Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Kesenjangan, Ketimpangan Picu Konflik!

"PENDAPATAN per kapita Indonesia dewasa ini tercatat 3.500 dolar AS per tahun, dengan kurs Rp9.000/dolar AS berarti Rp31,5 juta!" ujar umar. "Sedang garis kemiskinan BPS terakhir Rp244 ribu (dibulatkan) konsumsi per kapita per bulan, atau Rp3,028 juta/tahun! Jauh sekali jarak antara garis kemiskinan yang belum terjangkau puluhan juta warga bangsa dan pendapatan per kapita sebagai angka rata-rata penghasilan warga!" "Realitas, pendapatan minoritas elite bangsa jauh di atas rata-rata, sedang mayoritas massa jauh di bawah rata-rata!" timpal Amir. "Anggota DPR, misalnya, dengan gaji lebih Rp60 juta/bulan, satu tahun di atas Rp720 juta—lebih 20 kali lipat di atas rata-rata! Itu belum termasuk fasilitas yang dinikmati, ruang kerja serbamewah, perjalanan ke luar negeri dengan uang saku besar, sampai peluang objekan seperti dituduhkan ke anggota Banang Wa Ode Nurhayati, sekali sabet Rp6 miliar!"

"Nyata, amat jauh jarak pendapatan elite yang jauh di atas rata-rata (per kapita) dari mayoritas warga bangsa yang pendapatannya di bawah rata-rata, konon lagi mereka yang masih di bawah garis kemiskinan!" tegas Umar. "Jarak yang amat jauh pendapatan elite dengan massa itu, lazim disebut jurang ketimpangan pendapatan yang amat dalam—hingga praktis tak terjembatani!" "Tapi jurang ketimpangan yang amat dalam itu hanya akibat!" timpal Amir. "Penyebabnya justru kesenjangan—jarak pemisah—yang amat jauh pula antara elite dan rakyatnya! Ketimpangan pendapatan yang amat jauh itu aktualisasi dari realitas kesenjangan elite dari rakyatnya—dengan perjuangannya untuk kepentingan rakyat cuma sebatas penghias bibir alias retorika, buktinya elite selalu lebih mengutamakan kepentingan dirinya!" "Kesenjangan dan ketimpangan yang demikian mengerikan jelas menjadi pemicu konflik—antara segelintir elite yang menguasai sebagian besar pendapatan dan aset nasional dengan mayoritas warga bangsa yang kebagian hanya sebagian kecilnya saja!" tukas Umar. "Namun, sebagian saja dari konflik tersebut mengaktual dalam konflik vertikal massa lawan pejabat dan korporasi (seperti di Bima). Sebagian lagi beralih jadi konflik horizontal—akibat langka sumber pendapatan di lapisan bawah, massa berebut tulang—seperti rebutan lahan parkir dan sejenisnya!" "Artinya, kalau ada mekanisme lebih adil untuk mengalirkan pendapatan dan aset nasional dari penguasaan segelintir elite ke mayoritas massa, gejala konflik rebutan tulang akibat kelangkaan bisa dikurangi!" tegas Umar. "Tapi apa mau elite mengurangi bagiannya yang berlimpah, semisal penurunan gaji anggota DPR? Sukar diharap!" ***

0 komentar: