"DAYA saing Indonesia dalam Competitiveness Index, World Economic Forum (WEF), tahun ini merosot empat tingkat di posisi 50, dari tahun lalu di peringkat 46!" ujar Umar. "Itu pertanda bukan saja usaha pemerintah meningkatkan daya saing global gagal, bahkan kondisi yang ada juga memburuk!"
"Merosotnya daya saing itu terutama akibat kian lemahnya layanan birokrasi pada dunia bisnis, cerminan gagalnya reformasi birokrasi!" timpal Amir. "Kegagalan itu akibat jajaran pemerintah bukannya melayani dunia bisnis, melainkan kebutuhan birokrasi untuk dilayani dunia bisnis yang justru kian intens! Setiap geliat birokrasi bukan guna meningkatkan pelayanan pada dunia usaha, malah kewajiban pelayanan oleh birokrasi yang ditimpakan sebagai beban dunia usaha!"
"Contohnya kewajiban birokrasi membangun jalan atau infrastruktur lainnya yang dibebankan ke dunia usaha!" tegas Umar. "Padahal, dunia usaha telah membayar pajak dalam setiap kegiatannya—dari setiap barang yang dibeli untuk operasional dan produksinya kena PPN yang dikutip produsen barangnya sebagai Wapu, setiap gerak operasional per dari upah karyawan sampai uang makan kena pajak, lalu setiap potong produksi yang dijualnya harus dilunasi PPN-nya 10%, sampai setiap sen labanya harus dilunasi pajaknya! Sisa laba yang sudah lunas pajak itu masih harus dikeluarkan lagi 2,5% untuk CSR, yang juga mau diatur lagi oleh birokrat dan politisi distribusinya, tanpa peduli tujuan CSR menjembatani perusahaan dengan warga sekitar lokasi usahanya agar tak mengulang kondisi enklave dari lingkungan sosialnya seperti terjadi di zaman penjajahan!" "Lucunya hasil pajak dunia bisnis yang lewat APBN dikembalikan ke daerah dalam APBD yang seharusnya untuk membangun infrastruktur dan kesejahteraan rakyat, sebagian besar hanya dinikmati birokrasi dan politisi, sedang untuk membangun infrastruktur ditekan perusahaan agar melakukannya, juga untuk kesejahteraan rakyat mau diusahakan dari CSR, yang cuma 2,5% dari laba perusahaan setelah pajak!" timpal Amir. "Itu baru satu sisi dari merosotnya daya saing investasi kita di level global! Di sisi lain—faktor keamanan—malah lebih parah, lihat saja tambak udang AWS yang terbesar di Asia jadi ngangkrak, atau hutan tanaman industri (HTI) di Register 45 berubah jadi bumi perkemahan ribuan perambah! Siapa berani investasi?" ***
"Contohnya kewajiban birokrasi membangun jalan atau infrastruktur lainnya yang dibebankan ke dunia usaha!" tegas Umar. "Padahal, dunia usaha telah membayar pajak dalam setiap kegiatannya—dari setiap barang yang dibeli untuk operasional dan produksinya kena PPN yang dikutip produsen barangnya sebagai Wapu, setiap gerak operasional per dari upah karyawan sampai uang makan kena pajak, lalu setiap potong produksi yang dijualnya harus dilunasi PPN-nya 10%, sampai setiap sen labanya harus dilunasi pajaknya! Sisa laba yang sudah lunas pajak itu masih harus dikeluarkan lagi 2,5% untuk CSR, yang juga mau diatur lagi oleh birokrat dan politisi distribusinya, tanpa peduli tujuan CSR menjembatani perusahaan dengan warga sekitar lokasi usahanya agar tak mengulang kondisi enklave dari lingkungan sosialnya seperti terjadi di zaman penjajahan!" "Lucunya hasil pajak dunia bisnis yang lewat APBN dikembalikan ke daerah dalam APBD yang seharusnya untuk membangun infrastruktur dan kesejahteraan rakyat, sebagian besar hanya dinikmati birokrasi dan politisi, sedang untuk membangun infrastruktur ditekan perusahaan agar melakukannya, juga untuk kesejahteraan rakyat mau diusahakan dari CSR, yang cuma 2,5% dari laba perusahaan setelah pajak!" timpal Amir. "Itu baru satu sisi dari merosotnya daya saing investasi kita di level global! Di sisi lain—faktor keamanan—malah lebih parah, lihat saja tambak udang AWS yang terbesar di Asia jadi ngangkrak, atau hutan tanaman industri (HTI) di Register 45 berubah jadi bumi perkemahan ribuan perambah! Siapa berani investasi?" ***
0 komentar:
Posting Komentar