Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Ibu ’Shock’ Mengira Anaknya Dusta!

IBU terkejut melihat dari mobil anaknya masuk mal. Padahal, ia pamit belajar bersama di rumah teman. Lebih shock lagi sang ibu, teman anaknya itu remaja yang sering terlihat keluyuran di mal!
Saat anaknya pulang ia bawa duduk bersama ayahnya. “Kau hari ini berdusta pada orang tua!” tegur ayah. “Izin belajar di rumah teman, ternyata ibumu lihat kau ke mal, dengan anak yang suka keluyuran di mal!”

“Aku belajar di rumah teman! Suer! Ini pelajaran yang kami kerjakan!” jawab anak. “Soal masuk mal, karena rumah temanku apartemen lantai 15 yang bawahnya jadi mal! Ia setiap hari di mal, itu tempatnya bermain. Yang ada di apartemen cuma komputer! Bosan komputer terus!”
Ayah dan ibunya lega, terbukti anaknya tidak berdusta. “Kenapa sebelumnya tak kau katakan rumah temanmu di apartenen atas mal?”

“Next time!” jawab anak beranjak ke kamar.

“Ibu sih, suuzan! Terlalu cepat bersangka buruk!” giliran ibu ditegur ayah. “Meski bisa membuktikan dirinya tidak seperti yang disangka, ia jadi tak nyaman mengetahui sebenarnya orang tuanya belum memercayai dia sepenuhnya! Pada masa pancaroba, itu bisa mencabik rasa percaya dirinya! Mendorong pencarian jati diri atau pengakuan di luar rumah! Ini bisa merusak, jika yang sesuai bagi dirinya justru berbeda dari norma keluarga!”


“Semoga bisa direhabilitasi dengan aku meminta maaf padanya! Sebagai manusia, ibu juga kan tak luput dari kesalahan!” sambut ibu. “Tapi dari situ jadi terpikir, kalau dalam keluarga saja perasaan harus dijaga agar tidak ada yang tersinggung, betapa dalam kehidupan bernegara-bangsa?”

“Keluarga, kata antropolog, tiang negara! Maka itu, kehidupan bernegara-bangsa juga tak boleh lepas dari sel-sel pembentuknya, keluarga, dari unsur hingga mekanisme strukturnya!” tegas ayah. “Seperti jambu terdiri dari unsur dan mekanisme struktur buah jambu, tak bisa pakai unsur dan mekanisme struktur buah kelapa!”

“Berarti kalau pihak superior dalam keluarga—ayah atau ibunya—salah, harus siap minta maaf pada pihak inferior—si anak, agar mentalitas anak tak tercabik dan harmoni keluarga terpelihara!” sambut ibu. “Demikian pula bernegara-bangsa, jika pihak superior (yang berkuasa) salah harus mau mengaku salah dan minta maaf pada pihak inferior—rakyat yang dikuasai, agar harmoni kehidupan bernegara-bangsa tetap
terpelihara!”

“Maka itu, ketika kehidupan bernegara-bangsa terasa tidak harmonis, kausalitas itu jawabnya!” tegas ayah. “Kalau yang salah tak mau mengakui karena superior, bisa menuding pihak lain yang inferior, maka harmoni keluarga atau negara bangsa bisa terganggu! Padahal, akan jauh lebih mulia jika seorang superior mau mengambil alih kesalahan dan meminta maaf demi harmoni keluarga, meski sebenarnya ia tidak bersalah! Betapa indah ketika semua jadi happy!” n

0 komentar: