Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Ikan Kepala Batu, Memuaskan Bos!

"IKAN kepala batu, kepalanya yang keras relatif terlalu besar dibanding tubuhnya yang diliputi duri tajam, di Tanah Deli menjadi pilihan Tuan Besar--bos--onderneming perkebunan yang kini lazim disapa Pak A-de-em, alias Administratur!" ujar Umar. "Setelah jadi ikan asin, ikan kepala batu dibagikan sebagai catu--jatah--bulanan untuk lauk buruh perkebunan!"

"Kenapa ikan jenis itu jadi pilihan?" tanya Amir.

"Karena bisa memuaskan sang bos!" jawab Umar. "Bukan puas memakannya! Bos tak makan ikan asin yang separuhnya cuma kepala dan duri! Tapi karena dengan harga yang murah bobotnya bisa untuk memenuhi kewajiban perusahaan memberi jatah ikan asin buruhnya! Dengan biaya untuk itu di pembukuan per kilonya dicatat seharga ikan asin di pasar yang jauh lebih tinggi dari si kepala batu, bayangkan kepuasan seperti apa yang dinikmati bos!"

"Tapi buruh penerima jatah jelek yang lebih banyak jadi sampah itu kan kecewa!" timpal Amir.

"Soal buruh mustahak jatah kecewa bukan urusan bos! Yang penting bos bisa mendapat kepuasan dari si kepala batu!" tegas Umar. "Apa bedanya dengan bos yang memasang tokoh kepala batu sebagai wakil rakyat di parlemen, tak peduli si kepala batu memuakkan rakyat yang diwakili, jauh lebih penting lagi kepuasan bos menikmati kekuasaan berkat gaya si kepala batu!"

"Kalau begitu yang menggejala adalah mentalitas Tuan Besar warisan zaman kolonial!" tukas Amir. "Kepuasan penikmatan kekuasaan bukan sebatas realitas posisinya, tak kalah penting kepuasan dari tindak penindasannya--seperti menyiksa buruh dengan ikan asin kepala batu, atau menyiksa rakyat dengan perasaan muak berlarut akibat penempatan si kepala batu sebagai wakil mereka di parlemen!"

"Lantas sistem politik apa yang dipakai untuk membuat bos tak merasa berdosa dengan cara berkuasa seperti itu?" kejar Umar.

"Jelas sistem politik etis seperti diterapkan para Tuan Besar kolonial yang selalu berpakaian serbaputih itu!" jawab Amir. "Artinya, penampilan dirinya di publik tampak selalu bersih, gaya hidup yang

beretiket, tapi semua itu hanya untuk menyelubungi mesin politiknya yang bekerja efektif menindas rakyat! Begitulah politik etis gaya kolonial! Terutama para politisi yang duduk di Volksraad--parlemen kolonial, tugas utamanya melegalisasi semua masalah yang timbul semata demi pembenaran terhadap semua kebijakan yang menguntungkan penguasa--meski menyakiti rakyat!"

"Mungkin masih dalam semangat gejala itu, DPR atau parlemen zaman kini juga sukar sekali mengganti dua hukum utama warisan kolonial, KUH Pidana dan KUH Perdata!" timpal Umar. "Jadi, kalau gejala watak Tuan Besar muncul wajar saja, karena kekuasaan dijalankan menurut hukum, sedang hukumnya masih warisan kolonial!"

0 komentar: