Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Kuat, ‘Invisible Hand’ Koruptor!

“MESKI semua kekuatan reformis—dari tokoh lintas agama, media massa, LSM, sampai tokoh-tokoh nasional seperti Hasyim Muzadi, Mahfud M.D.—membela Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), publik tetap khawatir KPK seperti sekarang, yang mampu menindak korupsi di lingkaran dalam kekuasaan, meringkus politisi kelas atas, akan tinggal sejarah!” ujar Umar. 

“Kekhawatiran itu bertolak dari realitas, adanya invisible hand—tangan tak terlihat—yang efektif mengatur berbagai elemen kekuasaan formal bersinergi melumpuhkan KPK, hingga tinggal jadi boneka mainan penguasa!” “Dahsyatnya, proses pelumpuhan KPK itu telah pun dimulai dengan penarikan 20 penyidik Polri dari KPK! Lima penyidik yang belum memenuhi penarikan diancam dijadikan penyidik ilegal!” timpal Amir. “Bersamaan itu, DPR yang tinggal ketuk palu revisi UU KPK untuk menghapus kewenangan penuntutan dan menyadap harus dengan izin, juga minta BPK melakukan audit kinerja KPK! Padahal, dalam audit keuangan KPK meraih opini WTP—wajar tanpa pengecualian!”

“Semua langkah menelikung KPK itu datang dari kubu penguasa! Polri di bawah kendali kekuasaan Presiden, mayoritas fraksi di DPR juga koalisi pendukung Presiden! Namun, Sang Presiden sendiri yang kampanye berjanji memberantas korupsi, menyatakan dirinya tak dibenarkan intervensi!” tegas Umar. 

“Padahal yang tak dibenarkan intervensi itu terhadap kasus korupsi karena bisa terjadi conflict of interest! Tapi untuk sistem pemberantasan korupsi yang sedang terancam oleh kekuatan-kekuatan di bawah kendalinya, baik Polri maupun fraksi-fraksi koalisi pendukungnya di DPR, bukan intervensi yang diperlukan, melainkan menertibkannya agar perjuangan memberantas korupsi yang ia janjikan dalam kampanye tak dipencundangi!” 

“Begitulah logika publik!” timpal Amir. “Logika publik itu punya buntut berbentuk suuzan—prasangka buruk—jika Presiden terus-terusan berlindung di balik alasan dirinya tak dibenarkan intervensi! Karena yang diminta darinya bukan intervensi, melainkan menertibkan kekuatan-kekuatan di bawah kendalinya sehingga ketika Presiden tetap enggan melakukannya, muncul prasangka buruk: jangan-jangan justru di sanalah pangkal invisible hand tersebut! Jadi, suuzannya dipaksa hadir oleh sikap tak peduli terhadap gerakan formal melumpuhkan KPK!” ***
Selanjutnya.....

KPK, Tamatlah Riwayatmu!

"KPK—Komisi Pemberantasan Korupsi, selamat tinggal! Skenario melumpuhkanmu, hingga akhirnya menamatkan riwayatmu, rancangan revisi UU tentang KPK, selesai disusun DPR! (Tajuk Kompas, 28-9) Tinggal formalitas membahasnya dan ketuk palu! Siapa bisa menahan langkah DPR, bahkan yang bertentangan dengan kepentingan penguasa seperti kasus Century dan subsidi BBM!" ujar Umar. "Apalagi ini, malah kelompok dominan yang punya mau! Jadi, bangsa ini akan melanjutkan perjalanan tanpamu KPK, apa pun jadinya!" 

"Dalam rancangan revisi UU tentang KPK itu, para politisi mempreteli kewenangan KPK dalam penuntutan dan melakukan penyadapan harus dengan izin!" timpal Amir. "Tanpa kewenangan penyadapan, KPK akan sulit menangkap tangan koruptor justru saat beraksi menilap uang negara!"

"Itu saja rupanya belum cukup memuaskan kalangan DPR dalam melumpuhkan KPK!" lanjut Umar. "Ketua Komisi Hukum DPR Gede Pasek Suardika meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan audit kinerja terhadap KPK. Audit kinerja ini aneh, karena dalam audit anggaran KPK selalu dapat opini BPK WTP—wajar tanpa pengecualian! Itu terbaik dari lembaga hukum lainnya (MA, Kejakgung, dan Polri) yang dapat opini wajar dengan catatan!" (Koran Tempo, 28-9) "Bagaimana mengukur kinerja—penggunaan anggaran sudah tepat atau belum—lembaga pemberantas korupsi seperti KPK, semisal ketika dipakai mengintip proses terduga korupsi hingga memergokinya sampai ke Buol di ujung Sulawesi sono?" tukas Amir. 

"Permintaan DPR agar BPK melakukan audit kinerja KPK jelas mengada-ada! Sebaliknya, audit kinerja itu lebih tepat dilakukan terhadap DPR diukur dari arti penggunaan anggaran bagi kepentingan rakyat!" 

"Pokoknya pelumpuhan KPK kian sistemik untuk membuatnya semakin tak berkutik!" timpal Umar. "Sebuah langkah yang langsung membuat jalan KPK terseok bahkan telah dilakukan Polri, dengan menarik 20 penyidik KPK yang berasal dari Polri! Jumat kemarin sudah 15 penyidik Polri memenuhi penarikan komandonya! Sedang lima penyidik lagi yang belum memenuhi panggilan diancam akan dinyatakan sebagai penyidik ilegal—akibatnya, kasus yang disidiknya bisa ditolak hakim, dinilai sebagai hasil penyidikan ilegal!" "Begitulah!" tegas Amir. "Cuma soal waktu, KPK tinggal sejarah!" *** ======
Selanjutnya.....

Musibah Subuh Bahuga Jaya!

"DIBUAI gelombang tinggi ekor badai tropis yang sejak awal pekan menggoyang kapal-kapal Merak—Bakauheni, KMP Bahuga Jaya subuh Rabu (26-9) dibentur keras tanker Norgas Cathinka yang berbobot lebih lima kali lipat!" ujar Umar. "Haluan Bahuga Jaya hancur, tak lama kemudian tenggelam! Sedikitnya 8 korban tewas, lebih 200 penumpang diselamatkan! Korban hilang bersama bangkai kapalnya belum ditemukan!" "Kita tundukkan hati ikhlas menerima musibah ini, bagian dari rangkaian musibah transportasi di darat, laut, dan udara yang tak henti!" timpal Amir. 

"Setiap musibah mengandung hikmah, pelajaran, tapi pelajaran demi pelajaran itu tak membuat penanggung jawab transportasi jadi pintar mengurangi kecelakaan!"

"Sedihnya, kalangan penanggung jawab bidang transportasi itu cenderung lebih banyak bicara tentang zero accident—angka kecelakaan nol—bukan tahapan perbaikan!" tegas Umar. "Hasil-hasil temuan Komite Nasional Kecelakaan Transportasi hanya dikaitkan dengan peristiwa diselidiki, tak dijadikan bagian perbaikan bagi keseluruhan sistemnya! Akibatnya, kecelakaan dengan penyebab sama selalu berulang!" 

"Artinya, rawan musibah transportasi kita bukan hanya berkaitan dengan kelemahan standar dan kontrol pada perantinya, melainkan juga kelemahan sistemnya dalam arti arahan regulator tak nyambung ke tahap operasional!" tukas Amir. "Gap regulasi dan praktek lapangan itu terlihat pada realitas, sampai kapal benturan dengan kapal lain tak satu pun ada perwira jaga yang melakukan manuver, berusaha mengelakkan kapal dari benturan! Bandingkan dengan kapal Titanic (tenggelam 1912), ada perwira jaga yang melihat gunung salju di depan dan sekuat tenaga berusaha mengelak—meski gagal, samping kapal Titanic tetap membentur dinding gunung es!"

"Jelas mengerikan! Kapal berlayar membawa ratusan orang penumpang dilepas jalan sendiri tanpa seorang pun perwira jaga yang aktif!" timpal Umar. "Apalagi perjalanan Bahuga Jaya melintasi jalur pelayaran internasional di mana pelayanan lokal harus menyesuaikan!" "Bukan berarti tanker berbendera Singapura yang menabrak Bahuga Jaya itu dijamin tak salah!" tegas Amir. "Soalnya peralatan mereka lebih canggih, dari radar sampai penginderaan infra merah, seharusnya mereka bisa melihat bahaya lebih dulu! Tapi begitulah musibah, selalu ada yang terjadi di luar akal sehat!" ***
Selanjutnya.....

Program Akhiri Impor Sapi!

"JIKA pemerintah alergi impor sapi bakalan, cara ideal tentu bukan memangkas jumlah impornya hingga industri penggemukan sapi terganggu, tapi lewat program mengakhiri impor anak sapi dengan mengalihkan induknya ke dalam negeri dalam waktu paling lama lima tahun!" ujar Umar. "Dengan impor sapi bakalan selama ini per tahun sekitar 500 ribu ekor, berarti dalam lima tahun itu harus bisa memindahkan induk sapi unggul sebanyak itu!"

"Pak Harto dulu telah mengembangkan sapi unggul! Tapi sayang jumlahnya terbatas, hanya untuk etalase kekuasaan!" sambut Amir. "Tapi pilihan bibit unggul yang mampu menghasilkan daging 500 kg atau lebih seekor menjadi cara paling tepat untuk memakmurkan petani dalam waktu lebih cepat!"

"Itu bisa dilakukan melalui memindahkan induk sapi unggul ke sini dengan menggaduhkan (bagi hasil) pada petani kita!" tegas Umar. "Cara itu sekaligus mengatasi kendala pembuatan ranch (peternakan) bagi 500 ribu ekor sapi induk! Soal di balik penggaduhan ada peternakan inti rakyat (PIR) karena yang diwajibkan mengalihkan induk sapi bakalan itu perusahaan penggemukan sapi, agar kebutuhan hidup petani pemelihara sapi induk itu terjamin, hanya masalah teknis! Tapi program mengalihkan induk sapi unggul ke dalam negeri bukan hal mustahil!" 

"Pengembangan bibit unggul—padi, jagung, singkong, sampai ternak—untuk mempercepat kemakmuran rakyat tidak boleh ditabukan!" ujar Amir. "Apalagi ini terbatas skala usaha tertentu, sehingga romantisme pada bibit lokal bisa dijaga untuk tidak terganggu secara signifikan! Sedang memperbanyak variabel unggul dalam memacu kemajuan bangsa jadi suatu keharusan!" "Bisa dilakukan quick count berapa pendapatan domestik regional bruto (PDRB) Provinsi Lampung naik dengan tambahan aset 500 ribu induk sapi unggul produktif!" tegas Umar. 

"Sekaligus programnya akan efektif mengurangi angka kemiskinan di provinsi ini, jika distribusi sapi induk diprioritaskan pada keluarga miskin di perdesaan! Sekali merengkuh dayung, banyak pulau dilalui!" "Bagi pengusaha, pengembangan usaha hingga integrated dari hulu ke hilir dalam kendalinya itu pasti lebih menguntungkan!" timpal Amir. "Bagi pemerintah, kian menjamin stabiltas ekonomi! Kuncinya tinggal pada political will!" ***
Selanjutnya.....

Mimpi Buruk Sapi Impor!

"HAL paling runyam di negeri ini adalah tiadanya standar kebijakan permanen jangka panjang! Ganti penguasa atau pejabat, ganti kebijakan!" ujar Umar. "Ketika suatu malam pejabat mimpi buruk, besok muncul kebijakan kontroversial dari realitas yang selama ini berjalan baik!" 

"Dan, kalau yang sebelumnya berjalan baik itu bisnis maka bidang bisnis yang terkait mimpi buruk itu menjadi kalang kabut!" timpal Amir. "Seperti bisnis penggemukan sapi di Lampung, oleh perusahaan yang jumlahnya tidak lebih dari bilangan jari tangan, hanya dengan satu SK Menteri yang mendadak membatasi impor sapi bakalan, bisnis mereka kucar-kacir!" 

"Investasi yang telah berjalan belasan tahun dengan skala usaha (kapasitas terpasang) yang telah dipersiapkan sejak awal tiba-tiba dipenggal produksinya! Jelas, bisnisnya bisa berantakan!" tegas Umar.

"Bagi Pemerintah Pusat mungkin kenyataan buruk nasib investasi itu tak penting! Tetapi, pemerintah daerah yang eman-eman pada setiap investasi di daerahnya, tentu berbeda! Kewajiban melindungi setiap investasi agar selalu kondusif, tak bisa ditawar-tawar! Maka itu, wajar Dinas Peternakan Provinsi Lampung cenderung membela pengusaha menghadapi masalah sapi impor mereka!" 

"Meskipun alasannya ideal, untuk mengembangkan sapi lokal, utamanya di NTT dan Jawa Timur, sebaiknya tentu lewat proses terencana, tidak dadakan agar jika investasi yang ada gulung tikar, closing ceremony-nya bisa dipersiapkan lebih indah—pengembangan sapi lokal juga terbatas, sapi beranak sekali setahun!" timpal Amir. 

"Lain kalau sistem zona ekonomi yang telah dicanangkan berlaku di bidang ini, kepentingan Lampung yang masuk zona ekonomi Sumatera tak benturan dengan kepentingan zona lain!" "Hal terburuk akibat kebijakan yang berubah oleh mimpi pejabat itu, seorang pengusaha yang terkenal baik, akibat kiriman sapi dari mitra di luar negeri yang justru beriktikad baik memenuhi kewajiban mengirim barang sesuai kontraknya, tiba-tiba si pengusaha terancam menjadi kriminal!" tegas Umar. 

"Antarpemerintah bisa saja conform pengurangan impor, tetapi pengusaha asing yang terikat kontrak tetap menunjukkan tanggung jawabnya! Itulah pangkal bencana bagi pengusaha kita! Dan, Pemerintah Pusat, baik eksekutif maupun legislatif, tak akan peduli dengan nasib buruk pengusaha seperti itu!" ***
Selanjutnya.....

Mendamba Reformasi Agraria!

"HARI Agraria 24 September, tanggal UU Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 disahkan, diperingati petani seantero negeri dengan unjuk rasa menuntut reformasi agraria!" ujar Umar. "Di Jakarta, ribuan petani unjuk rasa di depan Istana Merdeka. Di Medan, di kantor gubernur. Di Lampung, memblokir jalan lintas timur!" 

"Reformasi agraria yang mereka dambakan itu perintah UU No. 5/1960, dengan istilah yang populer zaman itu, land reform—bagi-bagi tanah kepada petani yang tak punya lahan!" sambut Amir. "Tapi karena land reform dijadikan selling point Barisan Tani Indonesia (BTI) yang komunis dalam merekrut anggota, istilah itu jadi alergi pada era Orde Baru! Namun, pemerintah Orde Baru menjalankan perintah UU itu secara besar-
besaran lewat program transmigrasi! Jutaan orang dipindah dari Jawa dan Bali ke Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua, setiap warga dapat lahan 2 hektare!" "Pada tingkat lanjut, programnya bukan cuma land reform, tapi dilengkapi capital reform lewat koperasi, dikelola departemen transmigrasi dan koperasi!" tegas Umar. 

"Lewat koperasi, bukan saja kredit sarana produksi disalurkan, melainan juga berbagai fasilitas teknologi dari proses produksi sampai pascapanen! Dengan semua itu, lengkap kebutuhan transmigran untuk meningkatkan taraf hidup keluarga sehingga anak transmigran menjadi kelompok signifikan di pendidikan tinggi—termasuk di Lampung!" 

"Arus balik yang drastis terjadi di era reformasi! Senasib dengan program KB, geliat program transmigrasi tak relevan lagi!" tukas Amir. "Hal yang menonjol malah bancakan korupsi pejabat kementerian yang mengurus transmigrasi! Sedang lahan bekas hutan produksi yang lazim dijadikan ajang program transmigrasi, tahun-tahun terakhir ini masuk program moratorium untuk paru-paru dunia—menyenangkan hati negara-negara maju yang tak henti mengotori langit dengan cerobong asap raksasa pabrik-pabrik mereka! Tanpa peduli, jutaan keluarga rakyat sendiri tak punya lahan untuk sekadar bertahan hidup saja pun!" 

"Akibatnya, konflik lahan kian meluas dan makin serius karena terus bertambah panjang barisan warga yang lapar tanah!" tegas Umar. "Namun, apa tekanan jutaan warga yang terlunta-lunta tak bertanah di Tanah Air sendiri itu sebanding dengan kebutuhan penguasa akan pujian tuan-tuan besar pemilik cerobong asap raksasa?" ***
Selanjutnya.....

Degradasi Target Teroris!

"DUA hari terakhir, Sabtu dan Minggu, Densus 88 Polri menggulung lebih 10 terduga teroris dari Kota Solo dan Sukoharjo!" ujar Umar. "Bersama mereka disita berbagai peranti teror, antara lain sejumlah bom cair yang siap digunakan untuk melakukan serangan! Dan target utama mereka tak lain jajaran kepolisian di Solo!" "Serangan teroris di Solo dalam bulan terakhir ini telah menewaskan dua anggota polisi!" timpal Amir. 

"Dengan polisi dijadikan target, teroris mengalami degradasi target serangan! Dari semula targetnya hal-hal terkait Amerika Serikat (AS) sebagai sekutu Israel, kini bergeser jauh hingga tak ada sangkut paut lagi dengan AS!" "Bahkan, sejak perampokan Bank CIMB Niaga Medan dan penyerangan Polsek Hamparan Perak, gelagatnya kian cenderung cuma sebagai gerombolan rampok bersenjata!" tukas Umar. "Dengan target utamanya polisi itu, malah lebih buruk lagi, mereka jadi gerombolan gangster!"

"Apalagi yang mereka incar sebagai target itu kepolisian negara, bagian dari kekuasaan sah di negeri ini! Aliran Islam tertentu mengasumsikan pemerintahan nasional yang sah di negeri ini sebagai kekuasaan amirul mukminin!" tukas Amir. "Kekuasaan amirul mukminin harus dihormati warga muslim! Karena itu, menyerang kekuasaan amirul mukminin tak dibenarkan!" 

"Dari situ jihad sebagai panji perjuangan yang dikibarkan teroris melawan musuh-musuh Islam, utamanya mereka identifikasi dengan AS dan sekutunya, kini malah diarahkan ke kubu amirul mukminin negerinya sendiri!" timpal Amir. "Panji jihad mereka terbakar nafsu balas dendam pada kepolisian negara yang telah menangkap bahkan menewaskan banyak teroris teman mereka!" 

"Untuk itu, pemerintahan nasional yang diasumsikan sebagai amirul mukminin layak didiagnosis apa yang salah dalam organ-organ tubuhnya, sehingga teroris yang anak-anak bangsa sendiri mengidentikkan sang amirul dengan musuh Islam?" tegas Umar. 

"Keberanian introspeksi dan mengoreksi serta memperbaiki kekurangan dalam lembaga-lembaga bagian dari kekuasaan yang diasumsikan amirul mukminin itu akan memantapkan hati dan logika mereka yang menaruh hormat pada pimpinan nasional sebagai amirul muminin! Kasihan mereka yang menaruh hormat pimpinan nasional sebagai amirul mukminin, padahal realitasnya jauh dari memadai buat gelar yang amat luhur itu!" ***
Selanjutnya.....

Formalisme Vs Kemanusiawian!

"FORMALISME merupakan gaya pengelolaan kekuasaan yang umum di negeri ini! Segala hal cukup diselesaikan pada tataran formal, hasil akhirnya urusan nanti!" ujar Umar. "Misalnya di era demam menanam pohon, segala upacara diisi penanaman pohon! Usai upacara formalnya, hidup atau mati pohon yang ditanam bukan lagi urusannya!" 

"Dalam penertiban, formalisme berlaku untuk realitas pedagang kaki lima melanggar hukum berjualan di trotoar bahkan badan jalan!" timpal Amir. "Di tayangan televisi setiap hari terjadi penggusuran pedagang kaki lima seperti itu, yang secara formal melanggar hukum. Tak ada yang berpikir beyond—lebih jauh—atas nasib pedagang kaki lima setelah penggusuran, selain tindakan formal yang sah menurut hukum dan tugas formal penguasa melakukan penertiban telah dilaksanakan dengan sukses!"

"Karena itu, ketika ada pemimpin yang beyond, lebih dulu menyiapkan penampungan amat layak bagi para pedagang kaki lima yang akan digusur, lalu para pedagang diundang makan bersama di rumah dinas pejabat tersebut dengan oleh-oleh nomor kios baru hasil undian untuknya sebagai tempat usahanya yang baru, tanpa digusur pun para pedagang kaki lima itu pindah sendiri ke lokasi penampungan!" tegas Imar. 

"Pendekatan kemanusiawian itulah yang dihadirkan Joko Widodo (Jokowi) selaku wali kota Solo, hingga untuk periode kedua jabatannya ia mendapat dukungan 92% pemilih Kota Solo!" "Semerbak kemanusiawian Jokowi itu rupanya menasional!" timpal Amir. "Harumnya bahkan menjadi dambaan warga DKI Jakarta yang sudah pengap dengan formalisme, hingga 'mengimpor' Jokowi untuk memimpin Ibu Kota Republik!" "Dari situ tampak, pendekatan kemanusiawian tak cukup hanya dijanjikan, tapi harus dibuktikan lebih dahulu!" tegas Umar. 

"Terpenting dicatat, kemanusiawian dipraktekkan tanpa harus bertentangan degan kaidah formal! Sebaliknya, justru ditempuh untuk menegakkan aturan formal—membersihkan pedagang kaki lima dari trotoar dan badan jalan—tanpa mengorbankan apalagi menyakiti rakyat yang butuh tempat cari makan! Jadi, beda dengan daerah lain yang para pedagang dipaksa kepruk-keprukan dengan Pol. PP, lantas gerobak dan dagangannya disita sebagai bukti pelanggaran aturan!" "Itu salah satu sisi kemanusiawian, tentu masih banyak sisi lainnya!" timpal Amir. "Pemimpin lain diharapkan mengembangkan variasinya!" ***
Selanjutnya.....

Kemenangan Rakyat Jakarta!

"HASIL Pilgub Jakarta yang memenangkan pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi-Ahok) mencerminkan vox populi vox Dei—suara rakyat suara Tuhan!" ujar Umar. "Kemenangan rakyat Jakarta itu disebut suara Tuhan, karena dengan itu sebuah rezim yang zalim kepada fakir miskin dan anak-anak telantar dengan ancaman hukuman denda dan kurungan badan jika cari makan di tempat paling mungkin mereka dapatkan! Penggantinya, Jokowi, di Solo terkenal pengasih dan penyayang pada wong umumnya!" 

"Itulah salah satu arti penting kemenangan rakyat Jakarta!" timpal Amir. "Tuhan telah unjuk kuasa-Nya atas orang-orang sombong dengan gagasan kemuliaan duniawinya menista kaum duafa fakir dan anak telantar! Bahkan warga mampu yang menolong mereka pun, dengan mengulurkan bantuan seikhlasnya, diancam hukuman denda dan kurungan badan!"

"Namun, begitu pasangan Jokowi-Ahok dilantik nantinya, muncul masalah baru dengan arti kehadiran Jokowi bagi wong cilik di Jakarta itu!" tegas Umar. "Gagasan Jokowi tentang perbaikan perlakuan terhadap kaum duafa dan wong cilik diperkirakan tak mulus proses politiknya, karena PDIP dan Gerindra—pengusung Jokowi—di DPRD DKI tak sampai seperempatnya! Selebihnya kekuatan status quo yang justru menjadi inti rezim menzalimi kaum duafa dan wong cilik!" "Usaha menjebol tembok status quo itu pasti tak mudah!" timpal Amir. 

"Tapi Jokowi yang gemulai pasti takkan menabrak faktor kesulitan utama itu! Ia justru memilih jalan yang cocok dengan kepribadian dirinya, yaitu interaksi langsung dengan menyambangi kaum duafa dan wong cilik! Cara itu yang dia lakukan di Solo! Sehingga, dia tak bersinggungan dengan mereka yang angkuh nongkrong di kekuasaan status quo!" 

"Untuk mengawali hubungannya dengan DPRD, Jokowi bisa masuk lewat proses anggaran di mana kepentingan anggota legislatif cukup besar hingga membuka peluang Jokowi menentukan posisi dalam bargaining—tawar-menawar!" tegas Umar. "Dalam tawar-menawar itu Jokowi bisa di atas angin, karena dia bukan memainkan kepentingan pribadinya, melainkan kepentingan duafa dan wong cilik! Menghadapi itu politisi DKI bisa serbasalah! Sikap antiduafa mereka pelan-pelan akan berubah!" ***
Selanjutnya.....

Isu SARA Justru Kontraproduktif!

"TERBUKTI isu SARA—suku, agama, ras, dan antargolongan—justru kontraproduktif dalam Pemilukada DKI Jakarta, Kamis!" ujar Umar. "Itu terlihat dari kasil hitung cepat berbagai lembaga survei, semua memenangkan pasangan Joko Widodo-Basuki Cahaya Purnama (Jokowi-Ahok) dari Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli (Foke-Nara) di kisaran 55% lawan 45%!" 

"Kayaknya itu akibat banyak pemilih di Jakarta terpengaruh wawancara imajiner Gus Dur di Facebook!" timpal Amir. "Saat diminta pendapatnya tentang isu SARA yang merebak dalam Pemilukada DKI, Gus Dur menjawab, 'Begitu aja kok repot! Kalau yang muslim pilih Jokowi dan nonmuslim pilih Ahok, kan beres!"

"Parahnya bukan sebatas isu, bau SARA juga diekspresikan pasangan Foke-Nara dalam debat publik di Metro TV Minggu malam!" tegas Umar. "Bau SARA itu menyengat saat Foke menanya Jokowi kenapa sebagai orang Jawa dari Solo mengadu nasib ke Jakarta! Juga saat Nara berdialek Tionghoa mengejek Ahok, yang cenderung merendahkan pendatang ke Jakarta! Keduanya membuat kesan kurang enak pada warga pendatang! Padahal, jika warga asal Jawa dan turunan Tionghoa terpancing sentimen negatif yang mereka sulut bisa memenangkan Jokowi-Ahok! Apalagi kalau yang tersulut sentimen negatif itu warga pendatang ke DKI hingga pro-Jokowi-Ahok!" 

"Semua itu jadi pelajaran bagi bangsa, penggunaan isu SARA dalam berpolitik malah bisa menjadi bumerang—merugikan dirinya sendiri!" timpal Amir. "Mungkin pada awalnya hal itu tak termasuk strategi kampanye, malah cuma suara simpatisan yang kebablasan! Namun, karena sang politisi tidak resisten terhadap isu yang mengandung sentimen negatif itu, bahkan pada ujungnya condong berekspresi menjustifikasi sentimen negatif itu, akhirnya terseret jatuh bersama sentimen negatif tersebut!" 

"Namun, salut layak disampaikan kepada Fauzi Bowo yang ketika hitung cepat mencapai 70% suara, lazimnya persentase perolehan suara selanjutnya akan mendatar, ia menelepon Jokowi menyampaikan ucapan selamat memenangkan hitung cepat pemilukada DKI!" tukas Amir. "Fauzi Bowo kemudian juga menyampaikan ucapan selamat itu lewat konperensi pers, dengan tekanan Pemilukada DKI Jakarta harus menjadi barometer demokrasi di Indonesia, contoh bagi pemilukada daerah-daerah lain! Hidup Fauzi Bowo!" ***
Selanjutnya.....

Makhluk Halus Pelihara Ikan!

TEMIN membuat kolam ikan di belakang rumah seluas 600 meter persegi. Kolam belum jadi, silih berganti agen menawarkan pakan ikan. "Aku tak punya uang untuk membayar pakan ikan!" jawab Temin berulang pada setiap agen. "Bayarnya setelah panen!" jelas agen. "Iya kalau panen!" tukas Temin. "Kalau gagal?" "Dijamin tak gagal!" kata agen. "Sebab setiap memasok pakan, kami beri bimbingan teknis!" "Tapi mohon maaf! Aku tak memberi pakan ikan di kolamku!" tegas Temin. "Ikanku dipelihara dan diberi pakan makhluk halus!" 

Sampai situ para agen menganggap Temin bercanda. Tapi pernyataan Temin itu ternyata serius. Para agen tak pernah melihat Temin membeli pakan, para tetangga juga tak pernah melihat Temin memberi makan ikannya, tapi ikan mujahir di kolam Temin berkembang pesat, lebih gendut dari ikan di kolam orang lain yang pakannya sesuai brosur produsen pakan!

Para tetangga jadi kasak-kusuk, sepakat malam Jumat mengintip Temin berkomunikasi dengan makhluk halusnya. Diintai tengah malam, Temin tak terlihat. Diusut, ternyata ia tidur di rumah! Esoknya lebih gila lagi, ia menjual ikan kolamnya dalam paket plastik bertulisan “Ikan Organik”. Pembelinya orang-orang bermobil dari kota! "Dengan label ini, harganya jadi nyaris dua kali lipat dari ikan biasa!" ujarnya ke tetangga. "Dari mana mereka tahu di tempatmu ada ikan organik?" tanya tetangga. "Karena aku pasang iklan baris!" jawab Temin. "Tapi bagaimana kau bisa menjamin ikanmu organik?" kejar tetangga. "Kan kalian sendiri melihat, ikanku tak pernah diberi pakan yang bisa saja mengandung bahan kimia!" jawab Temin. "Ikanku makan plankton, makhluk halus yang kubiakkan di kolam sebelum anak ikan dimasukkan! Ikan paus sebesar kapal saja makannya plankton, mujahir juga oke!" 

"Bagaimana cara membiakkan plankton?" tanya tetangga. "Itu baru pertanyaan jitu!" sambut Temin. "Pertama kolam keringkan. Lalu tebarkan pupuk organik cair, seliter inti dicampur air secukupnya untuk kolam 600 meter seperti milikku! Sehari kemudian kolam diisi air. Setelah dua hari, plankton siap memberi makan anak ikan!" "Kalau cuma gitu gua juga bisa," tukas tetangga. "Pupuk cairnya buatan Jatiagung seperti yang diserahkan ke Wagub Selasa lalu, kan?" "Pokoknya inovasi Lampung!" tegas Temin. "Pupuk organik dan pola planktonnya! "***
Selanjutnya.....

Rekomendasi Alim-Ulama NU!

"MUNAS Alim-Ulama dan Konbes Nahdlatul Ulama (NU) di Cirebon merekomendasikan koruptor yang menghancurkan ekonomi negara atau berulang-ulang korupsi agar dihukum mati!" ujar Umar. "Selain itu, juga direkomendasikan kalau uang pajak habis dikorupsi terus, warga tidak wajib membayar pajak! Yang wajib itu membayar zakat!" 

"Kedua rekomendasi itu mengesankan, alim-ulama NU yang sebelumnya terkenal konservatif-tradisional itu bergeser jadi relatif progresif!" timpal Amir. "Itu bisa terjadi karena mungkin, kesabaran ada batasnya juga! Di satu pihak karena pemerintah dengan perantinya kepolisian dan kejaksaan tampak tumpul dalam menumpas korupsi, di lain pihak kekuatan- kekuatan Islam lain yang sebelumnya progresif—seperti partai-partai politik beraliran Islam—belakangan jadi mengambil alih posisi NU jadi konservatif!"

"Artinya ada kekosongan di sayap progresif sehingga NU merasa perlu untuk mengisinya!" tegas Umar. "Alamat utama tujuan rekomendasi NU itu jelas pemerintah, baik selaku pengelola pajak maupun yang memenangkan pemilihan umum dengan janji kampanye akan menindak tegas korupsi! Nyatanya, korupsi malah menjadi-jadi, tanpa kecuali di lingkaran dalam kubu politik presiden terpilih!" 

"Dari situ terlihat rekomendasi alim-ulama NU itu cukup beralasan, tidak asal keras apalagi sekadar cari popularitas!" timpal Amir. "Tapi masalah sesungguhnya bukan pada lunak atau kerasnya rekomendasi, bahkan kala rekomendasi diterima dengan baik oleh pemerintah lewat pernyataan sikap NU itu sama dengan hasrat pemerintah, melainkan pada apakah suatu rekomendasi bisa atau mampu diimplementasikan pemerintah! Sering, rekomendasi dari pihak mana pun itu, cuma bisa menjadi dokumen sejarah! Sedang realitasnya selalu tetap begitu-begitu juga!" 

"Itu terjadi antara lain karena sebagian besar pengelola negara sudah mati rasa sehingga lebih menonjolkan logika-logika retorika untuk menaikkan citra belaka!" tegas Umar. "Sedang di balik retorika itu, realitasnya justru membuat gemas para alim-ulama hingga mengeluarkan rekomendasi yang pedasnya menyengat itu!" "Kalau kritik alim-ulama NU sudah setinggi nada kritik tokoh lintas agama, bukan mustahil bisa bernasib sama!" tukas Amir. "Kritiknya tak mampu dijalankan oleh penguasa!" ***
Selanjutnya.....

‘Innocence of Muslims’!

"UMAT muslim sedunia marah atas pembuatan dan peredaran film Innocence of Muslims yang disutradarai Sam Bacile!" ujar Umar. "Lampias kemarahan mereka diarahkan ke kedutaan dan konsul Amerika Serikat (AS), bentrokan massa dengan polisi setempat pun tak bisa dihindarkan, termasuk Indonesia! Di Tunisia tiga demonstran tewas! Di Libya, Duta Besar AS yang punya gejala darah tinggi tegang menghadapi demonstran, akhirnya meninggal dunia!" 

"Tapi Hillary Clinton menuding demonstran telah membunuh duta besar mereka!" timpal Amir. "Hillary tak sedikit pun menyinggung sebab akibat kejadian, utamanya terkait film yang menghina Rasulullah Muhammad saw.! Juga tidak menyesalkan warganya mencemarkan kesucian agama besar dunia, Islam!"

"Ada dua hal yang menyebabkan para pemimpin AS tak memedulikan protes keras umat Islam sedunia atas film produksi negerinya itu!" tukas Umar. "Pertama, mereka berkukuh apa pun isi film tersebut merupakan karya kreatif produk kebebasan berekspresi yang wajib mereka bela dan pertahankan sebagai tradisi demokrasi negerinya! Kedua, di Amerika agama domain pribadi, negara tidak mengurus dan tidak punya wewenang mencampurinya! Karena itu, ketika ada warganya menghina agama lain seperti dalam kasus film Innocence of Muslims, negara memandangnya sebagai masalah pribadi, bukan urusan negara, tak peduli protes keras merebak di seluruh dunia!" 

"Masalahnya, bagaimana sistem hukum sebuah negara tidak punya dasar menindak warganya yang menista dan menyakiti hati orang lain?" timpal Amir. "Dalam hal ini mungkin bisa saja dikesampingkan kalau yang dinistakan itu warga asing di negeri lain! Tapi bagaimana dengan warga muslim di AS sendiri? Apakah hak-hak pribadi mereka atas kesucian agamanya tak layak dihormati? Katakan muslim di AS minoritas, lantas apakah pihak mayoritas boleh berbuat sesukanya terhadap-mereka yang minoritas?" "Tampak, penyebabnya karena masyarakat AS belum mengenal sikap tenggang rasa itu!" tegas Umar. 

"Karena masyarakatnya belum mengenal sikap tersebut, dengan sendirinya tak bisa kita tuntut untuk mewarnai dan menjiwai sistem hukum maupun demokrasinya! Kasihan warga AS, belum kenal tenggang rasa yang esensial buat menjaga harmoni dalam damai hubungan antarmanusia—bukan civis pacem para bellum, bersiap perang untuk damai gaya AS!" ***
Selanjutnya.....

Masalah Izin bagi Investasi Energi!

"KALANGAN pebisnis Lampung, diekspresikan Yusuf Kohar dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) dan Erika Agustina dari Kamar Dagang dan Industri (Kadin), menyatakan realisasi bisnis bidang energi di daerah ini terhambat birokrasi perizinan yang panjang dan infrastruktur yang kurang mendukung!" ujar Umar. "Itu sebabnya meski Lampung lumbung energi baru terbarukan (EBT), potensinya tetap sebagai prospek, tak mengaktual jadi kekuatan ekonomi daerah!" 

"Masalah kurang mendukungnya infrastruktur bagi investasi di Lampung bukan rahasia lagi, bahkan merupakan keluhan umum rakyat Lampung!" timpal Amir. "Tapi untuk perizinan kegiatan usaha bidang energi, khususnya EBT, mungkin yang dimaksud Yusuf dan Erika terkait pemain kelas layang dan menengah! Sebab kalau pemain kelas berat, seperti pengelola panas bumi Ulubelu maupun Suoh-Sekincau, perizinan kayaknya tak jadi masalah! Bukan mustahil, soal perizinan mengelola EBT buat kelas layang dan menengah perlu kehati-hatian ekstra, karena EBT selalu terkait kewajiban mengelola konservasi hutan yang butuh komitmen tinggi!"

"Tapi EBT bukan cuma panas bumi!" tukas Umar. "Ada energi angin, gelombang pasang-surut!" "Untuk kedua jenis energi itu mana investornya?" sambut Amir. "Kalau untuk itu, mungkin bukan soal kebutuhan investor untuk 'nyaman' seperti kata Erika, tapi penelitian lokasi dan pemasangan teknologinya juga perlu modal besar, tak kalah besar dari panas bumi! Mungkin yang lebih tepat bagi pemain kelas menengah dan layang mencari prospek investasi di mikrohidro!" "Jangan sepelekan mikrohidro!" sela Umar. 

"Jika PLN baru menjangkau 38% rumah warga di Lampung Barat, 47% warga kabupaten itu bisa menikmati listrik berkat sumbangan mikrohidro 9%—yang kebanyakan dibuat dan dikelola warga sendiri!" "Dengan aturan baru PLN boleh membeli listrik dari pembangkit kecil, mikrohidro jadi peluang bisnis!" tegas Amir. "Tanpa kecuali pembangkit kecil yang dibuat bersama oleh warga, kalau kelebihan dayanya bisa dijual, berarti energi juga bisa menjadi sumber pendapatan baru warga!" "Tapi trauma koperasi listrik Metro harus jadi catatan agar PLN tak mengecewakan mitra usaha!" harap Umar. "Lalu, siapa pun berminat investasi di mikrohidro lihat kegagalan sebuah mikrohidro di Kasui, Way Kanan!" ***
Selanjutnya.....

Regenerasi Begal, Lancar!

"LIMA dari 12 tersangka begal yang ditangkap di Lampung Utara, menurut Kabid Humas Polda Lampung AKBP Sulistyaningsih masih di bawah umur, usia 15 dan 16 tahun!" ujar Umar. "Di Lampung Tengah polisi juga menangkap dua tersangka begal berusia 16 tahun! Itu menjadi petunjuk, regenerasi di kalangan begal rupanya berjalan lancar! Tapi siapa sebenarnya yang bertanggung jawab atas kebablasannya para remaja itu ke dunia begal?" "Masyarakat bangsa yang harus bertanggung jawab karena mereka adalah anak bangsa yang hak dan kewajibannya dijamin konstitusi seperti anak bangsa lainnya!" timpal Amir. "Karena itu, remaja seusia mereka yang dipidana tak harus dimasukkan ke penjara, tetapi diangkat sebagai anak negara yang dibina secara khusus di lembaga pembinaan anak negara!" "Berarti penanganan kasusnya harus dibedakan dari para pelaku kriminal lainnya?" sela Umar. "Semestinya begitu" jawab Amir. "Sayangnya di sini pemahaman tentang kenakalan remaja—juvenile deliquency—bahkan diskursusnya masih lemah! Hingga, sejak penindakan, proses hukum, dan pembinaan selanjutnya cenderung masih tumpang tindih dengan kriminal umum!"
"Penanganan setelah subyeknya 'rusak' begitu memang penting, tapi pembinaan mereka agar jangan sampai terhanyut dalam kriminal jelas lebih penting! Dan itulah yang masih kurang, khususnya buat anak-anak yang berada di tubir jurang kemungkinan buruk itu!" tegas Umar. "Pendekatan sistem formal ke kelompok anak-anak yang bermasalah kurang efektif karena lembaga formal dari pramuka sampai karang taruna cenderung hanya mengurusi anak yang baik-baik saja! Sedang lembaga yang khusus mengurusi belia kurang baik, nyaris tak ada!" "Karena itu, saatnya kalangan pemimpin bangsa disadarkan, selain lembaga anak negara yang hanya jadi penampung korban sistem sosial yang cenderung mengasingkan anak bermasalah dari pembinaannya, perlu wadah dan tangan baru yang penuh kasih untuk membina mereka agar tak hanyut bersama sampah masyarakat!" timpal Amir. "Tentu saja upaya itu tak mesti berbentuk program berorientasi anggaran, tumbuhnya gerakan masyarakat yang dipelopori ulama dan tokoh-tokoh warga, mungkin akan jauh lebih baik! Jika kemudian pemerintah mau membantu lewat dana bantuan sosial tak salah, daripada dana bantuan sosial lebih terkuras untuk tujuan-tujuan politis!" ***
Selanjutnya.....

Politik Mengotori, Seni Membersihkan!

"SALUT pada 1.700 penari dan para koreografer Riau yang berhasil menyapu bersih kesan negatif PON XVIII akibat persiapannya dikotori politisi DPRD Provinsi setempat dengan kasus korupsi, lewat rangkaian sajian tari yang memukau dalam upacara pembukaan pesta olahraga terakbar di Tanah Air itu!" ujar Umar. "Dari situ tersimpul: ketika politik mengotori, seni membersihkan!" "Sajian pentas seni kolosal itu dikemas dalam filosofi budaya air yang menghidupkan!" sambut Amir. "Dengan itu sajian seninya beyond—melampaui—harapan pemerintah menjadikan PON ini sebagai pemersatu bangsa! Karena dasar budaya air yang menghidupkan itu realitas, air di muka bumi ini apa pun yang terjadi volumenya konstan, tetap sebegitu meski bentuk dan esensinya berubah-ubah, dari uap sampai salju!"
"Pemerintah memang lagi demam persatuan bangsa sebagai reaksi maraknya konflik sosial berlatar SARA, khususnya sektarian!" tukas Umar. "Betul, olahraga punya fungsi perekat kehidupan berbangsa! Namun, itu didasari sportivitas dan disiplin yang teruji dengan pengawasan ketat dan berlapis! Sportivitas dan disiplin itulah yang masih lemah dalam masyarakat kita, termasuk dalam birokrasi pemerintah!" "Untuk itu, agar harapan PON sebagai pemersatu tak cuma slogan, sportivitas dengan pengawasan berlapis itu harus diaplikasikan dalam masyarakat maupun birokrasi!" timpal Amir. "Seperti di lapangan bola ada wasit, diawasi komisi pertandingan! Pada olahraga bela diri, selain wasit yang memimpin langsung pertandingan, ada sejumlah juri yang menilai, lalu ada lagi komisi dewan mahaguru!" "Dalam masyarakat tentu rumit pengawasan sosial dan formal dari penegak hukum!" sambut Umar. "Tapi dalam birokrasi yang ada pengawasan internal dan eksternal pun, prakteknya masih sulit mewujudkan sportivitas dan disiplin sebaik diharapkan!" "Semua itu harus kembali ke seni, utamanya tari, setiap penari taat pada koreografi yang ditetapkan dengan ketepatan gerak dan temponya!" timpal Amir. "Jika masyarakat dan birokrasi bisa mengaplikasi indahnya seni dengan harmoni gerak dan nadanya, bangsa bisa mengatasi kelemahan sportivitas dan disiplin hingga seperti gelar seni PON, bisa mengeliminasi kelemahan persiapan ulah politisi!" ***
Selanjutnya.....

Rendah Diri, Harga Diri!

"Sejak awal kemerdekaan kampanye utama para pemimpin membebaskan bangsa dari rasa rendah diri karena dianggap sebagai penyakit mental yang ditanamkan penjajah terhadap warga terjajah!" ujar Umar. "Rasa rendah diri dimaksud sikap inferior—merasa diri lebih rendah dari bangsa lain, utamanya penjajah! Sikap itu harus dihilangkan karena setelah merdeka bangsa kita sederajat dengan bangsa lain, berdiri sama tinggi duduk sama rendah!" "Setelah bersih dari rasa rendah diri, tumbuh rasa harga diri baik sebagai individu maupun bangsa!" timpal Amir. "Pada era Bung Karno rasa harga diri itu diukur lewat cara kita mengekspresikannya di tengah pergaulan dengan bangsa-bangsa lain, semakin tinggi posisi kita di tengah interaksi global, makin tinggi pula harga diri bangsa kita!"
"Bung Karno jatuh, paradigmanya diubah!" tukas Umar. "Harga diri bukan lagi diukur dari realitas posisi bangsa di tengah pergaulan dunia, melainkan tingkat kemakmurannya! Dengan paradigma baru yang materialistik ini bangsa Indonesia dengan kemiskinannya kembali dibenam dalam rasa rendah diri baru, merasa inferior di depan bangsa-bangsa lain yang lebih makmur! Bung Karno pun dikecam karena 'politik memimpin dunia'-nya menelantarkan rakyat dalam kemelaratan!" "Pada era paradigma baru pembangunan dijadikan panglima, untuk membangkitkan harga diri baru dengan ukuran yang materialistis pula!" timpal Amir. "Kekayaan alam dieksploitasi maksimal untuk mengejar kemakmuran! Perburuan rasa harga diri baru ini menimbulkan kesombongan, hilangnya rasa rendah diri para pemimpin pada Sang Pencipta! Para pemimpin jadi monster perusak ciptaan indah Sang Khalik! Tapi sayang, hasil merusak alam itu gagal mengentaskan bangsa dari kemiskinan maupun mengejar ketertinggalan dari bangsa makmur!" "Rusaknya alam akibat kesombongan para pemimpin yang jauh dari rasa rendah diri pada Sang Pencipta itu mengubah iklim hingga kekeringan dan banjir silih berganti menyengsarakan rakyat, cerminan tandusnya moralitas para pemimpin!" tukas Umar. "Moralitas tandus, hasil perusakan alam bukan benar-benar dibuat untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, melainkan lebih banyak dikorupsi untuk kemakmuran pribadi para penguasa, kerabat, kroni, dan kongsi asingnya!" ***
Selanjutnya.....

Dilema Krisis di Balik Krisis!

"PASTI ulah tengkulak!" entak Budi. "Pada musim kemarau panjang produksi tanaman karet cuma separuh dari saat normal, artinya penawaran turun hingga seharusnya harganya naik masak harganya malah dia turunkan jauh dari normal! Sekarang tinggal Rp5.000 per kilogram getah slab basah, padahal saat normal di atas Rp10 ribu! Demikian pula harga kelapa sawit, tandan buah segar (TBS) yang sebelumnya Rp1.300 per kilogram, kini tinggal Rp700 per kilogram!" 

"Jangan suuzan pada tengkulak!" timpal Umar. "Negeri kita dilanda krisis kekeringan akibat kemarau panjang, waduk-waduk surut drastis, panenan tanaman pangan sampai tanaman industri, seperti karet, menurun tajam, tetapi akibat krisis ekonomi di Eropa dan Amerika harga bahan baku industri merosot akibat permintaan turun signifikan karena industri lesu! Jadi, yang secara nyata kita hadapi adalah dilema krisis kekeringan di balik krisis ekonomi dunia!" "Kenapa krisis kekeringan jadi dilema, bukankah kemarau panjang itu takdir?" tukas Budi.

"Kekeringan yang melanda negeri kita akibat ulah manusia, bukan dari sononya!" sela Amir. "Seperti di Lampung, banyak register yang dalam peta masih hutan lindung, realitasnya tidak sedikit pun lagi ada hutannya! Kawasan penyangga air waduk juga banyak yang sudah kurang lestari sehingga waduk-waduk menjadi surut drastis!" "Tetapi, di mana letak dilemanya?" kejar Budi. "Dilemanya pada menjadi jungkir-baliknya teori ekonomi sehingga kau berprasangka buruk pada tengkulak!" tegas Umar. 

"Penawaran turun harganya ikut turun! Padahal semestinya, seperti ayunan jungkat-jangkit di TK, kalau satu sisi turun sisi lainnya naik! Dilema, kedua sisi turun, ayunan jungkat-jangkit patah di tengah!" "Patah di tengah karena anggaran merehabilitasi kerusakan hutan dan lahan tidak pernah memadai dibanding luasnya kerusakan hutan dan lahan!" timpal Amir. "Akibatnya hasil rehabilitasi tidak signifikan artinya bagi mengatasi krisis kerusakan hutan yang terlanjur merusak iklim, meskipun andaikan kompensasi moratorium (jeda) penebangan hutan dipakai untuk rehabilitasi!" 

"Kalau usaha manusia memperbaiki kesalahan sendiri sudah tidak memadai begitu, akhirnya kan harus pasrah pada takdir juga!" tukas Budi. "Setidaknya agar menghadirkan seseorang yang mampu secara tepat memimpin perbaikan dari kerusakan akibat kesalahan pendahulunya!" ***
Selanjutnya.....

Polisi Kepung Lampung Utara!

"SENIN pagi ini, Polda Lampung gelar pasukan di Mapolres Lampung Utara dengan kekuatan 796 personel gabungan dari berbagai satuan untuk membasmi begal di wilayah Lampung Utara!" ujar Umar. 

"Terakhir, alim ulama daerah itu yang tergabung dalam Nahdlatul Ulama (NU) memberi isyarat, kalau dalam waktu tiga bulan aksi begal tak habis di Lampung Utara, kepala polisi resort (kapolres) setempat supaya mundur!" "Masyarakat kabupaten itu memang sudah amat resah dengan semakin merajalelanya aksi begal!" tegas Amir. "Warga telah melakukan gerakan perlawanan terhadap begal! Tapi, saat mengejar begal, justru warga yang tewas ditembak begal! Kenyataannya, begal bersenjata api, sedang warga cuma pakai golok! Pertarungan hidup-mati menjadi risiko melawan begal! Kebanyakan warga tak berani melawan dan menyerahkan harta miliknya?motor sampai dompet?kepada begal! Begal pun kian menjadi-jadi!"

"Kali ini polisi serius mau menghabisi aksi begal di Lampung Utara! Tak ada ampun buat begal!" timpal Umar. "Dengan pasukan sebanyak itu, jika strateginya bagus, bisa menyikat habis semua begal di kawasan itu! Operasi sapu bersih begal itu bisa memanfaatkan informasi dan identifikasi polsek dengan kejadian-kejadian yang belum ditindaklanjuti karena kurangnya personel! Tanpa petunjuk awal daftar tercurigai begal, terutama terkait kasus yang belum selesai, bisa lebih sukar menumpasnya!" 

"Tanpa informasi dan identifikasi awal, pelaku begal justru bisa membahayakan personel polisi!" tegas Amir. "Karena begal daerah itu lebih nekat jika menghadapi polisi! Seorang kapolsek dari Way Kanan beberapa waktu lalu tewas ditembak begal di jalan lintas tengah kawasan itu saat memburu begal yang dia pergoki aksinya!" "Artinya, anggota polisi tak boleh gegabah dalam menghadapi begal di Lampung Utara!" timpal Umar. 

"Soalnya, begalnya berpengalaman dalam aksinya, sedang polisinya banyak yang belum berpengalaman membasmi begal! Faktor pengalaman itu tak bisa disepelekan!" "Dengan top list terduga begal dari semua polsek disusun rencana operasinya, tindakan banyak polisi mengepung Lampung Utara bisa efektif!" tegas Amir. "Lain kalau tak jelas siapa sasaran yang diincar saat melakukan pengepungan?banyak anggota polisi itu cuma jadi turis lokal, cuci mata di pelosok Lampung Utara!" ***
Selanjutnya.....

PON Prihatin pun Dimulai!

"DENGAN keprihatinan yang merata nyaris semua kontingen dari seluruh negeri, atas penginapan yang kurang nyaman, fasilitas pertandingan kurang mendukung peningkatan prestasi, dan upacara pembukaan yang ditunda dua hari karena Presiden sedang di luar negeri, pada Hari Olahraga Nasional 9 September hari ini jadwal pertandingan Pekan Olahraga Nasional (PON) XVIII di Pekanbaru, Riau, dimulai!" ujar Umar. "Tak boleh dilupakan, semua itu bisa dilakukan berkat bantuan berbagai kesatuan Tentara Nasional Indonesia (TNI) menangani finishing pengerjaan berbagai gedung dan fasilitas yang terlambat sehingga tanpa bantuan TNI mungkin saat jadwal PON tiba fasilitas belum selesai!" "Begitulah prihatinnya
akibat persiapan PON kali ini ditangani pimpinan yang tidak profesional dalam berbagai hal!" timpal Amir. "Mulai tidak profesional dalam mengelola time schedule proyek yang tanggal penyelenggaraannya sudah ditetapkan enam tahun sebelumnya, sampai tidak becus dalam kontrol hingga proyeknya jadi bancakan koruptor?baru tahap pertama sudah 13 orang ditetapkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai tersangka!" "Akibat meriahnya korupsi itu pula fasilitas olahraga yang dihasilkan kurang prima!" tegas Umar. "Kolam renang keruh terus, hingga atletnya kegatalan! Ada kamar ganti atlet yang air kamar mandinya tak ada, dari mana saluran airnya mau disambungkan juga kurang jelas! Bahkan bahan kanopi sebuah gedung berkualitas rendah sehingga mencederai sejumlah pekerja saat dipasang!" "Namun, semua rekaman gambar dan tulisan mengenai acak-kadutnya PON kali ini, mulai persiapan sampai tiba pelaksanaannya, harus didokumentasikan dengan baik sebagai pelajaran yang tak boleh terulang!" timpal Amir. "Rekaman itu diputar setiap kali Komite Olahraga Nasional (KONI) rapat menetapkan jadwal PON berikutnya, untuk wanti-wanti pada tuan rumah mendatang pesta olahraga bangsa itu tak sampai mendegradasi citra kemampuan bangsa dalam menyelenggarakannya! Cukup sekali di Riau itu saja terjadi PON prihatin!" "Meskipun demikian, kepada para atlet dan pelatih diharapkan jangan sampai patah semangat jika mendapat fasilitas bertanding dan akomodasi di bawah standar!" tegas Umar. "Sebaliknya, jadikan setiap kekurangan yang ditemui sebagai tantangan meningkatkan prestasi! Selamat bertanding!" ***
Selanjutnya.....

Adu Cangkang Kekuasaan!

SAMBIL menggembala kambing di kebun karet, anak-anak bermain adu cangkang—dua buah pohon karet yang berkulit keras diadu punggungnya, dipukul dengan tangan dari atas! "Siapa pemenangnya?" tanya Umar. "Pemenangnya yang biji karet miliknya tak pecah diadu!" jawab gembala. "Kenapa Om tertarik pada adu cangkang?" "Kebetulan sedang ramai adu cangkang kekuasaan! Ada adu cangkang DPRD dengan bupati, ada pula KPU dengan gubernur!" jawab Umar. "Dibanding cangkang karet, cangkang kekuasaan—encapsulated power—jauh lebih keras! Para pemimpin sering keasyikan bermain di dalamnya hingga tak peduli apa yang terjadi di luar cangkang! Karena cangkangnya kuat, tak sungkan adu cangkang kalau ada yang mencoba kekuatan cangkangnya!"
"Kenapa pemimpin bisa keasyikan dalam cangkangnya?" tanya gembala. "Pasti karena nyaman dalam cangkang!" jawab Umar. "Karena keasyikan dalam cangkang, komunikasi pun jadi cuma satu arah, apa yang dia katakan saja! Padahal komunikasi itu bukan cuma apa yang saya katakan, melainkan apa yang Anda katakan tentang apa yang saya katakan! Akibat makin tebalnya cangkang kekuasaan, komunikasi interaktif yang standar sukar terjadi!" "Bagaimana adu cangkang kekuasaan dilakukan?" kejar gembala. "Seperti adu cangkang karet, harus ada pihak ketiga yang mengadu kekuatan cangkang kekuasaan!" jelas Umar. "Contohnya kekuasaan DPRD itu kuat, sebagai pejabat politik yang dipilih langsung oleh rakyat, lembaganya bisa menjatuhkan kepala daerah! Tapi, namanya juga adu cangkang, mereka tak menggunakan kekuatan sendiri, tapi malah menggunakan pihak ketiga untuk mengadu—PTUN, Pengadilan Negeri (perdata), sampai Komisi Informasi!" "Tapi kenapa kekuasaan harus adu cangkang?" tanya gembala. "Mungkin karena keberadaan dalam cangkang kekuasaan itu bisa membuat pejabatnya jadi lemah dalam komunikasi interaktif, terutama dalam mengomunikasikan kepentingan lembaga mereka kepada lembaga mitra kerjanya!" tegas Umar. "Penyebab melemahnya kemampuan berkomunikasi dalam encapsulated power antara lain karena pertimbangan utamanya bukan kesempurnaan pengabdian pada rakyat, melainkan untung-rugi pribadinya atas pilihan tindakan! Kalau merugikan dirinya, 'No!' Hanya yang menguntungkan dirinya saja jadi pilihan!" ***
Selanjutnya.....

Adu Cangkang Kekuasaan!

SAMBIL menggembala kambing di kebun karet, anak-anak bermain adu cangkang—dua buah pohon karet yang berkulit keras diadu punggungnya, dipukul dengan tangan dari atas! "Siapa pemenangnya?" tanya Umar. "Pemenangnya yang biji karet miliknya tak pecah diadu!" jawab gembala. "Kenapa Om tertarik pada adu cangkang?" "Kebetulan sedang ramai adu cangkang kekuasaan! Ada adu cangkang DPRD dengan bupati, ada pula KPU dengan gubernur!" jawab Umar. "Dibanding cangkang karet, cangkang kekuasaan—encapsulated power—jauh lebih keras! Para pemimpin sering keasyikan bermain di dalamnya hingga tak peduli apa yang terjadi di luar cangkang! Karena cangkangnya kuat, tak sungkan adu cangkang kalau ada yang mencoba kekuatan cangkangnya!"
"Kenapa pemimpin bisa keasyikan dalam cangkangnya?" tanya gembala. "Pasti karena nyaman dalam cangkang!" jawab Umar. "Karena keasyikan dalam cangkang, komunikasi pun jadi cuma satu arah, apa yang dia katakan saja! Padahal komunikasi itu bukan cuma apa yang saya katakan, melainkan apa yang Anda katakan tentang apa yang saya katakan! Akibat makin tebalnya cangkang kekuasaan, komunikasi interaktif yang standar sukar terjadi!" "Bagaimana adu cangkang kekuasaan dilakukan?" kejar gembala. "Seperti adu cangkang karet, harus ada pihak ketiga yang mengadu kekuatan cangkang kekuasaan!" jelas Umar. "Contohnya kekuasaan DPRD itu kuat, sebagai pejabat politik yang dipilih langsung oleh rakyat, lembaganya bisa menjatuhkan kepala daerah! Tapi, namanya juga adu cangkang, mereka tak menggunakan kekuatan sendiri, tapi malah menggunakan pihak ketiga untuk mengadu—PTUN, Pengadilan Negeri (perdata), sampai Komisi Informasi!" "Tapi kenapa kekuasaan harus adu cangkang?" tanya gembala. "Mungkin karena keberadaan dalam cangkang kekuasaan itu bisa membuat pejabatnya jadi lemah dalam komunikasi interaktif, terutama dalam mengomunikasikan kepentingan lembaga mereka kepada lembaga mitra kerjanya!" tegas Umar. "Penyebab melemahnya kemampuan berkomunikasi dalam encapsulated power antara lain karena pertimbangan utamanya bukan kesempurnaan pengabdian pada rakyat, melainkan untung-rugi pribadinya atas pilihan tindakan! Kalau merugikan dirinya, 'No!' Hanya yang menguntungkan dirinya saja jadi pilihan!" ***
Selanjutnya.....

