Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Mobil ‘Odong-Odong’ Pakai Pertamax!


"KENAPA wajahmu muram tiap menunggu murid abunemen odong-odong-mu keluar sekolah?" Temin ditanya Teman, sejawat sopir abunemen.

"Jelas muram, mobil odong-odong kita dipaksa pakai bahan bakar pertamax Rp6.900 per liter, akibat pencabutan subsidi BBM berlaku untuk semua mobil pelat hitam! Itu sama harga BBM naik lebih 50% dari Rp4.500 jadi Rp6.900, atau Rp2.400 per liter!" jawab Temin. "Lebih menyayat, penguasa mengatakan ini kebijakan paling adil!"

"Kebijakan yang penguasa anggap paling adil saja menyayat pedih hati rakyat, apalagi kebijakan yang semata demi konspirasi penguasa seperti kasus Lapindo hingga empat tahun korban baru diganti rugi 20%! Atau membiarkan banyak TKI terlunta-lunta di kolong jembatan Arab Saudi!" tukas Teman. "Dalam pencabutan subsidi BBM untuk semua mobil pelat hitam, kata adil itu hanya berlaku pada 20% warga kelas menengah atas, sedangkan 80% sisanya warga menengah bawah yang banyak menjadikan mobilnya sarana usaha, menanggung beban berat akibat kebijakan itu!"


"Juga layak dipertanyakan di mana letak adilnya kalau BBM yang disedot dari perut bumi negeri kita sendiri harus dibayar rakyat dengan harga internasional plus ongkos angkut minyak kotor ke luar negeri dan membawanya kembali ke dalam negeri?" timpal Temin. "Setiap hari bumi negeri kita kini masih menghasilkan 950 ribu barel BBM, tapi sebagian besar langsung jadi milik kapitalis asing dan diangkut ke kilangnya di luar negeri! Untuk mencukupi konsumsi kita seperti untuk kilang Cilacap, kita malah impor dari Arab!"

"Dari situ terlihat kita ini sebenarnya di bawah penguasa jahiliyah—BODOH dengan huruf besar—karena kekayaan alam kita disedot orang lain lalu penguasa memaksa rakyatnya membeli kembali dengan harga internasional!" tegas Teman. "Sebanyak apa 950 ribu barel yang disedot dari bumi kita setiap hari itu bisa dibayangkan, satu barel itu satu drum besar berisi 188 liter!"

"Berarti rakyat Indonesia harus membayar mahal kebodohan penguasa yang mengelola kekayaan alam Tanah Airnya menyimpang dari amanat konstitusi untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, yang malah dijadikan seberat-beratnya beban rakyat!" timpal Temin. "Kalau tidak bodoh tentu tegas dan gigih menegosiasi ulang kontrak agar tidak merugikan rakyat! Seperti di Venezuela, terbukti para kapitalis asing mau menerima usul kontrak baru! Tapi masalahnya, kepada siapa sesungguhnya penguasa kita mengabdi?"

"Yang pasti," potong Teman, "bukan mengabdi pada kepentingan warga odong-odong!" ***

0 komentar: