Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Konflik Horizontal Rumput Kering!

"KENAPA warga sekarang jadi sensitif sekali, salah pengertian atau tersinggung sedikit saja langsung saling serang, rusak-rusakan, bakar-bakaran?" tanya Umar. "Konflik horizontal itu terjadi di berbagai daerah, tanpa kecuali Lampung!" "Mudahnya emosi warga tersulut berlanjut jadi bentrok atau amuk massa yang tak terkendali, umumnya akibat kesulitan ekonomi sehingga kondisi mayoritas warga kini sudah menyerupai rumput kering!" timpal Amir. "Sebab akibat jadi rentannya kondisi sosial-ekonomi setiap kelompok massa tentu spesifik dan variatif, bertolak dari ketakadilan yang merajalela, maupun salah kelola negara hingga penindasan antarstruktur sosial yang kian menguat! Akibatnya, realitas akhir semua kelompok akar rumput sama rentannya—pantang tersinggung, meledak!" 

"Kondisi sosial-ekonomi yang semakin jauh dari kecukupan itu juga membuat struktur sosial kian renggang, pengikat strukturnya (kohesivitas) melemah! Belum tentu disharmoni, bisa jadi cuma makin kurang akrab saja!" tegas Umar. "Tapi, ketika muncul pemicu, meskipun sepele seperti tersinggung, salah pengertian, konflik yang tak jelas asal-usulnya meletus—seperti sering terjadi pada bentrok antarwarga di kota besar! Apalagi kalau memang ada konflik kepentingan nyata seperti berebut lahan parkir, kondisi kritis sosial-ekonomi jadi energi 'perjuangan' yang rasional!" "Beraneka alasan bisa berpadu memicu bentrok horizontal, jika satu hal tak dimiliki—wakgeng!" timpal Amir. 

"Wakgeng itu istilah gampangnya buat seorang tokoh karismatik yang diikuti ucapan dan sikapnya oleh suatu kelompok warga, dia juga disegani, bisa dipercaya, dan dijadikan jaminan oleh pihak-pihak luar kelompoknya! Jika ada wakgeng, setiap ada masalah antarkelompok, anggota kelompok menyerahkan masalahnya kepada wakgeng yang kemudian menyelesaikan tuntas keluar dan ke dalam kelompoknya!" "Disayangkan, tokoh masyarakat kelas wakgeng yang pengaruhnya efektif ke dalam dan keluar kelompoknya itu kian langka, sedang yang tersisa justru tokoh yang gemar hitung kepala warganya untuk 'didaftar' jadi pendukung calon tertentu saat pilkada!" tukas Umar. "Tokoh model itu justru bersaing pengaruh membawa kelompoknya mendukung calon unggulan masing-masing sehingga pengaruhnya perlahan tererosi oleh kepentingan sempit! Sedihnya hal demikian menggejala luas, hingga tokoh panutan yang mampu menentukan hitam-putihnya sikap suatu kelompok kian langka dalam masyarakat! Tersisa cuma 'tokoh politik' yang lebih berorientasi pada kepentingan pribadinya semata!" ***

0 komentar: