Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Menyimak Cara Berpikir Nenek!

"NEK, pepaya gendut dan pisang besar-besar yang kulihat masak di pohon kemarin kok jadi pepaya kecil dan pisang kempet di hidangan?" tanya cucu. "Pepaya gendut itu tak habis kita makan, sisanya bisa mubazir! Jadi kita makan yang kecil saja!" jawab nenek. "Juga pisangnya, bagian atas tandannya besar-besar tak bisa kita habiskan! Jadi cukup sisir terbawah!" "Jadi pepaya dan pisang yang besar dijual?" kejar cucu. "Dengan harga baik!" jawab nenek. "Terpenting, setelah bisa memenuhi kebutuhan sendiri, kita juga mampu memberikan yang berkualitas terbaik pada orang lain, pada masyarakat! Bayangkan jika setiap orang di negeri ini bisa memberikan yang terbaik dari dirinya kepada orang lain, pada masyarakat, betapa dahsyat kebaikan-kebaikan yang terbaik merebak pesat dinikmati segenap warga bangsa!" 

"Kalau lewat jual beli begitu cuma orang berduit yang mampu meraih yang terbaik!" timpal cucu. "Itu bisa terjadi ketika kebaikan yang terbaik serbaterbatas dalam masyarakat, hingga hanya yang mampu meraih saja yang bisa menikmatinya!" tegas nenek. "Dalam masyarakat yang budaya transaksionalnya mature—dewasa—seperti di Jepang, kalangan kuat (elite politik, pengusaha, dan kelas menengah) selalu memberikan yang terbaik pada kalangan lemah (petani, nelayan, buruh). Politisi yang kebijakannya merugikan kaum lemah dijatuhkan beramai-ramai, seperti dialami Sinzo Abe, 2007. Berbeda dengan budaya transaksional masyarakat kita yang kekanakan, lewat pemberian sembako satu kresek pada si lemah, politisi mendamba posisi sosial terbaik!" "Jadi budaya transaksional nenek maksud bukan seperti money politics di politisi kita?" kejar cucu.

"Jauh panggang dari api!" tegas nenek. "Budaya transaksional merupakan tahap ketiga sistem sosial berbasis komunikasi! Tahap pertama linear, satu arah, sistem instruksional, elite mendominasi massa secara sepihak! Tahap dua interaksional, dialogis, tapi dialognya cuma sebatas kepentingan elite! Barulah tahap ketiga budaya transaksional, multilog semua pihak berorientasi pada kepentingan masing-masing! Kekhasan budaya transaksional pada pihak yang kuat berbasis etika untuk selalu lebih mengutamakan kepentingan pihak yang lemah—bukan menindasnya! Keadilan bisa diukur secara eksak lewat proses transaksi nilai tukar produk dengan patokan regulatif!" "Jadi, patokan harga beras terendah di Jepang 300 yen/kg (setara Rp33 ribu) itu bagian dari realisasi nilai budaya transaksional?" timpal cucu. "Itu patokan sikap pihak si kuat untuk memberi yang terbaik pada kalangan lemah!" tegas nenek. "Proses transaksi 'nilai' yang berkeadilan!" ***
Selanjutnya.....

Momentum Selalu Terlewat, Hilang!

SEORANG anak minta izin ibunya untuk bermain ke rumah temannya di seberang jalan raya. "Boleh!" jawab ibunya. "Tapi hati-hati, kalau menyeberang tunggu setelah mobil lewat!" Hampir setengah jam kemudian si anak pulang menangis. Ditanya ibunya kenapa menangis, dia jawab, "Aku tak bisa menyeberang! Lama nian kutunggu tak ada mobil lewat!" "Kalau lama tak ada mobil lewat, seharusnya itu paling aman buat menyeberang jalan!" timpal ibu. "Tapi pesan ibu kan harus menunggu mobil lewat baru boleh menyeberang!" kilah anak. "Pesan ibu itu kalau lagi ramai lalu lintas!" tegas ibu. "Kalau cukup lama tak ada mobil lewat, itu momentum terbaik untuk menyeberang jalan!" "Ayo kuantar ke seberang!" sela ayahnya

"Sudah kelamaan! Pasti mereka sudah pergi!" jawab anak. "Janjinya, mereka tunggu saya sampai lima belas menit lalu untuk ke pantai!" "Dasar nasibmu!" timpal ayah. "Momentum yang terbuka untuk menyeberang jalan terlewatkan akibatnya momentum itu hilang!" "Momentum sudah terlewat dan hilang tak perlu disesali!" tegas ibu. "Seperti pemerintah, terlewat dan kehilangan momentum menaikkan harga BBM tahun lalu, padahal itu perintah UU APBN 2011 bertepatan harga BBM dunia tahun itu bercokol lama di atas 100 dolar AS/barel! Kini saat UU APBN 2012 menetapkan pembatasan BBM (premium), pemerintah ragu melaksanakan, malah mau kembali pada kebijakan menaikkan harga BBM, padahal jelas momentumnya—saat paling tepat mengambil langkah—telah terlewat dan hilang!" 

"Gaya pemerintah selalu terlewat dan kehilangan momentum dalam banyak hal sudah menjadi pembicaraan sejak lama!" timpal ayah. "Itu salah satu sebab kemajuan negeri kita tak sepesat advantage (keberuntungan sumber alam) yang dimiliki nyata lebih baik dari Brasil, Rusia, India, dan China, tapi jadi ketinggalan dari kemajuan negeri mereka karena kita selalu tak tepat waktu, terlewat, dan hilang momentum!" "Lebih celaka lagi kalau masalah yang kehilangan momentum itu dicoba pada lain waktu yang tak tepat situasi dan kondisinya, hingga membuang ongkos sosial-ekonomis yang tak perlu!" tegas ibu. "Akibatnya, banyak energi dan dana bangsa terbuang untuk kebijakan yang kurang efektif! Contohnya, kalau harga BBM lokal naik tahun lalu saat harga minyak dunia bercokol lama di atas 100 dolar AS/barel, selain momennya tepat dengan harga dunia itu, juga signifikan dalam mengurangi pembengkakan subsidi! Kalau harga minyak dunia di bawah 100 dolar AS/barel, menaikkan harga BBM lokal secara psikologis tak pas bagi rakyat, pengurangan subsidinya juga tak signifikan!" ***
Selanjutnya.....

Kesenjangan, Ketimpangan Picu Konflik!

"PENDAPATAN per kapita Indonesia dewasa ini tercatat 3.500 dolar AS per tahun, dengan kurs Rp9.000/dolar AS berarti Rp31,5 juta!" ujar umar. "Sedang garis kemiskinan BPS terakhir Rp244 ribu (dibulatkan) konsumsi per kapita per bulan, atau Rp3,028 juta/tahun! Jauh sekali jarak antara garis kemiskinan yang belum terjangkau puluhan juta warga bangsa dan pendapatan per kapita sebagai angka rata-rata penghasilan warga!" "Realitas, pendapatan minoritas elite bangsa jauh di atas rata-rata, sedang mayoritas massa jauh di bawah rata-rata!" timpal Amir. "Anggota DPR, misalnya, dengan gaji lebih Rp60 juta/bulan, satu tahun di atas Rp720 juta—lebih 20 kali lipat di atas rata-rata! Itu belum termasuk fasilitas yang dinikmati, ruang kerja serbamewah, perjalanan ke luar negeri dengan uang saku besar, sampai peluang objekan seperti dituduhkan ke anggota Banang Wa Ode Nurhayati, sekali sabet Rp6 miliar!"
"Nyata, amat jauh jarak pendapatan elite yang jauh di atas rata-rata (per kapita) dari mayoritas warga bangsa yang pendapatannya di bawah rata-rata, konon lagi mereka yang masih di bawah garis kemiskinan!" tegas Umar. "Jarak yang amat jauh pendapatan elite dengan massa itu, lazim disebut jurang ketimpangan pendapatan yang amat dalam—hingga praktis tak terjembatani!" "Tapi jurang ketimpangan yang amat dalam itu hanya akibat!" timpal Amir. "Penyebabnya justru kesenjangan—jarak pemisah—yang amat jauh pula antara elite dan rakyatnya! Ketimpangan pendapatan yang amat jauh itu aktualisasi dari realitas kesenjangan elite dari rakyatnya—dengan perjuangannya untuk kepentingan rakyat cuma sebatas penghias bibir alias retorika, buktinya elite selalu lebih mengutamakan kepentingan dirinya!" "Kesenjangan dan ketimpangan yang demikian mengerikan jelas menjadi pemicu konflik—antara segelintir elite yang menguasai sebagian besar pendapatan dan aset nasional dengan mayoritas warga bangsa yang kebagian hanya sebagian kecilnya saja!" tukas Umar. "Namun, sebagian saja dari konflik tersebut mengaktual dalam konflik vertikal massa lawan pejabat dan korporasi (seperti di Bima). Sebagian lagi beralih jadi konflik horizontal—akibat langka sumber pendapatan di lapisan bawah, massa berebut tulang—seperti rebutan lahan parkir dan sejenisnya!" "Artinya, kalau ada mekanisme lebih adil untuk mengalirkan pendapatan dan aset nasional dari penguasaan segelintir elite ke mayoritas massa, gejala konflik rebutan tulang akibat kelangkaan bisa dikurangi!" tegas Umar. "Tapi apa mau elite mengurangi bagiannya yang berlimpah, semisal penurunan gaji anggota DPR? Sukar diharap!" ***
Selanjutnya.....

Kerusuhan Massal Semakin Merebak!

"PEKAN ini kerusuhan massal mengalami eskalasi, merebak di seantero negeri!" ujar Umar. "Dimulai dari Lampung dengan kerusuhan yang berakibat dibakarnya 60 rumah warga di Sidomulyo, Lamsel, berlanjut dibakarnya Mapolsek Gedungaji, Tulangbawang, loncat ke pembakaran kantor bupati dan kantor KPU Bima, NTB, disusul demo puluhan ribu buruh Bekasi memblokade Tol Cikampek Km 22 sampai Km 32 sehingga macet total sejak pukul 11.00 sampai 17.00, berakhir dengan pelemparan batu kendaraan yang telah tertahan enam jam itu, saat blokade jalan tol dibuka paksa oleh polisi!" "Itu belum semua!" timpal Amir. "Banyak kasus kerusuhan yang juga ditayangkan televisi tak masuk rangkaian kejadian itu, salah satunya pendudukan massa atas lobi hotel di Medan!"
"Dari semua kejadian yang terpenting simpul gejalanya, makin lemahnya wibawa hukum di mata rakyat!" tegas Umar. "Gejala itu mencolok akibat gagalnya hukum ditegakkan pada lapisan berkuasa pada banyak kasus hukum yang diikuti rakyat! Hal itu membuat lapisan bawah patah arang, tak percaya hukum, percuma berharap keadilan lewat jalur hukum! Jadi, polisi yang bertugas di tengah rakyat jadi korban dari situasi ketidakpercayaan rakyat pada sistem hukum dan pemerintahan itu, tentu juga ada ekses laku lajak pribadi anggota polisi!" "Lemahnya wibawa hukum hingga massa mencari penyelesaian lewat caranya sendiri, terlihat pada kasus Sidomulyo!" tukas Amir. "Sejak awal polisi sudah mendamaikan kedua pihak yang terlibat salah paham di lapangan parkir Pasar Sidomulyo! Tapi lain yang berdamai lain pula yang tak puas! Justru pihak yang tak puas itu mencari kepuasan di luar (mediasi aparat) hukum! Pasti lain jika hukum masih berwibawa, orang tak berani coba-coba melangkahi (mediasi aparat) hukum!" "Celakanya, merebaknya gejala kekerasan massal ini tak efektif diatasi hanya dengan ketegasan polisi menegakkan hukum!" timpal Umar. "Sebab, dari pengalaman polisi melakukan secara lugas law enforcement di tengah masyarakat, justru berekses tuduhan melanggar HAM! Akibatnya, seperti episode terakhir di Bima dan Bekasi, polisi tak mencegah aksi massa, apalagi menindaknya!" "Dengan kejadian terakhir itu bukan saja wibawa hukum lemah, malah tak berdaya!" tegas Amir. "Tapi dengan melemahnya ketegasan polisi pada aksi rakyat ini bisa membalik pedang hukum dari semula tajamnya menghadap ke bawah jadi mengarah ke atas! Hanya dengan sama tajamnya mata pedang hukum itu ke atas dan ke bawah, wibawa hukum bisa dipulihkan!" ***
Selanjutnya.....

Konflik Horizontal Rumput Kering!

"KENAPA warga sekarang jadi sensitif sekali, salah pengertian atau tersinggung sedikit saja langsung saling serang, rusak-rusakan, bakar-bakaran?" tanya Umar. "Konflik horizontal itu terjadi di berbagai daerah, tanpa kecuali Lampung!" "Mudahnya emosi warga tersulut berlanjut jadi bentrok atau amuk massa yang tak terkendali, umumnya akibat kesulitan ekonomi sehingga kondisi mayoritas warga kini sudah menyerupai rumput kering!" timpal Amir. "Sebab akibat jadi rentannya kondisi sosial-ekonomi setiap kelompok massa tentu spesifik dan variatif, bertolak dari ketakadilan yang merajalela, maupun salah kelola negara hingga penindasan antarstruktur sosial yang kian menguat! Akibatnya, realitas akhir semua kelompok akar rumput sama rentannya—pantang tersinggung, meledak!" 

"Kondisi sosial-ekonomi yang semakin jauh dari kecukupan itu juga membuat struktur sosial kian renggang, pengikat strukturnya (kohesivitas) melemah! Belum tentu disharmoni, bisa jadi cuma makin kurang akrab saja!" tegas Umar. "Tapi, ketika muncul pemicu, meskipun sepele seperti tersinggung, salah pengertian, konflik yang tak jelas asal-usulnya meletus—seperti sering terjadi pada bentrok antarwarga di kota besar! Apalagi kalau memang ada konflik kepentingan nyata seperti berebut lahan parkir, kondisi kritis sosial-ekonomi jadi energi 'perjuangan' yang rasional!" "Beraneka alasan bisa berpadu memicu bentrok horizontal, jika satu hal tak dimiliki—wakgeng!" timpal Amir. 

"Wakgeng itu istilah gampangnya buat seorang tokoh karismatik yang diikuti ucapan dan sikapnya oleh suatu kelompok warga, dia juga disegani, bisa dipercaya, dan dijadikan jaminan oleh pihak-pihak luar kelompoknya! Jika ada wakgeng, setiap ada masalah antarkelompok, anggota kelompok menyerahkan masalahnya kepada wakgeng yang kemudian menyelesaikan tuntas keluar dan ke dalam kelompoknya!" "Disayangkan, tokoh masyarakat kelas wakgeng yang pengaruhnya efektif ke dalam dan keluar kelompoknya itu kian langka, sedang yang tersisa justru tokoh yang gemar hitung kepala warganya untuk 'didaftar' jadi pendukung calon tertentu saat pilkada!" tukas Umar. "Tokoh model itu justru bersaing pengaruh membawa kelompoknya mendukung calon unggulan masing-masing sehingga pengaruhnya perlahan tererosi oleh kepentingan sempit! Sedihnya hal demikian menggejala luas, hingga tokoh panutan yang mampu menentukan hitam-putihnya sikap suatu kelompok kian langka dalam masyarakat! Tersisa cuma 'tokoh politik' yang lebih berorientasi pada kepentingan pribadinya semata!" ***
Selanjutnya.....

Konflik Vertikal Bergaya Hitler!

"SAAT kekuasaan Hitler dan Partai Nazi bangkit, ia melakukan swastikanisasi—simbol Nazi!" ujar Umar. "Saat Hitler berkunjung, rumah sakit jiwa dipenuhi swastika! Spanduk, umbul-umbul, jaket staf RSJ, seragam pasien, beratribut swastika!" "Pasti Hitler puas atas sambutan itu!" tebak Amir. "Jelas!" tegas Umar. "Tapi saat jalan keliling, di kebun terlihat tiga orang menyiram bunga tanpa atribut swastika! Kepala RSJ ditanya dan menjawab, kata dokter ketiganya sudah waras, jadi tak perlu pakai atribut swastika!" "Huahaha...!" Amir terbahak. "Pasti Hitler marah! Karena itu berarti yang beratribut tak waras!" "Jelas! Hitler yang mempromosikan Nazi ras Aria, ras terbaik di dunia, marah tak kepalang! Suara geramnya mengentak, dokternya pasti Yahudi!" tegas Umar. "Hitler pun perintahkan membasmi orang Yahudi dari negerinya! Ini salah satu versi konflik vertikal—penguasa lawan rakyatnya!"
"Konflik vertikal versi itu jelas seperti durian di pihak penguasa dan mentimun di pihak rakyat!" timpal Amir. "Untuk itu yang harus menahan diri justru pihak penguasa (politik maupun ekonomi), karena kalau durian yang berat dan berduri tajam ditimpakan ke mentimun, pasti mentimun remuk! Apalagi kalau hukumnya seperti pedang, cuma tajam ke bawah sedang ke atas tumpul, rakyat si mentimun dijamin lumat!" "Maka itu, jika dalam konflik vertikal mentimun memberi perlawanan sampai membakar polsek, seperti di Gedungaji, Tulangbawang, di pihak penguasa layak mawas diri, introspeksi, jangan-jangan mereka bergaya mirip Hitler!" tukas Umar. "Gaya itu bisa diukur, jika semangat pada penguasa membara superioritas diri hingga jalan keluar pilihannya adalah membasmi sesama yang dianggap rendah seperti membasmi coro!" "Mengingat Lampung rawan konflik vertikal, dari Mesuji hingga Gedungaji dengan berbagai varian kasus lain, untuk mengurangi gejalanya kedua pihak yang berkonflik tahap awal harus sama meyakini bahwa kekerasan, pemaksaan kehendak, dan mau benar dan menang sendiri takkan bisa menyelesaikan masalah!" timpal Amir. "Konflik menghabiskan energi semua pihak, banyak waktu, tenaga, dan dana terbuang sia-sia, padahal semua itu dibutuhkan untuk survival pribadi, keluarga maupun kelembagaan! Jalan keluarnya, jauh lebih baik share, berbagi, kedua pihak saling mengalah sedikit demi mencapai kesepakatan!" "Memaksa all or nothing peluangnya nothing!" tegas Umar. "Karena, energi dan dana yang habis dalam perjuangan yang lama, nilai riilnya bisa lebih tinggi dari yang (syukur kalau bisa) diraih!" ***
Selanjutnya.....

Konflik Vertikal Bergaya Hitler!

"SAAT kekuasaan Hitler dan Partai Nazi bangkit, ia melakukan swastikanisasi—simbol Nazi!" ujar Umar. "Saat Hitler berkunjung, rumah sakit jiwa dipenuhi swastika! Spanduk, umbul-umbul, jaket staf RSJ, seragam pasien, beratribut swastika!" "Pasti Hitler puas atas sambutan itu!" tebak Amir. "Jelas!" tegas Umar. "Tapi saat jalan keliling, di kebun terlihat tiga orang menyiram bunga tanpa atribut swastika! Kepala RSJ ditanya dan menjawab, kata dokter ketiganya sudah waras, jadi tak perlu pakai atribut swastika!" "Huahaha...!" Amir terbahak. "Pasti Hitler marah! Karena itu berarti yang beratribut tak waras!" "Jelas! Hitler yang mempromosikan Nazi ras Aria, ras terbaik di dunia, marah tak kepalang! Suara geramnya mengentak, dokternya pasti Yahudi!" tegas Umar. "Hitler pun perintahkan membasmi orang Yahudi dari negerinya! Ini salah satu versi konflik vertikal—penguasa lawan rakyatnya!" 

"Konflik vertikal versi itu jelas seperti durian di pihak penguasa dan mentimun di pihak rakyat!" timpal Amir. "Untuk itu yang harus menahan diri justru pihak penguasa (politik maupun ekonomi), karena kalau durian yang berat dan berduri tajam ditimpakan ke mentimun, pasti mentimun remuk! Apalagi kalau hukumnya seperti pedang, cuma tajam ke bawah sedang ke atas tumpul, rakyat si mentimun dijamin lumat!" "Maka itu, jika dalam konflik vertikal mentimun memberi perlawanan sampai membakar polsek, seperti di Gedungaji, Tulangbawang, di pihak penguasa layak mawas diri, introspeksi, jangan-jangan mereka bergaya mirip Hitler!" tukas Umar. 

"Gaya itu bisa diukur, jika semangat pada penguasa membara superioritas diri hingga jalan keluar pilihannya adalah membasmi sesama yang dianggap rendah seperti membasmi coro!" "Mengingat Lampung rawan konflik vertikal, dari Mesuji hingga Gedungaji dengan berbagai varian kasus lain, untuk mengurangi gejalanya kedua pihak yang berkonflik tahap awal harus sama meyakini bahwa kekerasan, pemaksaan kehendak, dan mau benar dan menang sendiri takkan bisa menyelesaikan masalah!" timpal Amir. "Konflik menghabiskan energi semua pihak, banyak waktu, tenaga, dan dana terbuang sia-sia, padahal semua itu dibutuhkan untuk survival pribadi, keluarga maupun kelembagaan! Jalan keluarnya, jauh lebih baik share, berbagi, kedua pihak saling mengalah sedikit demi mencapai kesepakatan!" "Memaksa all or nothing peluangnya nothing!" tegas Umar. "Karena, energi dan dana yang habis dalam perjuangan yang lama, nilai riilnya bisa lebih tinggi dari yang (syukur kalau bisa) diraih!" ***
Selanjutnya.....

Area 'Blue Ocean', Bansos Versi DPR!

USAI latihan soal blue ocean strategy—strategi lautan biru, yakni memilih pasar yang belum jenuh dengan persaingan—seorang penjual (salesman) alat pengisap debu menuju Rawa Situ, kawasan jauh dari kota! Sebuah rumah bagus pertama yang ditemuinya ia ketuk, dan saat pintu dibuka ia bersorak dalam hati dugaannya benar, rumah itu memakai ambal sebagai alas sofa dan mejanya. "Wah, ambal rumah ibu bagus, pasti buatan Turki dibeli saat naik haji!" ujar penjual memuji. "Cuma sayang, debunya tak pernah diisap! Ditambah sampah yang kutuangkan, dijamin diisap bersih oleh alat pengisap ini! Kalau tak bersih, kumakan sampah dan debu ambalnya!" ibu pemilik rumah yang semula heran melihat aksi si penjual, seketika nyeletuk, "Mulailah memakan sampah dan debu itu karena rumah ini belum dapat aliran listrik!" "Belum ada listrik?" entak penjual, keringat dingin mencucur di keningnya. "Berarti kawasan ini lebih tepat sebagai lautan biru untuk bantuan sosial (bansos) DPR sebesar Rp4,3 triliun, yang diminta DPR dari bansos Kementerian Pertanian!"

"Kalau DPR diberi bansos, bisa benar-benar masuk lautan biru!" timpal ibu. "Jangankan bansos dari DPR yang jauh! Bansos kabupaten dan provinsi saja, yang kabarnya mubal (seperti lebah keluar sarang) setiap pilkada, yang sampai kawasan terpencil ini cuma beritanya! Sedang dana bansosnya sendiri, terbang entah ke mana!" "Kalau bantuan Kementerian Pertanian, semisal bibit atau lainnya, ada sampai?" tanya penjual. "Justru bantuan seperti itu yang sampai!" jawab ibu. "Lengkap dengan para penyuluh pertanian yang sering mampir ngopi di rumah ini!" "Artinya, malah bansos ketika dijadikan sebagai dana politik yang menguap!" tukas penjual.

"Dan itu bukan rahasia umum lagi secara nasional, bansos menjadi senjata ampuh incumbent dalam pilkada di seantero negeri! Meskipun demikian, sejauh ini belum ada cara mencegahnya yang bisa dilaksanakan secara efektif!" "Mungkin justru karena tergiur melihat nikmatnya penguasa dan politisi daerah menyedot sepuasnya dana bansos, para politisi di DPR juga ingin ikutan bermain bansos!" timpal ibu. "Tapi, apakah DPR kurang kerjaan, hingga mau repot ikut jadi penyalur bansos? Kabarnya dalam pembuatan undang-undang saja, DPR tak mencapai target!" "Mungkin mengelola bansos justru lautan biru bagi anggota DPR, karena sambilan lain, semisal main proyek, sudah disorot publik!" tukas penjual. "Berarti alat pengisapmu cocok buat mengisap bansos dari kementerian mitra kerja DPR!" saran ibu. "Di sana listriknya menyala terus pula!" ***
Selanjutnya.....

Maut di Jalanan Ekses Narkoba!

"SEMBILAN pemuda tewas ditabrak mobil di Tugu Tani, Jakarta Pusat, Minggu pagi, saat para korban jalan pulang dari main futsal di silang Monas!" ujar Umar. "Penabraknya mobil pribadi B-3479-XI dikendarai Afriyani Susanti (29), warga Sungai Bambu, Tanjung Priok, yang bersama tiga temannya dalam mobil darahnya dinyatakan polisi positif mengandung narkoba! Cewek pekerja production house (PH) itu Sabtu malam minum wiski di kafe, ke lokasi hiburan memakai narkoba, lanjut pesta ulang tahun temannya di hotel!" "Sebanding mirisnya berita tewasnya sembilan pemuda sekali tabrak oleh pengendara mobil mabuk narkoba, kisah cewek penabrak bersama temannya sebagai kaum muda kelas menengah kota metropolitan tak kalah memprihatinkan!" sambut Amir. "Sebagai pekerja PH—pembuat sinetron dan materi siaran televisi lainnya—Afriyani hidup di jalur modern! Fasilitas-fasilitas jalur modern itu pula yang malam itu ditelusuri Afriyani dan temannya!" 

"Jadi, yang terjadi adalah paduan dua realitas sosial—kelas bawah pejalan kaki yang tak diberi perhatian keamanannya, dengan kelas menengah metropolis di jalur modern yang hanyut dalam pengaruh narkoba!" tegas Umar. "Tentang nasib warga kelas bawah, umumnya sama di seantero negeri, ditelantarkan elite yang berorientasi pada kekuasaan semata, mabuk kekuasaan! Di kota, jalur pejalan kaki yang rawan bahaya tanpa perhatian elite itu cerminan nasibnya!" "Beda dengan negeri maju semisal Jepang, jalur pejalan kaki, sepeda, dan orang cacat tersendiri!" timpal Amir. "Di tepi jalur mobil dipasang pagar besi selutut, dalam pagar tanaman bunga dan pohon, baru di balik pohon ada jalur pejalan kaki, sepeda, dan orang cacat yang aman!"

"Pembagian jalur-jalur jalan sedemikian rupa itu merupakan ekspresi atau curahan perhatian elite pada warga kelas bawah dan lemah!" tegas Umar. "Sedang warga kelas menengah yang baru meraih nikmat kemajuan mudah terhanyut budaya negatif—seperti narkoba—jika dasar budaya yang bersendikan moralitas pada dirinya tak kokoh! Kelas menengah baru seperti itu bisa ditandai orientasinya pada nihilisme, kepeduliannya tak ada pada sesama—bahkan memandang buruk orang memberi bantuan pada pengemis—karena lebih puas hidup secara gila-gilaan!" "Jadi para korban tewas akibat dua hal!" timpal Amir. "Pertama, kelalaian elite yang mabuk kekuasaan tak peduli nasib warga kelas bawah—hingga tertabrak di jalan yang tak aman bagi pejalan kaki! Kedua, akibat kelas menengah baru yang mabuk narkoba!" "Malang nasib warga kelas bawah!" tukas Umar. "Dari atas ditindas elite mabuk kekuasaan, di jalan ditabrak kelas menengah mabuk narkoba!" ***
Selanjutnya.....

PKH, BLT Baru yang Kurang Sosialisasi!

"PKH—Program Keluarga Harapan—suatu bantuan langsung tunai (BLT) buat keluarga miskin yang telah dilakukan sejak 2011 dan dilanjutkan tahun ini kurang sosialisasi!" ujar Umar. "Kebanyakan keluarga miskin yang amat membutuhkan tidak tahu ada program itu, hingga tak menerima BLT tersebut sekaligus tak tahu cara dan kriterianya untuk bisa mendapatkannya!" "Dalam konferensi pers, Jumat (20-1), Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) menyatakan PKH yang dibagikan secara BLT tahun ini sebesar Rp1,8 triliun untuk 1,5 juta keluarga miskin, per keluarga menerima Rp1,3 juta hingga Rp2,2 juta!" sambut Amir. "Naik dari 2011 Rp1,6 triliun untuk Rp1,1 juta keluarga!"
"Cenderung dilakukannya PKH secara tak terbuka, apa kriteria yang berhak menerima, jumlah yang diterima tak seragam, menjadi potensi konflik ke depan!" tegas Umar. "BLT 2008 dan 2009 yang dilakukan dengan kriteria penerima jelas berdasar hasil pendataan Badan Pusat Statistik (BPS) yang menjangkau semua yang berhak menerima (2008 sebanyak 19,1 juta keluarga dan 2009 18,2 juta keluarga) dengan jumlah dana penerimaan sama dan merata saja tak luput dari banyak konflik dan beraneka kasus di seantero negeri! Apalagi dalam PKH ini yang menerima cuma sebagian kecil saja dari 18 juta lebih keluarga miskin di Indonesia, kemungkinan iri dan cemburu dari mayoritas yang tidak menerima mudah terjadi!" "Apalagi kalau dalam pembagian itu diketahui massa penentuan penerimanya diwarnai oleh kepentingan politik, kedekatan nepotisme, atau pendekatan diskriminatif lainnya, potensi konflik terkait nasib mayoritas dari 18 juta lebih keluarga miskin cukup kritis!" timpal Amir. "Bolehlah pada tahun pertama PKH dilakukan secara diam-diam, sembunyi dari keluarga miskin yang tak kebagian. Tapi, selubung kerahasiaan itu takkan bisa terus dipertahankan ketika ketakadilan di kalangan warga miskin itu berlangsung kian mencolok!" "Selain rawan konflik akibat ketidakadilan dalam penentuan penerima PKH, jumlah bantuan yang tidak sama antarpenerima juga menyulitkan kontrol masyarakat atas pelaksanaannya! Dengan begitu, PKH ini juga rawan penyimpangan!" tukas Umar. "Untuk mengurangi potensi konflik dan penyimpangan itu ke masa depan, layak untuk dipertimbangkan dananya dipakai membangun cluster usaha bersama warga miskin model Kibutz di Israel (dahulu), hingga programnya dinikmati bersama dan secara ekonomi terlembaga berkelanjutan! Jadi jangan cuma bisa mengulang kasus BLT, puluhan triliun dana hanya dikonsumsi bablas masuk kakus!" ***
Selanjutnya.....

Anjing Menggonggong Rakyat Merintih Pedih!

"BANYAKNYA persoalan di Indonesia antara lain disebabkan ketidakmampuan pemerintah melihat realitas yang terjadi di masyarakat. Masalah cenderung dibiarkan karena mereka memang tak berdaya menyelesaikannya!" ujar Umar. "Itulah benang merah dialog tokoh nasional Kamis (19-1), di PP Muhammadiyah. Kata Jimly Asshiddiqie, itu terjadi karena orang-orang pemerintah selalu berpikir optimistis, semua dipikir baik-baik saja! Kalau ada keluhan, biarlah anjing menggonggong kafilah tetap berlalu!" (MI, 20-1) "Pembiaran yang larut itu berakibat hukum tak ditegakkan dan bukan saja jadi lemah, bahkan jadi membela kekuasaan dan pemilik modal!" timpal Amir. "Untuk itu, tegas Jimly, diperlukan revolusi hukum, yaitu upaya bersama mendorong perbaikan sistem, perilaku aparat, penegakan hukum agar dijalankan dengan tegas dan adil!" (Kompas, 20-1) 

"Ketakberdayaan pemerintah mengatasi masalah dengan pembiaran itu sebenarnya justru suatu cara sistematis mengorientasikan hukum pada kepentingan penguasa dalam melindungi pemilik modal!" tegas Umar. "Itu terjadi karena masalah yang 'dibiarkan' adalah yang merugikan rakyat dalam konflik lawan penguasa atau pemilik modal, hingga dengan pembiaran kasus tersebut, hukum dengan sendirinya berpihak dan menguntungkan penguasa atau pemilik modal!" "Dengan itu berarti, setiap muncul keluhan atau 'ada anjing menggonggong', merupakan isyarat ada benefit yang dinikmati penguasa dan pemilik modal di atas penderitaan rakyat yang merintih pedih kesakitan sebagai korban!" tukas Amir. 

"Jadi bukanlah sekadar pembiaran, melainkan pembiaran kepada pemilik modal mencongkel batu untuk menggiring udang masuk bubu penguasa!" "Tapi bagaimana mau mendorong revolusi hukum ketika justru oleh aparat penegaknya hukum cuma dijadikan subordinat di tengah kenyataan politik (kekuasaan) dan modal menentukan segalanya!" entak Umar. "Tak kepalang Presiden SBY di Rakernas Pemerintah 2012 menyerukan agar memberantas mafia peradilan, pada sisi lain dia sendiri angkat tangan dengan membubarkan satgas mafia hukum di lembaga kepresidenan!" "Tapi pernyataan Presiden itu menginspirasi, revolusi hukum ditempuh dengan mendobrak kasus-kasus yang mengalami pembiaran agar diproses secepatnya hingga tercipta keadilan!" tega Amir. "Hukum lemah hingga butuh revolusi hukum akibat pembiaran, maka mainstream revolusi hukum jelas: mendobrak pembiaran!" ***
Selanjutnya.....

Rasio Terbalik Kesempatan Kerja!

SEORANG ibu menangis setelah ada orang berkisah melihat anak gadisnya yang kuliah di kota bekerja di bar tempat pria mencari hiburan. "Jangan menangis!" ujar tetangga. "Doakan dia mendapat hidayah sehingga cepat berhenti dan keluar dari tempat itu!" "Aku menangis terharu!" jawab ibu. "Dari enam anakku cuma dia satu-satunya yang bisa mendapat pekerjaan! Padahal semua kuliah, sekolahnya tinggi-tinggi!" "Kalau semakin tinggi sekolahnya semakin kecil kesempatan kerjanya, kayaknya menjadi gejala umum dengan rasio kesempatan kerja di negeri kita yang cenderung terbalik!" tegas tetangga. "Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada Agustus 2011 dari 117,4 juta orang angkatan kerja nasional yang bekerja 109,7 juta orang, sebanyak 54,2 juta orang atau 49,4% merupakan pekerja dengan jenjang pendidikan SD ke bawah! Sedang pekerja dengan jenjang pendidikan sarjana 5,6 juta orang atau 5,15%!" 

"Berarti semakin rendah pendidikan, semakin besar kesempatan kerjanya?" sela ibu. "Semakin tinggi pendidikan semakin sulit mencari kerja? Kok jadi begitu?" "Kalau untuk anak-anak ibu yang sudah sekolah tinggi itu mungkin karena orang tuanya di desa sebagai keluarga terpandang, mereka mencari pekerjaan yang sesuai dengan kedudukan sosial keluarganya!" tebak tetangga. "Mencari pekerjaan yang sesuai kedudukan sosial keluarga jelas tak mudah! Di lain pihak sebenarnya, ibunya berharap mereka cepat dapat kerja, pekerjaan apa saja asal tak sepenuhnya lagi jadi beban orang tua!" "Memang!" timpal ibu. "Terpenting dapat kerja dulu sebagai apa saja, supaya Tuhan bisa menguji kesabaran dan kesyukurannya untuk menjalani rencana-Nya lebih jauh lagi! Tanpa menjalani ujian dari tingkat bawah, bagaimana mau naik jenjang mencapai yang lebih tinggi?" 

"Mungkin mindset memulai dari bawah itu tak disenangi anak-anak kita yang berpendidikan tinggi sehingga tingkat penganggur kelompok ini cukup signifikan!" timpal tetangga. "Mereka pikir bisa langsung mencari pekerjaan sesuai jenjang pendidikannya!" tegas ibu. "Tanpa mereka sadari, lowongan yang terbuka setara jenjang pendidikannya selalu harus dilengkapi pengalaman kerja sekian tahun! Memang ada satu dua anak yang otaknya amat cemerlang bisa mengalahkan nilai pengalaman dalam rekrutmen! Tapi kalau yang otaknya cuma kelas rata-rata, lebih baik mencari pengalaman kerja dulu! Apalagi lulusan kebanyakan perguruan tinggi hingga kini belum nyambung dengan dunia kerja!" ***
Selanjutnya.....

Bancakan Proyek Kelas Atas Versi Rosa Manulang!

"TAMPIL di sidang dengan rompi antipeluru dan jaminan keamanan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Mindo Rosa Manulang membuka kisah bancakan proyek kelas atas yang dimainkan ketua besar, bos besar, dan elite terdekatnya!" ujar Umar. "Itu terjadi saat Mindo hadir sebagai saksi dalam sidang Pengadilan Tipikor Jakarta untuk kasus wisma atlet atas tersangka mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, Nazaruddin, awal pekan ini!" "Bancakan proyek yang diungkap Mindo itu tak terbatas kasus wisma atlet yang disidangkan, Mindo bahkan mengungkap bancakan proyek Hambalang, Bogor, yang bernilai Rp1,3 triliun!" timpal Amir. "Uniknya, bancakan pada proyek Hambalang ini, kubu-kubu yang bersaing untuk merebut jabatan ketua umum partainya saling mengeruk 'dana perang' dari proyek tersebut, masing-masing berbilang puluhan miliar rupiah! Demikianlah fakta hukum yang terungkap dalam persidangan terbuka untuk umum itu!" 

"Pokoknya bagaimana gaya elite sebuah parpol bancakan proyek Mindo ungkap gamblang!" tegas Umar. "Isi keterangan Mindo itu amat mendukung nyanyian Nazaruddin yang dilantunkan sejak pelariannya di Singapura melalui BBM, sampai yang dikirim pakai skape! Jadi, kalau sebelumnya hanya satu kesaksian (dari Nazaruddin) secara hukum bisa dianggap bukan kesaksian alias tak cukup, kini setelah ada dua kesaksian yang sama, tentu jadi lain ceritanya!" "Prinsipnya, kesaksian dua orang sebagai fakta hukum bisa menjadi dasar pertimbangan yang kuat bagi mencari kebenaran formal!" timpal Amir. 

"Karena itu, bisa dianggap terlalu mengada-ada pula kalau KPK masih mengelak lagi dan tidak menelusuri serta memperdalam kasus wisma atlet dan Hambalang yang telah dibuka kuncinya oleh Nazar dan Mindo! KPK harus bisa membantah dengan tindakan hukum, kasus ini tidak dibatasi hanya sampai Nazaruddin saja, sedang tokoh-tokoh dalam di lingkaran kekuasaan diamankan!" "Contoh kasus yang mengundang kecurigaan itu bukannya tak ada, semisal kasus surat palsu MK, pihak yang 'dekat' kekuasaan diloloskan!" tegas Umar. "Untung penanganan kasus itu di luar KPK, hingga KPK masih bisa diharap tak ketularan cara tebang pilih, bahkan di satu kasus yang sama!" "Jangan terlalu cepat berbesar hati KPK tak bakal ketularan!" entak Amir. "Johnson Panjaitan di Metro TV (17-1) membuktikan, dakwaan yang dibuat penuntut KPK atas Nazaruddin sudah melakukan 'bersih-bersih' dari berkas perkara prosesnya! Jangan sampailah, KPK mau ikut bancakan proyek pula!" ***
Selanjutnya.....

Dua Hal Menarik Rekomendasi TPF!

"ADA dua hal menarik dari rekomendasi akhir Tim Pencari Fakta (TPF) kasus Mesuji!" ujar Umar. "Pertama poin 2, Setelah mendapat rekaman dari TPF mengenai temuan kasus Mesuji, Komnas HAM diharapkan melakukan penyelidikan lebih jauh apakah terjadi pelanggaran HAM atau tidak!" "Dari bunyi rekomendasi itu terkesan TPF belum bisa memastikan bahkan juga masih meragukan adanya pelanggaran HAM di Mesuji!" timpal Amir. "Kayaknya begitu!" sambut Umar. "Dan itu terkait poin 7, Meminta langkah penegakan hukum untuk pembuat dan pengedar video kekerasan, tapi tidak sesuai dengan yang terjadi di lapangan! Dari dua poin itu terkesan kuat, berdasar temuan TPF, para anggota Komisi III DPR yang sempat meledak-ledak merespons laporan kasus Mesuji sebenarnya telah ditipu dengan rekaman video hasil rekayasa! Kasihan anggota DPR yang terhormat, demikian mudah dijadikan korban penipuan rekayasa teknologi oleh warga biasa, orang kebanyakan!" 

"Itu harus dipahami para anggota DPR sebagai usaha orang-orang kepepet alias terjepit untuk mendapatkan perhatian wakil-wakil rakyat di DPR!" timpal Amir. "Artinya, kalaupun polisi sesuai rekomendasi TPF menindak dengan proses hukum para pembuat dan pengedar video yang terbukti mengecoh para anggota DPR, mengingat nasib malang dan penderitaan warga yang kepepet itu tak bisa dilepaskan dari kinerja DPR yang belum mampu mengentaskan mereka dari lembah derita, cukup layak jika DPR memaafkan mereka atas penipuan mereka terhadap anggota DPR dengan video hasil rekayasa tersebut!" "Merasa layak atau tidaknya anggota DPR ditipu orang di depan publik secara nasional itu terletak pada diri masing-masing anggota DPR!" tegas Umar. 

"Tak kalah penting kepastian pelanggaran HAM terjadi atau tidak di kasus Mesuji! Rekaman temuan TPF yang membuat TPF menjadi ragu memastikan adanya pelanggaran HAM, setelah diterima Komnas HAM juga harus terlebih dahulu diuji teknis dan uji lapangan keorisinalitasannya! Jangan pula sampai terjadi, suatu rekayasa kasus dibatalkan oleh rekayasa lainnya!" "Karena itu menjadi layak dicatat khusus tentang realitas di balik kasus yang demikian serius, tak kepalang juga terjadi adu rekaman justru sebagai penentu solusi akhir konflik!" timpal Amir. "Tentu itu isyarat kemajuan yang kian jauh masuk era teknologi komunikasi dan informasi! Namun, agar kemajuan teknologi itu tak mendegradasi urgensi materi pokok kasusnya, ketepatan Komnas HAM menangani jadi kuncinya!" ***
Selanjutnya.....

Politikus Korup, Parlemen Boros!

"INDONESIA bisa jadi negeri termalang di dunia!" ujar Umar. "Sudah puluhan politikusnya di DPR dipidana sebagai politikus korup! Lalu, parlemen tempat politikus nasional berkiprah boros sekali! Untuk parfum dan kalender meja anggota saja habis Rp2,9 miliar! Pemborosan DPR dahsyat! Rehab WC Rp2 miliar, tempat parkir Rp3 miliar, ruang Badan Anggaran Rp20 miliar! Itu terjadi saat rakyat Ciujung—50 km dari DPR—terbenam banjir hingga mengungsi ke jalan tol, dua hari cuma terima bantuan tiga bungkus mi instan!" "Di Prancis, gara-gara borosnya Ratu Antoinette—permaisuri Raja Loeis XVI—rakyatnya digerakkan kelas menengah (borjuis) bangkit melakukan revolusi paling terkenal di dunia!" sambut Amir. "Kita tentu tidak berharap rakyat Indonesia meniru sejarah Prancis yang terkenal dengan guilotinnya itu! Tapi mengingatkan tak salah, bahwa kesabaran rakyat ada batasnya! Di Langkat (Sumatera Timur) 1948 meletus revolusi sosial, menghabisi bangsawan mirip revolusi Prancis!" 

"Meski demikian harus dipilah politikus korup dari parlemen boros!" tegas Umar. "Karena, meski sudah banyak politikus dipenjarakan, tentu tak semua politikus korup! Contohnya pernyataan yang sering nongol di televisi, kemarin terima dari A, hari ini terima dari B, inkosisten!" "Pernyataan kemarin terima dari A, hari ini terima dari B, bukan inkonsisten! Tapi terima dari banyak pihak dan banyak sumber dari hari ke hari!" tukas Amir. "Mungkin begitulah gaya politikus korup, pintar memelintir pernyataan yang mengarah ke dirinya!" 

"Soal parlemen boros bisa seperti kata Ketua DPR Marzuki Alie, itu urusan Setjen!" tegas Umar. "Itu logis! Misalnya rehab WC, selama ini kan selalu ada anggaran pemeliharaan gedung DPR, rusak kecil-kecil di sana-sini diperbaiki! Lalu, ke mana dipakai dana perawatan itu kalau tiba-tiba mayoritas WC rusak parah! Juga pengharum dan almanak meja yang Rp2,9 miliar, harus diaudit semua itu!" "Bisa saja Setjen dijadikan kambing hitam!" timpal Amir. "Tapi anggota DPR menyukai pemanjaan diri mereka! Seperti saat Setjen bagi laptop seharga Rp20 juta, di koran para legislator ribut, tapi fasilitasnya diterima! Juga program ke luar negeri, sekali jalan semua komisi habis anggaran Rp200-an miliar!" "Dilihat dari anggaran DPR setahun nyaris Rp3 triliun sedang hasilnya tak dilihat dan dirasakan rakyat, sebaliknya yang terekspos anggota DPR malas sidang kalau hadir ngantuk atau main video porno, perlu konsep gemilang untuk memperbaiki citra politikus parlemen!" tegas Umar. "Entah apa jadinya jika malah menjadi-jadi mengumbar citra buruk tersebut!" ***
Selanjutnya.....

‘Landreform’, dari Orla ke Reformasi!

"LANDREFORM atau reformasi agraria dipahami sebagai program redistribusi lahan pertanian!" ujar Umar. "Dipicu kasus Mesuji dan Bima, tuntutan dengan semangat itu yang bertolak dari UU Pokok Agraria No.5/1960 pekan terakhir mengentak dalam aksi massa di seantero negeri, dengan poros gerakannya ribuan tani, buruh, nelayan, dan mahasiswa merobohkan pagar gedung DPR, Senayan!" "Semua orde—Orde Lama (Orla), Orde Baru (Orba), dan Orde Reformasi—sebenarnya melakukan landreform dengan skala masing-masing! Orla lewat program transmigrasi sejak sebelum UUPA lahir!" sambut Amir. "Justru setelah lahir UUPA, landreform dalam arti bagi-bagi tanah ke buruh tani yang tak punya lahan dan petani berlahan sempit dieksploitasi oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) melalui ormas mantelnya Barisan Tani Indonesia (BTI) sebagai agenda perjuangannya, terutama dalam memikat anggota baru!" 

"Itu sebabnya istilah landreform jadi terdengar miris dan dihindari sebagai agenda perjuangan partai politik sejak era Orba!" tukas Umar. "Akibatnya, landreform dalam bentuk bagi-bagi tanah, meski perintah UU, tak kunjung terlaksana! Orba melanjutkan pilihan Orla dengan program transmigrasi sebagai pelaksanaan landreform, bahkan melakukannya besar-besaran—memindah jutaan keluarga dari Jawa-Bali ke seantero Tanah Air—dengan terus menyempurnakan programnya, dari tanaman pangan ke perkebunan berpola PIR dengan prioritas intinya PTPN!" "Justru pada Orde Reformasi, yang kata 'reform' jadi nama ordenya, landreform dalam semua bentuk, termasuk transmigrasi, jauh menurun!" timpal Amir. 

"Orde Reformasi yang berorientasi sistem ekonomi liberal (neolibs) memrioritaskan pemberian lahan ke perusahaan swasta lewat pola HGU! Pola ini menguasai sebagian besar bekas hutan produksi Kalimantan! Transmigrasi yang dilakukan sporadis (asal ada) dialihkan ke NTT dan Papua yang wilayahnya tak mendukung!" "Begitulah, landreform pola transmigrasi lesu, distribusi tanah era Reformasi diutamakan pada perusahaan besar (satu HGU bisa puluhan ribu hektare), distribusi tanah ke rakyat jadi nyaris tak ada, saat terpicu meledaklah tuntutan landreform dalam bentuk bagi-bagi tanah langsung yang sejauh ini modelnya masih jadi alergi kalangan elite politik!" tegas Umar. "Terutama elite politik yang membuat komitmen moratorium kawasan bekas hutan produksi tak akan digarap jadi lahan pertanian! Jadi, bagaimana mau melakukan landreform, lahan untuk dibagi-bagi tak ada!" ***
Selanjutnya.....

Karakter Tak Bisa Cuma Diajarkan!

SEBUAH pesawat kecil membawa tiga penumpang, politikus bersafari, kiai bersorban, dan remaja berseragam pramuka duduk di tengah. Si remaja menanya politikus tentang karakter bangsa. 

"Karakter bangsa kata Prof. Sunaryo Kartadinata dalam seminar di GSG Unila, Sabtu, bertolak dari mindset kebangsaan, seperti bangga pada karya dan kemampuan bangsa sendiri!" jelas politikus. "Mindset kebangsaan itu berorientasi pada cita-cita bangsa: memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, cinta Tanah Air, dan cinta damai dalam pergaulan dunia!" "Bagaimana amalan mindset itu?" potong remaja. "Rangkaian cita-cita itu mengandung nilai-nilai unik berakar pada budaya lokal yang mengaktual lewat kreativitas seni dan sikap hidup!" jawab politikus. 

"Aktualisasi cita-cita itu diawali aplikasi kultur (budi daya ekonomis) untuk penghidupan yang berkembang menjadi ekonomi berbasis nilai-nilai kreatif lokal yang unik!" "Jadi karakter dimulai dari sumber penghidupan?" kejar remaja. "Karena karakter itu harus dimulai dari nilai kerja keras (rajin, tekun, gigih), berorientasi pada mutu kerja (agar produknya bersaing), jujur, sabar, tanggung jawab, yang mencerminkan adanya kepribadian dengan pengendalian diri, cerdas, terampil, dan berakhlak mulia!" jelas politikus. 

"Tapi ekspresi karakter itu dalam kesatuan bangsa yang besar, perlu soft skill, kemampuan komunikasi, memahami, empati, toleransi, agar hidup harmonis di tengah realitas kebhinnekaan!" Sampai di situ pilot keluar dari kokpit memakai parasut dan berkata, "Maaf para penumpang, pesawat kita dapat masalah, kita harus loncat keluar dengan parasut! Itu ada dua parasut, silakan atur sendiri!" Pilot pun meloncat. Sepeninggal pilot, politisi langsung menyambar satu parasut dan tanpa berkata sepatah pun meloncat keluar menyusul pilot. Parasut tinggal satu, Pak Kiai senyum dan berkata ke remaja, "Kau masih belia, masa depanmu masih panjang, ambil sisa parasut itu untukmu!" 

"Pak Kiai jangan putus asa!" sambut remaja. "Tubuh Pak Kiai kurus, badanku juga kecil! Berat kita berdua tak seberat politikus yang buncit tadi! Jadi kita bisa terjun tandem, satu parasut berdua!" "Alhamdulillah!" timpal Kiai. "Terbukti, karakter tak bisa cuma diajarkan, seperti kata Prof. Ahman, Sekjen Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI), tapi harus dibiasakan dan ada keteladanan! Tanpa keteladanan seperti politikus itu, meski menggurui soal karakter tapi malah mengulang kebiasaannya menyelematkan diri sendiri dengan meninggalkan rakyat dalam masalah!" ***
Selanjutnya.....

DPR Belum Setuju Pembatasan BBM!

"DARI pernyataan anggota DPR Effendy Simbolon di Metro TV, Jumat (13-1), diketahui pembatasan BBM subsidi terhadap mobil pelat hitam yang akan dilakukan mulai 1 April 2012 ternyata belum dibahas dan disetujui DPR!" ujar Umar. "Simbolon mengingatkan agar pemerintah tidak mem-fait-accompli rakyat pembayar pajak pemakai mobil pribadi karena subsidi BBM dalam APBN memang diberikan buat mereka!"
"Pernyataan itu sejalan UU APBN 2012 yang telah mengalokasikan subsidi BBM Rp123,6 triliun! Lebih rendah dari UU APBN Perubahan 2011 Rp129,7 triliun yang realisasinya jadi Rp165,2 triliun!" timpal Amir. "Hal penting dari Simbolon, pertamax yang akan dipaksakan sebagai pengalihan dari premium itu sepenuhnya produk impor, sedang premium produksi Pertamina!" "Simbolon menggelitik, dalam pembatasan BBM bersubsidi yang dipaksakan tanpa dasar hukum jelas itu, kepentingan siapa sebenarnya yang dimenangkan dengan pengalihan 20 juta kiloliter dari premium produk Pertamina ke pertamax impor?" tukas Umar. "Lebih lagi, para pemilik mobil kelas atas selama ini sudah memakai pertamax!" "Selain dalam UU APBN 2012 belum ada ketentuan pemakaian dana hasil pembatasan BBM subsidi, baru ancang-ancang untuk memperbaiki jalan yang disampaikan secara verbal, bisa bertambah faktor negatif di balik rencana tersebut!" timpal Amir. "Masalahnya, belakangan ini penggunaan APBN untuk kepentingan terbatas elite (eksekutif dan legislatif) cenderung semakin tak terkendali!" "Justru itu nanti bisa dijadikan alasan menolak kebijakan tersebut dari kelas menengah bawah, yang sebagian besar menggunakan mobil odong-odong berpelat hitam sebagai sarana usaha—seperti antar-jemput anak sekolah, sampai aneka kegiatan mendukung usaha kecil!" tegas Umar. "Beda dengan petani yang diam berpuluh-puluh tahun dikalahkan tak kebagian tanah untuk bertani, 'kelas menengah odong-odong' tak bisa dianggap remeh karena mereka mampu membangun tekad bersama, sekaligus bisa nekat bersama—apalagi ada politisi mengipasinya!" "Pokoknya masih perlu sosialisasi lebih efektif lagi untuk membuat 'kelas menengah odong-odong' memahami, tujuan pemerintah membatasi BBM subsidi lebih penting dari pengorbanan mereka dengan membayar pertamax untuk mobil odong-odong-nya!" timpal Amir. "Sebab, kampanye konversi BBM ke gas sekarang tertuju pada angkot dan taksi yang mobil pelat kuning mereka BBM-nya justru masih disubsidi—tak kena pembatasan BBM! Sosialisasi yang tak kena sasaran!" *** _
Selanjutnya.....

Sapu Bersih Ranjau Paku dari Jalanan!

"DI tengah sibuknya warga seantero negeri demo mencari penyelesaian masalahnya akibat kelalaian penguasa, sekelompok relawan dari warga jelata Ibu Kota tekun menarik rangkaian magnet di jalanan untuk menyapu bersih ranjau paku yang sering mencoblos ban mobil dan motor!" ujar Umar. "Seperti diperlihatkan di berita televisi, pada satu ruas jalan saja mereka bisa dapat berkilo-kilo paku, yang ada di situ karena ada yang menebar!" "Murninya gerakan tanpa tokoh sentral atau sponsor terutama yang bertujuan cari muka, kerja para relawan itu justru bisa mengisi kekosongan rakyat dari keteladanan yang gagal dihadirkan para pemimpin!" timpal Amir. "Karena itu layak disampaikan salut pada Polda Metro Jaya yang menghargai para relawan dengan memberi jaket spotlite agar mereka bisa terlihat oleh pengendara saat bekerja di jalanan!" 

"Masalahnya bukan cuma soal keteladanan yang sukar didapat dari para pemimpin, tapi justru datang dari warga jelata!" tegas Umar. "Lebih jauh dari itu, para pemimpin malah menonjolkan cara kehidupan yang mau berlimpah-mewah sendiri tanpa memedulikan penderitaan rakyat! Sebagai contoh, ruang kerja Badan Anggaran DPR diperbaiki dengan biaya lebih Rp20 miliar padahal ruang kerja yang lama masih sangat baik, sementara di perdesaan tak jauh dari gedung DPR itu banyak bangunan sekolah Inpres yang lapuk tak kunjung direhab sehingga murid dan guru tak tenang belajar-mengajar!" "Uang lebih Rp20 miliar itu bisa merehab puluhan sekolah, menjamin keamanan ribuan murid dan guru dari runtuhnya bangunan!" timpal Amir. 

