Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

'Cermin Ajaib' Sulut Perlawanan Rakyat!


"GURU Besar FH Unair Prof. Dr. J.E. Sahetapi, yang oleh Ensiklopedi Tokoh Indonesia dijuluki penjaga nurani hukum dan politik, dalam bincang Metro TV, Kamis (9-12), bercanda perlawanan rakyat menolak pemilihan langsung Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) meruyak cuma gara-gara 'cermin ajaib'!" ujar Umar. "Kata Sahetapi, ada orang yang merasa dirinya paling bijaksana bertanya ke cermin itu, 'Siapa orang paling bijaksana di negeri ini?' Ternyata yang muncul di cermin ajaib gambar Sri Sultan HB X."

"Jadi dalam perspektif Sahetapi, di balik polemik tentang RUU Keistimewaan DIY itu, ada faktor persaingan terselubung diaktualkan lewat usaha mempreteli kekuasaan formal Sri Sultan HB X yang dianggap jadi sarana mengekspresikan dirinya sebagai orang paling bijaksana?" tukas Amir.



"Bisa jadi!" jawab Umar. "Dalam komunikasi politik, ungkapan terselubung saja bisa dibaca simbol-simbolnya lalu seperti permainan catur, diantisipasi tiga atau empat langkah ke depan! Apalagi dalam polemik RUU Keistimewaan DIY ini, bahasa politik penguasa dalam memaksakan kehendak bisa disebut telanjang, harus pemilihan langsung kepala daerah! Ditambah pernyataan mengentak pula, tak boleh ada monarki di Yogya!"

"Rakyat DIY yang terbiasa dengan bahasa simbolik halus penuh nuansa kearifan, jelas terkejut tiba-tiba disenggak pernyataan yang menyayat pedih cinta mereka pada pemimpin yang bersemayam damai di hati!" timpal Amir. "Bak ular disentak dari tidurnya, bahasa politik penguasa yang kontras dengan tradisi rakyat DIY baik cara penyampaian maupun isinya itu segera menyulut perlawanan rakyat—dengan puncak mundurnya beramai-ramai elite Partai Demokrat DIY!"

"Tampak, bahasa penguasa yang semakin 'vulgar' dalam proses komunikasi politik menjadi biang konflik!" sambut Umar. "Bahkan bisa dikatakan, untuk kali ini penguasa yang sebelumnya lebih dikenal dengan kehalusan dan kesantunan dalam bicara, berubah tabiat menjadi 'vulgar' dan terasa bobot emosionalnya!"

"Tapi justru perubahan tabiat—tampaknya juga diikuti elite Partai Demokrat—itu akan menjadi penentu dialektika dalam dinamika politik nasional ke depan!" tegas Amir. "Dialektika itu, dari tesis Partai Demokrat yang semula defensif-reaksioner dalam menghadapi antitesis berupa tekanan lawan-lawan politiknya, kini mereposisi dirinya jadi sintesis dengan karakter baru ofensif-revolusioner! Itu, jika perubahan tabiat terjadi konsisten, tak terbatas pada kasus DIY!" ***

0 komentar: