Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

2011, Koreksi lewat Utamakan Substansi!


"TAHUN 2011 dijelang dengan sekeranjang konflik tak terselesaikan di sendi-sendi kehidupan berbangsa!" ujar Umar. "Dengan itu sukar dicapai keseimbangan baru untuk melangkah lebih ringan dalam 2011, bahkan bisa lebih terseok karena sekadar melanjutkan konflik lama dengan energi kepentingan baru, bermetamorfosis menjadi konflik baru lagi!"

"Konflik-konflik baru itu mempertinggi tumpukan masalah tak terselesaikan sehingga pembusukan sistem bisa berkembang dalam skala lebih besar, memperberat langkah perjalanan bangsa dalam 2011," timpal Amir. "Inti masalahnya, setiap konflik ruwet dan kusut oleh tarik-menarik legal-formalnya semata, sedang substansinya malah dikesampingkan! Contohnya kasus Nurdin Halid, ketua umum PSSI, saat penonton satu stadion meneriakinya agar mundur! Lewat televisi dia menjawab, karena dia sebagai ketua PSSI hasil pemilihan yang sah, kalau dia mundur demokrasi di Indonesia rusak! Padahal substansinya, karena dia bercokol terus di jabatan itu, termasuk saat ia dalam penjara, sepak bola Indonesia yang rusak! Substansi dikalahkan legalitas!"

"Hal sama terjadi dalam kasus Century terkait substansi dana Rp6,7 triliun, atau kasus Gayus Tambunan terkait sumber uang Rp100 miliar lebih dan orang-orang yang kecipratan, fokus dialihkan ke sisi legal yang justru menjauhi substansi!" tegas Umar. "Agar 2011 jadi awal langkah lebih ringan, setiap koreksi harus berorientasi substansi, setiap konflik harus dijuruskan menuju penyelesaian substansial!"

"Untuk itu kuncinya pada kalangan elite bangsa yang harus bersikap proporsional, menempatkan sesuatu pada tempatnya, bukan seperti yang acap terjadi, membenarkan sesuatu bukan pada tempatnya dengan retorika formalistik!" timpal Amir. "Perubahan sikap elite untuk meringankan langkah bangsa dalam 2011 itu penting, karena beban berat kenaikan harga BBM lebih 50% yang sudah dicanangkan, akan segera menambah beratnya beban kehidupan mayoritas rakyat jelata! Kasihan rakyat, sudah beban hidupnya nyaris tak terpikul, setiap kali kupingnya panas oleh pernyataan politisi yang kontroversial, nyaris seenak udelnya saja!"

"Tahun 2011 bisa dijelang dengan ceria, andai semua jerat beban berat yang sudah dipasang dicabut, andai siap dengan resolusi penyelesaian konflik baru berorientasi substansial dan bukan semata kepentingan sempit golongan!" tegas Umar. "Tanpa itu, peralihan 2010 ke 2011 bagai melangkah dari lembah onak ke lembah berduri! Selamat datang 2011." ***

Selanjutnya.....

2010, Tahun Kelam Ditutup Antiklimaks!


"TAHUN 2010 kelam, menjadi pembuktian tak ada lagi lembaga penegak hukum yang benar-benar bersih—tanpa kecuali MK terkait mundurnya salah satu hakim konstitusi!" ujar Umar. "Kelam akibat tak bersihnya lembaga penegak hukum berimbas tetap lemahnya usaha penindakan korupsi di birokrasi pemerintahan, serta tak tertangani dengan baik banyak kasus besar dari Century sampai mafia pajak Gayus Tambunan!"

"Tidak benar-benar tegaknya keadilan hukum, terutama terkait korupsi dalam arti luas, berimbas pada keadilan substantif—sosial ekonomi—
karena distribusi hak-hak warga lebih banyak bocor baik pada proses penentuan maupun di salurannya!" sambut Amir. "Kondisi itu diperparah lagi dengan sikap wakil rakyat di semua tingkatan yang lebih berorientasi pada kepentingan terkait kekuasaan golongan maupun dirinya! Maka sempurnalah ketidakadilan multidimensi itu dengan imbasnya menjadi beban nyata penderitaan rakyat yang terus bertambah berat, baik secara kualitatif akibat sistem tak berpihak pada mereka--seperti dialami kaum buruh—maupun kuantitatif pada kenaikan harga kebutuhan pokok yang sering tak terkendali akibat pungli dan ekonomi salah urus!"

"Penderitaan rakyat itu masih diperberat oleh bencana alam yang silih berganti, bukan hanya kerusakan harta benda, juga jiwa keluarganya!" timpal Umar. "Semua beban dan kekelaman itu bertautan bagai kolase menutupi harapan rakyat di bawah bentangan konflik elite politik yang melelahkan rakyat mengikuti tingkah intrik para politisi! Semua itu membuat rakyat kian tersesat di jalan buntu, tanpa alternatif!"

"Gambaran komprehensif tahun 2010 memang tahun kelam tanpa solusi! Kasus demi kasus ditumpuk, satu kasus belum selesai muncul kasus baru menutupnya, begitu terus!" tegas Amir. "Akhirnya, bangsa ini pun tersekap dalam timbunan kasus yang tak terselesaikan! "

"Saat tersekap tanpa jalan keluar itu, di akhir tahun muncul harapan untuk pelipur lara, timnas sepak bola Indonesia menang beruntun di babak penyisihan sampai semifinal Piala AFF 2010! Tak kepalang, harapan itu menyulut euforia bagai ditemukannya jalan keluar dari segala masalah yang dihadapi bangsa!" timpal Umar.

"Malang tak bisa ditolak, mujur tak bisa diraih, takdir bangsa ditentukan lain! Justru di dua sesi partai final timnas kalah agregat gol dari Malaysia! Harapan rakyat mendapat sekadar pelipur lara dari timnas yang sempat berkobar itu berakhir menutup tahun 2010 yang kelam dengan antiklimaks—euforia harapan menjadi kepedihan!" ***

Selanjutnya.....

Mental Juara Timnas, Hadirkah Malam ini?


"DI statusnya, facebooker Ulunk M. Rusdi menulis, 'Yoii... Karena mental juara itu tahan banting. Mau laser keq, mau tekanan penonton keq, mau ujan gledek di lapangan, mental juara pasti mampu atasi semua!" kutip Umar. "Itu gambaran umum mental juara, yang dari status Ulunk dikesankan tak dimiliki timnas sepak bola Indonesia saat kalah 0-3 dari Malaysia! Lantas, apakah mental juara itu mampu hadir pada timnas di Stadion Gelora Bung Karno dalam sesi dua Final AFF 2010 malam ini?"

"Kemampuan timnas menghadirkan mental juara itu yang ingin disaksikan publik seantero negeri!" sambut Amir. "Pembuktian mental juara memang setelah jatuh, gagal, kalah, lalu mampu bangkit kembali mengatasi kelemahan dirinya! Itu justru dibuktikan Malaysia, membalas di final setelah kalah 1-5 dari Indonesia di penyisihan!"

"Ujian buat timnas membuktikan mental juara akan berat jika Malaysia bermain negative football—bertahan dengan 10 pemain sepanjang 90 menit—seperti sesi dua semifinal lawan Vietnam!" timpal Umar. "Tanpa mental juara, itu bisa menyulut lebih buruk emosi pemain timnas karena frustrasi, hingga membuat mereka terbenam lebih dalam!"

"Semoga tak seburuk itu!" tegas Amir. "Sebab, mental juara sejati dimiliki setiap orang yang pada perjuangan pertamanya mengalahkan miliaran sel lain untuk finis pertama di indung telur ibunda! Artinya, mental juara sejati merupakan naluri dasar setiap manusia, juga lazim disebut surviving mental—kemampuan mental untuk bertahan dari segala kepahitan dan kesulitan hidup! Namun proses kehidupan selanjutnya membuat kualitas mental setiap orang jadi berbeda-beda!"

"Sebagai naluri dasar (basic instinct) yang selalu memberi energi positif berjuang untuk bertahan hidup (survival), mental juara sejati selalu hadir saat terdesak atau terancam, meski ekspresinya tergantung kualitas mental hasil proses tadi!" timpal Umar. "Orang yang besar di lingkungan lemah dan pasrah, saat terancam demi survival menghindar dari masalah! Dari lingkungan keras akan marah, bahkan tak terkontrol! Sedang dari keluarga serbacukup, sering cengeng!"

"Timnas masuk kelompok mana?" kejar Amir.

"Anehnya, saat kejadian di Bukit Jalil, simultan!" jawab Umar. "Mula-mula cengeng, sorot laser dan lontaran mercon ke lapangan saja diprotes! Lalu menghindari masalah, mau walk out! Terakhir marah, main penuh emosi hingga dalam 12 menit kebobolan tiga gol! Nah, apakah dalam tiga hari mental juara timnas bisa hadir prima di Stadion Gelora Bung Karno, saksikan pembuktiannya!" ***

Selanjutnya.....

Lelah Dieksploitasi Diterkam Macan!


"NASIB Tim Nasional (Timnas) Sepak Bola Indonesia Piala AFF 2010 di ujung tanduk, kalah 0-3 dari Malaysia!" ujar Umar. "Meski jago kandang, untuk mencetak empat gol dalam final tidaklah semudah di babak penyisihan ketika menaklukkan Malaysia 5-1. Bahkan memasukkan empat gol pun, jika dibalas satu gol saja Malaysia jadi juara dengan gol tandangnya!"

"Di lapangan terlihat, timnas bertanding dalam kondisi kelelahan usai dieksploitasi kepentingan politik dengan diboyong kian kemari sebelum berangkat ke Malaysia! Timnas tampil tidak maksimal dalam segala hal, hingga jadi mangsa empuk diterkam Macan Malaka!" timpal Amir. "Akibatnya, dari posisi top team calon juara tak terkalahkan sejak lima pertandingan menuju final, kini berbalik jadi underdog di sesi kedua final—yang beban mentalnya justru jauh lebih berat!"

"Karena itu, prioritas dalam persiapan tanding final sesi dua di Stadion Gelora Bung Karno adalah melepas semua beban mental para pemain agar bisa bermain lebih maksimal!" tegas Umar. "Hal terpenting untuk itu mereduksi euforia berlebihan dari semua pihak, dengan memberi kesempatan konsentrasi penuh pada timnas mempersiapkan diri menghadapi penentuan terakhir! Artinya, timnas dikarantina sepenuhnya dari hiruk-pikuk polemik yang tak mengubah apa pun dari kenyataan tertinggal selisih gol 0-3."

"Di balik itu, kita tak bisa menyalahkan realitas euforia berlebihan di tengah masyarakat atau hyper reality media massa dalam menyambut kemenangan beruntun dengan skor aduhai timnas dari penyisihan hingga semifinal Piala AFF 2010," timpal Amir.

"Itu terjadi karena bangsa Indonesia sedang ketiadaan atas sesuatu atau seseorang yang bisa dijadikan kebanggaan nasional! Dalam dahaga yang tak tertahankan atas kebanggaan nasional itu, hadir prestasi timnas sepak bola bahkan dengan daya pukau permainan yang diimpikan pecandu si kulit bundar! Akibatnya, meski prestasi masih prematur, ia seperti lubang kecil di dinding ruangan gelap dan pengap—memancarkan sekilas cahaya harapan diiringi angin segar bagi hadirnya sebuah kebanggaan nasional!"

"Kini, peluang mempertahankan lubang kecil di dinding itu tipis sekali! Bukan berarti tak lagi ada harapan, tapi diperlukan keberuntungan jauh lebih besar dari yang diperoleh sebelumnya!" tegas Umar. "Untuk itu tak ada usaha yang bisa dilakukan bangsa ini kecuali berdoa, tetap diberi lubang kecil harapan itu agar tak kembali tersekap dalam ruang gelap dan pengap tanpa memiliki suatu apa pun sebagai kebanggaan nasional!" ***

Selanjutnya.....

Jika Bisa Dipersulit Kenapa Dipermudah?


"JIKA bisa dipersulit, kenapa dipermudah? Itu semboyan birokratis berlatar sikap korup, karena kalau dipersulit bisa mendapat pelicin untuk memperlancar urusan!" ujar Umar. "Sikap itu mengekspresikan arogansi kekuasaan, karena dengan mempersulit itu ditunjukkan pihaknya punya kuasa untuk bertindak semau gue terhadap warga yang seharusnya wajib dia layani!"

"Contoh arogansi suka mempersulit warga itu dipertontonkan secara terbuka terhadap puluhan ribu warga di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta!" sambut Amir. "Menjelang laga final Piala AFF 2010 antara timnas Indonesia lawan Malaysia, puluhan ribu orang pendukung timnas yang antre berhari-hari sejak pekan lalu, sebagian dari luar kota dan luar Jawa, sesampai di loket bukannya mendapat tiket, tapi cuma diberi kupon nomor urut untuk antre lagi membeli tiket!"


"Itu cara mempersulit dan menyiksa warga paling konyol!" timpal Umar. "Kalau sekali datang antre langsung mendapat tiket, jubelan antrean massa mengalir, yang sudah datang tak perlu datang lagi! Tapi dasar suka mempersulit, jubelan massa itu dibuat harus datang dan antre lagi dalam jubelan lebih besar berlipat ganda, hingga untuk mengatur barisan sesuai nomor urut kupon yang sudah didapat puluhan ribu orang itu malah lebih sulit bukan kepalang! Apalagi massa yang telah berhari-hari antre dan menginap itu kelelahan hingga mudah marah! Terbukti, akhirnya mereka menjebol gerbang stadion!"

"Dalam situasi itu bukan cuma warga yang tersiksa antre berhari-hari desak-desakan sampai banyak yang pingsan! Tak kalah tersiksanya aparat keamanan yang harus menangani puluhan ribu orang emosional dan beringas karena kelelahan! Akibatnya, saat massa menjebol masuk stadion, aparat yang juga kelelahan tak terlihat lagi!" tegas Amir. "Dasar mental kalau bisa dipersulit kenapa dipermudah, mereka yang berkuasa menjual tiket itu tak peduli siksaannya berbuah amuk massa!"

"Itu menunjukkan, di balik distribusi tiket terdapat orang-orang jahil-(iah)—yang senang melihat orang susah, susah melihat orang senang!" timpal Umar. "Tapi kenapa simpul palayanan warga di luar birokrasi juga bisa jatuh ke tangan kaum jahiliah—yang menetapkan cara paling bodoh mempersulit dan menyengsarakan massa?"
"Itu isyarat, negeri kita bukannya maju seperti negeri lain yang bahkan mencapai post-modern!" tegas Amir. "Sebaliknya, kita justru mundur jauh ke praperadaban, zaman jahiliah, di mana sekecil apa pun kekuasaan digunakan untuk mempersulit dan menyengsarakan warga yang tak berdaya!" ***

Selanjutnya.....

Akarnya Prorakyat, Diokulasi Elitisme!


"DEMOKRASI dari kata demos dan cratein, pemerintahan oleh rakyat! Proses formal mewujudkan akar demokrasi pada kekuasaan rakyat itu dilakukan dengan pemilihan langsung kepala desa, kepala daerah, kepala negara, dan semua tingkat perwakilan rakyat!" ujar Umar. "Tapi demokrasi kita seperti pohon karet, akar terbaik tahan badai diokulasi (kawin tempel) mata tunas clone lain—elitisme—yang tumbuh jadi batang pohonnya! Prinsip prorakyat pun terbenam, yang tumbuh subur justru praktek demokrasi elitisme!"

"Kian terbenamnya akar prorakyat terlihat lewat anggaran publik dari APBN hingga APBD sekadar basa-basi, dibanding belanja aparatur—


terutama elite eksekutif-legislatif yang menetapkan sendiri anggarannya!" sambut Amir. "Elite lalai dari sumpah mendahulukan kepentingan rakyat dengan mendistribusi hanya 30% APBN dan APBD untuk rakyat, sedang 70% buat elite dan aparatur yang totalnya di bawah 5% penduduk!"

"Ketimpangan distribusi anggaran jadi pangkal ketimpangan sosial, rakyat makin melarat dan tak berdaya dalam arti luas!" potong Umar. "Tak berdaya melakukan kontrol pada elite pengelola nyaris semua sumber dan bidang kehidupan bangsa di poros pemerintahan! Elite lepas kontrol terlalu jauh, nyaris di semua bidang kehidupan berbangsa jadi gelap dicekam mafia korupsi yang lagi-lagi, mengorbankan rakyat!"

"Hidup serbamudah tanpa berkeringat di politik dan aparatur itu membunuh etos kerja keras, kekuatan utama rakyat!" timpal Amir. "Impian generasi muda jadi PNS atau politisi, yang sudah kerja di swasta atau berwirausaha selalu ikut tes CPNSD, jika diterima wirausahanya ditinggalkan!"

"Itu karena sektor swasta dan wira usaha lemah akibat elitenya jadi agen neoliberalisme, menyeret bangsa masuk ring persaingan bebas buat semua kelas petinju! Bangsa pemula kelas layang dipaksa tarung bebas lawan petinju kelas berat juara dunia!" tukas Umar. "Jelas kalah, akhirnya jadi bangsa konsumen! Ini masih dieksploitasi, dengan membanggakan pertumbuhan dari konsumsi! Kreativitas bangsa mandul, kalah bersaing global!"

"Terpuruk dan kalah akibat mafia dan korupsi di segala bidang, tiada lagi yang bisa dibanggakan, membuat peluang juara sepak bola tingkat ASEAN saja memicu euforia!" timpal Amir. "Sepak bola olahraga paling merakyat, akar demokrasi yang terbenam pun menggeliat, melampiaskan dahaga atas suatu kebanggaan! Tapi mampukah geliat akar itu menyembuhkan batang okulasi yang penuh penyakit? Mengurangi sejenak pedihnya derita rakyat, mungkin! Tapi menyembuhkan elitisme, no way!"

Selanjutnya.....

Tuba Barat, Contoh Anggaran Prorakyat!


"MODEL anggaran prorakyat selama ini amat sulit ditemukan karena APBD provinsi dan kabupaten-kota umumnya memberi porsi anggaran untuk publik di kisaran 30%, sisanya anggaran rutin alias belanja aparatur!" ujar Umar. "Karena itu, mengejutkan jika model prorakyat yang langka itu contohnya justru ditemukan di daerah otonomi baru (DOB) Kabupaten Tulangbawang Barat! Dalam APBD 2011 yang baru disahkan sebesar Rp455 miliar, anggaran publiknya 59% (Rp260,7 miliar), belanja aparatur 41% (Rp181,1 miliar)"

"Secara objektif hal itu bisa terjadi karena struktur organisasi pemerintahan DOB itu belum tersusun lengkap! Bahkan kantor bupati dan DPRD-nya baru diletakkan batu pertamanya!" sambut Amir. "Namun, dengan komitmen eksekutif dan legislatif kabupaten baru itu untuk menjadikan anggaran prorakyat itu sebagai prinsip yang harus dipertahankan dalam sistem kepemimpinan Tuba Barat, bersimpul pembangunan benar-benar bisa dilihat dan dirasakan manfaatnya oleh rakyat, kehadirannya sebagai model memberi perspektif baru buat hal yang selama ini dianggap mustahil!"

"Lebih menarik dari Tuba Barat adalah prioritasnya pada infrastruktur jalan, yang di kabupaten-kota lama justru sebaliknya!" tegas Umar. "Dalam APBD tahun kedua (2010) yang hanya Rp156 miliar dan APBDP jadi Rp246 miliar, si balita Tuba Barat bisa membangun ruas jalan kabupaten sepanjang 91,3 km—peningkatan kualitasnya dengan hotmix! Kontras dengan kabupaten lama yang dengan APBD tiga kali lebih besar, jalan kabupatennya rusak dibiarkan semakin parah! Dalam APBD 2011 perbaikan infrastruktur Tuba Barat lebih luas, termasuk membangun sejumlah jembatan!"

"Dari semua itu terlihat, untuk mengujudkan anggaran prorakyat kunciya pada komitmen dan tekad bersama eksekutif dan legislatif—
bukan pada besaran angka APBD!" timpal Amir. "Tekad yang dilandasi keikhlasan lebih mengutamakan pengabdian pada kepentingan rakyat, bukan lebih mengutamakan kepentingan pribadi eksekutif dan legislatif seperti elite narsistis!"

"Sebagai perspektif, kehadiran anggaran prorakyat di Tuba Barat itu secara langsung telah membantah retorika penguasa daerah lain yang membuat anggaran publik amat kecil dan membiarkan infrastruktur di daerahnya rusak dengan alasan ketiadaan anggaran!" tegas Umar. "Perspektif itu justru membuktikan, eksekutif dan legislatif (di luar Tuba Barat) tidak lebih mengutamakan pengabdiannya pada kepentingan rakyat sesuai sumpahnya saat dilantik, karena seperti selalu tercermin pada APBD, lebih mengutamakan kepentingan kelas penguasa semata!" ***

Selanjutnya.....

Terlalu Cepat, Politik Sandera Sepak Bola!


"BAHKAN kompetisi belum usai, tim nasional (timnas) sepak bola Indonesia masih harus laga tandang dan kandang partai final, politik keburu menyandera timnas sekadar buat embel-embel partai!" ujar Umar. "Intervensi terlalu cepat dunia politik yang sedang terpuruk citranya di mata rakyat itu, lebih buruk lagi justru orientasinya uang bonus buat timnas! Padahal, justru faktor uang itulah yang telah membusukkan dunia politik dan kini racun sama secara terbuka disuntikkan ke timnas oleh pengurus PSSI yang keterpurukan citranya juga tengah diselamatkan oleh kemujuran timnas!"

"Orang yang layak dipuji buat ide naturalisasi pemain asing ke timnas, lalu membantu prosesnya, sebenarnya menteri pemuda dan olah raga Andi Malarangeng!" timpal Amir. "Dengan kenyataan naturalisasi pemain hasil pemikiran dan usaha menteri Kabinet Indonesia Bersatu II itu, Presiden SBY dan Ibu Negara Ani Yudhoyono jadi lebih afdal memberi dukungan semangat kepada timnas dengan kehadiran langsung di stadion pada dua laga semifinal yang menentukan!"

"Tapi apa mau dikata, bayangan prestasi timnas terkait usaha formal pemerintah itu bisa menjadi fakta sejarah, ditelikung oleh Ketua Umum PSSI Nurdin Chalid yang juga orang politik! Nurdin yang kader Golkar membawa timnas sowan ke rumah Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie—juga ada kaitan dengan bonus buat timnas!" tukas Umar.

"Tak ayal, selain tersandera sebagai embel-embel partai politik, timnas juga jadi belepotan dengan uang politik!"

"Eksploitasi timnas ke rangkulan golongan politik tertentu jelas kurang pas! Karena, timnas dengan lambang Garuda Pancasila di dada itu milik bangsa dari semua golongan—juga tak bisa diklaim sebagai milik an sich pengurus PSSI, karena kepengurusan PSSI itu amanah dari bangsa yang mendirikan origanisasi itu pada awal kemerdekaan sebagai alat perjuangan!" timpal Amir. "Tepatnya, PSSI bukan perseroan terbatas milik pengurusnya! Tapi milik bangsa yang diamanahkan untuk mereka urus! Itu perlu ditegaskan, karena euforia masyarakat yang bergelora dari kemenangan timnas di Piala AFF ini, diunggulkan menjadi faktor pengungkit (the lifter factor) untuk mengangkat kembali negeri ini dari keterpurukan nyaris di semua bidang kehidupan! Potensinya yang amat besar untuk itu bisa mengerdil ketika dalam sandera partai politik timnas dengan sendirinya akan terpasung orientasi pada kepentingan partai yang relatif terbatas—dibanding besarnya harapan yang tertumpu pada timnas!"

"Tapi, nasi telah menjadi bubur!" tegas Umar. "Kita doakan, timnas menang di laga final dan jadi juara!" ***

Selanjutnya.....

'Korupsi Sempurna' dalam Sistem! (2)


"FITRA—Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran—dalam skala nasional menengarai bolongnya sistem menyebabkan kebocoran APBD signifikan pada pos bantuan sosial!" ujar Umar. "Bantuan itu diberikan pada organisasi kemasyarakatan (ormas) baik sosial, keagamaan, primordial (kesukuan) dan kewargaan (LSM) dengan syarat longgar—terdaftar di Kesbang—lalu, tanpa kewajiban audit pemakaian dana di tangan penerimanya!"

"Bolongnya sistem pos bantuan dimanfaatkan maksimal kepala daerah untuk tetap berkuasa lewat pemilihan berikutnya atau penerus kekuasaan keluarga dengan membangun dinasti!" sambut Amir. "Tak kepalang, langkah memperkuat dukungan pada dinasti dari segala bentuk ormas itu berlangsung sejak tahun pertama dari lima tahun kekuasaannya! Artinya, dana pos bantuan dialirkan selektif pada ormas-ormas yang sudah punya komitmen mendukung rejim tersebut!"

"Masih menurut Fitra, kebocoran lewat pos bantuan untuk itu jumlahnya cukup signifikan, pada satu daerah tingkat dua bisa puluhan miliar rupiah per tahun!" tegas Umar. "Untuk tingkat provinsi, bisa lebih aduhai! Hal terpenting dalam penyaluran itu, penerimanya bukan ormas fiktif—hanya terkait ormas fiktif sebagai penerima itulah yang disidik kasus korupsi di Lampung!"

"Namanya korupsi sempurna, yang tak sempurna—seperti ormasnya fiktif--bisa jadi kasus korupsi!" timpal Amir. "Bolong lain dalam sistem hingga membuka peluang jadi korupsi sempurna ada pada sektor penerimaan! Salah satunya seperti disinyalir BPK, kebocoran terjadi pada pajak restoran di Lampung! Ini terjadi karena sistem pemungutan pajak pembangunan daerah dengan wajib pungut (wapu) penguasaha restoran belum dijalankan secara standar—belum ada marking (tanda kontrol) dari dinas pendapatan pada setiap lembar faktur penjualan (bill) dengan nomor urut faktur tersamar berlubang atau cara lain!"

"Dengan begitu besarnya pungutan pajak bisa dibawa ke ranah negosiasi saling menguntungkan wapu dan petugas pajak, sedang nilai riil yang masuk kas daerah tergantung pada pencatatan nilai setoran yang disepakati!" tukas Umar. "Korupsi sempurna dalam hal ini pada proses sebelum ada pencatatan tertulis, itu terkait jumlah sebenarnya yang tak masuk kas daerah, selisih jumlah yang sebenarnya dibayar wapu dengan jumlah yang dilaporkan sebagai penerimaan pajak daerah! Model ini di berbagai sektor penerimaan jadi korupsi sempurna, karena di luar yang dicatat sebagai setoran resmi, tak ada bukti fisis!"

"Begitulah korupsi sempurna!" timpal Amir. "Berjalan nyaman dalam sistem yang bolong-bolong penuh kelemahan!" *** (Habis)

Selanjutnya.....

'Korupsi Sempurna' Justru dalam Sistem!


"PEMAHAMAN Lord Acton tentang power tend to corrupt mengindikasi 'korupsi sempurna' justru terjadi dalam sistem yang dibuat sebagai praktek penyimpangan kekuasaan—abuse of power!" ujar Umar. "Prinsip itu dipahami Gamawan Fauzi—mantan Bupati Solok dan Gubernur Sumbar—
hingga saat jadi mendagri minta dihentikan upah pungut pajak yang diterima para pejabat daerah!"

"Upah pungut masuk korupsi sempurna karena aturannya dibuat kepala daerah yang mendapat bagian terbesar dari upah pungut, sedang para anggota DPRD yang mengesahkan aturan sebagai konspiran dengan kompensasi eksekutif juga meloloskan kepentingan DPRD!" timpal Amir. "Dalam paham seperti Gamawan itu, pejabat sudah dibayar penuh gaji dan tunjangan jabatan untuk melaksanakan tugas sesuai ketentuan, termasuk tugasnya memungut dari sumber keuangan daerah!"

"Upah pungut tak adil bagi pejabat dan staf bagian lain yang tugasnya tak terkait pungutan, semisal administrasi pemerintahan, yang tak mendapat 'upah administrasi' di luar gaji dan tunjangan jabatan!" tegas Umar. "Untuk pimpinan dan staf dinas pelaksana pungutan, kelebihan penerimaannya dari pejabat dan staf dinas lain seharusnya hanya mengacu pada hal-hal yang dikenal dalam sistem administrasi dan perpajakan universal, yakni dana operasional sesuai pengeluaran untuk kegiatannya, serta uang lembur untuk tugas di luar jam kerja!"

"Korupsi sempurna di negeri kita kini lazim terjadi pada para pejabat yang berwenang menentukan sendiri gaji dan biaya kegiatannya di luar standar gaji dan biaya kegiatan yang diatur dalam sistem keuangan pemerintahan negara, seperti anggota legialatif, direksi BUMN, dan pejabat lembaga negara tertentu!" timpal Amir. "Karena itu bisa terjadi, seorang anggota legislatif yang baru mulai masa tugas lima tahun bisa menerima Rp60-an juta per bulan plus biaya kegiatan dan perjalanan nyaris sesukanya, sedang guru besar yang sudah mengabdi puluhan tahun cuma menerima di bawah Rp10 juta per bulan!"

"Korupsi sempurna lain terjadi dalam pelaksanaan sistem dan prosedur (sisdur) yang
banyak lubang dan celah sejak pembuatannya, sehingga dengan menjalankan sisdur pun kebocoran bisa terjadi!" tegas Umar. "Pada korupsi sempurna jenis ini, meski sebenarnya kenyang korupsi seorang pejabat berani menantang penyidik, buktikan jika saya ada menyimpang dari sisdur! Dalam kasus korupsi sempurna yang sistemik seperti itu, sering penyidik gagal melanjutkan ke penuntutan! Atau kalau dituntut pun, divonis bebas! Bukan salah hakimnya, tapi sisdurnya yang bolong!" ***

Selanjutnya.....

Jaksa Cepat Sidik Korupsi Dispenda dan Inspektorat!

"KEJATI—Kejaksaan Tinggi—Lampung gerak cepat dalam menangani kasus korupsi di Dispenda (Dinas Pendapatan Daerah) Provinsi Lampung!" ujar Umar. "Tanpa tersangka dan penyelidikan, Kejati langsung menetapkan status penyidikan, menggeledah kantor dinas itu Kamis, menyita sejumlah barang dan berkas!"

"Gerak cepat serupa dilakukan Kejari—Kejaksaan Negeri—Gunungsugih, langsung menahan tiga tersangka dari Inspektorat Lampung Tengah sehari setelah absen dari panggilan pertama, tanpa jeda panggilan kedua yang seharusnya tiga hari!" timpal Amir. "Tiga staf Inspektorat itu tersangka kasus pungli terhadap guru tersertifikasi, dengan calon tersangka bisa belasan orang!"

"Gerak cepat dalam penanganan korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) jelas diperlukan, karena hanya dengan tekan 'delete' file komputer bisa hilang, atau berkas dan lemari besinya bisa pindah tanpa diketahui siapa yang melakukan!" tegas Umar. "Pokoknya, untuk kejahatan serius itu, proses penghilangan barang buktinya mudah sekali! Jika kalah cepat, proses hukumnya bisa kandas kurang bukti!"

"Untuk kasus di Dispenda, hari Senin ini penyidik akan memeriksa sejumlah bendaharawan dengan status sebagai saksi!" timpal Amir. "Tentu saja, seperti sering terjadi bisa saja di antara saksi usai pemeriksaan dinaikkan statusnya jadi tersangka! Bertolak dari hasil pemeriksaan itu pula, bukan mustahil jika kemudian
kaitan dengan tanggung jawab atasan dicari dan mungkin didapatkan! Seperti telah diberitakan, kaitan itu dicari sampai ke tingkat kepala dinas yang bertanggung jawab sejak Januari 2010!"

"Jika penyidik bisa menemukan kaitan dengan tanggung jawab kepala dinas, kasusnya tak hanya pada tingkat staf, kasus korupsi ini berkembang jadi masalah serius karena terjadi di Dispenda, jantung penerimaan keuangan Pemprov!" tegas Umar. "Manipulasi atau kebocoran yang terjadi di jantung penerimaan keuangan Pemprov jika terkait dengan kepala dinasnya, jelas bisa berjalan sistemik! Betapa gawat manipulasi dan kebocoran jika yang proses yang sistemik itu terjadi!"

"Sedang dalam kasus Lampung Tengah, ada yang menyebut diri 'tim Inspektorat' menggarap pungli terkoordinasi di tingkat kecamatan agar para guru yang mendapat sertifikasi setor untuk tim itu, dengan ancaman jika menolak akan dipersulit menerima tunjangan sertifikasi!" timpal Amir. "Para guru keberatan atas pemerasan yang mengada-ada itu, mengadu ke koran! Diberitakan, lalu heboh! Kasusnya ditindaklanjuti jaksa!" ***







Selanjutnya.....

Sepak Bola, Modal Buat Kebanggaan Nasional Indonesia!


"GARUDA di dadaku! Garuda kebanggaanku! Kuyakin hari ini pasti menang! Hidup Indonesia!" teriak Umar.
"Kemenangan beruntun Tim Nasional (Timnas) Sepak Bola Indonesia di kejuaraan antarnegara ASEAN Football Federation (AFF) menyulut euforia bukan sebatas penggila bola, bahkan telah jadi penggelora semangat bangkitnya kebanggaan nasional Indonesia!" sambut Amir. "Untuk itu cukup wajar jika Presiden SBY memanfaatkan situasi itu sebagai momentum kebangkitan semangat baru untuk keluar dari kebuntuan yang mencekam bangsa di berbagai bidang kehidupan bernegara! Presiden SBY memberi semangat juang sukan merah-putih di tempat latihan dan dengan menonton langsung di stadion!"


"Harapan untuk mendapatkan jalan keluar dari kebuntuan itu lewat sepak bola dengan euforia sesaatnya, boleh-boleh saja!" tukas Umar. "Paling tidak untuk kali ini, euforia sepak bola itu harus bisa dijadikan modal buat usaha membangkitkan kebanggaan nasional! Artinya, modal itu harus bisa dikembangkan relevansinya dengan berbagai persoalan bangsa untuk mencairkan kebuntuan yang selama ini melelahkan rakyat!"

"Berbagai persoalan bangsa itu dilukiskan Tajuk Kompas (17-12), 'Persoalan politik yang penuh intrik dan ruwet, bencana yang silih berganti, korupsi yang tiada habis-habisnya, harga-harga kebutuhan pokok yang tak terkendali terus naik, akrobat dan drama politik yang memperbodoh kita, perang pernyataan yang tidak bijaksana, dan masih banyak lagi yang membuat kita terbelenggu dan kelu!" timpal Amir. "Untuk itu, jika gagal menjalin relevansinya dengan berbagai persoalan yang telah lama melelahkan rakyat, euforia dari sepak bola itu hanya akan menjadi angin segar sesaat! Setelah itu, kembali tersekap kebuntuan!"

"Lantas, apa yang paling relevan dari timnas sepak bola kita sehingga mampu menyulut kebanggaan nasional yang harus dikembangkan sebagai modal mengatasi berbagai persoalan bangsa itu?" kejar Umar.

"Kata kuncinya naturalisasi!" tegas Amir. "Tanpa gol tunggal Gonzales pemain naturalisasi asal Uruguay dalam sesi pertama semifinal lawan Filipina, mungkin hasilnya berbeda—juga pada euforia yang kini masih terus memuncak!"

"Kalau naturalisasi pada ujung tombak pencetak gol, seperti Gonzales dan Irfan, untuk kebuntuan politik berarti harus kita naturalisasi Ketua DPR, kebuntuan korupsi dan mafia hukum yang dinaturalisasi kapolri, jaksa agung, ketua KPK, lalu menteri yang bicaranya selalu cuma memusingkan rakyat, dan lainnya!" timpal Umar. "Tanpa itu, semua poros kebuntuan itu akan tetap seperti timnas sebelum naturalisasi, terpuruk terus!"

Selanjutnya.....

Siapa Menyakiti Siapa Disakiti di Rezim Suyudhono!


"SUKSESI pemimpin nasional dalam dua dekade ini berlangsung lewat mekanisme siapa menyakiti siapa disakiti!" ujar Umar. "Di senja kalanya, Rezim Orde Baru menyakiti Megawati saat terpilih jadi ketua umum PDI lewat memihak pengurus tandingan di bawah Suryadi, yang berujung serangan ke markas PDI Megawati 27 Juli 1996. Tapi saat berkuasa, Megawati juga menyakiti SBY dengan pengucilan, menggelar rapat kabinet polkam tanpa Menko Polkam saat itu, SBY! Kini giliran SBY pula, menyakiti Sri Sultan HB X!"

"Dalam setiap episode siapa menyakiti dan siapa disakiti itu layak dicatat menonjolnya arogansi kekuasaan yang diekspresikan dengan 'darah dingin', seolah tindakan menyakiti itu justru yang semestinya hingga dianggap wajar demi hal-hal yang luhur!" sambut Amir. "Lewat pengondisian wacana sedemikian, dalam menyakiti itu pihak penguasa merasa tak salah sedikit pun, bahkan sebaliknya justru berada di pihak yang benar, hingga proses menyakitinya juga makin eksplisit—
serangan 27 Juli 1966 ke markas PDI Megawati, atau menyepelekan kebulatan suara rakyat DIY baik secara formal maupun kultural!"

"Simpul masalahnya dengan demikian, adakah arogansi kekuasaan yang selalu muncul pada setiap penguasa itu merupakan suatu faktor dominan dalam budaya politik kekuasaan negeri ini?" tukas Umar. "Kalau benar itu faktor dominan, berarti ada salah persepsi yang luas tentang gambaran umum negeri kita sebagai Amarta—tempat berkumpulnya kesatria berbudi luhur! Karena kenyataan sesungguhnya, negeri kita kini hanyalah Hastina era Suyudhono berkuasa, sarang tokoh culas seperti Sangkuni, licik dan curang seperti Dorna, munafik seperti Bisma, dan seterusnya yang menjadikan Indonesia masuk kelompok negara terkorup di dunia!"

"Kesimpulan budaya kekuasaan negeri kita Kurowo seperti era Rezim Suyudhono, bukan Pendowo era Yudistiro, mudah dilihat dari realitas politik dan kekuasaan dengan birokrasi yang korup!" timpal Amir. "Pada kondisi sedemikian, episode yang sedang berlangsung sekarang tak jauh beda dengan saat para Kurowo menyakiti Yudistiro dan adik-adiknya—Pendowo Limo—dengan mengusir mereka dari hak waris negeri Hastina lewat taruhan yang dimenangkan lewat akal-akalan penguasa, seperti menyingkirkan Sultan dari hak waris sejarah lewat pemilihan langsung yang bukan rahasia umum lagi, bisa saja dimenangi lewat politik (banyak) uang!"

"Malang nian bangsaku!" tukas Umar. "Yang selama ini dikira Yudistiro, jebule Suyudhono!" ***

Selanjutnya.....

Mobil ‘Odong-Odong’ Pakai Pertamax! (2)


"KENAIKAN nyata pengeluaran untuk bensin mobil odong-odong kita Rp2.400 per liter, sehari 10 liter atau Rp24 ribu, sebulan 25 hari sekolah Rp600 ribu! Mampus kita!" entak Temin. "Lebih besar dari penghasilan bulanan kita! Artinya, kalau tak kita naikkan tarif bulanan, kita rugi!"

"Kalau dinaikkan, sebagian besar pelanggan pasti mundur!" timpal Teman. "Sekarang saja dengan Rp150 ribu per anak sebulan sudah berat, lebih-lebih yang anaknya lebih dari satu! Jika dinaikkan sebesar kenaikan bensin lebih 50%, bisa bubar pelanggan! Tak dinaikkan, mustahil!"

"Jadi, tak dinaikkan kita rugi, dinaikkan pelanggan bubar dan kita bangkrut!" tegas Temin. "Tampak kebijakan menghapus subsidi BBM untuk semua mobil pelat hitam itu sama sekali tak ada baiknya buat kita, rakyat! Belum lagi dampak kenaikan BBM lebih 50% itu pada kenaikan harga barang, membuat daya beli rakyat turun drastis! Pasti meningkatkan derita rakyat yang sekarang saja sudah berat memenuhi kebutuhan hidupnya!"

"Paling terpukul dampak kenaikan BBM pada kenaikan harga itu kaum buruh!" timpal Teman. "Sudahlah UMR untuk 2011 sengaja ditetapkan di bawah KHL (kebutuhan hidup layak) yang berarti standar hidup buruh memang dipatok untuk tak bisa hidup layak, penyesuaian upah buruh baru bisa dilakukan sesuai jadwal, akhir tahun depan! Tak ayal, sepanjang 2011 penderitaan buruh bisa mencapai titik kulminasi!"

"Akibat melemahnya daya beli rakyat yang fatal itu, industri domestik terpukul ganda—turunnya penjualan dan naiknya biaya operasional!" tegas Temin. "Banyak pabrik bakal sekarat, menyulut PHK massal! Nilai lebih penghapusan subsidi BBM pada APBN jadi amat kecil artinya dibanding bencana sosial yang disulutnya!"

"Meningkatnya biaya operasional industri ekspor juga memperlemah daya saing di kancah global! Sementara para pesaing utama, China dan India, semakin efisien!" timpal Teman. "Tak terelakkan, semua sendi perekonomian bangsa terimbas! Lantas, buat apa kebijakan yang cuma serba negatif dampaknya itu dipaksakan?"

"Hanya demi arogansi kekuasaan, unjuk kekuatan pemerintah yang menguasai lebih 75% suara di parlemen bisa berbuat sesukanya!" tegas Temin. "Seperti perlawanan rakyat mempertahankan keistimewaan DIY, disepelekan pemerintah karena pasti dengan mudah dikalahkan di parlemen! Juga dalam penghapusan subsidi BBM mobil pelat hitam, takkan ada yang bisa membendung di parlemen—lembaga wakil rakyat yang sering lupa pada nasib rakyat yang diwakilinya!" *** (Habis)

Selanjutnya.....

Mobil ‘Odong-Odong’ Pakai Pertamax!


"KENAPA wajahmu muram tiap menunggu murid abunemen odong-odong-mu keluar sekolah?" Temin ditanya Teman, sejawat sopir abunemen.

"Jelas muram, mobil odong-odong kita dipaksa pakai bahan bakar pertamax Rp6.900 per liter, akibat pencabutan subsidi BBM berlaku untuk semua mobil pelat hitam! Itu sama harga BBM naik lebih 50% dari Rp4.500 jadi Rp6.900, atau Rp2.400 per liter!" jawab Temin. "Lebih menyayat, penguasa mengatakan ini kebijakan paling adil!"

"Kebijakan yang penguasa anggap paling adil saja menyayat pedih hati rakyat, apalagi kebijakan yang semata demi konspirasi penguasa seperti kasus Lapindo hingga empat tahun korban baru diganti rugi 20%! Atau membiarkan banyak TKI terlunta-lunta di kolong jembatan Arab Saudi!" tukas Teman. "Dalam pencabutan subsidi BBM untuk semua mobil pelat hitam, kata adil itu hanya berlaku pada 20% warga kelas menengah atas, sedangkan 80% sisanya warga menengah bawah yang banyak menjadikan mobilnya sarana usaha, menanggung beban berat akibat kebijakan itu!"

"Juga layak dipertanyakan di mana letak adilnya kalau BBM yang disedot dari perut bumi negeri kita sendiri harus dibayar rakyat dengan harga internasional plus ongkos angkut minyak kotor ke luar negeri dan membawanya kembali ke dalam negeri?" timpal Temin. "Setiap hari bumi negeri kita kini masih menghasilkan 950 ribu barel BBM, tapi sebagian besar langsung jadi milik kapitalis asing dan diangkut ke kilangnya di luar negeri! Untuk mencukupi konsumsi kita seperti untuk kilang Cilacap, kita malah impor dari Arab!"

"Dari situ terlihat kita ini sebenarnya di bawah penguasa jahiliyah—BODOH dengan huruf besar—karena kekayaan alam kita disedot orang lain lalu penguasa memaksa rakyatnya membeli kembali dengan harga internasional!" tegas Teman. "Sebanyak apa 950 ribu barel yang disedot dari bumi kita setiap hari itu bisa dibayangkan, satu barel itu satu drum besar berisi 188 liter!"

"Berarti rakyat Indonesia harus membayar mahal kebodohan penguasa yang mengelola kekayaan alam Tanah Airnya menyimpang dari amanat konstitusi untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, yang malah dijadikan seberat-beratnya beban rakyat!" timpal Temin. "Kalau tidak bodoh tentu tegas dan gigih menegosiasi ulang kontrak agar tidak merugikan rakyat! Seperti di Venezuela, terbukti para kapitalis asing mau menerima usul kontrak baru! Tapi masalahnya, kepada siapa sesungguhnya penguasa kita mengabdi?"

"Yang pasti," potong Teman, "bukan mengabdi pada kepentingan warga odong-odong!" ***

Selanjutnya.....

Tulangbawang Simpul Kemajuan!


"PORPROV—Pekan Olahraga Provinsi Lampung—VI 2010 tak disia-siakan Bupati Tulangbawang Dr. Abdurrachman Sarbini selaku tuan rumah untuk unjuk kerja keras segenap jajaran Pemkab, DPRD, dan rakyat mewujudkan kabupatennya sebagai simpul kemajuan Lampung!" ujar Umar. "Itu terlihat dari pembangunan cepat venues 15 cabang olahraga yang semula tiada, jadi bukan sekadar ada, tapi melebihi standar fasilitas untuk setingkat kabupaten! Contohnya Stadion Tiuh Tohou berkapasitas 8.000 penonton dan gedung olahraga multigames di sampingnya—keduanya dibangun dengan biaya Rp38,6 miliar lebih!"

"Sebagai simpul kemajuan itu bahkan jika dilihat secara komprehensif kawasan excellent center mulai arah masuk Kota Menggala dari Terbanggi, selain fasilitas olahraga juga ada RSUD, bangunan Universitas Megoupak yang futuristik, kompleks perumahan baru yang menampung lebih 3.000 atlet dan ofisial peserta Porprov!" sambut Amir. "Sisi itu sebagai keseimbangan dengan sisi lain Menggala ke arah Palembang yang sebelumnya telah lebih dulu dibangun Islamic Center, Gedung DPRD dan taman budaya dengan rumah adat empat marga--Megoupak! Tak boleh dilupakan, di jalur menuju Palembang itu terdapat Unit Dua, kawasan yang berkembang secara swadaya rakyat menjadi kota agropolitan signifikan!"

"Itu menunjukkan, sebagai simpul kemajuan Tulangbawang merupakan buah kerja keras yang saksama Pemkab dan rakyatnya!" tegas Umar. "Semua itu disempurnakan dengan pembukaan Porprov VI 2010 yang spektakuler, antara lain menghadirkan khusus dari Bandung pasukan kavaleri yang ikut defile membawa bendera kontingen, selain meriahnya gelar berbagai kesenian massal dan tradisional—didukung kehadiran jubelan warga lokal dengan segala jenis kendaraan hingga memacetkan jalintim dari sore sampai tengah malam!"

"Menyaksikan Tulangbawang dalam proses cepat untuk Porprov mampu unjuk kerja keras sehingga tampil jadi simpul kemajuan Lampung itu, apakah salah kalau juga mempertanyakan kabupaten lain yang bukan saja tak menunjukkan tanda-tanda kemajuan berarti pembangunan daerahnya, malah tenggelam utang dengan anggaran defisit yang semakin dalam dari tahun ke tahun!" timpal Umar. "Kebetulan pada malam pembukaan Porprov itu hadir pejabat teras kabupaten/kota se-Lampung, diharapkan bisa membandingkan sendiri simpul kemajuan hasil kerja keras di Tulangbawang dengan daerahnya yang lebih asyik mengisap jempol mendulang defisit!" ***

Selanjutnya.....

Pajak Warteg dan Penindasan yang Tak Kenal Ampun!


"SASARAN pajak hotel dan restoran itu konsumen, yang dikenakan langsung di tanda pembayaran!" ujar Umar. "Jadi, kalau warung tegal (warteg) dijadikan wajib pungut (wapu) pajak seperti hotel dan restoran, berarti wajib pajaknya konsumen, jelas salah sasaran! Sebab, mayoritas konsumen warteg penyandang pendapatan tidak kena pajak (PTKP), yang pada 2010 besarnya Rp13,2 juta per tahun atau Rp1,1 juta per bulan, di atas UMP DKI tahun sama—apalagi UMP provinsi lain yang umumnya masih di bawah Rp1 juta per bulan!"

"Hal itu perlu ditegaskan agar daerah yang suka asal meniru tidak ikut melanggar batas ampunan pajak—PTKP—itu!" sambut Amir. "Di sisi lain, kalau pajak warteg dimaksudkan untuk pendapatan pengusaha warteg dengan PTKP Rp60 juta per tahun atau Rp5 juta sebulan, eksesnya tetap akan ditanggung konsumen, karena sulit dipastikan pengusaha warteg mau memikul beban itu sendiri dengan banyaknya cara sepihak bisa dilakukan untuk share beban itu dengan pelanggannya!"

"Masalahnya, warteg itu kegiatan 24 jam segenap keluarga (laki-bini-anak-menantu-ipar), hingga pendapatan yang terhimpun Rp5 juta per bulan itu sebenarnya penghasilan kelompok kerja, jika dibagi per orangnya juga di bawah PTKP!" tegas Umar. "Lalu, kebanyakan anggota keluarga kerja di warteg tak digaji secara eksplisit, melainkan ikut hidup bersama (mbatih) dengan pemenuhan kebutuhannya sesuai kemampuan wartegnya!"

"Untuk tidak latah asal meniru itu penting dalam penerapan pajak daerah yang berkeadilan!" timpal Amir. "Contoh pajak daerah tidak berkeadilan tapi malah terlembaga pada pajak penerangan jalan yang dikenakan pada semua pelanggan listrik, padahal mayoritas penyandang PTKP! Selain itu, penerangan jalan itu sendiri jika di DKI luar biasa benderang di semua kawasan, di kota-kota lain cuma dinikmati yang tinggal di jalan protokol!"

"Pelanggaran batas PTKP dalam pajak daerah itu terjadi akibat penerapan pajak progresif di daerah!" tukas Umar. "Celakanya, di nyaris semua daerah yang progresif cuma pengenaan pajaknya hingga yang terlindungi PTKP pun digasak, sedang dalam pemanfaatan pajaknya jauh dari progresif dan berkeadilan! Itu terjadi karena dalam distribusi manfaat pajak lewat APBD, anggaran untuk rakyat cuma 30% atau lebih kecil, sedang yang 70% lebih untuk belanja rutin aparatur alias birokrat amtenar! Jadi, penerapan pajak progresif di daerah secara nyata merupakan penindasan tak kenal ampun terhadap rakyat jelata, karena batas ampunan pajak—PTKP—dilanggar!" ***

Selanjutnya.....

Bakso 'Low Fat', untuk Birokrasi yang Kegemukan!


DAGANGAN bakso Malang dengan gerobak dorong bertulisan 'Konco Lawas' nyaris setiap sore habis sebelum usai mengitari sebuah perumahan dosen. "Apa rahasianya sehingga keluarga dosen yang relatif tercerahkan doyan bakso itu?" tanya Umar.

"Rahasianya pada bakso dan kuahnya yang low fat—rendah lemak!" jawab Amir. "Beda dari bakso lain yang justru memperbanyak lemak pada kuah maupun rasa daging di baksonya! Ternyata bakso yang kuat rasa terigunya justru menjadi alternatif bagi mereka yang takut kelebihan kolesterol!"


"Kesadaran dalam mengendalikan keseimbangan kolesterol merupakan gaya hidup sublim untuk menjaga kesehatan pada masyarakat urban yang diserbu makanan cepat saji kaya lemak hingga lazim disebut junk food!" tegas Umar.

"Kesadaran sublim sejenis seyogianya juga tumbuh pada pemerintah—termasuk pemerintah daerah (pemda)—selaku pengarah kehidupan warga bangsa, khususnya dalam menjaga keseimbangan 'lemak' dalam tubuh birokrasi pemerintahan agar tidak terlalu kegemukan hingga jadi lamban!"

"Tapi yang terjadi justru sebaliknya, pemda terus mempergemuk tubuh birokrasinya selain lewat rekrutmen resmi terbuka tes CPNSD, diam-diam juga mengangkat pegawai honorarium daerah (honda) yang jumlahnya bisa ribuan orang di satu kabupaten!" timpal Amir.

"Konsekuensinya, bukan saja gerak pemda semakin lamban oleh tubuhnya yang kelebihan berat badan, tapi juga belanja aparatur terus membengkak hingga porsi anggaran untuk rakyat terus mengecil! Karena itu layak dipertanyakan, sebenarnya apa motivasi di balik perekrutan pegawai yang cenderung tidak disesuaikan dengan lodge of jobs—beban tugas—setiap pegawai untuk mencapai tingkat kerja yang efektif dan efisien dalam birokrasi pemerintahan?"

"Motivasinya terkadang misterius, terutama kalau dilihat dalam suatu kurun rekrutmen pegawai honda dikebut jauh lebih tinggi dari pertumbuhan pendapatan asli daerah sumber utama pembayar gajinya!" tegas Umar. "Kontrol atas rekrutmen pegawai honda ini amat sulit, karena secara diam-diam diselinapkan di sel-sel dinas dan instansi!"

"Untuk itu, layak diberikan salut kepada Pemkab Lampung Selatan yang kini menanggung 1.600-an orang pegawai honda, atas penegasannya untuk menghentikan perekrutan pegawai honda baru pada 2011," timpal Amir. "Kebijakan tersebut jelas bisa dijadikan teladan, setidaknya bandingan, bahwa tanggungan beban belanja aparatur yang kegemukan menjadi terlalu berat bagi kewajiban pemda meningkatkan kesejahteraan rakyat!" ***

Selanjutnya.....

'Outward Looking' DPRD se-Lampung!


KERANJINGAN ke luar daerah dengan alasan studi banding dan sejenisnya yang melanda DPRD se-Lampung—provinsi/kabupaten/kota—

melembaga sebagai outward looking, pandangan berorientasi ke luar!" ujar Umar. "Itu mirip suami yang hati, pikiran, dan matanya jelalatan ke luar rumah mendamba perempuan di rumah orang lain! Celakanya, untuk sering menemui dambaannya itu, dengan segala alasan ia habiskan uang belanja untuk keluarga di rumahnya sendiri!"

"Tragisnya, alasan terpenting setiap kepergian itu agar istrinya bisa meniru dandanan dan gaya sang dambaan!" timpal Amir. "Padahal, jangankan uang untuk beli perangkat bersolek, uang untuk belanja hidup seharian saja tak ia sisakan!"

"Itu terjadi selain latah meniru contoh buruk DPR yang keranjingan studi banding ke luar negeri, juga akibat salah memahami dan memaknai outward looking itu sendiri!" tegas Umar. "Bukan berarti anggota DPR dan DPRD tak boleh melihat keluar hingga jadi katak di bawah tempurung! Tapi idealnya, itu dilakukan dengan outward looking seperti dimaksud Naisbitt, think globally act locally! Jadi, membuka cakrawala pandang seluas-luasnya lewat peranti era informasi yang sudah mudah diakses lewat handphone dengan fasilitas komunikasi yang juga including dalam penerimaan bulanan anggota legislatif! Bukan cuma pergi ke satu titik habis waktu dan biaya cuma dapat informasi sedikit belum tentu cocok dengan modal sosial, kultural dan sumber daya alam daerah sendiri!"

"Untuk itu, mindset—cara berpikir—anggota DPRD harus diubah dengan orientasi yang lebih kuat pada daya guna (efektif) dan hasil guna (efisien) setiap langkahnya dengan secara fisik dirinya lebih menjurus inward looking, lebih berorientasi pada modal sosial dan kultural rakyatnya serta modal sumber daya alam daerah sendiri!" timpal Amir. "Tepatnya, perhatian anggota DPRD fokus ke 'rumah' sendiri, mendamba pengujudan mimpi indah bagi 'keluarga' sendiri, tak ngelantur memdambakan yang ada di 'rumah' orang lain!"

"Desakan untuk reorientasi mindset para anggota DPRD se-Lampung dimaksud amat serius, karena Lampung dengan kekayaan potensi modal sosial, kultural, dan sumber daya alam yang tak kalah dibanding daerah lain, masih tertinggal dalam banyak hal justru oleh daerah yang lebih miskin potensinya!" tegas Umar. "Kalau para legislator daerah ini tak mampu mengendalikan nafsunya dari mendamba yang ada di rumah orang lain, jangankan mengejar dari ketertinggalan, bahkan justru lebih mungkin semakin jauh tertinggal dari daerah-daerah lain!" ***

Selanjutnya.....

'Cermin Ajaib' Sulut Perlawanan Rakyat!


"GURU Besar FH Unair Prof. Dr. J.E. Sahetapi, yang oleh Ensiklopedi Tokoh Indonesia dijuluki penjaga nurani hukum dan politik, dalam bincang Metro TV, Kamis (9-12), bercanda perlawanan rakyat menolak pemilihan langsung Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) meruyak cuma gara-gara 'cermin ajaib'!" ujar Umar. "Kata Sahetapi, ada orang yang merasa dirinya paling bijaksana bertanya ke cermin itu, 'Siapa orang paling bijaksana di negeri ini?' Ternyata yang muncul di cermin ajaib gambar Sri Sultan HB X."

"Jadi dalam perspektif Sahetapi, di balik polemik tentang RUU Keistimewaan DIY itu, ada faktor persaingan terselubung diaktualkan lewat usaha mempreteli kekuasaan formal Sri Sultan HB X yang dianggap jadi sarana mengekspresikan dirinya sebagai orang paling bijaksana?" tukas Amir.


"Bisa jadi!" jawab Umar. "Dalam komunikasi politik, ungkapan terselubung saja bisa dibaca simbol-simbolnya lalu seperti permainan catur, diantisipasi tiga atau empat langkah ke depan! Apalagi dalam polemik RUU Keistimewaan DIY ini, bahasa politik penguasa dalam memaksakan kehendak bisa disebut telanjang, harus pemilihan langsung kepala daerah! Ditambah pernyataan mengentak pula, tak boleh ada monarki di Yogya!"

"Rakyat DIY yang terbiasa dengan bahasa simbolik halus penuh nuansa kearifan, jelas terkejut tiba-tiba disenggak pernyataan yang menyayat pedih cinta mereka pada pemimpin yang bersemayam damai di hati!" timpal Amir. "Bak ular disentak dari tidurnya, bahasa politik penguasa yang kontras dengan tradisi rakyat DIY baik cara penyampaian maupun isinya itu segera menyulut perlawanan rakyat—dengan puncak mundurnya beramai-ramai elite Partai Demokrat DIY!"

"Tampak, bahasa penguasa yang semakin 'vulgar' dalam proses komunikasi politik menjadi biang konflik!" sambut Umar. "Bahkan bisa dikatakan, untuk kali ini penguasa yang sebelumnya lebih dikenal dengan kehalusan dan kesantunan dalam bicara, berubah tabiat menjadi 'vulgar' dan terasa bobot emosionalnya!"

"Tapi justru perubahan tabiat—tampaknya juga diikuti elite Partai Demokrat—itu akan menjadi penentu dialektika dalam dinamika politik nasional ke depan!" tegas Amir. "Dialektika itu, dari tesis Partai Demokrat yang semula defensif-reaksioner dalam menghadapi antitesis berupa tekanan lawan-lawan politiknya, kini mereposisi dirinya jadi sintesis dengan karakter baru ofensif-revolusioner! Itu, jika perubahan tabiat terjadi konsisten, tak terbatas pada kasus DIY!" ***

Selanjutnya.....

Pak Ogah Amankan Pidana Penguasa!


"JALAN raya yang rusak parah di banyak tempat hingga butuh regu Pak Ogah untuk mengatur giliran lewat barisan mobil dari dua arah agar tak macet total, telah mengubah makna jalan padat karya—semula berarti jalan yang dibangun dengan proyek padat karya—
menjadi padat karya dalam merekrut Pak Ogah!" ujar Umar. "Karena kerusakan infrastruktur jalan dan jembatan tingkat kabupaten-kota, provinsi, dan jalan negara seantero negeri relatif merata, artinya dalam mengurangi pengangguran jadi signifikan!"

"Di sebuah lokasi jembatan putus tetua 10 desa sepakat berbagi lima desa di setiap sisi dengan giliran setiap desa enam jam!" sambut Amir. "Agar 'hujan merata' dinikmati semua penganggur, setiap giliran tugas desa juga menggilir para penganggur desanya!"

"Tampak arti padat karya justru lebih efektif ketika jalan rusak dan tak kunjung (selesai) diperbaiki!" tegas Umar. "Jika setiap penganggur dari 10 desa itu mendapat giliran enam jam kerja seminggu, ke 10 desa itu langsung menuai skor zero unemployment alias bebas pengangguran versi BPS! Berarti, kian hancur jalan hingga lebih banyak lokasi butuh regu Pak Ogah, makin besar pula perannya menurunkan pengangguran!"

"Selain mengurangi pengangguran, kehadiran Pak Ogah juga mengurangi kecelakaan di lokasi jalan rusak parah hingga zero accident!" timpal Amir. "Kecelakaan nol di jalan rusak parah yang tak segera diperbaiki secara patut itu, mengamankan penguasa yang berkewajiban memelihara jalan tersebut dari sanksi pidana sesuai UU No. 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan!"

"Jelas! Karena jika terjadi kecelakaan akibat jalan rusak parah itu tak segera diperbaiki secara patut, penguasa yang berkewajiban atas pemeliharaan jalan itu bisa dipidana enam bulan penjara atau denda Rp12 juta jika korbannya luka ringan!" tegas Umar. "Jika korbannya luka parah dipidana satu tahun penjara atau denda Rp24 juta! Jika korbannya meninggal dunia, dipidana lima tahun atau denda Rp120 juta!" (UU 22/2009, Pasal 273 Ayat [1], [2], [3])

"Jadi, selain mengurangi pengangguran dan kecelakaan di jalan yang rusak parah, regu Pak Ogah juga menjadi 'juru selamat' mengamankan dari sanksi pidana penguasa yang tak becus atau korup dalam melaksanakan kewajiban memelihara jalan!" timpal Amir. "Ironisnya, kalangan penguasa justru cenderung memandang remeh peran Pak Ogah yang mengamankan dirinya dari pidana tersebut! Padahal bantuan jas hujan dan baterai lampu senter saja, besar artinya! Tapi dasar penguasa birokrat, tak mengenal arti orang lain bagi dirinya, kecuali orang lain itu melayani dirinya!" ***

Selanjutnya.....

Tempe Busuk, Sifat Rakyat itu 'Nrimo'!


TINI yang baru tiba dari kota terkejut, neneknya memasukkan tempe busuk ke gulai daun singkong yang dimasak. "Nenek gimana sih?" entak Tini. "Jelas tempe sudah busuk dimasukkan ke gulai!"

"Aku dulu juga protes karena rasa pahit tempe busuk di gulai daun singkong!" jawab nenek.

"Apa jawab atas protes nenek?" kejar Tini.

"Ini soal tradisi selera, kalau sudah terbiasa malah aneh saat makan gulai daun
singkong tak ada rasa tempe busuknya!" jelas nenek. "Tapi lebih penting lagi penjelasan selanjutnya, sifat dan watak manusia tak sepenuhnya terlepas dari apa yang dimakannya! Makan tempe busuk diperlukan buat wong cilik, rakyat jelata seperti nenek, agar tak angkuh dan sombong, sebaliknya selalu pasrah alias nrimo dengan rasa syukur apa pun yang dialami atau seberapa pun yang didapat!"

"Kalau begitu berbagai ketidakadilan penguasa yang dilakukan sesuka-sukanya terhadap rakyat, akarnya justru pada sifat dan watak rakyat yang terbentuk oleh tempe busuk santapan mereka dari masa ke masa!" tegas Tini. "Bahkan dengan sifat dan watak pasrah dan nrimo yang fatalistik itu, jelas bagi rakyat—terutama dalam berhadapan dengan yang berkuasa baik secara politik maupun ekonomi—keadilan hanya sebuah utopi, impian yang takkan pernah bisa terwujud!"

"Justru itu, daripada rakyat kehabisan waktu dan daya mendamba keadilan yang tak akan mereka peroleh dari segala jenis penguasa, nenek-moyang kita menyiapkan resep tempe busuk untuk nrimo ketakadilan seperti apa pun!" timpal nenek. "Cuma dengan
nrimo mereka bisa merasa tetap tenang dan tenteram dalam kondisi seburuk apa pun!"

"Malangnya, segala jenis penguasa dengan power tend to corrupt-nya justru makin semena-mena mengorupsi hak-hak rakyat akibat tak ada kritik yang efektif dari rakyat atas sepak terjang penguasa!" tukas Tini. "Bahkan dalam satu undang-undang yang sama, pasal-pasal untuk rakyat diterapkan tegas, sedang pasal-pasal untuk penguasa tak pernah dipakai!"

"Punya contoh undang-undangnya?" kejar nenek.

"Contohnya UU No. 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, polisi rajin memakai UU itu untuk merazia rakyat pengendara motor!" jelas Tini. "Dalam UU itu juga disebutkan, penguasa yang berkewajiban memelihara jalan diancam sanksi hukum jika tidak melaksanakan kewajiban tersebut semestinya! Tapi sejauh ini, belum ada penguasa ditindak hukum untuk itu, meski jalan kabupaten dan provinsi banyak yang rusak parah!"

"Semua itu—dari tempe busuk sampai praktek UU—akibat hukum seperti pedang!" timpal nenek. "Hanya tajam ke bawah, ke atasnya tumpul!" ***

Selanjutnya.....

Tahun Baru, Paduan Posmo dan Autisme!


"SELAMAT Tahun Baru 1432 Hijriah!" ujar Umar. "Pertanda penting apa yang mengiringinya?"

"Gejala menguatnya hyper cultural!" jawab Amir. "Gejala itu terjadi simultan pada arus utama (mainstream) era informasi yang disebut dengan kultur post-modern (posmo), dengan hakikatnya mengaktual lewat hyper-reality—realitas sebatas kesan yang terbentuk oleh tayangan intens media massa! Dari hyper-reality itu muncul subkultur budaya politik autisme, dengan hakikatnya mengaktual lewat hyper-active—perilaku penyandang autis yang selalu asyik sendiri, tak nyambung dan tak peduli dengan realitas sekitarnya!"

"Budaya politik autisme sudah terasa banget gejalanya pada penguasa negeri, selalu asyik sendiri tak peduli pada realitas bangsanya!" timpal Umar. "Dalam gejala itu, penguasa yang hanya asyik dengan pikiran dan khayalan sendiri membawa bangsanya terbenam dalam masalah-masalah sepele dan tetek bengek, justru sebagai pelarian dari masalah-masalah amat penting dan esensial bagi bangsa yang justru ditinggalkan karena gagal atau tak mampu dia selesaikan, hingga masalah penting tak terpecahkan makin bertumpuk!"

"Pilihan itu sebenarnya tak terlepas dari usaha penguasa di front hyper-reality untuk memantap-kokohkan kesan maya (citra hyper) kepiawaian dirinya menyelesaikan masalah lewat polemik di media massa atas masalah-masalah sepele yang dipilihnya itu!" tegas Amir. "Sekaligus dengan itu, diskursus bangsa atas masalah-masalah serius yang terbengkalai dan tumpukannya kian tinggi itu semakin kehabisan ruang dan waktu tayang di media massa, tersingkir dengan pengalihan ke masalah-masalah tetek bengek yang tak esensial bagi bangsa tersebut!"

"Berarti, autisme itu sebuah pilihan by design!" timpal Umar. "Tapi pilihan itu punya risiko dengan konsekuensi fatal, penumpukan masalah esensial yang tak terpecahkan seperti korupsi dan segala bentuk mafia pendukungnya di birokrasi, akan mengalami proses pembusukan politik—political decay—di mana peranti demokrasi yakni politik, hukum, dan pengelolaan sosial-ekonomi publik tak bekerja efektif untuk mengujudkan kesejahteraan rakyat—sebaliknya merongrong dan memperlemah pencapaian tujuan tersebut!"

"Pembusukan itu mencapai titik kulminasi dalam hyper-reality ketika kegagalan penguasa dalam menjalankan sistem primer—terkait masalah-masalah esensial bangsa--mencapai kadar mitos dalam benak rakyat!" tegas Amir. "Itu ketika mayoritas rakyat secara umum telah sampai pada kesimpulan iso ne mung sa'mono—
bisanya cuma sebegitu saja!" ***

Selanjutnya.....

Tanda Kemunduran, Mencuat dari Balik Penganggur Turun!

"TANDA kemajuan ekonomi dilihat dari mobilisasi tenaga kerja ke sektor formal-modern--industri, jasa dan perdagangan!" ujar Umar. "Saat banyak pekerja dari sektor itu terpental kembali ke sektor informal-tradisional—

pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, bakulan (pedagang kecil)—harus diwaspadai sebagai kemunduran! Dan itu yang mencuat terjadi di Lampung sesuai data Badan Pusat Statistik (BPS), dalam Agustus 2009-Agustus 2010 akomodasi sektor industri terhadap angkatan kerja turun dari 8,82% menjadi 7,78%. Bahkan di sektor jasa dan perdagangan, dalam periode sama tumbuh negatif hingga 5,49%!"

"Berarti, di balik berita tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Lampung turun, dari 6,62% pada Agustus 2009 menjadi 5,57% pada Agustus 2010, dengan penurunan signifikan 15,36 di sektor informal-tradisional, justru menunjukkan proses demobilisasi pekerja dari sektor formal-modern kembali ke sektor informal-tradisional!" timpal Amir. "Lebih dramatis lagi dilihat skala besarnya, sektor formal hanya mengakomodasi 23,48% angkatan kerja, sedang sektor informal lebih dari tiga per empatnya, 76,52%! Fakta ini menunjukkan kondisi perekonomian yang masih amat terbelakang! Dalam perekonomian maju, peran sektor informal-tradisional umumnya di bawah 40%!"

"Karena itu, penurunan signifikan pengangguran di sektor informal-tradisional terutama di desa itu layak dikritisi!" tegas Umar. "Dengan ukuran tidak masuk daftar pengangguran terbuka jika bekerja dua jam dalam seminggu, beberapa program pemerintah terutama PNPM—Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat—Rp250 juta per desa yang dijadikan proyek padat karya infrastruktur desa, cukup besar artinya dalam 'menolong' warga lepas dari status penganggur terbuka! Namun, sejauh mana keefektifan penghasilan dari bekerja asal lepas dari status penganggur terbuka itu, bisa diperkirakan betapa minim artinya bagi penghidupan!"

"Dari semua itu tampak, hanya mengunyah mentah laporan pengangguran turun tanpa mencermati esensi perubahannya, bisa ternina-bobok dari realitas kemunduran dalam
orientasi memajukan kesejahteraan umum—lewat perekonomian yang maju!" timpal Amir. "Terjadinya demobilisasi angkatan kerja di sektor formal-modern dengan de-employment hingga lebih lima persen pada sektor jasa dan perdagangan, merupakan masalah serius yang harus diantisipasi! Jika disepelekan, ekonomi Lampung akan semakin jauh tertinggal dalam skala nasional! Kini, pendapatan per kapita Lampung masih di bawah 1.000 dolar AS, padahal pendapatan per kapita nasional di atas 2.000 dolar AS!" ***

Selanjutnya.....

Menara Gading buat Sultan Yogya!

"KLARIFIKASI Presiden SBY atas ucapannya tentang RUU DIY--Daerah Istimewa Yogyakarta—ditambah uraian teknis Mendagri Gamawan Fauzi, justru mengundang acungan bambu runcing ke Gedung Agung, Istana Presiden di Kota Gudeg, sebagai simbol perlawanan rakyat Yogya!" ujar Umar. "Pasalnya, klarifikasi SBY justru mempertegas opsi pemerintah, Gubernur DIY harus dipilih langsung, sedang Sultan ditempatkan di atasnya—yang ditafsirkan rakyat Yogya sebagai menara gading untuk memisahkan Sultan dari rakyatnya!"

"Dengan lebih 75 persen kekuatan di DPR barisan koor pendukung pemerintah, wajar jika dalam klarifikasinya SBY justru mempertegas opsinya, meski itu dilakukan saat penolakan rakyat Yogya pada opsi itu tengah mendidih!" sambut Amir.

"Sebab, kalaupun kini ada fraksi pendukung cari muka pada rakyat seolah ikut menentang opsi itu, pada saat dirijen koor mengangkat sepuluh jari tanda semua siap—lewat lobi di hotel mewah—takkan ada fraksi lagi yang bersuara sumbang!"

"Jika semulus itu, akhirnya menara gading buat Sultan terwujud hingga terlepas dari kekuasaan formal selaku wakil Pemerintah Pusat yang telah diserahkan ke gubernur terpilih!" tegas Umar. "Dan di menara gading, Sultan tinggal memimpin upacara keraton! Semua itu dipaksakan atas nama keseragaman demokrasi di seluruh Tanah Air!"

"Tapi justru di situ letak kesalahan utama tafsir demokrasi rezim SBY, demokrasi dijalankan dengan memaksakan keseragaman, padahal arti demokrasi yang mendasar justru akomodasi dan toleransi seluas-luasnya pada perbedaan seperti dikukuhkan founding fathers dengan bhinneka tunggal ika!" tukas Amir. "Sebaliknya, pemaksaan keseragaman lazim di negeri komunis! Dengan konsekuensi, saat rakyat DIY acungkan bambu runcing
ke Gedung Agung Jumat lalu menentang penyeragaman itu, semangat terdalamnya justru mengacungkan bambu runcing pada praksis komunisme yang tengah membayangi istana!"

"Lucunya penyeragaman itu dipaksakan setelah Obama 'pulang kampung' mengingatkan unity in diversity—bhinneka tunggal ika—sebagai kekuatan Indonesia yang mengilhami banyak bangsa lain untuk negerinya!" tegas Umar.

"Di AS, perbedaan antarnegara bagian yang berlatar sejarah, seperti undang-undang, tetap berlaku dan dihormati Pemerintah Pusat! Beda di Kuba dan Korea Utara yang komunis, jika ada perbedaan dihabisi! Apa dengan menghabisi kekhasan lokal DIY itu kita sedang dipaksa mengikuti Kuba dan Korea Utara?"

"Jika itu terjadi, rakyat DIY tak sendirian!" timpal Amir. "Rakyat provinsi lain pasti tak tinggal diam!" ***

Selanjutnya.....

'WikiLeaks', Ungkap Kebenaran dalam Sarang Ular Berbisa!


"SITUS WikiLeaks milik Julian Assange, warga Australia, menyiarkan hasil bobolan ratusan ribu informasi Deplu Amerika Serikat (AS) dengan kedutaannya di seluruh dunia!" ujar Umar. "Bobolan itu membuka kedok standar ganda diplomasi AS, hingga pemerintahan Obama menilai tindakan Assange itu mengancam keamanan negara dan membahayakan hubungan mereka dengan negara-negara lain!"

"Oktober lalu WikiLeaks juga membobol 400 ribu lebih dokumen rahasia AS tentang Perang Irak, membuktikan jumlah korban warga sipil Irak sebenarnya jauh lebih besar dari laporan resmi AS yang dipublikasi!" sambut Amir. "Dilihat dari materi dokumen Perang Irak dan diplomasi AS, fenomena WikiLeaks relevan sebagai kritik terhadap pemerintah AS! Pengungkapan kebenaran di balik Perang Irak dan diplomasi AS yang merugikan rakyat negara-negara lain bahkan amat diperlukan!"

"Tapi keburukan cara memperoleh informasinya lewat pembobolan (hacking) yang dilakukan WikiLeaks, tak bisa dibenarkan karena jelas melanggar hukum!" tegas Umar.

"Jangankan membocorkan rahasia negara, privasi individu saja tak boleh dilanggar!"

"Kedua sisi baik dan buruk dalam fenomena WikiLeaks itu menyatu jadi dua sisi sekeping mata uang yang tak bisa dipisahkan!" timpal Amir. "Ia bagai keseimbangan dalam hukum alam, panas-dingin, terang-gelap, siang-malam, dan seterusnya, tiada yang satu tanpa yang lainnya—tiada informasi yang mengandung kebenaran itu terungkap tanpa lewat pembobolan!"

"Hukum alam juga bekerja dengan sistem mata rantai makanan! Hidup makhluk besar tergantung pada yang lebih kecil dan harus jadi korban!" tegas Umar. "Demi kebenaran yang nilainya lebih agung, Assange yang pasti amat sadar pembobolan itu melanggar hukum, harus siap jadi korban menanggung risikonya! Itu prinsip kesatria zaman pra-Pencerahan menegakkan kebenaran lewat cara-cara yang lewat pandangan formal terlihat konyol—Don Quissotte! Anehnya, dunia selalu butuh Don Quissotte untuk mengungkap kebenaran yang tersembunyi di sarang ular berbisa!"

"Justru dunia yang anomalik seperti itu, hukum formal malah jadi sarang ular melindungi kejahatan!" timpal Amir. "Ularnya para pejabat dan aparat penegak hukum yang berperan dalam mafia hukum, mafia pajak, mafia tender, dan berbagai mafia pengebiri hukum lainnya!"

"Karena itu, siapa pun yang menyingkap kebenaran di sarang ular itu, seperti Susno pada kasus mafia hukum dan pajak, atau Julian Assange dalam kasus WikiLeaks, harus siap tergigit ular berbisa!" tegas Umar. "Tanpa ada yang berani tergigit, kejahatan tersimpan aman di ruang pesta ular berbisa!"

Selanjutnya.....

DPRD Lampung Jadi Contoh Orang Malas!


"SATU tahun penuh alias 365 hari pada 2010 ini, 75 anggota DPRD Provinsi Lampung mengesahkan hanya satu Peraturan Daerah (Perda) tentang Pembentukan BUMD Lembaga Jasa Utama!" ujar Umar.

"Jika perda itu dihitung dengan jumlah hurufnya, dibagi dikerjakan 75 orang sepanjang 365 hari, setiap orang mengerjakan tak lebih dari 10 huruf setiap hari! Jelas produktivitas seperti itu contoh orang malas, jauh di bawah produktivitas anak SD setiap hari mengerjakan PR 10 sampai 20 soal dengan setiap soal rata-rata lebih 10 huruf!"

"Apa alasan mereka untuk itu?" sambut Amir.

"Karena Perda Tata Tertib (Tatib)-nya belum ada!" jawab Umar. "Anak SD saja punya tatib yang fasih mereka nyanyikan—bangun tidur kuterus mandi, tidak lupa menggosok gigi...!"

"Kenapa mereka tak prioritaskan membuat tatib?" timpal Amir. "Bukankah itu sarana kerja mereka?"

"Prioritas?" Umar tersentak. "Salah satu ciri orang malas itu tak mampu menetapkan prioritas! Tak peduli tatib itu sarana vital bagi mereka, dasar tugas legislasi membuat payung hukum realisasi program eksekutif dan legislatif sesuai visi-misi yang dijanjikan untuk priode masa bakti mereka!"

"Lantas, apa yang dikerjakan para anggota DPRD sepanjang tahun 2010 itu?" tanya Amir.

"Diikuti dari berita koran, lebih banyak mereka pergi studi banding!" jawab Umar. "Sekali pernah semua komisi bersamaan berangkat studi banding dengan tujuan masing-masing! Komisi ini ngalor, komisi itu ngidul, sesuai bidang, dan seleranya!"

"Terlihat, mereka belum proporsional dalam menetapkan mana lebih vital bagi pelaksanaan tugas mereka antara membuat tatib dan payung hukum realisasi kebijakan mereka dibanding studi banding!" tukas Amir. "Celakanya, pulang studi banding tak ada tatib mereka belum bisa kerja legislasi bukannya menyelesaikan tatib, tapi malah pergi studi banding lagi! Begitu terus! Tak ayal, satu tahun tatibnya tak selesai juga!"

"Apa kualifikasi negatif di balik cerminan sebagai contoh kemalasan itu?" giliran Umar bertanya.

"Jadi contoh kemalasan yang tak layak diteladani itu kualifikasi terburuk buat para pemimpin yang seharusnya ing ngarso sung tulodo, di depan jadi teladan!" tegas Amir. "Masalahnya bukan salah-benar menurut hukum formal, tapi soal etis berdasar kepatutan—patutkah jika 75 anggota DPRD membuat Tatib saja satu tahun tak selesai?"

"Kalau itu kriteria etisnya, masih ada kesempatan merehabilitasi stigma kemalasan itu!" timpal Umar. "Tahun 2010 masih menyisakan 25 hari kerja untuk menyelesaikan tatib! Buktikan DPRD Lampung bukan contoh orang malas!"

Selanjutnya.....

Semua Pelat Hitam Kena Batasan BBM!


BAWA mobil lebih buruk dari biasanya, Edi disindir pacarnya, "Ganti profesi jadi jual-beli mobil, ya?"

"Antisipasi pembatasan harga BBM mulai awal tahun, mobil baru ditukar mobil tahun pra-2005!" jawab Edi. "Menukarnya harus lebih cepat, harga mobil pra-2005 Desember ini pasti meroket!"

"Ketinggalan informasi!" tukas pacar. "Baca koran! Liat nih, berita dari DPR, pembatasan BBM untuk semua mobil pelat hitam!"

"Apa?" Edi tersentak. "Padahal mobil yang bagus kujual di bawah harga pasar, lalu mobil buruk ini kubeli lebih mahal dari semestinya! Berita awal pembatasan subsidi BBM mobil keluaran di atas tahun 2005 itu kan dari pemerintah!"

"Itu baru opsi! Ribet pelaksanaannya, mobil 2002 sampai 2007 banyak satu seri, persis sama mesin dan fasilitas eksteriornya!" tegas pacar. "Petugas pompa bensin susah membedakan! Kalau harus menunjukkan STNK lebih ribet lagi, mata petugas bisa nanar memeriksa STNK—meski didampingi petugas resmi tak menjamin berjalan sesuai!"

"Berarti berita kedua semua mobil pelat hitam kena pembatasan BBM itu baru opsi juga, kan?" timpal Edi. "Karena tradisi pemerintah dalam menetapkan harga baru BBM selalu misterius, baru jelas apa jadinya saat keputusan dibacakan menjelang berlakunya harga baru pada jam 00.00 tengah malam! Tapi dilihat dari praktis dan lebih terjaminnya teknis pelaksanaan di lapangan, opsi kedua lebih besar peluangnya!"

"Meski secara teknis peluang opsi kedua lebih besar, peluang politisnya justru lebih kecil!" tegas pacar. "Itu karena pemakai mobil pra-2005 yang jadi korban gebyah-uyah opsi kedua mayoritas kelas menengah baru yang amat peka terhadap risiko buta yang harus mereka tanggung secara telak artinya dalam pengeluaran bulanan! Di sisi lain, kata Kurtubi, pakar energi di Metro TV, dalam kelompok itu pula sebagian besar kegiatan UKM dijalankan, sehingga pukulan opsi kedua ke UKM sangat telak!"

"Andai politisi di DPR dan pemerintah arif, semua itu memperkecil peluang opsi kedua!" timpal Edi. "Tapi masalah bangsa belakangan ini kan justru kian terus menipisnya kearifan dalam kebijakan yang diambil pemerintah di balik dukungan lebih 75 persen suara di DPR! Faktor ini bisa membuat pemerintah tak peduli risiko buta kelas menengah baru dan risiko ekonomis memukul telak UKM sebagai tulang punggung ekonomi nasional yang belum pulih total dari multikrisis! Akibatnya, kebijakan pembatasan subsidi BBM bisa menyulut krisis baru, penolakan keras kelas menengah baru di jalur politik diiringi kehancuran UKM!" ***

Selanjutnya.....

Kontraproduktif, Jadi Rezim Autis!


"BICARA bos belakangan menjurus kontraproduktif!" ujar Umar. "Dari memberi setiap TKI handphone agar kalau dianiaya majikan bisa cepat lapor, menegaskan kasus Gayus tetap ditangani polisi saat kuat desakan publik agar diambil alih KPK, hingga tentang kekuasaan monarki di Yogya padahal sejak awal kemerdekaan sudah diintegrasikan dalam sistem negara Republik Indonesia dengan status Daerah Istimewa!"

"Bos yang kontraproduktif terus-terusan bisa menjadi rezim autis, asyik dengan pikiran dan khayalan sendiri, tak nyambung dengan realitas, melawan arus common sense—akal sehat publik, bahkan bisa lebih parah, terlepas dari konteks sejarah!" sambut Amir. "Seperti penyandang autis, kecerdasannya bisa di atas rata-rata tapi sering over-reaktif dan hiperaktif!"

"Tingkah over-reaktif jelas pada kasus TKI dan Gayus itu! Jika setiap orang dari lima juta TKI diberi satu handphone seharga Rp1 juta, perlu Rp5 triliun, lebih besar dari dana Jamkesmas untuk 22 juta warga miskin Rp4,3 triliun per tahun!" timpal Umar. "Sedang hiperaktif bertingkah nyeleneh, seperti menyebut seolah ada monarki di Yogya!"

"Pokoknya dengan langkah demi langkah yang terus kontraproduktif, rezim autis bisa membawa bangsanya tersesat dalam keruwetan serba tak masuk akal, kalut karena semakin jauh dari solusi yang dibutuhkan untuk keluar dari keterpurukan berkepanjangan!" tegas Amir. "Kondisi kalut itu mendorong kelompok warga atau masyarakat mencari alternatif jalan keluar sendiri dengan belajar dari pengalaman warga bangsa yang pernah berhasil keluar dari krisis yang mereka alami!"

"Mungkin itu bisa berarti, jika status Daerah Istimewa Yogyakarta yang diperoleh berdasar sejarah diingkari pusat, sedang Aceh dan Papua belakangan mendapat status daerah istimewa berlatar konflik bersenjata, untuk mengembalikan status daerahnya istimewa tak mustahil rakyat Yogyakarta meniru cara daerah lain mendapatkannya!" tebak Umar.

"Maka itu, 'terlepas dari konteks sejarah' itu stadium parah rezim autis yang terlalu asyik dengan pikiran dan khayalan sendiri, karena bisa menimbulkan risiko berbahaya bagi bangsanya!" tegas Amir. "Di lain pihak, sulit menyadarkan rezim autis untuk menghentikan langkah-langkah kontraproduktifnya meski menyulut konflik, karena rezim menjadi autis justru oleh pikiran dan khayalan tentang kekuasaannya yang amat kuat, tak satu pun kekuatan lain mampu menggoyahnya! Ia justru keranjingan mempermainkan subordinat-subordinat pendukung kekuasaannya guna unjuk kekuasaan membuktikan, dia apakan pun subordinat yang mabuk kekuasaan tak bisa berkutik!" ***

Selanjutnya.....

Marie Rasa Gaplek, Kualitas Hidup Kita!


"DISUGUHI Sonto roti Marie tadi aku jadi teringat jajanan 1950-an!" ujar kakek. "Di kemasan tertulis roti Marie, simbol modern beristilah asing dengan standar rasa sebenarnya gandum, saat dimakan terasa gaplek! Begitu kualitas hidup bangsa kita saat baru merdeka dahulu—
Marie rasa gaplek!"

"Kayaknya kualitas hidup Marie rasa gaplek pada bangsa kita sejak zaman itu hingga sekarang belum berubah!" sambut cucu. "Dari panggung nasional kekuasaan politik, hukum, dan sosial-ekonomi meski dikemas modern dengan label demokrasi, secara keseluruhan rasanya masih gaplek banget! Itu terjadi pada seluruh hierarki kekuasaan sampai terbawah, sehingga imbasnya amat dirasakan rakyat seperti buruh—upah mereka dikemas dengan label standar kebutuhan hidup layak (KHL), isinya jauh dari memadai untuk bisa memenuhi kebutuhan hidup layak kaum buruh! Belum lagi nilainya acap tereduksi hasil survei harga yang ditunggangi kepentingan tertentu!"

"Memang! Dengan UMR (upah minimum regional) DKI Jakarta cuma Rp1,29 juta per bulan, di daerah umumnya di bawah Rp1 juta per bulan, hidup layak seperti apa yang bisa dicapai buruh?" tegas kakek. "Tapi itulah standar KHL produk demokrasi yang dituangkan sistem politik, hukum, dan sosial enonomi dari panggung kekuasaan nasional kita! Benar-benar Marie rasa gaplek!"

"Itu berarti, untuk meningkatkan kualitas hidup bangsa yang pertama harus diperbaiki mind set—cara berpikir—para pemimpin di pentas kekuasaan nasional, dengan mengganti isi demokrasi dalam dimensi politik, hukum dan sosial-ekonomi dari gaplek menjadi Marie yang sebenarnya!" timpal Umar. "Celakanya, orientasi kepentingan jangka pendek demi memenangkan pemilu untuk mempertahankan kekuasaan, para pemimpin nasional itu tak hanya beretorika gaplek sebagai Marie, tapi malah mempertahankan gaplek sebagai Marie yang terbaik, lalu menghambat proses pembuatan Marie yang sebenarnya!"

"Tampak, janji perubahan cuma omong kosong, karena gaplek praktek politik, hukum dan sosial-ekonomi nasional yang dipertahankan semakin apek, cermin kehidupan rakyat lapisan terbawah yang kian getir penderitaannya!" tukas kakek. "Lucunya, para pemimpin nasional menegaskan pentingnya mengubah mind set rakyat yang justru sudah punya gambaran ideal demokrasi, diseesuaikan dengan mind set mereka—
para pemimpin—padahal justru mind set para pemimpin itu sendiri yang harus diubah untuk mewujudkan perubahan yang mereka janjikan!" ***

Selanjutnya.....

Busyro Titisan atau Utusan Dewa Mana?

"BUSYRO yang terpilih jadi ketua KPK itu titisan atau utusan dewa mana?" kakek tanya Ki Bedul, sejawat yang dianggap punya indra keenam.

"Dilihat dari sikap tegas dalam prinsip, tak kenal kompromi dalam penegakan hukum, tapi lembut dalam cara bertindaknya, tak lain lagi kaitannya, Batara Bayu!" jawab Ki Bedul. "Kelebihan Bayu, selincah dan segesit apa pun lelembut—makhluk halus—

bergerak, meski tak terlihat secara kasatmata, tetap bisa dia antisipasi! Koruptor itu sejenis lelembut, bekerja licin tanpa menyisakan bukti-bukti fisik yang terlihat kasatmata!"

"Kelemahannya apa?" kejar kakek.

"Pada wanita!" jawab Ki Bedul. "Ia enggan untuk membelainya! Maka itu, banyak wanita membawa kipas guna mengatasi keengganan Bayu itu!"

"Gawat juga itu!" entak kakek. "Karena titik nadir pelemahan KPK justru saat ketanggor wanita! Meski sudah banyak anggota DPR dihukum dua sampai empat tahun penjara karena terbukti menerima cek perjalanan bersumber dari wanita bernama Nunun, sampai kini belum sekali pun KPK berhasil menghadirkan Nunun untuk diperiksa!"

"Ketika menghadapi hal seperti itulah diperlukan ketegasan!" timpal Ki Bedul. "Bukan harus Bayu sendiri yang menangani, dia cukup perintahkan jajarannya untuk melaksanakan prosedur dengan semestinya! Di situ kunci masalah KPK, yang cuma punya lima komisioner harus menangani korupsi di seantero negeri! Jika harus komisioner sendiri langsung menanganinya, cuma berapa kasus bisa selesai per tahun? Untuk itu, komisioner lebih tepat sebagai dirigen yang menggerakkan semua divisi KPK bersimfoni! Dengan itu pemberantasan korupsi bisa bergerak lebih cepat!"

"Gemuruh simfoni itu pula membuat terpaan Bayu ke sarang lelembut koruptor semakin terasa menggentarkan!" tegas kakek. "Tapi apa cukup sebatas gentar, tak harus ada power lain yang bisa membuat lelembut lebih ketakutan dan menghentikan korupsinya?"

"Power dari kekuasaan pamungkas justru amat diperlukan"" timpal Ki Bedul. "Itu dari Yudistira, Raja Amarta, selaku pemegang pusaka Layang Kalimusodo—simbolisasi konstitusi! Jika Yudistira gunakan kekuasaan penuh amanat Kalimusodo bersistem presidensial selaku penguasa eksekutif tertinggi, tanpa injak rem dengan enggan intervensi ini-itu, suhu pemberantasan korupsi akan benar-benar 'in'! Dalam suhu seperti itu, Bayu cs. bisa lebih mudah meringkus lelembut koruptor dari sarangnya!"

"Masalahnya itu," sela kakek, "Yudistira cenderung injak rem justru di setiap jalan pendakian!" ***

Selanjutnya.....

Percepat Terbitnya Matahari Keadilan!


"KENAPA moyang kita mewajibkan setiap generasi memangkas bukit di timur lembah desa kita, cucu tanya kakeknya," ujar Umar. "Jawab kakek, bukit itu menghalangi warga lembah kita mendapatkan fajar dan sinar matahari lebih cepat seperti warga desa-desa lain, ketika mereka telah bekerja kita masih tidur! Itu penyebab desa kita selalu tertinggal dan terbelakang dari desa lain!"

"Bangsa kita senasib dengan warga lembah itu!" sambut Amir. "Kita telah berjuang antargenerasi memangkas bukit ketakadilan hukum dan substantif, tapi tetap terlambat mendapat fajar dan sinar matahari keadilan! Itu pula penyebab bangsa kita terlambat bangun, tertinggal dan terbelakang dari kemajuan bangsa-bangsa lain!"

"Untuk itu, tampilnya beriringan tiga pendekar pemimpin baru lembaga penegak hukum, Kapolri Timur Pradopo, Jaksa Agung Basrief Arief, dan Ketua KPK Busyro Muqoddas, layak diharap bisa mempercepat terbitnya fajar dan sinar matahari keadilan bagi bangsa ini!" tegas Umar. "Kata kuncinya pada kemauan tulus bekerja sama ketiga pendekar memangkas bukit ketakadilan itu secara saksama! Bukan kerja sama dalam arti konspirasi, saling menutupi keburukan! Tapi sambatan, membersihkan rumput dan gulma di ladang! Di ladang Polri, jaksa dan KPK ikut sambatan, begitu sebaliknya! Sebab kalau mau dikerjai sendiri tanpa sambatan, bisa lebih cepat subur rumput dan gulma ketimbang tanamannya! Itulah yang cenderung terjadi selama ini, konspirasi saling menutupi rumput dan gulma!"

"Rumput dan gulma di ladang lembaga penegak hukum itu bagian penting dari bukit ketakadilan hukum dan substantif yang harus dipangkas, kalau bisa tidak sampai harus dilakukan secara antargenerasi!" timpal Amir. "Betapa rumput dan gulma itu membuat tanaman yang baik malah tak berkembang dan berbuah! Betapa rumput dan gulma itu membuat tikus-tikus koruptor nyaman hidup merajalela menggerogoti kekayaan negara berupa uang untuk kesejahteraan rakyat, hingga ketakadilan hukumnya berekses pada ketakadilan substantif—ketakadilan sosial-ekonomi-budaya! Beraspek budaya, karena korupsi menghancurkan moral bangsa—
moralitas itu roh peradaban!"

"Setelah sambatan membersihkan ladang masing-masing, ketiga pendekar bersama berburu ke belantara koruptor!" tegas Umar. "Kalau berburu sendiri-sendiri, buruannya bisa lari ke arah lain! Tapi dengan berburu bersama, buruan digropyok ramai-ramai dengan pagar betis jajaran ketiga lembaga penegak hukum, buruannya tak bisa meloloskan diri! Harapan mempercepat terbitnya matahari keadilan pun tak berlebihan!" ***

Selanjutnya.....

Di Balik Signifikansi Pertumbuhan Ekonomi Lampung!


"BI—Bank Indonesia—melaporkan pertumbuhan ekonomi Provinsi Lampung triwulan tiga 2010 sebesar 6,25%, lebih tinggi dari prediksi BI 5,64%, dan signifikan dibanding triwulan sebelumnya 3,87%!" ujar Umar. "Basis pertumbuhan masih konsumsi swasta yang menguasai pangsa 55,13% dengan pertumbuhan 6,46%! Dukungan utama dari pertumbuhan investasi 16,6%--baki debet kredit investasi, impor bahan baku penolong, dan konsumsi semen! Lalu, ekspor naik 11,4%--dengan pangsa pasar komoditas hasil pertanian seperti kopi, teh, rempah 31,1% yang tumbuh 9,3%!"

"Dengan konsumsi swasta yang masih dominan pangsa dan pertumbuhannya sebagai basis, serta dukungan investasi yang baru tahap input, jelas di balik signifikansi pertumbuhan itu masih perlu dorongan serius untuk peningkatan peran pada sektor-sektor produksi dan sektor pemerintah—public sector!" sambut Amir. "Peningkatan peran ekspor produk pertanian rakyat terutama kopi, kakao, dan rempah—juga karet—tentu memberi arti positif pertumbuhan pada kesejahteraan rakyat! itu langsung terlihat pada peran konsumsi dalam proses pertumbuhan! Namun dengan pangsa pasar komoditasnya yang masih relatif kecil dalam komponen ekspor dibanding jumlah petani sebagai mayoritas warga Lampung, usaha ekstra mendorong peningkatannya jadi penting!"

"Seharusnya stimulan untuk itu datang dari sektor pemerintah, tapi justru itu yang dari laporan BI kurang ditonjolkan!" tegas Umar. "Soal itu juga mudah dicek silang ke APBD I dan II se-Lampung, jumlahnya pada sektor pertanian dan perkebunan rakyat umumnya kurang signifikan! Padahal justru di situlah prime stake—taruhan utama—ekonomi mayoritas rakyat Lampung!"

"Itu karena belanja public sector di Lampung secara umum masih terdominasi dari dan untuk aparatur!" timpal Amir. "Pergeseran dari dominasi kepentingan aparatur ke kepentingan publik lamban, kalau tidak yang terjadi justru sebaliknya, karena penambahan pegawai terus dilakukan dengan konsekuensi peningkatan belanja aparatur! Itu belum lagi dilihat dari daya dukung APBD pada infrastruktur perekonomian rakyat yang juga praktis masih lemah!"

"Tanpa dukungan public sector yang kuat bisa diduga sulit mempertahankan rekor signifikan pertumbuhan ekonomi triwulan tiga 2010 itu!" tegas Umar. "Kompensasinya, pemerintah daerah lebih giat promosi investasi, membuka kemudahan terbaik dalam semua dimensinya dibanding provinsi lain! Daya saing memikat investor itu masih harus ditingkatkan!"

Selanjutnya.....

Gayus, Kunci Pagar Mafia Hukum-Pajak!


"GAYUS H.P. Tambunan bebas berkicau di sidang pengadilan siapa dan apa perannya dalam mafia hukum dan mafia pajak!" ujar Umar. "Terpenting justru, kasus Gayus dengan segala akarnya tetap ditangani polisi, karena dengan begitu Gayus bisa dijadikan kunci pagar pengaman para pemain inti dan jaringannya di markas besar mafia hukum dan mafia pajak dari penyingkapan topengnya!"

"Kesan itu mencuat seiring desakan publik agar KPK mengambil alih kasus Gayus setelah kepolisian dan kejaksaan yang menanganinya sejak April cuma menyeret pemain kecil-kecil, tetapi Kapolri menegaskan kasus Gayus tetap ditangani Polri! Penegasan Kapolri itu diperkuat Presiden SBY melalui juru bicaranya Julian Aldrin Pasha!" timpal Amir. "Sedang KPK, yang 'diselamatkan' presiden dari kasus cicak vs buaya, tidak merespons desakan publik itu, malah mendukung penyelesaian kasus Gayus oleh polisi!"

"Kalau sudah begitu, kayaknya usai kasus Gayus yang sedang disidangkan dan kasus ngeluyurnya Gayus keluar tahanan, kasus mafia hukum dan mafia pajak selesai!" tukas Umar. "Selanjutnya, tak mustahil mafia hukum dan mafia pajak lebih nyaman beroperasi karena mendapatkan perlindungan dan pengamanan yang sistemik!"

"Kemungkinan itu hanya bisa bergeser jika KPK di bawah Busyro Muqoddas bisa kembali bernyali untuk menerobos sarang koruptor dalam stelsel-stelsel kekuasaan!" sambut Amir. "Suntikan nyali baru itu amat penting, sebab sejak kasus cicak vs. buaya yang melemahkan KPK telah memerosotkan kepercayaan publik terhadap lembaga ini hingga tinggal positif 15 persen sesuai survei Lembaga Survei Indonesia Oktober 2010! Itu pun syukur masih positif, dibanding kepolisian minus 18,5 persen, Kejaksaan minus 17,6 persen, dan Pengadilan minus 15 persen!"

"Meski kecil, mendingan masih punya modal dasar kepercayaan rakyat bagi KPK memulai langkah kepemimpinan baru nanti!" tegas Umar. "Modal kepercayaan rakyat itu cukup untuk membuka kunci pagar yang melindungi mafia hukum dan mafia pajak lewat alat bukti asal uang 28 miliar dan 74 miliar sitaan dari Gayus, untuk diurai secara benar kaitannya dengan mafia hukum dan mafia pajak—yang dalam penanganan kasusnya sekarang justru dikesampingkan!"

"Kalau kunci pagar itu masih bisa dibuka kembali, dunia pemberantasan korupsi belum kiamat!" timpal Amir. "Asalkan, nyali KPK cukup kuat untuk menerobos konstelasi kekuasaan yang menguasai kunci pagarnya! Itu bukan tantangan sepele!" ***

Selanjutnya.....

Way Kanan, Meretas Jalur Kemajuan! (2)


"BAGI kabupaten tanpa kota utama yang dominan sebagai pusat bisnis dan pertumbuhan ekonomi, penajaman program pembangunan di Way Kanan memang harus fokus di desa!" ujar Umar. "Tapi, seperti umumnya pembangunan desa di negeri kita, banyak tangan turun dengan beraneka bantuan dilakukan secara meraba-raba, tanpa melihat proses, hasil atau eksesnya, karena yang dicatat sebagai prestasi jumlah bantuan yang dikucurkan, bukan keefektifan output-nya! Untuk itu, langkah awal Bupati Bustami Zainudin adalah mengintegrasikan semua bantuan dalam program terpadu sesuai prioritas kampung bersangkutan dengan fasilitator dan monitoring Pemkab!"

"Apa mungkin tertangani Pemkab sedemikian banyak kampung di kabupatennya?" tanya Amir.

"Pasti tak tertangani sekaligus!" jawab Umar. "Tahap pertama dari setiap kelompok sejumlah kampung dipilih satu sebagai kampung binaan untuk contoh bagi kampung sekitarnya! Dengan fasilitator Pemkab menggenapi semua bantuan itu menjadi satu miliar rupiah per kampung binaan, ketika semua kampung mendapat fasilitator sama nanti sudah lebih jelas tata kelola program dan arah penggunaan dananya oleh setiap kampung!"

"Inti program yang pasti untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat itu kira-kira apa?" kejar Amir.

"Mengembangkan ekonomi kampung guna menumbuhkan aneka jenis pekerjaan baru untuk menambah pendapatan, mengubah kebiasaan warga dari pekerjaan tunggal!" jelas Umar.

"Contohnya di sentra produsen gula kelapa, setiap orang menyadap, memasak, dan mencetak gulanya sendiri-sendiri! Padahal, hasil sadapan sepuluh orang bisa dimasak dan dicetak hanya oleh dua orang! Selain bisa lebih hemat kayu bakar, tenaga selebihnya bisa melakukan pekerjaan lain untuk menambah pendapatan! Atau satu gilingan tangan karet sheet cukup menangani produksi 10 petani, harga lebih tinggi dinikmati bersama!"

"Memperpanjang proses produksi hasil kebun guna menghasilkan produk akhir bernilai ekonomis lebih tinggi memang menciptakan jenis pekerjaan baru!" timpal Amir. "Itu bisa dilakukan juga untuk proses kopi petik merah agar grade produknya lebih tinggi, atau melabeli jaminan lada hitam organik bagi produk lada hitam Way Kanan—harganya di pasar internasional dua kali lipat dari lada hitam biasa!"

"Pokoknya banyak jalan ke Roma!" tegas Umar. "Tapi itu jika program pembangunan kampung diseriusi dengan cermat, tak asal turun tangan dengan cuma meraba-raba!" *** (Habis)

Selanjutnya.....

Way Kanan Meretas ke Jalur Kemajuan!


"WAY KANAN, yang sejak jadi kabupaten 10 tahun lalu kebagian persentase warga miskin tertinggi di Lampung, meretas ke jalur kemajuan dengan membuka penerbangan komersial Way Tuba—Jakarta pp, bekerja sama dengan Susi Air!" ujar Umar. "Bandara Way Tuba dilingkungi daerah yang amat butuh angkutan pintas ke Jakarta!"

"Tahap memperpendek langkah investor ke Way Kanan itu memang sudah saatnya!" sambut Amir. "Periode terakhir ini usaha Pemkab dan warganya membangun Way Kanan pusat perkebunan rakyat tanaman ekspor sudah terlihat hasilnya! Tanaman karet rakyat usia awal sadap mendominasi, ada dikelola secara modern berbibit unggul, ada pula semirepong bersama lada, cokelat, kopi, pisang!"

"Sayang curah hujan yang terlalu tinggi tahun ini berakibat tanaman muda itu produksinya tak maksimal!" timpal Umar. "Tapi ke depan, semua itu cukup menjanjikan bagi kemajuan warga Way Kanan! Karena itu, tak keliru jika bupati sekarang Bustami Zainudin yang mantan wakil bupati itu mempertajam program saat ia bersama bupati Tamanuri fokus mengembangkan kebun rakyat tanaman ekspor! Penajaman lewat meningkatkan nilai tambah panenan petani, seperti dari produksi karet lumps menjadi sheets yang dengan gilingan tangan pun harganya lebih tinggi tiga kali lipat!"

"Dukungan terpenting langkah maju Way Kanan pada kondusifnya kehidupan sosial-politik rakyat yang heterogen itu!" tegas Amir. "Dari tujuh daerah di Lampung yang melakukan pilkada terakhir, cuma Way Kanan satu-satunya yang tidak lanjut dengan gugatan ke MK! Mantan Bupati Tamanuri yang jagonya kalah di pilkada itu justru secara tulus mengatakan pada bupati terpilih, ia tak ingin pemimpin di Way Kanan seperti di pusat, para mantan pemimpin tak saling teguran! Silaturahmi terbaik para pemimpin kunci rukun-damainya semua lapisan masyarakat, prakondisi terpenting membangun kesejahteraan rakyat!"

"Kalau tokoh-tokoh kunci dan semua lapisan masyarakat sudah kondusif, mungkin tinggal para pemimpin di DPRD yang perlu memperkuat langkah bersama seluruh komponen itu jadi lebih kokoh lagi!" timpal Umar. "Harapan itu perlu disampaikan karena saat pilkada mayoritas di DPRD punya jago sendiri, ketika yang terpilih bukan jagonya bisa saja komitmennya kurang optimal! Namun, dengan keyakinan para politisi di DPRD-nya telah matang dan dewasa, semua berorientasi kepentingan rakyat, tak lagi dikenal kepentingan politik sempit yang bisa jadi kendala bagi dukungan terhadap kerja keras rakyat Way Kanan meraih kesejahteraan!" ***

Selanjutnya.....

'Poverty-Drain', Bukan Sekadar Masalah Perut!


"KENAPA setiap pemulangan TKI ilegal setelah menjalani hukuman di Malaysia, beritanya selalu menonjolkan perempuan bawa anak dan pria teruk membuktikan beratnya siksaan yang mereka alami?" tanya Umar.

"Sebenarnya bukan ditonjolkan! Tapi karena pria sakit dan perempuan bawa anak ribet ketika berlari kucing-kucingan dengan polisi Malaysia itu yang lebih mudah tertangkap!" jawab Amir. "Sedang pria dan wanita sehat tanpa diribeti anak, sejak dari desanya siap fisik-mental jadi pendatang haram, lain cerita!"

"Lain cerita bagaimana?" potong Umar.

"Maksudnya, mayoritas dari mereka berhasil mendapat izin kerja sementara, kemudian jadi izin tetap! Usaha untuk itu dengan tertangkap sebagai risiko terburuk dan penyiksaan di penjara Malaysia telah deja vu—berita basi hingga tak lagi bertubi-tubi diberitakan media massa kita—pekerja migran justru menunjukkan poverty-drain—pelarian kemiskinan ke luar negeri—bukan sekadar masalah perut!" tegas Amir.

"Pertama, mereka nekat menempuh risiko seserius itu demi mengaktualisasikan kodrat dirinya sebagai homofaber—makhluk pekerja! Untuk itu, putusan ke luar negeri bisa dipastikan jadi pilihan terakhir setelah gagal dari segala usaha mendapatkan pekerjaan di negeri sendiri!" ujar Umar. "Kedua, untuk ke luar negeri butuh keberanian—lebih-lebih lewat jalur ilegal! Pilihan terberat itu keberaniannya untuk lebih dahulu menarik kesimpulan, tak lagi yakin dan percaya pemerintah mampu menyiapkan satu tempat kerja buat dirinya!"

"Kalau masih yakin dan percaya pemerintah bisa menciptakan satu pekerjaan buat dirinya, apalagi yang layak bagi kemanusiaan sesuai janji konstitusi, tak mungkin memilih jalan yang berisiko maut itu!" timpal Umar. "Risiko yang dihargai setara pahlawan—syuhada yang berkorban jiwa—dengan digelari pahlawan devisa, dengan bukti banyak yang harus berkorban jiwa! Kesiapan menempuh risiko seberat itu pasti pilihan terakhir setelah di dalam negeri tak lagi ada yang bisa mereka harapkan!"

"Maka itu, dengan kondisi kritis nasib pekerja kita di luar negeri hingga Presiden mengirim tim yang terdiri dari sejumlah menteri, menjadi momentum bagi pemerintah meningkatkan kapasitasnya memenuhi harapan massa miskin secara lebih realistis, guna menumbuhkan kembali keyakinan dan kepercayaan bahwa pemerintah mampu menyiapkan satu kesempatan kerja buat setiap mereka!" tegas Amir. "Tanpa itu, makin masifnya poverty-drain, bisa lebih kewalahan pemerintah menghadapi konsekuensi logisnya—akan kian masif pula masalah yang timbul!" ***

Selanjutnya.....

‘Poverty-Drain’,Perlu Inventarisasi Model Kemiskinan!

"AKIBAT kemiskinan dipandang seperti 'aib' hingga selalu ditutupi penguasa, kita jadi tak tahu aneka model kemiskinan rakyat sendiri dan menganggap kemiskinan itu seragam, sama di mana-mana!" ujar Umar. "Anggapan begitu melahirkan program sapu jagat pengentasan kemiskinan, satu program untuk segala model kemiskinan! Hasilnya, terjadi poverty-drain—pelarian kemiskinan ke luar negeri—yang mencengangkan, tiga juta orang hanya di dua negara, Malaysia dan Arab Saudi!"

"Saking butanya kita tentang kemiskinan rakyat sendiri, setiap sensus prosentase orang miskin turun kita bangga seolah program sapu jagat berhasil! Tak tahunya, penurunan terjadi akibat poverty-drain!" sambut Amir. "Siksaan berat buat pendatang haram di tahanan polisi Malaysia yang tertangkap bahkan tak mengurangi arus ilegal, setiap pekan diberitakan pemulangan ratusan pendatang haram setelah menjalani hukuman di Malaysia—termasuk perempuan bawa anak!"

"Untuk itu tak layak menyepelekan kemiskinan dengan menganggap sama di mana-mana, dan satu program sapu jagat mampu menyelesaikan semua persoalan kemiskinan!" tegas Umar. "Perlu melakukan inventarisasi model kemiskinan, baik dari lokasi maupun jenis kegiatannya, sekaligus bisa dijadikan sebagai diagnosis jenis penderitaan dan antisipasi terapinya! Untuk itu instansi yang mengurus kemiskinan bekerja sama dengan perguruan tinggi daerah setempat yang pasti lebih akrab dengan keunikan dan
kegeniusan lokal, sehingga identifikasi model kemiskinan dan diagnosisnya bisa lebih akurat!"

"Hal itu diperlukan untuk menghentikan sikap gegabah pemerintah selama ini, menyembuhkan kemiskinan tanpa diagnosis penyakit yang ada pada kemiskinan!" timpal Amir. "Seolah hanya dengan sejenis obat sakit perut, segala macam penyakit kemiskinan bisa sembuh! Contohnya dengan pertumbuhan ekonomi akan mengatasi kemiskinan, sejak 1978 bukti empiris di Indonesia telah membantahnya sehingga pemerintah Orde Baru mengubah Triliogi Pembangunan dengan memprioritaskan pemerataan! Pembuktian empirik dan akademik kala itu, pertumbuhan ekonomi saja justru mempertajam ketimpangan sosial!"

"Terlihat, derita pekerja migran kita di luar negeri akibat 'banjir bandang' poverty-drain, masalahnya harus diatasi secara komprehensif di akarnya, mengatasi kemiskinan secara kualitatif dan fokus pada diagnosis setiap model kemiskinan!" tegas Umar. "Bukan zamannya lagi, segala penyakit cukup diberi obat sakit perut!" ***



Selanjutnya.....