"Tapi begitulah nasib rakyat yang mungkin sedang diuji ketahanannya untuk bertahan hidup di bawah para pemimpin yang hanya memikirkan kepuasan dirinya semata! Tanpa kecuali mereka umumnya terikat kontrak sosial di bawah sumpah untuk mengutamakan kepentingan rakyat dari kepentingan pribadinya!" "Karena itu, munculnya keteladanan dari kerja untuk kepentingan orang banyak yang dilakukan benar-benar tanpa pamrih oleh relawan penyapu ranjau paku jalanan itu, menggugah kesadaran kita tentang pentingnya arti pengorbanan bagi sesama!" tegas Umar. "Sedihnya hal itu semakin susah diharap dari mayoritas pemimpin, justru muncul dari kalangan jelata! Akhirnya jaringan di kalangan jelatalah yang memperkuat akar bagi tegaknya bangsa! Sayang para pemimpinnya tak tumbuh sebagai batang yang kokoh, daun rindang, buah lebat, tapi cuma jadi benalu yang mengisap layu pohon negara-bangsa!" ***
Selanjutnya.....

Budaya Malu dan Moralitas Hukum!

DUA anak kampung maling menyusup ke grup muda-mudi priyayi agung. Mereka ikut belajar tata krama—etiket—setiap minggu. Usai belajar etiket di meja makan, si adik di jalan nyeletuk, "Sama dengan ajaran di kampung, waktu makan tak boleh ada suara sendok beradu piring maupun suara kecapan mulut saat mengunyah!" "Bedanya pada akibat jika tabu dilanggar!" timpal abangnya. "Di kalangan priyayi agung dengan ajaran etiket berakar pada etika, kalau makan ada bunyi sendok-piring dan kecapan mulut merasa sangat malu! Soalnya, di lingkungan priyayi agung itu dianggap tak mengenal adab (waktu makan) alias tak beradab! Karena bagi priyayi agung yang berorientasi budaya malu, praktek etiket itu merupakan ekspresi etika, sekaligus aktualisasi peradaban! Tak punya malu dinilai tak beradab!"
"Di kampung maling, apa akibatnya?" kejar adik. "Ajaran di kampung maling, kalau makan suara sendok dan piring beradu terdengar, ditambah bunyi kecapan mulut mengunyah, pemilik rumah terbangun dan maling itu ditangkap basah oleh warga!" jelas abang. "Dasar ajaran itu moralitas hukum, siapa bersalah dijerat hukum! Lemahnya moralitas hukum pada mekanisme kerjanya yang berdasar bukti! Di Jepang, penerobos lampu merah tak bisa berkelit karena ada kamera CCTV yang merekam buktinya! Di sini, ada polisi di simpang pun penerobos lampu merah sukar dibuktikan, bisa lolos jerat hukum!" "Apalagi koruptor kerjanya tak dipelototi polisi, tak pula mengeluarkan suara sendok-piring atau kecapan mulut, korupsinya tak bisa dibuktikan hingga selalu lolos jerat hukum!" timpal adik. "Bayangkan kalau dari setiap seribu koruptor belum tentu satu saja pun bisa dibuktikan!" "Moralitas hukum yang bisa dikalahkan oleh teknis pembuktian yang amat sulit itu, harus bisa diatasi dengan usaha memperkuat etika dengan budaya malu sebagai ujung tombaknya!" tegas abang. "Saat terkena masalah memalukan orang dapat aib, jika aib terbongkar dan beritanya merebak orangnya merasa wirang! Menyandang wirang, orang tak mampu unjuk wajah di depan publik!" "Masalahnya korupsi belum tergolong aib, hingga orang tak malu pamer harta hasil korupsi di muka publik!" tukas adik. "Malah ada orang hartanya berlimpah tak sesuai penghasilan formalnya menantang penegak hukum untuk membuktikan korupsinya! Dan penegak hukum tak berkutik!" "Lain hal kalau korupsi dianggap aib, orang malu memiliki harta di luar batas penghasilan halal!" timpal abang. "Tumpukan harta haram membuat orang merasa wirang! Tak ada KPK pun pertiwi bisa bersih dari korupsi!" ***
Selanjutnya.....

Obat Tidur dan ‘By Pass’ Mesuji!

BADU dirawat di rumah sakit karena stres! Malam hari saat ia tidur dibangunkan oleh perawat. Kesal terganggu tidurnya, ia menggerutu, "Mau apa?" "Bapak harus minum obat!" jelas perawat. "Ini sesuai perintah dokter!" Selesai minum obat ia tanya, "Obat apa tadi?" "Obat penenang, Pak!" jawab perawat. "Harus diminum supaya Bapak bisa tidur!" "Astaga!" sambut Badu. "Tak kau lihat aku tadi sudah tidur nyenyak, kau bangunkan untuk diberi obat supaya aku bisa tidur? Tepatnya, orang tidur kau bangunkan untuk diberi obat tidur!"
"Dalam obat tidur dari dokter itu terkandung obat untuk penyembuhan penyakit Bapak!" jelas sang perawat. "Karena itu, pesan dokter kalau pasien sempat tertidur tetap harus dibangunkan! Jadi, Bapak dibangunkan guna menyelesaikan masalah untuk apa Bapak dirawat di sini!" "Maksudmu tidak seperti Pemprov Lampung, usai dibangunkan oleh kasus Mesuji tidak diberi obat untuk menyelesaikan masalahnya, hingga cuma menggerutu kasus Mesuji itu mengganggu iklim investasi di Lampung?" timpal Badu. "Bisa saja begitu, Pak!" jawab perawat. "Tapi dengan begitu Pemprov malah menempatkan diri sebagai pasien—cuma terbangun karena ada yang membangunkan, lantas kesal dan menggerutu!" "Masalahnya cuma setelah bangun tak ada yang memberinya obat untuk menyelesaikan masalah, tapi obat tidur yang semata obat tidur hingga membuatnya ngantuk dan kembali tidur!" tegas Badu. "Karena di tengah keruwetan aneka macam orang dan lembaga dari luar yang mengacak-acak Lampung untuk memuaskan kepentingan masing-masing, warga baru berduyun-duyun datang ke Mesuji terus meningkat beribu-ribu, lembaga baru dengan orang baru lagi juga berdatangan memperumit masalahnya, idealnya Pemprov menyiapkan rancangan penyelesaian tuntas kasus Mesuji agar masalahnya nanti tak lagi terombang-ambing oleh tarik-tarikan kepentingan berbagai pihak—di antaranya yang cuma cari kesempatan dalam kesempitan!" "Kalau ada masalah kesempitan atau penyempitan seperti pada saluran vena jantung, mengatasinya harus dengan operasi by pass!" timpal perawat. "Artinya, dibuatkan jalan pintas baru sehingga saluran lama yang mungkin sudah jadi buntu tak menghambat lagi!" "Pemprov yang seharusnya melakukan operasi by pass!" tegas Badu. "Artinya, Pemprov harus mengikhlaskan segala macam orang, lembaga, atau badan itu bergumul mencari jalan keluar di vena yang menyempit dan jadi buntu!" ***
Selanjutnya.....

Koruptor pun kian Perkasa!

"HASIL survei dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) tentang kepercayaan publik pada pemberantasan korupsi menunjukkan publik tak lagi percaya pada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dalam pemberantasan korupsi!" ujar Umar. "Dalam pemberantasan korupsi selama ini, pemerintahan Yudhoyono dipersepsikan sangat buruk oleh publik!" (Kompas, 9-1). "Kalau pemerintahan Yudhoyono digambarkan tak berdaya melawan korupsi begitu, berarti korupsi justru semakin perkasa!" timpal Amir. "Seburuk apa persepsi publik pada kinerja pemerintah dalam pemberantasan korupsi?"

"Dalam survei nasional 8—17 Desember 2011 itu kepercayaan publik turun jadi tinggal 44%, dari angka 52% pada Desember 2010. Pada Desember 2009 tercatat 59%," jawab Umar. "Buruknya kinerja pemerintah dalam pemberantasan korupsi juga terlihat dari persepsi publik terhadap kinerja penegakan hukum secara nasional! Dalam catatan LSI, kondisi penegakan hukum Desember 2011 berada pada titik paling rendah, minus 7. Awal jatuhnya 2009, menjadi 5, dari 32 pada 2008! Pada Desember 2010 tinggal 2. Jadi, 2011 turun 9 poin!" 

"Kalau angkanya dari suhu normal 32 jadi minus jauh di bawah nol begitu, ibarat suhu minus 7 derajat, segalanya jadi beku!" timpal Amir. "Bisa beku begitu karena publik melihat banyak kasus masuk peti es! Dari kasus Century, lanjutan sisi pejabat polisi dan pajak kasus Gayus Tambunan seperti diekspos Susno Duadji, kasus wisma atlet dan Hambalang, sampai proyek Kemenakertrans yang terkesan dipagari dari kaitannya ke tokoh-tokoh di kisaran pusat kekuasaan—seperti kasus surat palsu MK! Semua itu jelas bisa membuat persepsi publik beku minus 7 derajat!" 

"Gawatnya, di balik kebekuan langkah penegakan hukum itu, dalam persepsi publik KPK tak dikecualikan, bahkan skornya cuma dipercaya 38,5%, lebih rendah dari polisi, 39,3%! Sehingga, terkesan kuat negeri ini dikendalikan para koruptor yang kian perkasa!" tegas Umar. "Tapi dari rangkaian kasus beku yang menjadi dasar penilaian publik tampak, penyebabnya sebagian besar di kisaran pusat kekuasaan!" "Karena itu perlu ditekankan, survei LSI ini bukan simpul pandangan kelas menengah, melainkan mewakili suara publik semua lapisan!" tegas Umar. 

"Menurut Kuskridho Ambardi, direktur LSI, (MI, 9-12) responden dipilih acak dari lulusan SD dan usia 17 tahun ke atas! Jadi buktikan sendiri, apakah sekarang koruptor kian perkasa dalam kehidupan bernegara hukum?" ***
Selanjutnya.....

Tumpul, Kepekaan Realitas Pejabat!

DUA anak yang mendapat warisan masing-masing seekor kambing susah membedakan kambingnya. "Agar beda, kambingku kupotong ekornya ya?" usul si adik. "Jangan! Kasihan!" cegah si abang. "Kita bawa ke Bang Umar saja untuk memastikan!" Mendapat kehormatan, Umar segera mengambil pengukur kain dari laci mesin jahit di rumahnya. "Untuk memudahkan kambing mana milik siapa," ujar Umar, "Kambing yang putih ini lebih tinggi 1 centimeter daripada yang hitam!" "Wah, kedua anak itu calon pejabat atau politisi!" timpal Amir saat mendengar pengalaman Umar. "Pejabat susah membedakan realitas yang jelas dan faktual secara kasat mata, tapi lebih sok paham dengan ukuran kuantitatif (angka-angka) atau standar artifisial! Akibatnya, kemiskinan bukan disikapi sebagai realitas perderitaan warga yang hidup compang-camping serbakekurangan, melainkan sekadar angka persentase penduduk, lewat ukuran konsumsi rupiah per jiwa per bulan yang dibuat justru dengan mengecilkan arti kemiskinan karena tidak mengacu standar universal!" 

"Celakanya, ukuran artifisial itu menumpulkan kepekaan pejabat pada realitas yang kualitatif, lalu dijadikan tameng untuk mengelak dari keharusan menangani realitas penderitaan yang benar-benar dirasakan rakyat pedihnya!" tegas Umar. "Tak sedikit pun bermaksud merendahkan pendekatan kuantitatif sebagai salah satu tradisi intelektual! Tapi kalau pendekatan itu dipaksakan untuk mengingkari realitas kualitatif, yang justru merupakan dasar pijakan intelektualisme dalam keilmuan (science), pengingkaran pada realitas justru salah satu jenis betrayal of the intelectual! Idealnya, kedua sayap mengepak bersama!" "Apalagi kalau tumpulnya kepekaan pejabat pada realitas dengan menerlantarkan rakyat dalam penderitaan itu dilakukan demi mengutamakan pemuasan kepentingan dirinya, kroninya, serta golongan politiknya semata!" timpal Amir.

"Hal terakhir ini juga relevan pada politisi, yang segala sesuatunya diorientasikan untuk memenangkan pemilu mendatang, jika untuk itu harus berpihak pada kepentingan warga miskin maka dilakukan, tapi bukan sebagai tujuan, karena tujuan yang sebenarnya adalah memenangkan pemilu guna meraih kekuasaan!" "Karena itu, usaha meningkatkan kesejahteraan warga miskin tidak sistemik, tapi lebih cenderung acak dan sporadis—sekadar jalan mencapai kekuasaan!" tegas Umar. "Kepekaan terhadap realitas pun tak konsisten, sebatas dukungannya pada kepentingan politik!" ***
Selanjutnya.....

Frustrasi kian Masif, 'Bantu Dorong Dong!'

LEWAT tengah malam Edi terbangun dari nyenyak tidurnya oleh suara ketukan di pintu rumahnya. "Bantu dorong, dong!" pinta pria di muka pintu. Tanpa berkata sepatah pun Edi menutup pintunya dan kembali ke kamar. "Orang minta tolong kok tak dibantu?" tanya istrinya. "Orangnya mabuk! Bau alkohol!" jawab Edi. "Tapi waktu mobil kita mogok, membangunkan orang juga untuk minta tolong!" ujar istri. "Masak maunya minta tolong saja, tak mau menolong?" "Okelah!" tegas Edi beranjak keluar. Tapi saat melongok ke jalan, tak ada mobil mogok. "Hai! Sobat yang baru minta tolong! Ada di mana?" "Di sini!" jawab yang dicari. "Di ayunan samping rumahmu! Bantu dorong dong!"
"Geblek!" entak Edi kembali masuk rumah. "Lewat tengah malam membangunkan orang cuma minta didorong ayunannya!" "Jangan sewot!" ujar istri menyambut Edi kembali ke kamar. "Yang penting kita dengan niat baik dan ikhlas untuk menolong! Mungkin ini sudah tertulis di sononya, siapa tahu terangkai dengan rencana besar-Nya yang baik buat kita!" "Menjaga diri untuk selalu berprasangka baik dan optimistis memang perlu!" jawab Edi. "Terutama menghadapi situasi di luar rumah yang semakin disesaki orang frustrasi! Sedihnya, seperti sobat di samping rumah, minum arak buat mencari jalan keluar hasilnya malah menyiksa diri!" "Frustrasi terjadi karena kehabisan alternatif buat jalan penghidupan! Bisa bikin orang bertindak irasional" tegas istri. "Contohnya ribuan orang berduyun-duyun dari segala penjuru ke kawasan Register 45, justru setelah melihat berita televisi di situ banyak orang menderita akibat digusur dari lahan garapannya! Ribuan orang yang datang dalam tempo singkat itu bukan untuk menolong yang menderita ditenda-tenda plastik, melainkan untuk ikut menderita di tenda plastik mereka sendiri!" "Kedatangan mereka itu ada yang membawa anak-istri!" timpal Edi. "Begitulah frustrasi massa, realitas frustrasi yang terjadi masif! Anehnya, realitas tersebut nyambung dengan kebanggaan penguasa atas sukses makroekonomi di akhir tahun, dengan tercapainya angka inflasi 3,79%!" "Angka inflasi serendah itu tercapai berkat makin masifnya warga yang frustrasi kandas daya belinya, seperti ribuan mereka yang frustrasi di tenda darurat Mesuji!" tegas istri. "Maka itu, jangan mudah marah kalau jumpa orang frustrasi main ayunan di pekarangan rumah lewat tengah malam! Juga di pasar, angkutan umum, jalan, dan ruang publik lainnya! Bersikap maklum lebih bijak saat melihat gelagat orang sedang frustrasi!" ***
Selanjutnya.....

Bukti Lampung Masih Bertuan!

SETELAH berlarut-larut berbagai orang dari segala penjuru dengan aneka gaya dan legalitas mengacak-acak Lampung dan memberi stigma yang serbaseram, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Lampung pekan ini 'bangun dari tidurnya' dan menolak kesimpulan sementara Tim Pencari Fakta (TPF) bahwa ada pelanggaran HAM di Register 45, Mesuji!" ujar Umar. "Disampaikan oleh Sekretaris Provinsi (Sekprov) Berlian Tihang, yang dilakukan adalah penertiban areal Register 45 tersebut dari perambah hutan! Kalau ada seorang perambah tewas, itu akibat tindakan bela diri petugas dari perlawanan perambah!" "Terpenting bukan sekadar isi pernyataannya, tapi kemunculan Pemprov di tengah hiruk-pikuk tudingan buruk ke daerahnya yang membuktikan Lampung masih bertuan!" timpal Amir. "Tentu saja diharapkan, setelah kemunculan Pemprov ini situasi kalang-kabut yang mengesankan Lampung sudah seperti daerah tak bertuan bisa diakhiri!" 

"Untuk itu, setelah membantah ada pelanggaran HAM, Pemprov juga akan membuat laporan ke Presiden SBY tentang duduk soal dan apa yang sebenarnya terjadi!" tegas Umar. "Lewat itu jelas, perspektif masyarakat diperkaya dengan fakta-fakta versi pemerintah! Sehingga, masyarakat tak lagi dipaksa juling, melihat hanya dengan satu sisi pandang saja! Bagaimana cara warga menilai dari menarik kesimpulan dengan semua sisi pandang yang lengkap, merupakan hak setiap warga!" "Lebih dari itu, kemunculan Pemprov dengan otoritas kekuasaan formal atas semua pernyataan dan tindakannya, diharapkan bisa mempercepat penguraian benang permasalahan yang telanjur kusut-masai!" timpal Amir. 

"Bersamaan dengan arah langkahnya mencapai solusi, juga harus bisa meredam gejolak masalahnya yang sempat membara dengan efek domino yang masih terus berlanjut—dari Mesuji (kawasan pantai timur) meruyak ke Tulangbawang (BNIL dan AWS) kini merambat ke pantai barat, Bengkunat!" "Dengan begitu, kemunculan Pemprov itu bukan sekadar nongol dan ikut cuap-cuap belaka, melainkan tampil sepenuhnya dengan kekuasaan problem solver, menyelesaikan masalah hingga tak satu pun unsur lain—apalagi yang tak jelas dasar dan legalitasnya—tidak bisa lagi seenaknya mengacak-acak di Lampung!"
Selanjutnya.....

Lebih Banyak Orang yang Jatuh Miskin!

"DIBANDING warga yang mentas dari bawah garis kemiskinan di seluruh Indonesia sebesar 0,13% atau 129,1 ribu orang, dari Maret 2011 jumlahnya 30,02 juta orang jadi 29,89 juta orang September 2011, lebih banyak yang terjatuh dari kelompok mampu ke permukaan garis kemiskinan, istilah teknis BPS jadi nyaris miskin, sebesar 685,9 ribu orang!" ujar Umar. "Itu, lima kali lipat dari jumlah orang yang mentas dari bawah garis kemiskinan!" "Pokoknya, makin berjubel yang masuk golongan ekonomi lemah!" timpal Amir. "Masalah ini cukup musykil, sebab pembengkakan golongan ekonomi lemah terjadi justru saat isyarat makro ekonomi baik, pertumbuhan ekonomi 6,5%, inflasi 3,79%!" "Kenapa musykil? Justru itu konsekuensi logis dari sistem neoliberalisme—neolibs—saat singa dan macan (pemodal sangat kuat bahkan asing) dijadikan satu gelanggang dengan kambing alias ekonomi lemah!" tegas Umar. "Jumlah 685,9 ribu orang gugur di pasar neolibs itu baru tahap awal! Tahap berikutnya bisa jauh lebih masif lagi!" 

"Memang, warung retail jaringan asing kini sudah merasuk jauh pelosok desa!" timpal Amir. "Jangan dibilang lagi kalau di kota, pasar tradisional kandas! Pertahanan terakhir pasar tradisional tinggal pada budaya belanja kaum ibu kita!" "Budaya belanja seperti apa?" kejar Umar. "Budaya belanja suka menawar harga!" jelas Amir. "Dengan bisa tawar-menawar langsung harga setiap barang yang dibeli, kebanyakan kaum ibu kita bisa merasakan kepuasan dalam berbelanja! Di pasar modern, semua barang diberi banderol harga pasti!" "Di pasar modern ada obral diskon!" timpal Umar. "Tetap saja tak ada proses tawar-menawar!" tegas Amir.

"Itu berarti, dalam bersaing dengan kekuatan modal raksasa kelas dunia yang terjun bebas bersaing dengan pedagang lokal yang lemah modal di arena pasar neolibs, aneka kekuatan budaya lokal yang disebut kearifan lokal atau lokal genius harus bisa dijadikan andalan!" "Tapi itu saja tidak cukup! Lokal genius itu cuma bisa seperti tanduk kambing, meski panjang dan tajam selalu kecil artinya buat menghadapi singa dan macan!" tegas Umar. "Jadi, tetap perlu sistem yang strategis agar kambing tak dimangsa singa!" "Berarti sistem ekonomi kita harus dikembalikan ke garis konstitusi!" timpal Amir. "Sayangnya, itu bisa bertentangan dengan strategi proneolibs yang diterapkan pemerintah! Tak mungkin kita menentang pemerintah! Akibatnya, cuma bisa pasrah jika kerontokan masuk golongan ekonomi lemah semakin masif!" ***
Selanjutnya.....

Jadwal Penerbangan yang Tepat Waktu!

OPERATOR telepon pul taksi menelepon sopir, "Itu pilot langgananmu marah kau terlambat sampai rumahnya! Cepat jemput, dia tunggu!" "Aku terjebak macet! Tapi sudah dekat rumahnya kok!" jawab sopir. "Tapi biasanya justru dia yang menyuruh aku tenang, tak perlu buru-buru kayak mobil jemputan kantor, bisa bahaya! Kata dia, karena dia pilotnya, terlambat sedikit tak masalah, pesawat baru berangkat setelah ada pilotnya!" 

"Hal itu dia sebutkan juga tadi!" timpal operator. "Katanya sekarang sudah berbeda, mulai tanggal 1 Januari ada aturan baru, maskapai yang men-delay jadwal terbang pesawatnya dikenakan sanksi, bentuknya sampai denda tunai yang harus mereka bayar kepada setiap penumpang!"

 "Huahaha..! Itu baru adil!" tukas sopir. "Aku sering dapat penumpang yang marah-marah sepanjang jalan karena baru mengalami nasib buruk, delay pesawat yang ditumpangi bersambung-sambung, dari delay pertama ke delay kedua, di-delay lagi malah lebih lama! Ada yang delay-nya di-SMS ke dia, lalu ia lebih cepat ke bandara untuk mengejar jadwal pesawat terdahulu, ternyata harus bayar ratusan ribu memajukan waktu terbangnya!" "Jangan-jangan delay itu dilakukan sebagai trik bisnis agar orang memajukan jadwal terbang dan kena tambahan bayaran telak!" timpal operator. "Banyak penumpang yang curiga begitu!" tegas sopir. 

"Itu membuat penumpang jengkel karena kalau memang pesawat terdahulu ada seat kosong, sebagai jalan keluar kelemahan maskapai tak bisa menepati jadwal terbangnya hingga melakukan delay, seharusnya tak harus dikenakan bayaran ekstra! Jadi, situasinya terbalik! Kata penumpang, maskapai yang wanprestasi tak bisa berangkat tepat waktu, malah penumpang yang didenda kalau mau terbang lebih cepat! Itu kan menjadikan penumpang sebagai kambing congek! Dipandang remeh, diperlakkukan sesuka-suka maskapai saja! Padahal, semboyan jualannya penumpang adalah raja!" 

"Mungkin regulator penerbangan nasional melihat gelagat buruk perlakuan maskapai kepada para penumpangnya itu, hingga membuat aturan yang memberi sanksi buat delay!" timpal operator. "Tapi aturan baru itu masih longgar, ketentuan denda baru berlaku untuk delay empat jam!" "Aturan itu yang penting semangatnya agar maskapai penerbangan tak memperlakukan para penumpang langganan setia mereka selayak kambing congek lagi!" tegas sopir. 

"Semangat lain aturan itu tentu memperbaiki ketepatan jadwal penerbangan domestik, agar delay-men-delay tak lagi sekacau belakangan ini!" ***
Selanjutnya.....

Era Mobil Nasional Buatan Murid SMK!

"WALI Kota Solo Joko Widodo dan wakilnya mulai Selasa (3-1) memakai mobil dinas buatan murid Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) 1 Singosari, Malang!" ujar Umar. "Pilihan Jokowi—panggilan akrab Wali Kota Solo—itu memakai mobil nasional buatan anak SMK itu luar biasa, terutama dalam menghargai karya anak negeri untuk mendorong putra-putri bangsa berprestasi lebih gemilang!" "Memang, meski mobil Esemka seri Kiat itu masih pakai mesin Timor (sedan) 1.500 cc dimodifikasi, sisanya pada mobil berbodi gaya SUV (sport utility vehicle) itu sepenuhnya buatan Indonesia hasil rekayasa siswa SMK!" timpal Amir. "Dengan begitu, ada dua yang harus diacungi salut! Pertama, SMK 1 Singosari yang berhasil mendidik muridnya untuk melahirkan mobil nasional—kebanggaan yang lama diimpikan bangsa! Kedua, salut pada Jokowi yang merespons positif prestasi anak SMK itu, membuat anak-anak bangsa lebih optimistis pada arti prestasinya bagi masa depan bangsa!" 

"Salut buat Jokowi hasil pilihan 90% suara pemilih Pilkada Solo karena lazimnya kepala daerah membeli mobil dinas LC (Land Cruiser) 4.000 cc di atas Rp1 miliar, dia memilih mobil dinas di bawah Rp200 juta, buatan murid SMK pula!" tegas Umar. "Salut buat SMK Singosari mendorong SMK lain setanah air ikut berbangga dan termotivasi untuk berpacu mengikuti jejak prestasinya!" "SMK di Lampung juga banyak yang berprestasi, lulusannya mampu bersaing di lapangan kerja!" timpal Amir. "Bahkan film dokumenter karya murid SMKN 5 Bandar Lampung Desember 2011—untuk kesekian kalinya—keluar sebagai juara 1 Festival Nasional Film Pelajar di Yogyakarta! Artinya, prospek SMK dalam pembangunan sumber daya manusia semakin bisa diandalkan!" "

Dari semua itu, diharapkan para orang tua yang secara nyata tak memiliki napas panjang dalan keuangan, lebih tepat mengarahkan anaknya masuk SMK, bukan ikut bersaing di sekolah umum yang berorientasi ke jalur pendidikan untuk meraih gelar sarjana!" tegas Umar. "Sebab, kalau keuangan orang tuanya cekak, tak mampu mengikuti masa pendidikan yang panjang (long term education), sayap anak patah—tak lagi bisa terbang menggapai cita-citanya!" "Tapi, dalam masyarakat yang cenderung bersikap feodal, gelar sarjana bukan standar kemampuan intelektual, tapi lebih sebagai status sosial, sekolah kejuruan cuma diminati warga kelas menengah bawah!" timpal Amir. "Maka itu, prestasi SMK yang meroket kini diharapkan bisa membalikkan cara pandang sedemikian! Itu diperkuat realitas, kian panjangnya barisan sarjana penganggur!" ***
Selanjutnya.....

Solusi Mudah Kasus Mesuji!

"DARI kesepakatan tiga perusahaan terkait dengan kasus Mesuji di Kemenkum dan HAM, Jumat (30-12-11), serta rekomendasi Tim Pencari Fakta (TPF) bentukan Presiden SBY yang disampaikan kepada Menko Polhukham, Senin (2-1), solusi kasus Mesuji yang gempar itu ternyata mudah!" ujar Umar. "Mudah bagaimana?" potong Amir mengentak. "Mudah dilaksanakan, baik oleh ketiga perusahaan maupun pemerintah—yang direpresentasikan TPF!" jelas Umar. "Pihak perusahaan dijamin mau dan dengan senang hati melaksanakan kewajiban yang mereka sepakati! Yaitu, bersikap ramah pada warga sekitar lokasi perusahaan, siap memberi 5% lahan produksi untuk program PIR warga sekitar, dan menyalurkan CSR (corporate social responsibility) kepada warga sekitar lokasi usaha!" 

"Kalau seperti itu kesepakatannya, perusahaan bisa melaksanakan semudah membalik telapak tangan!" timpal Amir. "Tanpa kecuali untuk kredit bank buat plasma PIR, perusahaan harus menjadi avalis—penjamin yang menutup risiko jika debitur wanprestasi! Lalu seperti apa rekomendasi TPF?" "Rekomendasinya, mendorong proses hukum atas kasus tersebut dan memberi pendampingan pada tersangka!" jawab Umar. "Lalu memberi biaya perawatan kepada para korban, memperbaiki standar profesionalitas pamswakarsa! Kemudian, secara umum membenahi sistem dan aturan main hal-hal yang terkait dengan masalah ini, utamanya soal keagrariaan! Terlihat kan, semua isi rekomendasi itu merupakan hal-hal mudah bagi pemerintah—asal mau melaksanakan!" 

"Dari kedua sisi itu, perusahaan dan pemerintah, solusi kasus Mesuji itu tampak mudah sekali!" tukas Amir. "Namun, karena semua sendi solusi itu harus dilaksanakan bersama-sama dengan warga masyarakat yang terkait dengan kasusnya, solusi mudah itu untuk sementara diposisikan sebagai alternatif, atau tepatnya sebuah versi!" "Memang!" tegas Umar. "Tapi, karena TPF sendiri juga masih akan turun ke lapangan lagi untuk menyempurnakan rekomendasi akhir mereka, rumusan mudah itu bisa mulai disosialisasikan, dengan timbal baliknya rumusan kepentingan pihak warga masyarakat juga cepat disiapkan!" "Justru rumusan kepentingan warga itu bisa lebih sulit dibuat akibat makin semrawutnya kondisi di Mesuji, seperti pengamatan anggota DPD Anang Prihantoro, ribuan orang muncul untuk ikut minta pembagian tanah, termasuk lewat calo yang menawarkan Rp10 juta—Rp12 juta/2 hektare lahan!" timpal Amir. "Menentukan siapa yang berhak saja jadi ruwet, makan waktu!" ***
Selanjutnya.....

Polisi yang Disiplin dan Profesional!

SAAT Umar menyetir santai di lintas Sumatera, seorang pengendara sepeda motor besar menyalip sambil berteriak, "Siapa pernah mengendarai Harley?" "Sok amat itu orang!" entak Umar lalu memacu mobilnya. Tapi tak terkejar. Ternyata di tikungan tajam pengendara sepeda motor besar itu terkapar di rumput kiri jalan, sepeda motornya di parit kanan jalan! Umar menghentikan mobilnya dan bergegas, si pengendara sepeda motor yang telentang menyambut Umar, "Pernah naik Harley? Di mana remnya?" "Seperti motor lain!" jawab Umar. "Remnya di depan pijakan kaki kanan!" "Memangnya tempat rem motor di situ?" sambut pengendara Harley. "Ya ampun!" sela Amir yang bersama Umar. "Letak rem saja tak tahu, kau kendarai motor besar?" "Hua, ha..ha!" Umar terbahak. "Sama! Pasukan kecil atau besar remnya terletak pada disiplin! Tapi seperti pasukan Brimob di Pelabuhan Sape, Bima, meskipun telah ada perintah berhenti menembak tapi terus dar-der-dor dan menyerang, maka masalah besar kepolisian kita pada 2012 adalah tempat remnya, memastikan tegaknya disiplin!" 

"Lebih serius lagi penegakan disiplin itu berkaitan dengan usaha memantapkan polisi sebagai aparat sipil!" timpal Amir. "Coba putar ulang pelaksanaan tugas polisi setiap menghadapi demo massa, baik mahasiswa maupun warga sipil, sebagian besar bukan sekadar berujung bentrokan polisi dengan massa! Penanganannya tidak terpola sebagai pengendali massa, sering seperti tim sepak bola yang terpancing gaya permainan lawan—kalau lawan main lempar batu, polisi ikut lempar batu! Padahal petugas keamanan harus selalu beyond—melampaui—yang dilakukan warga sipil untuk mengatasinya!" "Beyond dimaksud bukan melampaui jenis senjata yang digunakan, atau kerasnya pukulan, melainkan sebagai aparat sipil harus lebih unggul dalam melakukan berbagai cara sesuai dengan sistem demokrasi, mulai pendekatan persuasif sampai membuka jalan perundingan menuju solusi yang adil!" tegas Umar. 

"Usaha ke arah itu terlihat memang sering dicoba, tapi selain kurang persuasif dalam arti tak memberi ruang bargain bagi warga, juga terlalu berpihak penguasa yang justru menutup diri atas kecurangan yang diprotes massa! Contohnya, wakil massa minta waktu dialog dengan pimpinan daerah saja tak diberi kesempatan, malah konyol, memilih bentrok—adu fisik—polisi dengan massa!" "Dengan begitu yang menonjol justru sebagai aparat sipil polisi sangat tidak profesional!" timpal Amir. "Artinya, selain mengefektifkan rem disiplin, pematangan profesionalitas sebagai aparat sipil menjadi prioritas pembenahan Polri 2012!" ***
Selanjutnya.....