"VONIS denda Rp204 juta atas keluhan Prita di e-mail pribadinya yang dijatuhkan Pengadilan Tinggi Banten direspons masyarakat luas dengan gerakan Koin Buat Prita!" ujar Umar. "Gerakan itu berupa perlawanan terbuka terhadap putusan hukum yang tak adil, lewat pembuktian putusan itu cuma senilai recehan! Dan terbukti, dalam beberapa hari saja gerakan itu berhasil mengumpul recehan lebih Rp500 juta!"
"Paling memprihatinkan, perlawanan terbuka itu mengekspresikan penilaian publik bahwa hukum telah menjadi komoditas yang diperjual-belikan secara murahan, cuma seharga uang recehan!" sambut Amir. "Itu layak menjadi cambuk bagi kita semua untuk introspeksi, karena realitas hukum merupakan aktualisasi dari persepsi masyarakat terhadap hukum itu sendiri! Artinya, jika dalam persepsi masyarakat hukum itu cuma recehan, apalagi persepsi itu telah dijadikan tindakan nyata memperlakukan hukum secara terbuka cuma senilai recehan, tak bisa dielakkan hukum memang telah menjadi recehan!"
"Pasti ada sebab-akibat hukum terjerumus serendah itu!" tebak Umar.
"Tentu!" tegas Amir. "Itu kausalitas dari proses penegakan hukum yang telah terjerumus dalam anomali terburuk! Baik itu anomali Solon, hukum dipraktekkan seperti sarang laba-laba, hanya bisa menjerat yang lemah, jika terkait yang kuat berantakan--seperti pada kasus-kasus besar yang dijadikan hak angket DPR! Maupun anomali Hobbes, hukum itu seperti mata pisau, hanya tajam ke bawah, sedang ke atas tumpul!"
"Persepsi publik yang menempatkan hukum pada anomali terburuk bukan lagi semata di tataran nasional!" timpal Umar. "Lewat kasus Prita hal ini diangkat International Herald Tribune (IHT) edisi akhir pekan lalu sebagai artikel halaman pertama! Lawan Prita memang RS berlabel 'internasional'! Hal terpenting yang dikemukakan IHT, kasus itu memperlihatkan betapa rakyat jelata di Indonesia mudah terperangkap dalam sistem hukum paling korup di dunia!"
"Kita memang tidak harus mendaulat setiap yang dikatakan media asing pasti benar!" tegas Amir. "Tapi sebagai tamparan ke wajah kita, wajarkah jika kita tetap bersikap seolah-olah tak terjadi apa-apa di negeri ini? Sikap demikian jelas amat keterlaluan! Lebih-lebih karena judgment asing itu telak menohok martabat kita sebagai bangsa--yang selalu mengklaim punya peradaban luhur! Seluhur apa dengan stigma terkorup di dunia itu?"
"Maka itu, persepsi masyarakat tentang praktek hukum sebagai bisnis recehan maupun judgment sistem hukum kita terkorup di dunia tak layak disepelekan kalangan penegak hukum!" timpal Umar. "Untuk itu tak perlu diajari harus berbuat apa, tapi tahu sendirilah seharusnya bagaimana sebagai pemandu bangsa berperadaban luhur!"
Kata Kunci
Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani
Kamis, 10 Desember 2009
Prita, Ketika Hukum Senilai Recehan!
Langganan:
Posting Komentar
0 komentar:
Posting Komentar