Merosotnya Daya Saing!

"DAYA saing Indonesia dalam Competitiveness Index, World Economic Forum (WEF), tahun ini merosot empat tingkat di posisi 50, dari tahun lalu di peringkat 46!" ujar Umar. "Itu pertanda bukan saja usaha pemerintah meningkatkan daya saing global gagal, bahkan kondisi yang ada juga memburuk!" "Merosotnya daya saing itu terutama akibat kian lemahnya layanan birokrasi pada dunia bisnis, cerminan gagalnya reformasi birokrasi!" timpal Amir. "Kegagalan itu akibat jajaran pemerintah bukannya melayani dunia bisnis, melainkan kebutuhan birokrasi untuk dilayani dunia bisnis yang justru kian intens! Setiap geliat birokrasi bukan guna meningkatkan pelayanan pada dunia usaha, malah kewajiban pelayanan oleh birokrasi yang ditimpakan sebagai beban dunia usaha!"
"Contohnya kewajiban birokrasi membangun jalan atau infrastruktur lainnya yang dibebankan ke dunia usaha!" tegas Umar. "Padahal, dunia usaha telah membayar pajak dalam setiap kegiatannya—dari setiap barang yang dibeli untuk operasional dan produksinya kena PPN yang dikutip produsen barangnya sebagai Wapu, setiap gerak operasional per dari upah karyawan sampai uang makan kena pajak, lalu setiap potong produksi yang dijualnya harus dilunasi PPN-nya 10%, sampai setiap sen labanya harus dilunasi pajaknya! Sisa laba yang sudah lunas pajak itu masih harus dikeluarkan lagi 2,5% untuk CSR, yang juga mau diatur lagi oleh birokrat dan politisi distribusinya, tanpa peduli tujuan CSR menjembatani perusahaan dengan warga sekitar lokasi usahanya agar tak mengulang kondisi enklave dari lingkungan sosialnya seperti terjadi di zaman penjajahan!" "Lucunya hasil pajak dunia bisnis yang lewat APBN dikembalikan ke daerah dalam APBD yang seharusnya untuk membangun infrastruktur dan kesejahteraan rakyat, sebagian besar hanya dinikmati birokrasi dan politisi, sedang untuk membangun infrastruktur ditekan perusahaan agar melakukannya, juga untuk kesejahteraan rakyat mau diusahakan dari CSR, yang cuma 2,5% dari laba perusahaan setelah pajak!" timpal Amir. "Itu baru satu sisi dari merosotnya daya saing investasi kita di level global! Di sisi lain—faktor keamanan—malah lebih parah, lihat saja tambak udang AWS yang terbesar di Asia jadi ngangkrak, atau hutan tanaman industri (HTI) di Register 45 berubah jadi bumi perkemahan ribuan perambah! Siapa berani investasi?" ***
Selanjutnya.....

Sukar Efektif, Pembatasan BBM Subsidi!

"PEMBATASAN BBM bersubsidi bagi kendaraan milik usaha pertambangan dan perkebunan yang di Lampung berlaku mulai 1 September, ternyata belum berjalan efektif!" ujar Umar. "Pertamina menyatakan sudah melakukan sosialiasi dan menetapkan di SPBU sama ada penjualan BBM bersubsidi dan nonsubsidi! Tapi pihak SPBU belum tahu bagaimana ketentuannya hingga belum dijalankan!"
"Kebijakan itu tampaknya sukar efektif karena banyak ketentuan yang harus diatur untuk pelaksanaannya belum disiapkan!" sambut Amir. "Identifikasi kendaraan yang kena aturan itu saja belum jelas! Di pertambangan, apa kendaraan kontraktor—bukan milik usaha pertambangan—harus BBM nonsubsidi! Di perkebunan, apa hanya berlaku pada maskapai? Apa truk pengangkut sawit rakyat ke pabrik wajib nonsubsidi karena terkait pabrik milik maskapai?" "Bahkan segala hal diatur pun belum tentu bisa dilaksanakan efektif!" tegas Umar. "Contohnya mobil pelat merah yang sejak awal diwajibkan pakai BBM nonsubsidi, di lapangan tak ada pengawasan! Kalau di Jawa Barat pada masa awalnya mobil pelat merah ditempeli stiker wajib BBM nonsubsidi, sekarang stikernya juga sudah banyak yang hilang! Bagaimana pula di daerah seperti Lampung, banyak SPBU-nya tak punya fasilitas pengisian pertamax!" "Dari semua itu terlihat, dalam melaksanakan kebijakannya sendiri pun pemerintah asal-asalan!" tukas Amir. "Bagaimana kalau kasus ini justru merupakan contoh cara kerja pemerintah yang sesungguhnya? Mungkin itulah jawaban paling tepat buat berbagai kenyataan dalam kehidupan bernegara-bangsa yang jauh dari idealnya, produk kebijakan yang dilaksanakan secara asal-asalan!" "Lucunya kebijakan pembatasan BBM terhadap usaha pertambangan dan perkebunan ini bagian dari langkah strategis pemerintah menurunkan subsidi BBM pada APBN!" timpal Umar. "Dilihat dari centang-perenangnya pelaksanaan kebijakan tersebut di Lampung, sukar dibayangkan bakal sejauh mana hasil langkah strategis pemerintah itu!" "Tentu setelah adanya kenyataan acak-kadutnya pelaksanaan kebijakan tersebut di Lampung, akan dilakukan perbaikan kembali aturan pelaksanaannya!" timpal Amir. "Artinya, pada akhirnya Pemerintah Pusat menyadari bahwa dalam hal ini merekalah yang lemah!" ***
Selanjutnya.....

Jaga Diri dari Abu Krakatau!

"BPBD—Badan Penanggulangan Bencana Daerah—Provinsi Lampung Selasa membagi masker kepada warga di kawasan terpapar abu vulkanik letusan Gunung Anak Krakatau (GAK) yang sejak Minggu malam terbawa angin ke wilayah Bandar Lampung dan Pesawaran!" ujar Umar. "Masker itu penting untuk melindungi warga karena abu vulkanik berbahaya bagi kesehatan manusia, jika terhirup lewat hidung atau mulut bisa menyebabkan infeksi saluran pernapasan akut!" "Langkah tanggap darurat yang cepat dan tepat waktu dari BPBD Lampung itu layak diapresiasi!" timpal Amir. "Namun, jika ada warga yang merasa pernapasannya terganggu, siapa tahu sempat menghirup abu vulkanik sebelum memakai masker, supaya cepat melapor ke dokter terdekat sebelum infeksinya jadi parah! Juga cepat ke dokter kalau tiba-tiba merasa ada gangguan pada mata karena infeksi di mata akibat abu vulkanik sama berbahayanya!"

"Pokoknya, dengan adanya sebaran abu vulkanik dari GAK, setiap warga diharap bisa menjaga diri masing-masing dari terpapar baik yang sudah mendapat bantuan masker dari BPBD maupun yang belum!" tegas Umar. "Bagi yang belum dapat masker, kalau mampu sebaiknya membeli sendiri masker di apotek! Kalau tak mampu jangan nekat membiarkan hidung dan mulut terbuka tanpa perlindungan di kawasan terpapar abu vulkanik!" "Paling tidak gunakanlah syal, selendang atau handuk kecil untuk menutupi hidung dan mulut agar tak menghirup abu vulkanik!" timpal Amir. "Sedang kalau naik sepeda motor, selain masker jangan lupa pakai kacamata dan jaket untuk melindungi mata dan kulit tubuh dari abu vulkanik yang mengandung zat-zat berbahaya bagi manusia!" "Mewaspadai letusan Gunung Krakatau dan anaknya bagi warga Lampung—terutama di pesisir Selat Sunda—sebenarnya merupakan risiko alamiah! Bahkan dengan pengalaman letusan besar 1883, konsekuensi serius harus selalu disiagakan!" tegas Umar. "Untuk itu, langkah BPBD yang tepat waktu itu juga harus didukung oleh masyarakat! Selain dukungan nyata gerakan masyarakat tanggap bencana mengintegrasikan diri membantu BPBD, meskipun BPBD ada anggaran, tak salah jika mereka yang mampu atau perusahaan besar yang peduli memberi bantuan alat-alat melindungi warga dari abu vulkanik maupun ekses letusan lainnya!" ***
Selanjutnya.....

Korupsi Cemari PON Pekanbaru!

"PON—Pekan Olahraga Nasional—XVIII di Pekanbaru yang akan dibuka Minggu (9-9), persiapannya bisa menjadi terburuk sepanjang sejarah dengan ditetapkannya 13 tersangka korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi terkait proyek pengadaan fasilitas pesta olahraga itu!" (Metro TV, 3-9) ujar Umar. "Lebih buruk lagi, hal itu mengulang skandal penyiapan fasilitas SEA Games di Palembang tahun lalu dengan empat terdakwanya sudah divonis bersalah, sejumlah tersangka lain masih diproses!" "Menyedihkan, pesta olahraga sebagai ajang unjuk sportivitas dan kejujuran dicemari oleh tindakan korupsi!" sambut Amir. "Lebih celaka, dari waktu ke waktu korupsinya bukan mengecil, tetapi justru makin beramai-ramai! Realitas itu membuat tidak kepalang, Kompas (3-9) menyimpulkan itu menunjukkan buruknya manajemen pemerintah sehingga kasus yang sama masih terulang dalam rentang setahun!"
"Itu dari segi kasus korupsi yang sudah dibongkar KPK!" tegas Umar. "Hal lain yang pantas menjadi perhatian kepepetnya waktu penyiapan fasilitas olahraga, dari pembangunan gedung dan pengadaan peranti lainnya, yang juga terulang dari SEA Games Palembang ke PON Pekanbaru! Jangan-jangan 'ada udang di balik batu' dengan kebiasaan membuat kesan ada kondisi darurat yang harus diatasi itu!" "Kemungkinan itu bukan mustahil dengan PON yang berbiaya sekitar Rp2 triliun dari APBN dan APBD Provinsi Riau tersebut!" timpal Amir. "Kompas (idem) mengandaikan, pada 'situasi darurat' itu penggelontoran dana miliaran rupiah dilakukan untuk merampungkan pembelian keperluan mendesak dengan menabrak rambu administrasi pemerintah lewat penunjukan langsung, bukan lelang! Model itu mungkin telah teruji bisa lolos dari ranjau KPK hingga 'dibiasakan' dari satu pesta olahraga ke pesta berikutnya!" "Eksesnya, manajemen pemerintah yang buruk dalam mengelola kegiatan olahraga itu jelas tidak bisa diandalkan untuk meningkatkan prestasi atlet kita di tingkat internasional!" tegas Umar. "Buktinya di Olimpiade terakhir, kiprah kita sebagai negeri 250 juta jiwa di bawah Australia, Thailand, Malaysia, bahkan Singapura, yang unjuk gigi di berbagai cabang olahraga! Apa yang bisa diharap dari pembinaan olahraga dengan 'manajemen kepepet' berlumur korupsi begitu?" ***
Selanjutnya.....

Musim Kemarau Awas Kebakaran!

"MESKIPUN sekali turun hujan, kemarau yang telah mengeringkan lahan pertanian Lampung masih akan berlangsung sampai akhir Oktober dengan ancaman serius lainnya, kebakaran!" ujar Umar. "Bencana kebakaran itu bahkan telah melalap Jakarta nyaris setiap hari sepanjang Ramadan, dari permukiman padat, seperti Petamburan hingga yang relatif tertata, Duren Sawit!" 

"Akibat bencana kebakaran tidak kalah fatal dari kekeringan, karena bisa meludeskan segala harta keluarga sehingga milik korbannya bisa tinggal pakaian yang melekat di badan!" timpal Amir. "Karena itu, mewaspadai ancaman kebakaran sangat penting! Kebakaran mengancam satu kompleks permukiman, maka idealnya waspada kebakaran dilakukan dalam kebersamaan warga suatu permukiman!"

"Dengan kebersamaan itu memang bisa lebih efektif mencegah kebakaran! Karena selain hal-hal yang bisa menjadi penyebab kebakaran bisa dicari oleh lebih banyak mata dan bisa cepat diatasi bersama pula!" tegas Umar. "Mulai dari mencari kalau ada warga mencuri aliran listrik dengan mencantol—salah satu penyebab kebakaran di Jakarta—untuk ditertibkan, mengecek kondisi jaringan kabel terkait peralatan elektronik di semua rumah, penyebab kebakaran yang lain!" 

"Selain itu, juga ada kebakaran akibat mainan petasan!" timpal Amir. "Pencegahan kebakaran yang dilakukan bersama bisa melarang anak main petasan, kalau kebetulan (biasanya) yang banyak main petasan anak orang berpunya di kampungnya! Petasan bisa menjadi penyebab kebakaran karena di antara serpihan kertas yang tersebar oleh ledakannya, ada yang terbakar, bisa menyulut benda yang mudah terbakar!" 

"Jangan dikira mudah mengorganisasi warga untuk bersama mengawasi segala hal yang bisa menyebabkan kebakaran!" tukas Umar. "Di Jakarta saja yang warganya sudah maju, tidak berhasil menghimpun partisipasi mengatasi kebakaran! Ada yang anggap remeh ajakan waspada api, ada yang merasa bakal tidak mampu menertibkan warganya yang menganggap soal mencantol listrik sudah 'tradisi'!" 

"Itu mungkin terjadi karena warga Jakarta sudah terlalu metropolis, telah menjadi masyarakat patembayan—elu-elu, gue-gue!" timpal Amir. "Beda dengan warga Lampung, meskipun tidak ndeso lagi, masih kuat semangat gotong royongnya, lazimnya masyarakat paguyuban!"
Selanjutnya.....

Teroris Vs Polisi Perang di Solo!

"SETELAH penembakan yang menewaskan Bripka Dwi Data Subekti di Pos Polisi Singosaren, Kamis malam, Jumat malam, polisi menyergap teroris di Jalan Veteran, Solo!" ujar Umar. "Malang nian, rompi antipeluru Bripda Suherman dari Densus 88 jebol diterjang peluru teroris! Berarti sampai detik itu polisi kalah 0-2 dari teroris! Untunglah dalam lanjutan penyergapan itu akhirnya polisi berhasil revans, menembak tewas dua terduga teroris, Farhan dan Mukhlis, skor jadi 2-2!"
"Perang teroris versus polisi di Solo, di mana teroris dengan senjata api (granat dan pistol) menyerang lebih dulu beruntun 17, 18, dan 30 Agustus!" sambut Amir. "Maka itu, kalau Densus 88 Jumat malam menemukan teroris dan menyergap, bisa dikata gerakan polisi cukup cepat menyingkap misteri teror di Solo! Tersisa pekerjaan rumah polisi soal rompi Suherman bisa jebol, siapa pemasoknya, masalah tendernya!" "Hal baru yang perlu disimak adalah modus baru teroris melakukan serangan ke pos polisi dengan senjata api!" tegas Umar. "Malah saat menyerang pos polisi Singosaren, pelaku dibonceng sepeda motor temannya, turun mendatangi Bripka Dwi Data di pos dan menembaknya dari jarak dekat!" "Begitulah! Meskipun modus baru, sebenarnya aksi itu mirip teroris melakukan serangan balasan ke Polsek Hamparan Perak, Sumatera Utara, beberapa waktu lalu!" timpal Amir. "Modus ini lebih efektif mengarah ke sasaran, seperti di Solo targetnya polisi, meskipun jumlah korban dan ‘gema terornya' tak sebesar teror dengan bom!" "Tapi sama saja, teroris tetap teroris, harus bisa diungkap sebelum melancarkan aksinya yang fatal!" tegas Umar. "Seperti kasus Solo, meskipun bisa diungkap setelah penembakan mematikan pada Bripka Dwi Data, seharusnya sudah bisa dibuka sejak aksi beruntun 17 dan 18 Agustus! Jadi itu dasar sebagian orang menyebut dalam kasus Solo intelijen polisi kurang cepat! Hal mana juga membuat Presiden SBY sempat menyatakan kalau perlu diturunkan pasukan TNI untuk mengatasi teror di Solo!" "Karena itu, penumpasan teroris di Solo itu bisa disebut sebagai langkah awal mengatasi teroris dengan modus baru!" timpal Amir. "Modus baru ini dengan sasaran terpilih, susah ditebak siapa target berikutnya! Untuk itu, cara menangkal paling efektif adalah siaga penuh semua jajaran baik polisi maupun satuan yang bisa jadi simbol kekuasaan negara! Sebab, salah satu motif teroris adalah untuk mengubah model negara dan pemerintahannya!" ***
Selanjutnya.....

Vonis MK Bukti Sikap Penguasa yang Tak Adil!

"VONIS Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (29-8), yang membatalkan Ayat (1) dan (2) Pasal 8 dan Pasal 208 Undang-Undang Nomor 8/2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD menjadi bukti para penguasa pembuat undang-undang (politisi di parlemen dan eksekutif) bersikap tak adil, hanya cari keuntungan bagi golongannya, tak peduli itu dilakukan dengan melanggar konstitusi!" ujar Umar. "Ayat (1) dan (2) Pasal 8 menyebutkan parpol yang pemilu terakhir masuk parlemen tak diverifikasi, sedang parpol yang tak lolos ke parlemen dan parpol baru harus diverifikasi! Pasal 208 menyebut ambang batas 3,5% berlaku untuk DPR serta DPRD provinsi dan kota/kabupaten!"
"Dengan vonis MK itu, semua parpol baik yang ada di parlemen maupun di luar parlemen dan parpol baru diperlakukan sama, wajib diverifikasi KPU kecukupan kepengurusannya di semua tingkat!" sambut Amir. "Sedang ambang batas 3,5% (parliament treshold) hanya berlaku di DPR, tidak berlaku di DPRD provinsi dan kota/kabupaten! Dalam hal ini MK mengoreksi pelanggaran konstitusi yang dilakukan pembuat UU, yakni pelanggaran atas prinsip persamaan, semua warga negara sama di muka hukum (Pasal 27 UUD 1945)." "Itulah yang tersingkap dengan vonis MK itu!" tegas Umar. "Pembuat UU hanya mencari keuntungan buat parpolnya dalam UU yang dibuatnya dengam membebaskan dirinya dari verifikasi, sedang pihak-pihak di luar parpol mereka diwajibkan verifikasi! Itu jelas tak adil terhadap pihak-pihak di luar golongannya! Padahal, semestinya UU berlaku sama bagi semua warga negara! Ini sebaliknya, mereka buat pasal dan ayat UU yang tak berlaku bagi diri mereka sendiri!" "Sikap tak adil kalangan penguasa dalam membuat aturan hidup bernegara-bangsa itulah penyebab negeri kita terpuruk berkepanjangan, tertinggal dari kemajuan negara-negara tetangga!" timpal Amir. "Dengan sikap para pemimpin bangsa yang sedemikian, hanya mau cari untung bagi diri dan golongannya, dan itu dilakukan dengan merugikan pihak-pihak lain serta melanggar prinsip konstitusi, keadilan yang didamba para Bapak Pendiri NKRI pun semakin jauh dari realitas kehidupan bangsa! Bukti ketakadilan penguasa itu betul-betul menyayat pedih hati rakyat!" ***
Selanjutnya.....