Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Ibu ’Shock’ Mengira Anaknya Dusta!

IBU terkejut melihat dari mobil anaknya masuk mal. Padahal, ia pamit belajar bersama di rumah teman. Lebih shock lagi sang ibu, teman anaknya itu remaja yang sering terlihat keluyuran di mal!
Saat anaknya pulang ia bawa duduk bersama ayahnya. “Kau hari ini berdusta pada orang tua!” tegur ayah. “Izin belajar di rumah teman, ternyata ibumu lihat kau ke mal, dengan anak yang suka keluyuran di mal!”

“Aku belajar di rumah teman! Suer! Ini pelajaran yang kami kerjakan!” jawab anak. “Soal masuk mal, karena rumah temanku apartemen lantai 15 yang bawahnya jadi mal! Ia setiap hari di mal, itu tempatnya bermain. Yang ada di apartemen cuma komputer! Bosan komputer terus!”
Ayah dan ibunya lega, terbukti anaknya tidak berdusta. “Kenapa sebelumnya tak kau katakan rumah temanmu di apartenen atas mal?”

“Next time!” jawab anak beranjak ke kamar.

“Ibu sih, suuzan! Terlalu cepat bersangka buruk!” giliran ibu ditegur ayah. “Meski bisa membuktikan dirinya tidak seperti yang disangka, ia jadi tak nyaman mengetahui sebenarnya orang tuanya belum memercayai dia sepenuhnya! Pada masa pancaroba, itu bisa mencabik rasa percaya dirinya! Mendorong pencarian jati diri atau pengakuan di luar rumah! Ini bisa merusak, jika yang sesuai bagi dirinya justru berbeda dari norma keluarga!”

“Semoga bisa direhabilitasi dengan aku meminta maaf padanya! Sebagai manusia, ibu juga kan tak luput dari kesalahan!” sambut ibu. “Tapi dari situ jadi terpikir, kalau dalam keluarga saja perasaan harus dijaga agar tidak ada yang tersinggung, betapa dalam kehidupan bernegara-bangsa?”

“Keluarga, kata antropolog, tiang negara! Maka itu, kehidupan bernegara-bangsa juga tak boleh lepas dari sel-sel pembentuknya, keluarga, dari unsur hingga mekanisme strukturnya!” tegas ayah. “Seperti jambu terdiri dari unsur dan mekanisme struktur buah jambu, tak bisa pakai unsur dan mekanisme struktur buah kelapa!”

“Berarti kalau pihak superior dalam keluarga—ayah atau ibunya—salah, harus siap minta maaf pada pihak inferior—si anak, agar mentalitas anak tak tercabik dan harmoni keluarga terpelihara!” sambut ibu. “Demikian pula bernegara-bangsa, jika pihak superior (yang berkuasa) salah harus mau mengaku salah dan minta maaf pada pihak inferior—rakyat yang dikuasai, agar harmoni kehidupan bernegara-bangsa tetap
terpelihara!”

“Maka itu, ketika kehidupan bernegara-bangsa terasa tidak harmonis, kausalitas itu jawabnya!” tegas ayah. “Kalau yang salah tak mau mengakui karena superior, bisa menuding pihak lain yang inferior, maka harmoni keluarga atau negara bangsa bisa terganggu! Padahal, akan jauh lebih mulia jika seorang superior mau mengambil alih kesalahan dan meminta maaf demi harmoni keluarga, meski sebenarnya ia tidak bersalah! Betapa indah ketika semua jadi happy!” n

Selanjutnya.....

Mencetak Anggota DPR Jadi 'Yes-Men'!


"APA mungkin mencetak mayoritas anggota DPR jadi yes men, seperti era Orde Baru?" tanya Umar.

"Ada kesan, itu yang dengan usaha keras akan dibuktikan dalam sidang paripurna DPR awal Maret!" jawab Amir. "Jika itu bisa terwujud, layak dicatat dengan tinta emas sukses gemilang usaha reorientasi ke sistem politik Orde Baru! Sekaligus berarti, kembalinya legislatif sebagai cabang atau subordinat dari kekuasaan eksekutif! Dalam versi Orde Baru, posisi itu yang paling benar bagi DPR dalam sistem presidensial!"

"Pertanyaannya, apakah itu mungkin?" sela Umar.

"Sesuatu yang diusahakan sungguh-sungguh, tentu punya kemungkinan!" tegas Amir.

"Apalagi secara matematis, sejak jauh hari telah diwujudkan koalisi mayoritas mutlak di DPR! Jadi, sesuai prinsip berkoalisi, jika itu yang diinginkan koalisi, seharusnya terwujud!"

"Kalau hal yang matematis dan prinsip itu tak bisa diwujudkan, masalahnya apa?" tanya Umar.


"Masalah utamanya soal mode! Anggota DPR yes men itu kuno, out of date!" tegas Amir. "Banyak anggota DPR yang malu menyandang sebutan itu, apalagi jadi stigma di jidatnya! Kesan itu mencolok di forum Pansus Skandal Bank Century, di mana meski partainya masuk koalisi untuk seia-sekata dan satu front perjuangan, banyak anggota DPR yang tak mengekspresikan kewajiban koalisi itu! Bahkan mengambil posisi di front berseberangan!"

"Jadi karena keinginan mencetak mayoritas anggota DPR menjadi yes men itu memutar jarum sejarah ke belakang, menarik mundur waktu, kembali ke zaman yang ingin dilupakan?" tukas Umar. "Tapi itu karena ditampilkan di layar televisi dengan gaya orang per orang! Kalau di paripurna yang lebih menonjol ombyokan--fraksi--serta kuatnya kontrol partai pada fraksi, dalam prakteknya tak menonjol lagi gaya perorangan di televisi, kemungkinannya kan bisa berbeda!"

"Apalagi kalau voting tertutup, tak ketahuan siapa memilih apa, profil yes men tak lagi mencolok di jidat perorangan!" tegas Amir. "Peluang mencetak yes men itu terbuka lebih lebar!"

"Tapi tak semua anggota DPR secara sembunyi-sembunyi di balik voting tertutup itu mau menjadi yes men!" timpal Umar. "Mungkin karena merasa masih punya nurani, atau terikat komitmennya pada amanat rakyat yang tak pantas dikhianati!"

"Sebaliknya, dengan voting tertutup juga orang lebih mudah menjaga idealismenya untuk tidak jadi yes men, karena tak bisa dibuktikan dan tak elok ditebak-tebak apa sebenarnya pilihan yang ia berikan saat voting!" tegas Amir. "Jadi, meski fraksi atau partainya telah terikat koalisi, jika dilakukan voting tertutup jumlah hasil dukungan pada koalisi bisa meleset dari hitungan matematis total jumlah anggota koalisi!"

"Jadi, sejauh mana sukses mencetak anggota DPR jadi yes men tergantung voting skandal Century!" tukas Umar. "Kita doakan, semoga sukses!" ***
Selanjutnya.....

Catatan Lepas Pansus Hak Angket!


DI akhir kerja Pansus Hak Angket Century, provider Lucu menyebar humor berjudul Angket. Relawan berkata, "Silakan isi angket ini."

"Namanya ditulis lengkap?" tanya responden.

"Ya!" jawab relawan. "Sebagai bukti angket ini tidak fiktif, meski yang diumumkan nanti cuma angka-angka skor pilihan jawaban responden!"

"Tempat/tanggal lahir juga?" tanya responden.dp

"Ya!" jawab relawan. "Agar jelas asal responden dan kelompok usianya!"

"Jenis kelaminnya, ditulis juga?" tanya responden.

"Tak usah!" tegas relawan, kesal. "Digambar saja!" (Lucu, SMS 9122, 25-2)

"Apa tak saru?" tukas responden, terkejut.


"Jelas saru!" tegas relawan. "Tapi kau jadi seperti anggota Pansus Hak Angket Century, melontar pertanyaan nyeleneh bertubi-tubi membuat yang ditanya jadi kesal!"

"Ah, Bapak membuat saya jadi ge-er saja!" timpal responden. "Karena itu berarti, meski saya cuma seorang preman pasar, dari cara bicara saya sudah dinilai selevel dengan anggota DPR!"

"Selamat!" sambut relawan. "Kenaikan derajat rakyat jelata, buruh, tani, sampai preman pasar, merupakan tujuan pembangunan nasional! Apalagi kenaikannya bisa selevel anggota DPR, jelas spektakuler! Sebaliknya jika level itu tercapai bukan karena kenaikan derajat rakyat, tapi akibat kemerosotan derajat anggota DPR lewat cara bicaranya yang terdengar seperti preman pasar, maka rakyat harus cari bantalan untuk mengganjalnya! Bukan saja diganjal agar derajat anggota DPR bisa ditingkatkan kembali, tapi juga agar tak melorot lebih rendah lagi!"

"Bantalannya apa?" tanya responden.

"Tentu saja prinsip-prinsip pembangunan karakter bangsa, nation character building!" tegas relawan. "DPR selaku legislator, pembuat aturan hidup bernegara-bangsa, merupakan desainer bentuk ideal karakter atau watak bangsa! Dengan demikian, watak setiap anggota DPR merupakan patron atau teladan yang jadi panutan warga bangsa! Bayangkan mau jadi seperti apa karakter bangsa kita jika patron yang harus ditiru levelnya sudah turun jauh dari standar?"

"Dengan karakter anggota DPR seperti di Pansus Hak Angket Century itu justru lebih jelas dari mana pembangunan karakter bangsa harus dimulai!" timpal responden.

"Betul juga! Kebuntuan pembangunan karakter bangsa selama ini akibat tak tahu dari mana harus dimulai!" sambut relawan. "Dengan dimulai dari karakter pembuat aturan perilaku bernegara-bangsa, tak masalah jika harus bertolak selevel dengan rakyatnya! Rakyat bisa ikut belajar a-b-c-nya dari awal! Lalu, setelah dari kalangan rakyat banyak yang karakternya lebih baik, bangsa kita jadi lebih siap dengan barisan wakil rakyat yang lebih unggul karakternya--melengkapi yang sudah unggul nian!"
Selanjutnya.....

Akhir Pansus, Presiden Lolos Makzul!

“MESKI Fraksi Partai Demokrat (FPD) di Pansus Skandal Bank Century DPR kalah telak dengan skor 31-5 (merger 9-0), FPJP (7-2), PMS (7-2), dan aliran dana (8-1), rekomendasi semua fraksi di Pansus justru meloloskan Presiden SBY dari pemakzulan!” ujar Umar.

“Memang, tanggung jawab Boediono (sekarang wakil presiden) dalam bailout Bank Century ada disebut empat fraksi, namun meski presiden/wakil presiden dipilih dalam satu paket, konstitusi mengatur dalam hal pemakzulan—jika terpenuhi syarat-syaratnya—bisa dilakukan hanya terhadap salah satu dari dwitunggal tersebut!”

“Untuk sampai pada pemakzulan atas salah satu dari dwitunggal itu pun, prosesnya tak mudah!” sambut Amir. “Tak mudah, karena paripurna DPR membahas hasil kerja Pansus harus menghasilkan pernyataan pendapat DPR yang menjurus proses pemakzulan! Padahal, tak satu pun rekomendasi fraksi di Pansus menjurus ke sana—semua mengarahkan ke proses hukum!”

“Berarti, proses pemakzulan baru bisa dimulai prosesnya setelah ada putusan berkekuatan hukum tetap—bisa menunggu bertahun-tahun!” tegas Umar. “Setelah ada putusan tetap dimaksud, DPR sidang paripurna untuk membuat pernyataan pendapat
menuju pemakzulan! Tak bisa pula langsung membawa proses pemakzulan itu ke MPR, tapi harus lebih dahulu ke MK untuk menguji apakah dengan hukuman yang ada memenuhi syarat untuk MPR sidang memproses pemakzulan! Di MPR juga harus tercapai suara mayoritas untuk memakzulkan—syarat yang tak gampang!”

“Dengan demikian tampak, Presiden SBY sangat aman dan amat jauh dari ancaman pemakzulan!” timpal Amir. “Juga Boediono, prosesnya belum tentu sampai tingkat itu! Dengan proses hukum peluangnya fifty-fifty untuk vonis tidak bersalah!”

“Namun di balik itu, semakin jelas bagi kader Partai Demokrat (PD) untuk kecewa pada mitra koalisinya yang telah mempermalukannya di muka publik bangsa dengan skor telak 31-5 itu!” tegas Umar. “Untuk itulah, tokoh-tokoh penting PD mulai Sekjen Amir Syamsuddin, Ketua FPD DPR Anas Urbaningrum, anggota Dewan Pembina Hayono Isman, dan Ruhut Sitompul, tegas akan mengusulkan kembali pada Presiden SBY untuk me-reshuffle kabinet! Apakah Presiden SBY, pemilik hak prerogatif, akan memenuhi usulan itu?”

“Keputusan Presiden SBY dalam hal ini akan jadi barometer, sejauh mana komitmennya terhadap pemahaman atau persepsi publik atas demokrasi yang menjadi alas pandangan dan sikap mitra-mitra koalisi PD—terutama PKS yang mendukung pemenangannya di pilpres!” timpal Amir. “Lalu, persepsi publik terhadap komitmen tersebut akan menentukan popularitas SBY selanjutnya! Tebak sendiri bakal seperti apa pertimbangan SBY jika mempertaruhkan popuparitas dirinya!” ***

Selanjutnya.....

Koalisi untuk Tegakkan Kebenaran!


"SEKJEN Partai Keadilan Sejahtera--PKS--Anis Matta menegaskan sikap fraksinya di Pansus Skandal Bank Century DPR, melaksanakan amanat Presiden SBY untuk membuka selebar-lebarnya kasus Bank Century! Juga, tetap dalam koridor koalisi dengan Partai Demokrat (PD) yang menyepakati untuk bersikap kritis, mewujudkan good governances dan pemerintahan bersih, serta menegakkan kebenaran dan keadilan! Hal sama dikemukakan Ketua Partai Golkar Prio Budi Santoso!" ujar Umar. "Namun, Ketua PD Dja'far Hamzah menilai sikap itu bertentangan dengan kesepakatan dalam koalisi!" (Metro TV, [23-2])

"Itu terjadi akibat berbedanya kacamata kedua pihak!" sambut Amir. "PKS dan Golkar melihat koalisi sebagai wadah menciptakan pemerintahan bersih yang berorientasi kemaslahatan bangsa! Sedang PD melihat koalisi semata berorientasi pada kepentingan kekuasaan! Kacamata yang berbeda itulah penyebab terjadinya perbedaan pandangan kedua pihak di Pansus Century!"


"Perbedaan pandangan yang menurut PKS dan Golkar wajar dalam demokrasi, dinilai sebaliknya oleh PD!" tegas Umar. "Anggota Dewan Pembina PD, Hayono Isman, menilai itu sebagai sikap tidak konsekuen dari mitra koalisi! Karena itu, ia tuntut mitra koalisi menarik menteri-menterinya dari kabinet! Hal itu sejalan dengan usul pimpinan PD kepada Presiden untuk melakukan reshuffle kabinet akibat berbedanya pandangan mitra koalisi!"

"Dari semua itu terlihat, ibarat pasangan suami-istri yang berbeda pandangan, PD memilih jalan keluar perceraian! Kalau tak mau cerai, segala bentuk yang dinilai buruk oleh pasangannya didiamkan dan dibiarkan saja!" timpal Amir. "PKS dan Golkar memilih untuk mengutamakan kemaslahatan hidup seluruh keluarga, terutama kebenaran dan keadilan, sedang keburukan atau kesalahan harus diselesaikan semestinya agar rumah tangga terselenggara secara lebih sehat!"

"Pilihan mana yang lebih baik, tentu tergantung cara berpikir masing-masing!" sambut Umar. "Namun, dari kedua pilihan itu harus dilihat ke mana ujung kaitan kepentingannya! Dari uraian yang disampaikan di Pansus Century, PD secara eksplisit menegaskan kaitan kepentingannya pada kebenaran pihak penguasa dalam kebijakan bailout! Sedang PKS dan Golkar terkait kebenaran fakta dalam proses penyelidikan skandal Bank Century, yang merugikan rakyat! Karena itu, bisa disebut
berorientasi pada kepentingan rakyat!"

"Maka itu, jika pandangan PKS dan Golkar bernada sama dengan pandangan oposan--PDIP--tak lain karena dasarnya fakta yang sama!" tegas Amir. "Demi menegakkan kebenaran dan keadilan berdasar kebenaran fakta itu, PKS dan Golkar siap menerima konsekuensi 'diceraikan' dari koalisi PD! Keberanian bersikap yang layak dihormati!"***


Selanjutnya.....

Ke Mana 'Bola Liar' Century Bergulir?


"PADA akhir masa tugas Panitia Khusus (Pansus) DPR untuk skandal Bank Century, situasinya mirip kemelut bola liar di kotak penalti! Tak ada pemain yang bisa mengontrol bola sepenuhnya!" ujar Umar. "Suasana tegang. Kelompok penyerang berusaha menggocek bola masuk gawang, sedang kelompok bertahan berusaha menyapu bola keluar kotak penalti! Ke mana 'bola liar' Century akan bergulir?"

"Arah bergulir 'bola liar' itu ditentukan beberapa hal. Pertama, tekanan penonton--opini publik! Sejauh ini, tekanan opini publik sudah membuat Fraksi Partai Demokrat (FPD) dan FPKB di Pansus menyatakan ada masalah dalam bailout Bank Century--menyebut kesalahan pada manajemen Bank Century!" timpal Amir. "Tekanan opini publik pula yang membuat bola jadi liar di mulut gawang dan FPD dan FPKB menjadi pihak yang defensif!"

"Faktor kedua mungkin penjaga gawang--kiper, pertahanan terakhir di mulut gawang! Pemain ini selalu berusaha meninju bola liar keluar dari kotak penalti, tapi bola tetap berputar di area berbahaya itu!" tebak Umar. "Sang kiper tentu terus berusaha merebut dan menguasai bola sampai benar-benar aman di pelukannya!"


"Tepat! Siapa kipernya lihat sendiri di lapangan, tokoh di posisi penjaga gawang!" sambut Amir. "Dan kiper itu sendiri terkait dengan faktor ketiga, barisan pertahanan! Sayang, akibat sorakan penonton tendangan pemain bertahan melintir hingga berputar di kotak penalti--mengakui memang ada masalah dalam bailout Bank Century! Terakhir, faktor keempat, para pemain penyerang! Apakah dukungan penuh penonton (opini publik) bisa membuat irama permainan mereka tetap solid dan kompak? Jika bisa, harapan bola bergulir masuk gawang tetap ada!"

"Ah, kau menyenangkan hati penonton saja!" tukas Umar. "Bagaimana kalau kenyataan pada akhirnya irama permainan tim penyerang tak lagi solid dan kompak, sehingga barisan pertahanan bisa mengintersepsi 'bola liar' itu lalu dengan mudah diraih kiper ke pelukannya?"

"Lapangan pertandingannya di Indonesia!" timpal Amir. "Penonton yang kecewa terhadap para pemain yang didukungnya, bisa membuat mereka turun ke lapangan! Kebiasaan itu akan membuat para pemain penyerang akan selalu berusaha keras untuk tidak mengecewakan penonton!"

"Tapi bagaimana kalau--siapa tahu--penyerang tiba-tiba main mata dengan lawan dan malah dengan sengaja mengoper bola ke pelukan kiper?" tukas Umar. "Bahkan siap dengan konsekuensi yang harus diterimanya?"
"Dilihat dari tekad para pemain penyerang yang berulang ditegaskan di televisi, kemungkinan itu kecil sekali!" jawab Amir. "Andai gol gagal dicetak, masalahnya hanya karena bola itu bundar!" n
Selanjutnya.....

Ikan Kepala Batu, Memuaskan Bos!

"IKAN kepala batu, kepalanya yang keras relatif terlalu besar dibanding tubuhnya yang diliputi duri tajam, di Tanah Deli menjadi pilihan Tuan Besar--bos--onderneming perkebunan yang kini lazim disapa Pak A-de-em, alias Administratur!" ujar Umar. "Setelah jadi ikan asin, ikan kepala batu dibagikan sebagai catu--jatah--bulanan untuk lauk buruh perkebunan!"

"Kenapa ikan jenis itu jadi pilihan?" tanya Amir.

"Karena bisa memuaskan sang bos!" jawab Umar. "Bukan puas memakannya! Bos tak makan ikan asin yang separuhnya cuma kepala dan duri! Tapi karena dengan harga yang murah bobotnya bisa untuk memenuhi kewajiban perusahaan memberi jatah ikan asin buruhnya! Dengan biaya untuk itu di pembukuan per kilonya dicatat seharga ikan asin di pasar yang jauh lebih tinggi dari si kepala batu, bayangkan kepuasan seperti apa yang dinikmati bos!"

"Tapi buruh penerima jatah jelek yang lebih banyak jadi sampah itu kan kecewa!" timpal Amir.

"Soal buruh mustahak jatah kecewa bukan urusan bos! Yang penting bos bisa mendapat kepuasan dari si kepala batu!" tegas Umar. "Apa bedanya dengan bos yang memasang tokoh kepala batu sebagai wakil rakyat di parlemen, tak peduli si kepala batu memuakkan rakyat yang diwakili, jauh lebih penting lagi kepuasan bos menikmati kekuasaan berkat gaya si kepala batu!"

"Kalau begitu yang menggejala adalah mentalitas Tuan Besar warisan zaman kolonial!" tukas Amir. "Kepuasan penikmatan kekuasaan bukan sebatas realitas posisinya, tak kalah penting kepuasan dari tindak penindasannya--seperti menyiksa buruh dengan ikan asin kepala batu, atau menyiksa rakyat dengan perasaan muak berlarut akibat penempatan si kepala batu sebagai wakil mereka di parlemen!"

"Lantas sistem politik apa yang dipakai untuk membuat bos tak merasa berdosa dengan cara berkuasa seperti itu?" kejar Umar.

"Jelas sistem politik etis seperti diterapkan para Tuan Besar kolonial yang selalu berpakaian serbaputih itu!" jawab Amir. "Artinya, penampilan dirinya di publik tampak selalu bersih, gaya hidup yang

beretiket, tapi semua itu hanya untuk menyelubungi mesin politiknya yang bekerja efektif menindas rakyat! Begitulah politik etis gaya kolonial! Terutama para politisi yang duduk di Volksraad--parlemen kolonial, tugas utamanya melegalisasi semua masalah yang timbul semata demi pembenaran terhadap semua kebijakan yang menguntungkan penguasa--meski menyakiti rakyat!"

"Mungkin masih dalam semangat gejala itu, DPR atau parlemen zaman kini juga sukar sekali mengganti dua hukum utama warisan kolonial, KUH Pidana dan KUH Perdata!" timpal Umar. "Jadi, kalau gejala watak Tuan Besar muncul wajar saja, karena kekuasaan dijalankan menurut hukum, sedang hukumnya masih warisan kolonial!"

Selanjutnya.....

Sepi, Bantuan kepada Korban Banjir!


"TAK secepat dan seramai masa lalu, bantuan darurat penyambung hidup (survival) kepada korban bencana banjir di berbagai kawasan Lampung terakhir ini terkesan relatif sepi!" ujar Umar.

"Kesan itu selain dari kurangnya laporan reporter mengangkat masalah bantuan, juga dari SMS pembaca yang mempertanyakan ke mana badan penanggulangan bencana pemda, banyak korban banjir yang rumahnya terendam berhari-hari bahkan hanyut, tambah penderitaannya akibat tak mendapat bantuan tepat waktu!"

"Masalahnya, kebanyakan korban terisolasi oleh banjir, jembatan-jembatan putus, lalu hujan juga tak kunjung reda! Akibatnya, penyampaian bantuan kepada mereka terkendala!" kilah Amir. "Jangankan mengantar bantuan ke lokasi banjir yang jauh, untuk keluar rumah mengumpul bantuan warga saja diadang hujan!"

"Alasan-alasan seperti itu cuma menambah pedih penderitaan para korban yang merasakan betapa kian menipisnya solidaritas sesama warga!" tegas Umar.


"Apalagi saat demikian mengenang masa lalu, bantuan dari sesama warga--meski sekadar nasi bungkus seadanya--lebih cepat datang!"

"Warga belakangan cenderung begitu mungkin karena dari waktu ke waktu membaca koran bahwa anggaran pos bantuan di pemda jumlahnya besar, sampai ratusan miliar! Berita seperti itu membuat warga mengira kalau sekadar bantuan darurat untuk penyambung hidup korban bencana soal kecil!" timpal Amir. "Dengan asumsi seperti itu, warga pun merasa tak perlu bergegas mengantar bantuan mereka karena menurut logikanya, Pemda akan dengan mudah mengatasi hal itu!"

"Anggaran pos bantuan tak bisa dikeluarkan secara mendadak seperti itu!" entak Umar.

"Pos bantuan itu baru bisa dikeluarkan kalau ada proposal permohonannya, yang harus mendapat persetujuan dengan bukti paraf langsung kepala daerah! Korban banjir mana sempat membuat proposal dan antre mendapatkan paraf tanda disetujui kepala daerah!"

"Begitu? Manalah warga tahu kalau prosedur untuk dapat bantuan dari pos anggaran itu sedemikian rupa! Apalagi para korban bencana banjir!" timpal Amir. "Mereka pikir serbaotomatis dana pos bantuan keluar ketika terjadi keadaan darurat, sehingga mereka merasa cukup dengan mengandalkan pos anggaran tersebut!"

"Kalau begitu kita harus gerak cepat mengumpul relawan, untuk 'woro-woro' memukul kentongan keliling dari desa ke desa, memberi tahu warga bahwa dana pos bantuan tidak bisa otomatis keluar untuk membantu korban banjir!" tegas Umar. "Karena itu, warga diharapkan segera turun tangan membantu saudara-saudara yang kena musibah itu! Pokoknya harus diusahakan bantuan buat korban banjir seramai dahulu!" *****
Selanjutnya.....

Di Balik Pro-Kontra RUU Perkawinan!


"RUU Hukum Materil tentang Peradilan Agama bidang Perkawinan menyulut pro-kontra!" ujar Umar. "Pro-kontra terutama terkait aturan nikah siri bisa dihukum pidana! Pihak kontra, termasuk Ketua MUI Jawa Timur Abdus Shomad Buchori, tegas menolak, karena dalam hukum Islam nikah siri perbuatan yang disahkan, bukan perbuatan melanggar norma agama!" (Indosiar, [19-2])

"Memang, kalau yang dibenarkan agama dilarang oleh negara, akhirnya nanti aturan-aturan negara bertentangan dengan aturan agama, akan terjadi konflik antara negara dan agama!" sambut Amir. "Namun, perlu disimak saksama dulu inti masalah di balik pro-kontra itu! Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, Siti Musdah Mulia, (Metro TV, [18-2]) menyatakan, ketentuan pidana bagi warga negara yang tidak mencatatkan perkawinannya di depan pejabat negara atau nikah siri, merupakan suatu perlindungan terhadap wanita dan anak-anak hasil perkawinan itu! Tanpa pencatatan, wanita dan anak-anak bisa mengalami kesulitan baik atas jaminan hak-haknya maupun urusan administrasi yang membutuhkan akta kelahiran dan lain-lain!"

"Ketua MUI Jatim menekankan prioritas yang harus dilakukan pemerintah!" tegas Umar.


"Kata Abdus Somad, seharusnya pemerintah lebih dahulu memberlakukan UU larangan prostitusi dengan menindak tegas pelaku pelacuran, sebelum mengesahkan UU larangan nikah siri!"

"Siti Musdah menegaskan, nikah siri juga bisa dijadikan selubung prostitusi!" timpal Amir. "Kata dia, di bandara sebuah negeri yang membenarkan nikah siri, calo-calo menawarkan kepada turis pria pasangan selama di negeri itu dengan nikah siri, lengkap dengan penghulu dan saksi-saksinya! Hal itu tentu tak terjadi jika nikah siri dilarang, apalagi dengan sanksi pidana!"

"Kalau begitu, mungkinkah pemerintah akan tetap melanjutkan proses RUU tersebut?" tanya Umar.

"Soal pembuatan aturan baru, apalagi pembuatan RUU-nya baru di tingkat dirjen, jika saat di-proof baloon--diuji coba materinya dilempar ke publik--menuai pro-kontra yang luas, pimpinan tertinggi pemerintahan kayaknya akan mempertimbangkan lebih jauh lagi!" jawab Amir. "Contohnya, rencana peraturan menteri tentang konten multimedia yang menuai kontroversi luas, secara langsung Presiden mengingatkan semua menterinya untuk tidak melontarkan gagasan yang bisa meresahkan masyarakat! Tanpa disebut secara langsung pun, RUU yang menuai kontroversi ini termasuk dalam kriteria yang diperingatkan Presiden tersebut!"

"Semula kukira seperti Orde Baru yang berkeras saat mengajukan RUU Perkawinan (UU No. 1/1974), hingga partai-partai berbasis massa Islam walk out dari paripurna DPR pun tetap disahkan!" timpal Umar. "Jika kuncinya pada keberanian orang nomor satu di Republik ini untuk menabrak pro-kontra, RUU yang memidanakan nikah siri itu bisa tinggal wacana!" ***

Selanjutnya.....

Sikap Fatalistik Menyambut Banjir!


"MESKI sejak dini Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) telah memperingatkan pada Februari iklim ekstrem akan melanda Lampung, curah hujan tinggi diiringi angin berpotensi puting beliung, baik Pemprov, pemkab, maupun masyarakat tidak bergegas membuat persiapan mengantisipasi ancaman tersebut!" ujar Umar. "Semua pihak pasrah hingga belasan ribu hektare tanaman padi sawah rusak dilanda banjir!"

"Fatalisme--sikap pasrah--itu menyedihkan!" sambut Amir. "Bencana dalam bentuk apa pun--apalagi bisa diprediksi, seyogianya diantisipasi secara maksimal untuk memperkecil akibatnya! Sikap fatalistik itu memprihatinkan karena mencerminkan lemahnya sense of crisis, tidak peka terhadap ancaman yang bisa merugikan masyarakat luas!"

"Fatalisme tersebut mungkin sebagai akibat dua hal. Pertama, kondisi lingkungan di hulu maupun sepanjang daerah aliran sungai (DAS) yang sudah telanjur parah, sehingga ketika hujan merata dengan curah yang tinggi kawasan resapan tak mampu menahan gelontoran air ke hilir! Apalagi di hilir juga mengalami curah hujan yang sama, jadi tak terlihat lagi jalan keluar mengatasinya!" tegas Umar. "Kedua, dengan realitas lingkungan yang tak mungkin diatasi dalam waktu singkat, juga pengalaman gerakan nasional rehabilitasi hutan dan lahan (GNRHL) di Lampung yang justru berujung di pengadilan terhadap pelaksananya--bukan piagam sukses yang dihasilkan, maka pihak pemerintah lebih berorientasi menanggulangi akibatnya dengan cadangan nasional bibit unggul yang senantiasa tersedia!"


"Terkait kerusakan lingkungan, bukan tindakan dadakan yang diharap! Masalahnya, kenapa dari tahun ke tahun tak terlihat membaik? Sebaliknya, areal sawah yang rusak terlanda banjir semakin luas!" timpal Amir. "Soal bantuan pascabencana, boleh-boleh saja! Tapi alangkah lebih baik jika persiapan cukup sehingga bisa memperkecil akibat bencana! Sebab, sekalipun ada bantuan bibit dan pupuk, berapa besar arti hari kerja yang hilang dua sampai tiga bulan bagi petani sejak mempersiapkan lahan untuk tanam, lalu mengulang dari memperbaiki lahan dan menanam lagi, dimulai sejak penyemaian benih!"

"Tapi persiapan seperti apa yang bisa dilakukan untuk memperkecil akibat bencana?" kejar Umar.

"Kenapa air hujan tergenang di sawah? Dari situ dirunut jalan keluar sampai ujung pembuangan!" timpal Amir. "Jika air tertahan karena saluran irigasi pembuangan tak mampu menampung, mungkin sudah jadi dangkal, gotong royonglah diperdalam kembali! Dengan menambah daya tampung mengalirkan satu meter kubik per detik saja, 100-an hektare sawah bisa diamankan! Kalau hal itu dilakukan terhadap ratusan bahkan ribuan jaringan irigasi se-Lampung, usaha memperkecil akibat banjir mungkin cukup berarti juga!" n
Selanjutnya.....

Sejak Zaman Batu Makan 'Sintrong'!


SEORANG pria yang sudah 40 tahun merantau pulang kampung! Saat makan ia terbelalak, melihat tumis daun sintrong terhidang! Sintrong, tumbuhan liar sejenis gulma di sela-sela tanaman.

"Sekian lama kutinggal tak ada perubahan, kalian masih makan sintrong juga?" entak pria.

"Kau pergi dan kembali kan masih dalam generasi yang sama!" sambut abangnya.

"Perubahan apa yang bisa dilakukan dalam satu generasi, apalagi terhadap kebiasaan makan sintrong, yang telah dilakukan nenek moyang kita sejak zaman batu!"

"Tapi ini memalukan penguasa, para petinggi negara kita, yang tak henti berbangga menyebut kemajuan hasil kepemimpinan mereka!" tegas pria. "Apalagi realitas kemiskinan berkelanjutan begini, bertentangan dengan yang dipublikasikan, kesejahteraan rakyat meningkat lewat program mengentaskan desa miskin!"


"Program seperti itu dari rezim ke rezim selalu ada! Saat membutuhkan dukungan suara warga miskin, suatu rezim datang mengeraskan jalan desa dengan batu kali satu kilometer! Rezim berikutnya, satu kilometer lagi! Lantas diklaim, kemiskinan desa ini telah diatasi, kesejahteraan rakyatnya meningkat!" timpal abang. "Silakan saja klaim, tapi kenyataanya, selain rakyatnya tetap makan sintrong, jumlah desa miskin juga terus meningkat! Contohnya di Lampung, zaman Orde Baru jumlah desa miskin 546, pada zaman Reformasi ini menjadi 765 desa!"

"Berarti, jika ke sebuah desa miskin dikucurkan proyek senilai Rp1 miliar, tidak menjamin desa itu mentas dari kemiskinan?" kejar pria.

"Itulah kesalahan fatal para penguasa, mengira kemiskinan itu semata bersifat materi! Sehingga, setelah mengucurkan dana sekian dianggapnya kemiskinan telah selesai!" tegas abang. "Padahal, kemiskinan itu komplikasi dari berbagai penyebab! Seperti secara budaya menyangkut diri warga miskin itu sendiri, miskin karena bodoh, bodoh karena miskin! Lalu karena kebodohannya itu, selalu dibodoh-bodohi oleh mereka yang lebih pintar dan lebih berkuasa! Juga karena miskin selalu diakal-akali oleh yang kuat ekonominya!"

"Itu baru dari sisi miskin karena bodoh, yang jika masalahnya tak terselesaikan, kemiskinan yang membelit tak bisa dilepaskan!" timpal pria. "Belum lagi dari sisi-sisi lain, yang akar masalahnya justru lebih kronis! Seperti terkait power tend to corrupt, kalangan berkuasa selalu mengambil porsi lebih besar dibanding alokasi anggaran untuk rakyat!"

"Maka itu, kami warga miskin selalu bersyukur, meski setiap kali tanaman di-watun--dibersihkan dari gulma--sintrong tak pernah menyerah dan tetap tumbuh!" tegas abang. "Betapa indah jika komitmen penguasa mengentaskan warga dari kemiskinan segigih sintrong untuk tumbuh! Bukan cuma pemanis bibir saat membutuhkan dukungan suara warga miskin!" n
Selanjutnya.....

Pilkada, Strategi Desa Tertinggal!


SEKDES--sekretaris desa--mengadakan pertemuan ketua RT dan RW untuk menyampaikan strategi kepala desanya menjadikan pemilihan umum kepala daerah--pilkada--di kabupatennya benar-benar sebagai pesta rakyat.

"Tujuannya supaya warga kita yang umumnya miskin tetapi tak pernah menerima bantuan desa tertinggal akibat desanya tak masuk daftar desa tertinggal karena kepala desa yang lama dulu malu desanya disebut miskin, bisa mendapatkan manfaat yang sebesar-besarnya dari pilkada!" ujar sekdes. "Pertama, minta warga menandatangani dukungan untuk calon independen pada formulir yang telah kami siapkan per-RT ini! Fotokopi KTP-nya dari file yang ada di kantor kepala desa!"

"Siapa calon independen yang kita dukung?" tanya seorang ketua RW.

"Siapa calonnya soal nanti, kita berikan kepada penawar tertinggi!" jelas sekdes.

"Termasuk dalam penawaran itu semua warga desa diangkut dengan bus menghadiri deklarasi calonnya, tentu dengan kompensasi tersendiri lagi, sehingga manfaat yang diperoleh warga berlipat ganda! Sekaligus rekreasi gratis! Demikian pula untuk setiap calon yang diusung parpol, sudah ditunjuk koordinatornya dari partai masing-masing, setiap calon partai itu didukung semua warga desa!"


"Berarti setiap warga akan mendapat kaus oblong gambar calon beberapa buah!" sela seorang RT.

"Pokoknya cukup untuk pakaian ke ladang sampai pilkada berikutnya!" jawab sekdes.

"Lalu, kami ketua RT dan RW apakah bakal mendapat dana dan fasilitas khusus di luar yang didapat sebagai warga pemilih?" tanya RT lainnya.

"Tentu saja kami perjuangkan, agar setiap kali mendapat dana koordinator massa!" jawab sekdes. "Setidaknya uang makan dan pengganti bensin dalam mempersiapkan segala sesuatunya!"

"Kalau semua calon kita dukung, saat pemilihan nanti menconteng siapa?" kejar seorang RW.

"Hari pencontengan masih jauh!" tegas sekdes. "Sebelum sampai ke sana, setelah tahapan deklarasi warga kita masih bisa menarik manfaat lebih banyak dari masa kampanye! Kita usahakan setiap calon berkampanye, warga desa kita menjadi massa intinya! Dengan begitu hampir setiap hari selama masa kampanye warga desa kita diangkut bus kian kemari, sekaligus dengan kompensasi nasi bungkus dan uang saku!"

"Tapi cara menentukan pilihan akhir harus kita tentukan sekarang, agar sekalian beres!" ujar RT.

"Menjelang hari pencontengan nanti, akan kita usahakan dana operasi fajar dari semua calon!" tegas sekdes. "Tentu saja dilakukan oleh masing-masing koordinator parpol atau calon independen yang telah bekerja untuk calon tersebut sejak awal! Terpenting, waktunya kita atur, dimulai dari yang dananya terkecil, terakhir yang terbesar! Tak diberi tahu pun, warga akan tahu sendiri calon mana yang harus mereka pilih!" n
Selanjutnya.....

Ada Apa di Balik Vonis Antasari?


"BUAT apa kau bawa terus berita vonis mantan Ketua KPK Antasari Azhar itu?" tanya Umar.

"Penasaran! Headline koran hari itu bernada menggugat vonis hakim!" jawab Amir. "Media Indonesia menulis, 'Hakim perkara Antasari abaikan fakta hukum!' Kompas menulis, 'Semua kecewa pada putusan'! Pembaca serasa didesak untuk berpikir, ada apa di balik vonis Antasari?"

"Komisi Yudisial (KY) juga berpikir begitu, akan memanggil majelis hakimnya untuk konfirmasi!" timpal Umar. "Terkesan semua berharap vonis hakim menjawab tuntas semua pertanyaan--bahkan misteri--di balik kasus Antasari! Tapi yang didapat malah pertanyaan baru tadi!"


"Terutama, jawaban atas pertanyaan apakah ada konspirasi pelemahan KPK dengan mengaitkan Antasari dalam kasus pembunuhan itu?" tukas Amir. "Dengan vonis yang mengabaikan fakta-fakta hukum di persidangan--tidak menyinggung hal-hal yang meringankan Antasari, sebaliknya cenderung berlebihan dalam mengangkat hal-hal yang memberatkan dengan mengambil materi dari luar persidangan, khususnya dari BAP--semua pertanyaan itu tak terjawab. Padahal, menurut guru besar ilmu hukum pidana Universitas Slamet Riyadi, Solo, Teguh Prasetyo (Kompas [13-2]), jika merunut bukti-bukti dan saksi di persidangan, Antasari sesungguhnya belum secara eksplisit terbukti sebagai aktor intelektualis!"

"Namun perlu dicatat, semua pihak itu--termasuk Antasari--amat menghormati putusan hakim!" timpal Umar. "Justru berkat penghormatan itu, respons disampaikan demi lebih sempurnanya lagi putusan hukum! Hal itu sejalan dengan prinsip pengadilan terbuka, selain hakim atau juri terikat pada semua fakta persidangan, publik yang mengikuti prosesnya lewat persidangan terbuka (bahkan dengan siaran langsung televisi) bisa menilai sejauh mana keadilan ditegakkan--dalam UU Kehakiman penilaian publik itu disebut rasa keadilan masyarakat!"

"Tetapi, meski rasa keadilan masyarakat itu penting, tak bisa mengubah vonis!" tegas Amir. "Fungsi pressure rasa keadilan masyarakat dari publik sebatas membuat para hakim di proses lanjutan lebih saksama dalam memeriksa pengamalan hukum oleh hakim di pengadilan tingkat pertama! Artinya, peradilan yang lebih tinggi itu bekerja dengan fakta-fakta hukum yng telah ada dari persidangan tingkat pertama! Rasa keadilan masyarakat dianggap telah terpenuhi jika semua fakta hukum di persidangan diakomodasi!"

"Respons publik di media massa atas vonis Antasari secara umum sebatas bertanya, dikemanakan fakta hukum di persidangan? Tak lebih!" timpal Umar. "Sedang apakah kasus Antasari merupakan konspirasi pelemahan KPK, tetap menjadi misteri, karena usaha Antasari dan pengacaranya cenderung gagal merangkai secara akurat fakta-faktanya di persidangan, kecuali sebatas indikasi-indikasi belaka!" n
Selanjutnya.....

Media dan Peradaban Hidayatullah!

"SOAL peradaban, Jamaluddin Al Afghani berkata, 'Saya melihat Islam di Barat, tapi tak melihat orang Islam! Sebaliknya, saya melihat orang Islam di sini, tapi tak melihat Islam!" ujar Umar. "Itu menu pembuka diskusi Peran media dalam perkembangan peradaban Islam yang digelar Forum Silaturahmi Media Islam (FMSI) di Polinela, Sabtu. Apa dasar Al Afghani sesinis itu?"

"Peradaban Islam dalam terminologi Al Afghani adalah peradaban hidayatullah! Suatu peradaban, yang merupakan manifestasi capaian usaha manusia dalam meraih hidayah Ilahi terutama terkait ilmu pengetahuan, teknologi dan sosial (ipteksos) guna mengimplementasikan sunatullah--segala ciptaan Allah di semesta alam--untuk kemaslahatan umat manusia!" jawab Amir. "Artinya, bagi Al Afghani, peradaban Islam itu suatu standar kualitatif menurut persepsi islami, bukan berdasar siapa penerima hidayah, karena hidayah dikaruniakan untuk seluruh makhluk ciptaan-Nya!"


"Jadi itu dasar Al Afghani sinis?" timpal Umar.

"Begitulah!" tegas Amir. "Hidayah (ipteksos) bersifat universal, sesuai pesan Rasulullah saw., tuntutlah ilmu walau ke negeri China! Sejalan, Imam Ali r.a. menegaskan, ambillah segera kebenaran dari mana pun datangnya! Kedua amanat itu penting bagi memajukan peradaban Islam! M. Iqbal juga menegaskan, sejarah modernitas yang identik dengan peradaban Barat hanya perkembangan lebih lanjut (mata rantai) dari beberapa fase terpenting peradaban Islam! Versi Iqbal, peradaban Islam itu sejak turunnya wahyu pertama (iqra) sampai jatuhnya Dinasti Utsmani--1924!"

"Apa relevansi diskursus itu dengan kekinian kita?" tanya Umar.

"Lewat pemikiran Al Afghani dan Iqbal, berarti mengembangkan peradaban berorientasi Quran (secara tekstual yang diwahyukan maupun sunatullah--ayat-ayat Allah berbentuk semesta alam dan semua makhluk ciptaan-Nya) dan Hadis!" jawab Amir. "Quran meriwayatkan, banyak peradaban lahir, jaya, lalu runtuh! Itu terjadi berulang dengan penyebab yang sama, setiap peradaban runtuh akibat moralitas masyarakatnya rusak!"

"Itu relevan sekali dengan realitas bangsa kita, yang korupsinya tergolong fatal!" timpal Umar.

"Maka itu, peran media di negeri berpenduduk Islam terbesar di dunia ini menjadi strategis untuk menyelamatkan peradaban dari kehancuran moral akibat korupsi dan semua penyakit sosial bawaannya!" tegas Amir. "Untuk itu, selain peran penyalur informasi dan hiburan yang dijalankan dewasa ini, peran kontrol sosial untuk menumpas korupsi dan peran kultural edukatif untuk mewujudkan peradaban sebagai manifestasi keyakinan (iman) dalam setiap aspek kehidupan manusia, harus menjadi prioritas media massa!"

"Tanpa itu, di negeri berpenduduk Islam terbesar di dunia ini Al Afghani akan tetap sukar melihat (peradaban) Islam!" timpal Umar. "Yang kian mencolok justru penghancuran peradaban lewat korupsi!"
Selanjutnya.....

Century Gate Vs Penunggak Pajak!

“KIAN dekatnya kerja Panitia Khusus (Pansus) DPR menyingkap detail skandal Bank Century (Century Gate), semakin tajam pula apa yang ditengarai sebagai konflik antara Menkeu Sri Mulyani dan Aburizal Bakrie—selaku Ketua Umum Golkar yang fraksinya di Pansus termasuk paling keras membongkar Century Gate dan sebagai pengusaha Bakrie Group!” ujar Umar. “Selain demonstran nyaris setiap hari belakangan ini menyatroni Wisma Bakrie di Kuningan, Jakarta, sudah dua kali pula Presiden SBY mengecam kolusi politik dan bisnis untuk mengemplang pajak, yang di antaranya terkait Bakrie Group!”

“Dalam konflik itu, Golkar, setelah mengumpul semua menteri dan anggota DPR dari partainya, menegaskan tak akan mundur—dari menuntaskan Century Gate! (Kompas, [11-2]) Sekalipun para menterinya di resuffle!” sambut Amir. “Kenapa Aburizal kali ini tampak begitu nekat hingga bersikap tak bisa ditawar-tawar begitu?”

“Kader Golkar yang anggota Pansus Century Gate, Ade Komarudin, dalam dialog di Radio
Elshinta (10-2) menegaskan harus dibedakan Aburizal Bakrie sebagai pribadi, sebagai pengusaha atau perusahaan, dan sebagai ketua umum Golkar!” timpal Umar.

“Dalam kaitan ada perusahaannya sebagai penunggak pajak, menurut Ade, sudah sekian kali departemen keuangan mengajukan kasusnya ke kejaksaan, tapi selalu ditolak! Dilengkapi, ditolak lagi! Seharusnya, sesuai UU Pajak, setelah tiga kali ditolak kejaksaan membuat SP-3 (surat penghentian penyidikan perkara). Tapi, karena dikait-kaitkan dengan politik, SP-3 tak kunjung dikeluarkan!”

“Jadi, dilihat dari sisi Bakrie, tuduhan kolutif politik dan bisnis justru merugikan pihak mereka!” tegas Amir. “Apalagi terkait perusahaan, selain di antara penunggak pajak itu perusahaan publik, yang harus bertanggung jawab para pengurus perusahaan! Bisa saja, nama Aburizal tak terdapat di antara pengurus itu karena pemilikan badan usaha itu atas nama badan-badan usaha pula!”

“Itu dia!” timpal Umar. “Setidaknya ada dua alasan kenapa Aburizal berani tegas selaku ketua umum Golkar! Pertama, kejaksaan tidak cukup bahan untuk menindak perusahaannya—sehingga meski presiden menegaskan di depan Rapim Polri agar menindak tegas pengemplang pajak, hal itu tidak khusus ke arah perusahaannya yang telah lolos dari jerat kejaksaan! Kedua, jika perusahaan yang ditindak, itu milik publik, bukan milik an sich Aburizal Bakrie!”

“Belum lagi kalau akibat kerasnya sikap Aburizal selaku ketua umum Golkar dalam Century Gate—kebetulan sebagai keberpihakan pada aspirasi dan nurani rakyat—dijadikan alasan untuk resuffle kabinet dan penindakan terhadap dirinya atas tuduhan penunggak pajak, Aburizal malah jadi ’martir’ dalam pengungkapan Century Gate!” tegas Amir. “Itu posisi strategis jika Century Gate berujung pada jatuhnya pemerintahan!” ***

Selanjutnya.....

Menuju 'People-Centered Democracy'!

PRESIDEN SBY dalam pidato Hari Pers Nasional di Palembang menekankan, demokrasi yang ingin dicapai di negeri ini mestilah demokrasi yang benar-benar bertumpu pada rakyat, bukan berpusat pada negara, bukan pula demokrasi yang berpusat pada media massa!" ujar Umar. "Kata Presiden, di banyak negara ada fenomena yang disebut media-centered democracy. Kita dengan sadar tidak menuju ke situ. Kita menuju people-centered democracy, peran pers juga mestinya menuju ke situ." (Kompas, 10-02-10)

"Fenomena media-centered democracy terjadi berkat pers dipercaya masyarakat informasinya dan efektif sebagai penyalur aspirasi rakyat!" sambut Amir. "Lebih lagi, ketika lembaga-lembaga lainnya dalam masyarakat--eksekutif, legislatif, dan yudikatif--makin tak bisa dipercaya oleh rakyat, sehingga mengalami minus kepercayaan, maka pers sebagai lembaga yang masih bisa dipercaya mengalami surplus power, kepercayaan (power) dari rakyat itu melimpah ke pers!"


"Surplus power pada pers saat ini juga disebutkan Presiden!" tegas Umar. "Karena itu, kata Presiden, amat penting untuk memastikan kekuasaan pers itu digunakan secara tepat, dan konstruktif! Pers bisa memilih, menentukan, membatasi dalam keadaan apa power yang surplus itu digunakan dengan baik, untuk kesejahteraan rakyat!"

"Itu terjadi karena kontrol rakyat atau checks and balances terhadap pers berlangsung kontinu dan ketat!" timpal Amir. "Koran menjalani pemilihan umum lewat pasar (market electoral system) setiap hari, jika tidak menyampaikan informasi dan aspirasi sesuai yang diinginkan rakyat, hari itu juga ditinggalkan pembacanya! Media elektronik bahkan menjalaninya setiap menit, customer langsung zapping (pindah saluran) begitu sajian informasinya jelek atau membosankan! Jadi, jauh lebih ketat dari kontrol atau checks and balances terhadap kekuasaan eksekutif dan legislatif yang terjadi lewat pemilihan umum lima tahun sekali!"

"Lantas, bagaimana menggeser fenomena media-centered democracy itu menuju people-centered democracy seperti diharap Presiden?" tanya Umar.

"Kalau yang dimaksud demokrasi berorientasi pada tindakan rakyat langsung, selain lewat pemilu lima tahun sekali, eksekutif dan legislatif harus bisa membuat efektif mekanisme rembuk desa sampai nasional perencanaan pembangunan, serta setiap unjuk rasa mendapat solusi!" tegas Amir. "Jika semua itu tak efektif, seusai pemilu eksekutif dan legislatif melupakan amanah rakyat, rembuk desa cuma formalitas sedang program yang jalan sesuai selera penguasa, atau demo malah dilayani seperti perusuh, people-centered democracy sukar terwujud! Artinya, justru rakyat sendiri yang memberi mandat kepercayaan pada pers--media-centered democracy tak tergeser!"
Selanjutnya.....

Kaki Seribu, Jalannya Justru Lambat!


"ADI..!" teriak ibu. "Jangan bermain luwing, si kaki seribu itu, tubuhmu rawan alergi!"

"Untuk PR--pekerjaan rumah--pelajaran biologi!" jawab Adi. "Tugasnya membuat tulisan tentang hewan di sekitar rumah yang bukan peliharaan!"

"Kalau luwing, tentang apanya yang mau kau tulis?" tanya ibu jadi tertarik pada pe-er anaknya.

"Jelas tentang kakinya, yang membuat dia disebut kaki seribu!" jelas Adi. "Tapi, dengan kakinya yang banyak ini jalannya justru jadi lambat! Dibentak atau digelitik juga tak bisa membuatnya berjalan lebih cepat! Tahu Mama, apa sebabnya?"

"Tidak!" jawab ibu. "Kenapa jadi begitu?"


"Setelah kuperhatikan, dengan seribu langkah yang dia lakukan, ternyata sama dengan satu langkah makhluk berkaki dua atau empat! Karena setiap satu langkah kaki terdepan harus diikuti semua kaki berikutnya, juga dengan selangkah!" jelas Adi.

"Kedua, karena kakinya kecil-kecil--nyaris seperti rambut--sedang badannya relatif besar dan panjang dibanding ukuran setiap kaki! Akibatnya, kakinya jadi menyangga beban yang terlalu berat! Itu membuatnya tak bisa melangkah dengan ayunan loncatan untuk mempercepat gerakan seperri dilakukan hewan berkaki sedikit!"

"Huahaha...! Jadi, semakin banyak kakinya malah cuma memperlambat jalannya!" ibu terbahak. "Mirip koalisi partai-partai dalam pemerintahan, semakin banyak partai sebagai kaki pengusung kekuasaan, semakin sukar pula mengatur irama kekompakan langkahnya! Selain itu, dengan setiap partai mengemban (membawa beban) amanah kepentingan konstituen masing-masing yang harus mereka perjuangkan, beban yang harus dipikul koalisi juga menjadi jauh lebih berat!"

"Begitu ya, Ma?" timpal Adi. "Apalagi, menyatukan irama langkah semua kaki partai dalam koalisi itu tampak susah sekali, sehingga yang terjadi malah di antara kaki saling tarik-menarik, bahkan saling jegal! Akibatnya, jangankan bergerak maju, jalan di tempat juga tubuh pemerintahan koalisi jadi geal-geol oleh tarik-menarik di ntara kakinya!"

"Hal itu terjadi karena setiap partai dalam koalisi memiliki kekhasan masing-masing baik aksentuasi ideologis maupun aspirasi yang diperjuangkan!" tegas ibu. "Tapi setelah mereka berkoalisi, semua itu digeneralisasi hanya dalam satu orientasi--kepentingan kekuasaan! Tanpa kecuali, orientasi kekuasaan tersebut bertentangan dengan aspirasi konstituen yang harus diperjuangkan partai-partai koalisi! Itu penyebab jalan kekuasaan jadi geal-geol dan lambat!"

"Berarti, setiap koalisi berkuasa geal-geol bisa jadi petunjuk, orientasi kepentingan kekuasaan sedang tak selaras dengan aspirasi konstituen yang diperjuangkan partai-partai koalisi!" timpal Adi.

"Masalahnya, mana yang harus diutamakan--kepentingan kekuasaan atau aspirasi konstituen?"
Selanjutnya.....

PD, Jangan Sakiti Hati Rakyat!

“MAYORITAS pendukung yang memberikan suara buat SBY pada pemilihan umum presiden (pilpres) 2009 berasal dari luar Partai Demokrat—PD!” ujar Umar. “Perbandingan hasil suara pilpres dengan pemilihan umum legislatif (pileg) 2009 menjadi petunjuk, dengan pendukung dari luar dua kali lebih besar dari pendukung PD di pileg! Mereka itu, selain massa mengambang, juga dari partai-partai yang berkoalisi dengan PD untuk memenangkan pasangan SBY-Boediono! Alasan umum mayoritas tersebut memilih SBY adalah kesantunannya dalam berpolitik, tidak mentang-mentang atau sok kuasa, serta pada priode pertama berkuasa berhasil memikat rakyat kecil seperti lewat BLT—bantuan langsung tunai!”

“Untuk apa kau bernostalgia begitu?” sela Amir.

“Karena penampilan elite PD terkait Pansus Hak Angket DPR untuk Kasus Bank Century, terkesan kuat membalikkan citra kesantunan SBY itu, selain cenderung mentang-mentang sok kuasa!” tegas Umar. “Hal itu bisa menyakiti hati mayoritas rakyat pemilih SBY dari luar PD, lebih-lebih konstituen partai lain yang memberikan suara ke SBY! Lebih lagi, pernyataan elite PD cenderung menista elite partai-partai yang dibanggakan konstituen tersebut!”

“Di luar kaitannya dengan mayoritas pendukung partai koalisi pemenangan SBY dalam pilpres itu, perasaan rakyat secara umum juga perlu menjadi pertimbangan elite PD!” timpal Amir.

“Khususnya terkait ekspresi—sikap dan gaya—elite PD di dalam dan luar Pansus DPR menghadapi perkembangan penyelidikan Pansus yang justru kian mendekati aspirasi dan harapan rakyat dalam mengungkap kebenaran dalam skandal Bank Century! Yakni, kian jelasnya kronologis dan terus mengerucutnya siapa saja yang harus bertanggung jawab!”

“Ekspresi elite PD di berita televisi yang cenderung menekan dan bernada mengancam partai-partai mitra koalisi dengan reshuffle kabinet—yang bisa ditafsirkan sebagai usaha untuk menghambat pengungkapan lebih jauh skandal Bank Century—bisa menuai antipati rakyat, termasuk pemilih SBY dari konstituen partai-partai mitra koalisi!” tegas Umar. “Apalagi jika ancaman tersebut benar-benar dilakukan, opini publik bisa bergejolak pesat, mungkin jauh lebih dahsyat dari kasus Prita Mulyasari maupun cicak lawan buaya! Artinya, secara sadar elite PD justru menempatkan diri mereka pada posisi antagonis!”

“Meski begitu, jika para wakil partai-partai koalisi di Pansus Hak Angket konsisten mengutamakan kepentingan rakyat untuk bisa mendapatkan kebenaran peristiwa dalam skandal Bank Century, mereka berutang budi pada elite PD yang telah meroketkan mereka menjadi bintang protagonis!” timpal Amir. “Jika hal itu terjadi, wajar rakyat bertanya—lantas PD sebenarnya mewakili siapa?” ***

Selanjutnya.....

Restorasi, Akhiri Konflik tanpa Henti!


"INDONESIA negeri serbaunik!" ujar Umar. "Menjalankan perintah menteri, seorang dirjen, sejumlah gubernur dan bupati-wali kota masuk bui! Itu kasus damkar--mobil pemadam kebakaran! Lalu konflik KPK dengan polisi dan jaksa, cicak lawan buaya, publik gerah, presiden pun membentuk Tim 8! Disusul skandal Bank Century, kata pemerintah itu kebijakan brilian, lembaga lain beda penilaian! Kini muncul konflik fee BPD (Bank Pembangunan Daerah), kata KPK itu gratifikasi alias korupsi! Mendagri ngotot itu hak kepala daerah! Presiden janji, tak melindungi menteri yang terlibat!"

"Itu konflik tanpa henti antarpengelola kekuasaan!" sambut Amir. "Konflik akibat beda persepsi tentang kekuasaan masing-masing! Demi serbaunik, setiap konflik diselesaikan lewat cara spesifik! Kelihatan sebagai negeri kreatif, tapi sebenarnya cermin kekaburan standar akibat egosektoral yang hanya membenarkan tafsir sendiri!"


"Dibanding anak-anak bermain gobak sodor yang semua pihak selalu taat aturan main tanpa wasit, gejala itu menunjukkan justru kaum tua yang tak keruan!" tegas Umar.

"Kalau setiap masalah jadi konflik dan setiap konflik harus cari solusi spesifik, bangsa ini bisa kehabisan waktu dan energi untuk soal yang jika aturan mainnya 'digobaksodorkan', sebenarnya tak perlu terjadi!"

"Realitas itu membuat bangsa jalan di tempat, padahal bangsa lain berpacu dengan full speed!" timpal Amir. "Tapi, nasi telah jadi bubur! Bukan jalan keluar yang terbuka, justru masalah baru yang terus timbul! Bangsa kian tenggelam dalam timbunan masalah yang semakin ruwet saja!"

"Berarti perlu terobosan konstitusional untuk membawa bangsa keluar dari realitas itu!" sambut Umar. "Cuma, terobosan seperti apa?"
"Realitas bangsa sudah mirip candi kena gempa dahsyat! Patung dan ornamen berserakan, tak jelas lagi bentuknya!" tegas Amir. "Diperlukan restorasi, menyusun kembali satu per satu materi berserakan itu untuk dikembalikan pada bentuk dan tempat semula! Sampai, seluruh bangunan kembali pada bentuknya yang ideal!"

"Restorasi Indonesia, itu judul manifesto Nasional Demokrat!" potong Umar.

"Kuncinya demokrasi yang mampu menghadirkan pemimpin berkualitas dari tingkat nasional sampai daerah!" tegas Amir. "Kini budaya uang dominan dalam seleksi pemimpin, dari jalur politik sampai sektoral! Mulai kampanye media dan lapangan, sampai penentuan pilihan perorangan, bukan rahasia umum lagi, ditentukan duit! Tanpa kecuali godaan uang telah menjadi perusak moral nomor wahid--moralitas pemimpin di semua tingkat terimbas guncangan gempanya!"

"Jadi, kebanyakan pemimpin hadir di semua tingkat cuma produk budaya uang!" timpal Umar. "Sehingga, moralitasnya tak layak diteladani!" ***
Selanjutnya.....

Koalisi PKS untuk Pemilihan Presiden!

"MASYARAKAT se-Tanah Air masih ingat tegangnya persiapan koalisi PKS--Partai Keadilan Sejahtera--dengan Partai Demokrat, hingga baru ditandatangani menit-menit terakhir menjelang deklarasi pencalonan pasangan SBY-Boediono untuk presiden/wakil presiden!" ujar Umar. "Saat itu pemilihan umum legislatif (pileg) telah selesai, sehingga bagi konstituen PKS koalisi itu khusus untuk pemilu presiden (pilpres) dengan segala kaitan lanjutannya! Konstituen PKS tidak memberi mandat koalisi di parlemen, yang tak pernah dilakukan sebelum pileg!"

"Karena itu, PKS harus tetap memegang teguh amanah konstituennya pada pileg!" sambut Amir. "Konstituen PKS juga tak boleh dilecehkan partai lain setelah memberikan suara di pilpres pada calon sesuai pengarahan pimpinan PKS! Artinya, hak-hak PKS terkait pilpres tak bisa dicampur aduk dengan pileg yang prosesnya terpisah!"

"Konsistensi PKS mengemban amanah konstituen untuk menegakkan kebenaran dalam kiprahnya di parlemen, merupakan kehormatan yang tak bisa ditawar-tawar apalagi digadaikan!" tegas Umar. "Menjaga kehormatan, bagi kader PKS, yang juga pemimpin umat, jelas tak bisa dibanding apalagi disetarakan dengan pertimbangan pragmatis! Amanah dan kehormatan berada pada prioritas tinggi untuk dipertahankan dan diperjuangkan, justru sebagai standar integritas dan kredibilitas setiap kader PKS!"

"Untuk itu, para kader PKS terutama yang terkait proses koalisi, punya kewajiban moral untuk menjelaskan kepada mitra koalisi tentang proporsi koalisi sesuai prosesnya, dan tentang pemahaman konstituen PKS atas koalisi tersebut!" timpal Amir. "Sejalan itu, meluruskan kesalahpahaman dalam memaknai koalisi yang dipublikasikan luas dan cenderung merugikan karena cenderung melabeli PKS sebagai partai ingkar janji--lalu menghukum PKS dengan menggusur kadernya dari kabinet! Padahal, bargaining

kursi kabinet secara nyata terkait dengan dukungan konstituen PKS dalam memenangkan pilpres, sehingga jika dilakukan penggusuran kader PKS dari kabinet berarti telah menafikan dukungan konstituen PKS di pilpres!"

"Di sisi lain, apa pun pilihan langkah PKS dalam Pansus Century Gate DPR akan menjadi ukuran bagi konstituennya sejauh mana PKS mampu mengemban amanah konstituen, khususnya lagi amanah dalam menegakkan kebenaran!" tegas Umar. "Sikap kurang tepat mitra koalisi terhadap PKS dengan mengacungkan ancaman reshuffle kabinet justru dijadikan ujian atas kematangan berpolitik kader PKS, apakah ancaman itu bisa menggoyahkan pendirian dan orientasinya pada amar makruf nahi mungkar--mengemban teguh amanah dan berpihak pada kebenaran--dengan menentang perbuatan mungkar, salah secara moral, hukum maupun administratif!"

Selanjutnya.....

Palembang Siap Gelar SEA Games!


"SUKSES menyelenggarakan PON dan kini tuan rumah Porwanas, Palembang dipromosikan Wali Kota Eddy Santana Putra untuk jadi tuan rumah SEA Games 2011," ujar Umar.

"Dibanding PON pesertanya 33 kontingen (provinsi), SEA Games 11 kontingen (negara)--bilangan peserta jadi lebih kecil--yang diperlukan tinggal membangun kampung atlet berstandar ASEAN!"

"Palembang kota yang tumbuh komprehensif! Bukan cuma ruko yang merebak, fasilitas lain berkembang sebanding!" sambut Amir. "Pusat belanja dan hiburan, hotel berbintang, perluasan kota dengan jalan-jalan baru yang lebar, sarana olahraga, bandara berlantai dua dengan garbarata!"

"Sebagai kota tertua di Indonesia, Palembang mirip nenek gemar bersolek dan fitnes, kondisinya selalu tampak ideal!" tegas Umar. "Berdasar prasasti Kedukan Bukit, yang ditemukan 1923 antara Bukit Siguntang dan Situs Karang Anyar, sebuah wanua--kota--Kerajaan Sriwijaya didirikan tanggal 5, bulan Ashada, tahun 605 Syaka, atau 17 Juni 683 Masehi. Jadi, Palembang pada 2010 berusia 1327 tahun!"


"Prasasti Kedukan Bukit berhuruf Pallawa dengan bahasa Melayu kuno itu telah diperiksa para ahli sejarah kebudayaan, antara lain Prof. M. Yamin!" timpal Amir. "Didirikan Wangsa Syailendra dengan raja pertama Balaputra Dewa, jelas ada kaitan dengan Dinasti Syailendra di Jawa yang pada kurun sama membangun Candi Borobudur--satu dari tujuh keajaiban dunia! Betapa maju Sriwijaya sebagai pusat kebudayaan dan bisnis kawasan Asia Tenggara zaman itu!"

"Cikal bakal Singapura juga dirintis putra Sriwijaya, Parameswara, lalu Malaka dan Pattani! Ia masuk Islam dengan nama Sultan Iskandar Syah!" sambut Umar. "Maka itu, SEA Games 2011 di Palembang bisa menjadi event nostalgia memicu reorientasi visi kejayaan Sriwijaya--lewat prosesi yang dikemas mirip program ESQ--emotion spriritual quotient--khusus buat generasi muda! Semangat merintis dan membangun negeri dengan kesiapan mengambil risiko bawaan setiap tantangan, harus jadi kultur masa depan bangsa!"

"Reorientasi mencapai kejayaan lewat event nostalgia begitu jarang didapatkan generasi muda, sehingga mentalitas bangsa cenderung kian kerdil saja--terakhir ketakutan pada perdagangan bebas dengan China!" tegas Amir. "Apalagi kepada negara adidaya, secara formal para pemimpin cari jalan paling nyaman bagi kekuasaan, tak peduli dalam segala hal kita dirugikan--contohnya, konsesi pertambangan dan bagi hasilnya!"

"SEA Games sebagai pemicu reorientasi menyulut semangat kejayaan Sriwijaya, mematangkan sikap generasi muda siap rawe-rawe rantas, sebenarnya bisa membuat takut para pemimpin yang sekarang saja sudah pusing mengatasi gejala semangat sejenis yang semakin marak di kalangan generasi muda! Namun, karena sikap berani mengambil risiko amat diperlukan bangsa ke masa depan, agar tak menjadi bangsa yang semakin lembek dan lemah dalam persaingan global, SEA Games di Palembang menjadi keharusan!" ***
Selanjutnya.....

Rebut Masa Depan dengan Keringat!


"MODEL pembangunan yang jor-joran menebar charity--'sedekah politis'--kepada warga miskin, mulai pembagian uang tunai sampai sembako, selalu mendapat sorotan kritis karena membuat rakyat tergantung dan menunggu, di antaranya jadi malas!" ujar Umar.

"Idealnya, mendorong partisipasi aktif rakyat, kerja keras merebut masa depan dengan keringat dan tangannya sendiri!"

"Dr. Kartono Mohammad (Metro TV, [2-2]) memberi contoh di China--berpenduduk 1,5 miliar jiwa tapi pengangguran tak mencolok seperti Indonesia--bantuan tidak cuma-cuma, tapi berupa gaji lewat kerja memeras keringat!" sambut Amir.


"Contoh, di jalan raya bebas hambatan antarprovinsi yang setiap ruas panjangnya ratusan kilometer, banyak orang mengecat jalan dengan sejenis aqua proof! Mereka bukan mengecat dengan semprotan atau roller yang bisa lebih cepat selesai, tapi memakai kuas, agar lebih banyak orang bisa dipekerjakan!"

"Dengan begitu penerima bantuan bisa merasa lebih bermartabat dan memiliki harga diri tak beda dengan warga lainnya, karena mereka mendapatkannya lewat bekerja keras memeras keringat--tak cuma nyadong seperti dalam model charity!" tegas Umar.

"Di sisi lain, dengan lapisan aqua proof yang kontinu, mutu jalan pun terjamin dari intrusi salju maupun hujan hingga tahan lebih lama, tak seperti jalan di negeri kita yang setiap musim hujan hancur dan harus direhab total dengan biaya jauh lebih mahal dibanding mengecat dengan aqua proof secara teratur!"

"Dari semua sisinya memang lebih berhasil guna dan berdaya guna!" timpal Amir.

"Tapi jauh lebih penting dari itu, model China mengembangkan budaya kerja keras secara nyata! Seiring itu mereka juga dibekali keterampilan khusus sesuai proyeksi kebutuhan dan masa depan!"

"Berarti benar-benar didorong dan difasilitasi untuk merebut masa depan dengan keringat dan tangannya sendiri!" sambut Umar. "Hal serupa menjadi cita-cita Nasional Demokrat. Manifesto ormas itu menegaskan dasarnya, demokrasi berbasis warga negara yang kuat!"

"Konsep pembangunan berdasar demokrasi berbasis warga itu sebenarnya sudah ada, dikenal dengan proses rembuk desa sampai nasional!" tegas Amir.

"Namun, dalam pelaksanaannya posisi warga negara amat lemah! Saat rembukan warga menyepakati prioritas program di desanya, tapi sampai kabupaten prioritasnya ada pada bupati, terkait berbagai kepentingannya! Jika kebetulan proyek di desanya dibangun, pelaksananya kontraktor atau swakelola dinas terkait, sedang rakyat cuma jadi
penonton!"

"Itu dia!" timpal Umar. "Demokrasi model rembuk desa itu harus berbasis warga negara yang kuat! Tanpa itu warga diperalat elite, kompensasinya ditradisikan nyadong!" ***
Selanjutnya.....

'Onbeschop', Foto Presiden Diinjak!


DI coffee shop sebuah hotel Jakarta, seorang bule memakai t-shirt bersulam kincir angin di dada kiri menonton televisi yang menghadap ke arahnya.

"Onbeschop!" entaknya melihat tayangan berita, lalu beranjak dengan wajah tak nyaman!

"Kenapa si bule ngacir sewot seperti disengat lebah?" tukas Umar. "Apa arti ucapannya tadi?"

"Entah!" jawab Amir. "Tapi lihat berita di televisi, ternyata si bule gerah melihat tayangan foto presiden dan wakil presiden--pasangan SBY-Boediono--diinjak-injak demonstran!"

"Apa ruginya dia, harus sewot?" timpal Umar. "Kita saja yang empunya itu presiden tak begitu!"


"Tunggu dulu!" entak Amir. "Kita yang setiap hari melahap berita seperti itu jadi imun, tidak merasa aneh! Logika kita sudah kebas, mati rasa! Beda dengan si bule yang pertama melihat foto kepala negara diinjak-injak, sukar diterima logikanya!"

"Dia sewot mungkin karena kecewa pada dirinya, salah memilih negeri tujuan wisata!" timpal Umar. "Semula dia pilih Indonesia karena promosi tradisi peradabannya adiluhung--par excellences! Sampai di sini ia menemukan sebaliknya, peradaban yang amat rendah, demokrasi tanpa etika! Bagi bule yang lebih dulu mengenal demokrasi, terjebak situasi seburuk itu serasa kecemplung sumur!"

"Maka itu, kita yang harus introspeksi total!" tegas Amir. "Kalau warga asing saja tak nyaman melihat foto kepala negara dari negeri yang dia kunjungi diinjak-injak, masak kita warga negaranya sendiri terlalu bebal untuk bisa menyadari hal itu sebagai perbuatan amat buruk, berdemokrasi tanpa etika! Belum lagi jika mengingat dwitunggal pemimpin bangsa itu merupakan lambang negara!"

"Selain itu, saudara-saudara sebangsa kita, terutama demonstran, juga perlu diingatkan untuk menjunjung asas praduga tak bersalah!" timpal Umar. "Untuk itu, spanduk, poster, foto, dan happening art dalam demo harus dijaga proporsinya pada sifat karikatural, bukan vonis, apalagi mengeksekusi! Jika dalam perjuangan kita tidak menghormati prinsip-prinsip hukum yang mendasar, apalagi dengan sengaja melanggarnya, usaha menciptakan masa depan bangsa lebih baik akan sia-sia, sebab pada saat yang sama kita rusak sendiri dasarnya secara lebih buruk lagi!"

"Namun demikian, kalangan penguasa juga perlu diingatkan, demokrasi itu proses interaksi!" tegas Amir. "Artinya, jika demo dengan cara-cara elegan saja sudah mendapat respons memadai, sebatas cara-cara itu pula demokrasi berjalan efektif! Tapi jika pihak penguasa mati rasa, peningkatan tahap demi tahap intonasi pendemo tak dapat respons, interaksi selalu gagal, tak terelakkan prosesnya berlanjut hingga ke tingkat yang tak bisa ditoleransi--seperti juga demokrasi formal yang tak beretika! Tapi tampak, semua itu produk sekaligus bukti kegagalan interaksi penguasa dalam komunikasi politik berdemokrasi!" n
Selanjutnya.....

PKS dan Golkar Uji Soliditas Koalisi!


"IZIN Mahkamah Agung (MA) kepada Pansus DPR untuk mendapatkan semua data Bank Century dari BI, BPK, dan PPATK lewat PN, memperbesar peluang Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Golkar menguji soliditas koalisi partai-partai berkuasa!" ujar Umar.

"Gelagat PKS dan Golkar di Pansus yang cenderung menilai Boediono dan Sri Mulyani bertanggung jawab atas bailout Bank Century (Koran Tempo, 31-1), dapat dukungan data lebih lengkap dengan izin MA itu!"

"Penilaian demikian jelas bertentangan dengan partai-partai koalisi berkuasa lainnya--PD, PAN, PPP, dan PKB, yang berpromosi kebijakan KSSK (Sri Mulyani dan Boediono) mem-bailout Bank Century justru menyelamatkan ekonomi dari krisis global!" timpal Amir. "Soal keberanian untuk bersikap beda dengan koalisi berkuasa, PKS sudah membuktikan dalam menolak ujian nasional (UN) di komisi DPR yang membidangi pendidikan! Sedang bagi Golkar, sikap beda itu justru merupakan peluang untuk meningkatkan bargaining, sekaligus unjuk gigi menghadapi kerasnya sikap Sri Mulyani dalam polemik dengan Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie, maupun hal lain yang terkait di balik itu!"


"Jika harus voting dalam menentukan sikap akhir Pansus dengan PKS dan Golkar tak mendukung opsi koalisi berkuasa, dari 30 suara Pansus koalisi hanya akan mendapat 14 suara--PD 8, PAN 2, PPP 2, dan PKB 2, sedang lawan 16 suara--Golkar 6, PDIP 5, PKS 3, Gerindra 1, dan Hanura 1," tegas Umar. "Itu berarti, nonkoalisi bisa mengajukan opsi pernyataan pendapat ke paripurna DPR, berupa pemakzulan Boediono dan Sri Mulyani!"

"Untuk itu, koalisi berkuasa harus menyelesaikan masalahnya di Pansus, mengadang opsi terburuk bagi penguasa masuk ke paripurna!" timpal Amir. "Sebab, meski di paripurna sebenarnya masih bisa diatasi koalisi lewat pimpinan partai, opsi yang sempat mencuat jadi isu strategis akan sulit dikendalikan! Untuk itu, PKS atau Golkar yang harus 'diselesaikan'? PKS, berdasar pengalaman kasus UN, sukar ditawar sikapnya! Sedang Golkar, harus dicoba apakah bargain tak bisa ditawar?"

"Apa pun hasil akhirnya kemudian, proses dalam kerja Pansus Bank Century menunjukkan PKS dan Golkar telah menguji soliditas koalisi partai-partai berkuasa!" tegas Umar.

"Hal ini bisa dientengkan dengan menyebutnya sebagai dinamika politik! Tapi, pada gilirannya, hal itu juga menjadi ujian bagi partai-partai koalisi, apakah itu dilakukan untuk memuaskan kepentingan kekuasaan, atau benar-benar komitmen pada kebenaran sesuai nurani! Hanya yang menjalaninya yang tahu!"

"Namun, dengan prosesnya secara saksama diikuti rakyat melalui siaran langsung televisi, rakyat tetap bisa menilai pilihan sikap dan opsi yang diambil para politisi!" tegas Amir. "Mungkin para politisi merasa lega memenangkan opsinya di parlemen, tapi mereka tak bisa lepas dari ujian yang sesungguhnya, penilaian rakyat!" n
Selanjutnya.....

Demokrasi Berorientasi pada Publik!


"KAMI menolak demokrasi tanpa orientasi kepada publik!" Umar mengutip satu butir manifesto ormas Nasional Demokrat yang dideklarasikan Senin di Istora Senayan.

"Publik dimaksud siapa?"

"Kalau public servant berarti pelayan masyarakat, yaitu para pejabat negara termasuk politisi yang duduk di kursi kekuasaan, aparat negara (militer, polisi, jaksa, hakim), dan birokrat dalam arti semua pegawai yang digaji negara, maka yang dimaksud publik adalah semua warga yang wajib mereka layani!" jawab Amir.

"Namun, dalam aksentuasi praktek kekuasaan negeri kita kini, istilah publik cenderung dimaknai lebih sempit--para aktivis dan warga yang berjuang menyalurkan aspirasi dengan mengritik atau mengoreksi public servant, sehingga yang diasumsikan sebagai publik lebih mengarah pada mereka yang suka mengusik penguasa dari keasyikan menikmati kekuasaan!"


"Konsekuensi pemaknaan sempit itu, penguasa membuat barrier--memasang batas dan jarak--dari setiap yang mereka labeli gerakan publik, sehingga ada garis tegas antara yang berada di dalam dengan di luar lingkaran kekuasaan!" timpal Umar.

"Celakanya, publik yang seperti itu dikeluarkan dari kewajiban pelaksanaan tugas sang public servant, hingga aspirasi, kritik, atau protesnya dianggap angin lalu! Tak jarang pula dianggap sebagai pengganggu, tak diizinkan menyampaikan aspirasinya ke public servant, lalu diusir dengan kekerasan oleh aparat negara!"

"Dengan garis lingkaran kekuasaan yang mereka buat itu, sistem formal demokrasi hanya berlaku dan demi kepentingan mereka yang berada dalam lingkaran kekuasaan!" tegas Amir. "Akibatnya, publik dalam arti luas--semua yang wajib mereka layani selaku public servant--terimbas! Karena dengan lingkaran kekuasaan yang terkapsul itu, semua kucuran nikmat dalam proses bernegara-bangsa hanya dinikmati kalangan mereka yang berada dalam lingkaran, sedang yang di luarnya hanya dapat tampias atau kena cipratan sedikit!"

"Kenyataan itu membuat wajar kelahiran ormas Nasional Demokrat yang dideklarasikan oleh tokoh masyarakat, akademisi, politisi dan profesional sebagai gerakan perlawanan, meneriakkan manifesto yang lantang menolak semua stagnasi dan pembelokan sistem dari cita-cita reformasi yang sesungguhnya!" timpal Umar. "Salah satu butirnya menolak demokrasi tanpa orientasi kepada publik, hingga menjadi amar perjuangan ormas tersebut untuk mengembalikan demokrasi (pemerintahan oleh rakyat) pada proporsi yang sebenarnya, menegakkan demokrasi berorientasi kepada publik, yakni mengembalikan public servant sebagai pelayan masyarakat--bukan lagi kelompok eksklusif dalam lingkaran kekuasaan yang justru mengesampingkan kepentingan rakyat atau masyarakat yang wajib dilayaninya! Selamat datang Nasional Demokrat!" n
Selanjutnya.....

Disonansi Komunikasi, Kapal Karam!


PAK Labai, tokoh masyarakat, jalan bergegas dari arah dermaga. Melihat raut wajahnya yang tegang, saat melintas warung warga bertanya, "Ada apa, Pak Labai?"

"Ada kapal asing karam!" jawab Pak Labai.
Orang dari warung segera berlarian ke dermaga sambil berteriak, "Ada kapal asing karam!"
Warga desa pun berkejaran ke dermaga, tak melihat sedikit pun kapal yang karam itu. Tapi, karena Pak Labai tokoh yang dipercaya, salah seorang berkata, "Berarti sudah tenggelam semua kapal itu! Pak Labai saja tadi cuma melihat bendera asing di ujung tiangnya!"
Sejumlah pemuda mengayuh sampan ke tengah laut. Sampai kembali, mereka tak menemukan sepotong pun benda ringan yang seharusnya timbul, keluar dari kapal yang karam! Mereka ke rumah Pak Labai, "Mungkin yang Pak Labai lihat tadi bendera kapal selam!"

"Siapa yang mengatakan aku melihat?" jawab Pak Labai. "Aku mendengar!"

"Mendengar?" timpal pemuda. "Seperti apa suara kapal karam? Bagaimana tahu itu kapal asing?"


"Aku mendengar dari berita radio di hape yang kukantongi!" tegas Pak Labai. "Disebutkan, ada kapal karam di Segitiga Bermuda! Kata saksi mata warga lokal, kapal itu berbendera asing!"
Para pemuda terhenyak. "Kenapa Pak Labai tadi tak mengatakan begitu? Akibat ucapan Bapak yang tak lengkap, warga sedesa merasa tak nyaman, karena tak memberikan pertolongan!"

"Sampaikan permohonan maafku ke warga desa! Aku tadi sedang tergesa pulang karena mules!" ujar Pak Labai. "Aku paham telah terjadi disonansi komunikasi--warga desa tak nyaman akibat informasi yang kuberikan tidak lengkap!"

"Disonansi komunikasi bukan cuma membuat warga desa kita tak nyaman, tapi warga bangsa!" timpal pemuda. "Menurut Effendi Gazali (Kompas 30-1), itu akibat penjelasan Presiden SBY yang tak lengkap kepada rakyat tentang program 100 hari kabinet! Akibat tak nyaman, mahasiswa, buruh, tani dan elemen kritis se-Tanah Air demonstrasi! Pemerintah juga tak nyaman akibat rakyat tak tahu rincian program 100 hari tersebut!"

"Aku juga tak tahu apa isi program kerja 100 hari kabinet, kecuali satgas mafia hukum yang meski melakukan gebrakan di LP, tak ada mafia yang ditindak secara hukum!" tegas Pak Labai. "Ketika meresmikan PLTU Labuan pada hari ke 100 kerja kabinet, Presiden SBY cuma menyebutkan 15 prioritas, 45 program, dan 145 rencana aksi! Apa isi semua itu, juga tak dijelaskan! Jadi, sampai masa 100 hari berakhir, rakyat tidak tahu apa saja yang dikerjakan dalam program tersebut!"

"Jangan-jangan program kerja 100 hari yang informasinya tak diterima rakyat secara lengkap hingga menimbulkan disonansi komunikasi itu, cuma seperti cerita kapal karam!" tukas pemuda. "Dihebohkan semua orang, tapi sebenarnya tidak ada! Maka itu, rakyat tak merasakan sedikit pun perbaikan kondisi hidupnya!"
Selanjutnya.....