DUA anak kampung maling menyusup ke grup muda-mudi priyayi agung. Mereka ikut belajar tata krama—etiket—setiap minggu. Usai belajar etiket di meja makan, si adik di jalan nyeletuk, "Sama dengan ajaran di kampung, waktu makan tak boleh ada suara sendok beradu piring maupun suara kecapan mulut saat mengunyah!"
"Bedanya pada akibat jika tabu dilanggar!" timpal abangnya. "Di kalangan priyayi agung dengan ajaran etiket berakar pada etika, kalau makan ada bunyi sendok-piring dan kecapan mulut merasa sangat malu! Soalnya, di lingkungan priyayi agung itu dianggap tak mengenal adab (waktu makan) alias tak beradab! Karena bagi priyayi agung yang berorientasi budaya malu, praktek etiket itu merupakan ekspresi etika, sekaligus aktualisasi peradaban! Tak punya malu dinilai tak beradab!"
"Di kampung maling, apa akibatnya?" kejar adik.
"Ajaran di kampung maling, kalau makan suara sendok dan piring beradu terdengar, ditambah bunyi kecapan mulut mengunyah, pemilik rumah terbangun dan maling itu ditangkap basah oleh warga!" jelas abang. "Dasar ajaran itu moralitas hukum, siapa bersalah dijerat hukum! Lemahnya moralitas hukum pada mekanisme kerjanya yang berdasar bukti! Di Jepang, penerobos lampu merah tak bisa berkelit karena ada kamera CCTV yang merekam buktinya! Di sini, ada polisi di simpang pun penerobos lampu merah sukar dibuktikan, bisa lolos jerat hukum!"
"Apalagi koruptor kerjanya tak dipelototi polisi, tak pula mengeluarkan suara sendok-piring atau kecapan mulut, korupsinya tak bisa dibuktikan hingga selalu lolos jerat hukum!" timpal adik. "Bayangkan kalau dari setiap seribu koruptor belum tentu satu saja pun bisa dibuktikan!"
"Moralitas hukum yang bisa dikalahkan oleh teknis pembuktian yang amat sulit itu, harus bisa diatasi dengan usaha memperkuat etika dengan budaya malu sebagai ujung tombaknya!" tegas abang. "Saat terkena masalah memalukan orang dapat aib, jika aib terbongkar dan beritanya merebak orangnya merasa wirang! Menyandang wirang, orang tak mampu unjuk wajah di depan publik!"
"Masalahnya korupsi belum tergolong aib, hingga orang tak malu pamer harta hasil korupsi di muka publik!" tukas adik. "Malah ada orang hartanya berlimpah tak sesuai penghasilan formalnya menantang penegak hukum untuk membuktikan korupsinya! Dan penegak hukum tak berkutik!"
"Lain hal kalau korupsi dianggap aib, orang malu memiliki harta di luar batas penghasilan halal!" timpal abang. "Tumpukan harta haram membuat orang merasa wirang! Tak ada KPK pun pertiwi bisa bersih dari korupsi!" ***
0 komentar:
Posting Komentar