"2009 tahun yang riuh dengan pertarungan elite di gelanggang politik!" ujar Umar.
"Dibuka dengan unjuk kekuatan pemilu legislatif, lanjut ke pemilu presiden, berujung hak angket DPR atas skandal Bank Century yang berlanjut ke 2010!"
"Pemilu legislatif melanjutkan proses perputaran roda sejarah dengan sirkulasi elite politik di semua tingkatan, lokal, provinsi dan nasional, kali ini giliran Partai Demokrat naik ke atas! Demokrat menggantikan posisi Partai Golkar--pemenang Pemilu 2004, yang sebelumnya menggantikan posisi PDIP, pemenang Pemilu 1999!" sambut Amir.
"Perputaran elite antarpartai menguasai mayoritas wakil rakyat itu cermin relatif tingginya dinamika politik nasional dekade pertama Abad 21! Namun, dinamika tinggi itu hanya terjadi pada rakyat pemilih! Sedang elitenya, setiap baru saja berkuasa ujug-ujug jadi status quo--jalan di tempat, sehingga setiap kali segera ditinggalkan oleh rakyat! Meski dengan pengalaman sebagai pelajaran segamblang itu, Partai Demokrat yang baru berkuasa juga tampak siap ikut mengulang sejarah--keburu berlagak status quo! Gaya politik di parlemen yang defensif dari opini publik dalam berbagai kasus mutakhir, mengawali gejalanya!"
"Ketimpangan dinamika elite dari rakyatnya itu bukan semata terjadi di politik!" tukas Umar. "Di bidang hukum dan teknologi informasi (TI), tanpa kecuali! Kasus Prita Mulyasari dan penetapan tersangka korupsi pimpinan KPK (Bibit-Chandra), jadi isyarat elite hukum tertinggal dari rakyat, baik dalam hukum itu sendiri maupun dalam TI. Ketinggalan elite hukum dari rakyat terutama dalam memaknai keadilan bukan kepalang, hingga mengundang people power lewat IT (facebook)--lebih setengah juta akun dan nyaris Rp1 miliar koin recehan dalam kasus Prita, dan 1,2 juta akun lebih dalam kasus Bibit-Chandra, hingga mengundang Presiden menggunakan hak prerogatifnya membentuk tim verifikasi independen dan usaha penyelesaian di luar pengadilan! Semua itu tercetak tebal di notes 2009, sebagai mile stone kemajuan opini publik!"
"Orientasi status quo pada setiap elite yang sedang berkuasa (baik politik maupun hukum), membuat sirkulasi elite hanya terjadi secara fisis! Sedang dalam idea atau sikap-lakunya, jebul kurang lebih sama--semata demi kepentingan kekuasaan dan hak-hak istimewanya!" timpal Amir. "Akibatnya rakyat selalu terkecoh! Memilih wayang janoko, saat naik panggung jogetannya kok cakil, atau malah buto terong! Di panggung yang tampil bukan watak asli tokohnya yang khas, tapi watak jabatan--seolah ada cetakannya, setiap jabatan punya model watak tertentu--sehingga gonta-ganti tokoh pun dalam sirkulasi elite, watak orang yang duduk di suatu jabatan akan selalu sama!
Demonstran paling idealis sekalipun, ketika menduduki jabatan kekuasaan wataknya berubah, bisa jadi buto terong juga! So what wrong, gitu lo!" ***
Kata Kunci
Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani
Jumat, 25 Desember 2009
Notes 2009, Sirkulasi Elite Politik!
Langganan:
Posting Komentar
0 komentar:
Posting Komentar