Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Tumpul, Kepekaan Realitas Pejabat!

DUA anak yang mendapat warisan masing-masing seekor kambing susah membedakan kambingnya. "Agar beda, kambingku kupotong ekornya ya?" usul si adik. "Jangan! Kasihan!" cegah si abang. "Kita bawa ke Bang Umar saja untuk memastikan!" Mendapat kehormatan, Umar segera mengambil pengukur kain dari laci mesin jahit di rumahnya. "Untuk memudahkan kambing mana milik siapa," ujar Umar, "Kambing yang putih ini lebih tinggi 1 centimeter daripada yang hitam!" "Wah, kedua anak itu calon pejabat atau politisi!" timpal Amir saat mendengar pengalaman Umar. "Pejabat susah membedakan realitas yang jelas dan faktual secara kasat mata, tapi lebih sok paham dengan ukuran kuantitatif (angka-angka) atau standar artifisial! Akibatnya, kemiskinan bukan disikapi sebagai realitas perderitaan warga yang hidup compang-camping serbakekurangan, melainkan sekadar angka persentase penduduk, lewat ukuran konsumsi rupiah per jiwa per bulan yang dibuat justru dengan mengecilkan arti kemiskinan karena tidak mengacu standar universal!" 

"Celakanya, ukuran artifisial itu menumpulkan kepekaan pejabat pada realitas yang kualitatif, lalu dijadikan tameng untuk mengelak dari keharusan menangani realitas penderitaan yang benar-benar dirasakan rakyat pedihnya!" tegas Umar. "Tak sedikit pun bermaksud merendahkan pendekatan kuantitatif sebagai salah satu tradisi intelektual! Tapi kalau pendekatan itu dipaksakan untuk mengingkari realitas kualitatif, yang justru merupakan dasar pijakan intelektualisme dalam keilmuan (science), pengingkaran pada realitas justru salah satu jenis betrayal of the intelectual! Idealnya, kedua sayap mengepak bersama!" "Apalagi kalau tumpulnya kepekaan pejabat pada realitas dengan menerlantarkan rakyat dalam penderitaan itu dilakukan demi mengutamakan pemuasan kepentingan dirinya, kroninya, serta golongan politiknya semata!" timpal Amir.

"Hal terakhir ini juga relevan pada politisi, yang segala sesuatunya diorientasikan untuk memenangkan pemilu mendatang, jika untuk itu harus berpihak pada kepentingan warga miskin maka dilakukan, tapi bukan sebagai tujuan, karena tujuan yang sebenarnya adalah memenangkan pemilu guna meraih kekuasaan!" "Karena itu, usaha meningkatkan kesejahteraan warga miskin tidak sistemik, tapi lebih cenderung acak dan sporadis—sekadar jalan mencapai kekuasaan!" tegas Umar. "Kepekaan terhadap realitas pun tak konsisten, sebatas dukungannya pada kepentingan politik!" ***

0 komentar: