemegang asas oportunitas untuk mengeluarkan deponeering, tapi sejauh ini masih enggan menggunakannya hingga memerintahkan bawahannya untuk membuat formula hukum buat keputusannya merespons saran Presiden!"

"Maksudmu kalau SKPP itu bermasalah, bisa saja Jaksa Agung bergegas mengeluarkan ketetapan deponeering agar masalahnya tidak merebak luas jadi kasus baru yang ruwet pula?" kejar Umar.

"Itu kalau memang tak ada skenario di balik SKPP agar kasus yang ruwet itu tak kunjung selesai!" tegas Amir. "Sebab, kalau SKPP itu tetap dilepas dengan kelemahannya nyata tadi, lantas di pengadilan kalah, yang malu tentu jaksa sendiri--membuat SKPP saja tak becus! Tapi kalau skenario dibuat memang untuk itu, berarti risiko itu harga yang harus dibayar atas sebuah pilihan!"

"Lalu apa akibat berlarutnya SKPP jadi masalah, apalagi lewat proses pengadilan yang memakan waktu untuk mendapat kekuatan hukum tetap--setelah keluarnya putusan MA?" tanya Umar.

"Sebagai akibatnya, meski Presiden kita bukanlah seorang peragu, tentu wajar kalau dia melihat situasi dulu sampai benar-benar nyaman untuk mengeluarkan Keppres penetapan kembali Bibit-Chandra sebagai pimpinan KPK!" jawab Amir. "Jadi, silakan saja pendukung Bibit-Chandra bergembira ria menyambut SKPP jaksa, tapi untuk menyaksikan kembali kiprahnya memberantas korupsi, tunggu dulu!"

"Kalau begitu, awam pun bisa mengerti kenapa jadi begitu!" timpal Umar. "Kalau tidak mengada-ada, takkan tempua bersarang rendah!" n
Selanjutnya.....

Century Gate, Kecewa di Paripurna!


"RAPAT paripurna pertama terkait Century Gate, di luar dugaan mengecewakan sejumlah fraksi pendukung penggagas hak angket DPR!" ujar Umar. "Interupsi bertubi-tubi meminta pimpinan sidang membacakan uraian masalah Bank Century yang dibuatkan Panitia Khusus (Pansus) pada paripurna itu, agar para anggota DPR paham dan rakyat tahu apa yang mereka perjuangkan, tapi ditolak oleh Ketua DPR Marzuki Alie dari Demokrat yang memimpin rapat! Sang ketua langsung membentuk Pansus! Sampai rapat ditutup, usul pembacaan uraian itu tak dibacakan, tanpa peduli banyak anggota menuai rasa kecewa!"

"Terkesan ada usaha untuk menutup-nutupi ya?" sambut Amir. "Padahal, penggunaan hak angket yang disetujui pada rapat itu bertujuan membuka Century Gate hingga terang benderang, tak ada lagi yang ditutup-tutupi! Dengan langkah awal seperti itu, selain banyak anggota pendukung hak angket tak jelas apa yang mereka perjuangkan, demikian pula rakyat, langkah awal Pansus malah menumbuhkan rasa curiga pada rakyat!"


"Rasa curiga rakyat pada partai berkuasa yang berusaha menyelubungi proses hak angket itu, dalam komunikasi publik justru menguntungkan penjaja gosip yang sejak awal cenderung lebih laris ketimbang informasi formal yang ada!" tegas Umar. "Lebih lagi dengan sentra informasi formal malah menunjukkan gelagat semakin kurang bisa dipercaya! Hal ini bisa berakibat buruk, karena pada suatu tahap tertentu reaksi keras publik pada proses formal justru cuma berdasar gosip!"

"Itu yang dicemaskan oleh Syafii Ma'arif ketika menerima para penggagas hak angket DPR dan berpesan agar dijalankan secara terbuka! Sebab, salah-salah kilik dengan animo rakyat yang tinggi pada kasus ini, bisa berakibat chaos!" timpal Amir. "Untuk itu, para anggota Pansus sejak awak harus menyadari tidak gegabah dengan bola panas yang mereka mainkan! Karena salah-salah gocek bisa menghanguskan dirinya sendiri--misalnya, dijebak KPK! Pengalaman jebakan KPK pada anggota DPR, perlu dijadikan hikmah!"

"Sebagai bola panas, Century Gate ini bukan hanya berlaku bagi anggota DPR dan pejabat terkait!" tukas Umar. "Seperti halnya banyak anggota DPR kecewa dengan penyelubungan Century Gate pada rapat paripurna, rakyat juga kecewa! Artinya, bola panas itu juga bisa mengorbankan rakyat! Misal, karena sentra informasi formal tertutup justru rakyat mengambil langkah yang menghanguskan dirinya hanya akibat gosip! Seperti chaos 1998, yang lebih banyak hangus--dalam arti sebenarnya--justru rakyat!"

"Maka itu, agar bola panas tidak menghanguskan pihak mana pun, tindak mengecewakan dengan penutupan informasi harus dikurangi!" timpal Amir. "Karena, ketidakjelasan informasi, apalagi didominasi gosip, bisa jadi biang chaos!"
Selanjutnya.....