"SEMBILAN pemuda tewas ditabrak mobil di Tugu Tani, Jakarta Pusat, Minggu pagi, saat para korban jalan pulang dari main futsal di silang Monas!" ujar Umar. "Penabraknya mobil pribadi B-3479-XI dikendarai Afriyani Susanti (29), warga Sungai Bambu, Tanjung Priok, yang bersama tiga temannya dalam mobil darahnya dinyatakan polisi positif mengandung narkoba! Cewek pekerja production house (PH) itu Sabtu malam minum wiski di kafe, ke lokasi hiburan memakai narkoba, lanjut pesta ulang tahun temannya di hotel!"
"Sebanding mirisnya berita tewasnya sembilan pemuda sekali tabrak oleh pengendara mobil mabuk narkoba, kisah cewek penabrak bersama temannya sebagai kaum muda kelas menengah kota metropolitan tak kalah memprihatinkan!" sambut Amir. "Sebagai pekerja PH—pembuat sinetron dan materi siaran televisi lainnya—Afriyani hidup di jalur modern! Fasilitas-fasilitas jalur modern itu pula yang malam itu ditelusuri Afriyani dan temannya!"
"Jadi, yang terjadi adalah paduan dua realitas sosial—kelas bawah pejalan kaki yang tak diberi perhatian keamanannya, dengan kelas menengah metropolis di jalur modern yang hanyut dalam pengaruh narkoba!" tegas Umar. "Tentang nasib warga kelas bawah, umumnya sama di seantero negeri, ditelantarkan elite yang berorientasi pada kekuasaan semata, mabuk kekuasaan! Di kota, jalur pejalan kaki yang rawan bahaya tanpa perhatian elite itu cerminan nasibnya!"
"Beda dengan negeri maju semisal Jepang, jalur pejalan kaki, sepeda, dan orang cacat tersendiri!" timpal Amir. "Di tepi jalur mobil dipasang pagar besi selutut, dalam pagar tanaman bunga dan pohon, baru di balik pohon ada jalur pejalan kaki, sepeda, dan orang cacat yang aman!"
"Pembagian jalur-jalur jalan sedemikian rupa itu merupakan ekspresi atau curahan perhatian elite pada warga kelas bawah dan lemah!" tegas Umar. "Sedang warga kelas menengah yang baru meraih nikmat kemajuan mudah terhanyut budaya negatif—seperti narkoba—jika dasar budaya yang bersendikan moralitas pada dirinya tak kokoh! Kelas menengah baru seperti itu bisa ditandai orientasinya pada nihilisme, kepeduliannya tak ada pada sesama—bahkan memandang buruk orang memberi bantuan pada pengemis—karena lebih puas hidup secara gila-gilaan!" "Jadi para korban tewas akibat dua hal!" timpal Amir. "Pertama, kelalaian elite yang mabuk kekuasaan tak peduli nasib warga kelas bawah—hingga tertabrak di jalan yang tak aman bagi pejalan kaki! Kedua, akibat kelas menengah baru yang mabuk narkoba!" "Malang nasib warga kelas bawah!" tukas Umar. "Dari atas ditindas elite mabuk kekuasaan, di jalan ditabrak kelas menengah mabuk narkoba!" ***
"Pembagian jalur-jalur jalan sedemikian rupa itu merupakan ekspresi atau curahan perhatian elite pada warga kelas bawah dan lemah!" tegas Umar. "Sedang warga kelas menengah yang baru meraih nikmat kemajuan mudah terhanyut budaya negatif—seperti narkoba—jika dasar budaya yang bersendikan moralitas pada dirinya tak kokoh! Kelas menengah baru seperti itu bisa ditandai orientasinya pada nihilisme, kepeduliannya tak ada pada sesama—bahkan memandang buruk orang memberi bantuan pada pengemis—karena lebih puas hidup secara gila-gilaan!" "Jadi para korban tewas akibat dua hal!" timpal Amir. "Pertama, kelalaian elite yang mabuk kekuasaan tak peduli nasib warga kelas bawah—hingga tertabrak di jalan yang tak aman bagi pejalan kaki! Kedua, akibat kelas menengah baru yang mabuk narkoba!" "Malang nasib warga kelas bawah!" tukas Umar. "Dari atas ditindas elite mabuk kekuasaan, di jalan ditabrak kelas menengah mabuk narkoba!" ***
0 komentar:
Posting Komentar