"NEK, pepaya gendut dan pisang besar-besar yang kulihat masak di pohon kemarin kok jadi pepaya kecil dan pisang kempet di hidangan?" tanya cucu.
"Pepaya gendut itu tak habis kita makan, sisanya bisa mubazir! Jadi kita makan yang kecil saja!" jawab nenek. "Juga pisangnya, bagian atas tandannya besar-besar tak bisa kita habiskan! Jadi cukup sisir terbawah!"
"Jadi pepaya dan pisang yang besar dijual?" kejar cucu.
"Dengan harga baik!" jawab nenek. "Terpenting, setelah bisa memenuhi kebutuhan sendiri, kita juga mampu memberikan yang berkualitas terbaik pada orang lain, pada masyarakat! Bayangkan jika setiap orang di negeri ini bisa memberikan yang terbaik dari dirinya kepada orang lain, pada masyarakat, betapa dahsyat kebaikan-kebaikan yang terbaik merebak pesat dinikmati segenap warga bangsa!"
"Kalau lewat jual beli begitu cuma orang berduit yang mampu meraih yang terbaik!" timpal cucu.
"Itu bisa terjadi ketika kebaikan yang terbaik serbaterbatas dalam masyarakat, hingga hanya yang mampu meraih saja yang bisa menikmatinya!" tegas nenek. "Dalam masyarakat yang budaya transaksionalnya mature—dewasa—seperti di Jepang, kalangan kuat (elite politik, pengusaha, dan kelas menengah) selalu memberikan yang terbaik pada kalangan lemah (petani, nelayan, buruh). Politisi yang kebijakannya merugikan kaum lemah dijatuhkan beramai-ramai, seperti dialami Sinzo Abe, 2007. Berbeda dengan budaya transaksional masyarakat kita yang kekanakan, lewat pemberian sembako satu kresek pada si lemah, politisi mendamba posisi sosial terbaik!"
"Jadi budaya transaksional nenek maksud bukan seperti money politics di politisi kita?" kejar cucu.
"Jauh panggang dari api!" tegas nenek. "Budaya transaksional merupakan tahap ketiga sistem sosial berbasis komunikasi! Tahap pertama linear, satu arah, sistem instruksional, elite mendominasi massa secara sepihak! Tahap dua interaksional, dialogis, tapi dialognya cuma sebatas kepentingan elite! Barulah tahap ketiga budaya transaksional, multilog semua pihak berorientasi pada kepentingan masing-masing! Kekhasan budaya transaksional pada pihak yang kuat berbasis etika untuk selalu lebih mengutamakan kepentingan pihak yang lemah—bukan menindasnya! Keadilan bisa diukur secara eksak lewat proses transaksi nilai tukar produk dengan patokan regulatif!" "Jadi, patokan harga beras terendah di Jepang 300 yen/kg (setara Rp33 ribu) itu bagian dari realisasi nilai budaya transaksional?" timpal cucu. "Itu patokan sikap pihak si kuat untuk memberi yang terbaik pada kalangan lemah!" tegas nenek. "Proses transaksi 'nilai' yang berkeadilan!" ***
"Jauh panggang dari api!" tegas nenek. "Budaya transaksional merupakan tahap ketiga sistem sosial berbasis komunikasi! Tahap pertama linear, satu arah, sistem instruksional, elite mendominasi massa secara sepihak! Tahap dua interaksional, dialogis, tapi dialognya cuma sebatas kepentingan elite! Barulah tahap ketiga budaya transaksional, multilog semua pihak berorientasi pada kepentingan masing-masing! Kekhasan budaya transaksional pada pihak yang kuat berbasis etika untuk selalu lebih mengutamakan kepentingan pihak yang lemah—bukan menindasnya! Keadilan bisa diukur secara eksak lewat proses transaksi nilai tukar produk dengan patokan regulatif!" "Jadi, patokan harga beras terendah di Jepang 300 yen/kg (setara Rp33 ribu) itu bagian dari realisasi nilai budaya transaksional?" timpal cucu. "Itu patokan sikap pihak si kuat untuk memberi yang terbaik pada kalangan lemah!" tegas nenek. "Proses transaksi 'nilai' yang berkeadilan!" ***
0 komentar:
Posting Komentar