Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Kuat, ‘Invisible Hand’ Koruptor!

“MESKI semua kekuatan reformis—dari tokoh lintas agama, media massa, LSM, sampai tokoh-tokoh nasional seperti Hasyim Muzadi, Mahfud M.D.—membela Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), publik tetap khawatir KPK seperti sekarang, yang mampu menindak korupsi di lingkaran dalam kekuasaan, meringkus politisi kelas atas, akan tinggal sejarah!” ujar Umar. 

“Kekhawatiran itu bertolak dari realitas, adanya invisible hand—tangan tak terlihat—yang efektif mengatur berbagai elemen kekuasaan formal bersinergi melumpuhkan KPK, hingga tinggal jadi boneka mainan penguasa!” “Dahsyatnya, proses pelumpuhan KPK itu telah pun dimulai dengan penarikan 20 penyidik Polri dari KPK! Lima penyidik yang belum memenuhi penarikan diancam dijadikan penyidik ilegal!” timpal Amir. “Bersamaan itu, DPR yang tinggal ketuk palu revisi UU KPK untuk menghapus kewenangan penuntutan dan menyadap harus dengan izin, juga minta BPK melakukan audit kinerja KPK! Padahal, dalam audit keuangan KPK meraih opini WTP—wajar tanpa pengecualian!”

“Semua langkah menelikung KPK itu datang dari kubu penguasa! Polri di bawah kendali kekuasaan Presiden, mayoritas fraksi di DPR juga koalisi pendukung Presiden! Namun, Sang Presiden sendiri yang kampanye berjanji memberantas korupsi, menyatakan dirinya tak dibenarkan intervensi!” tegas Umar. 

“Padahal yang tak dibenarkan intervensi itu terhadap kasus korupsi karena bisa terjadi conflict of interest! Tapi untuk sistem pemberantasan korupsi yang sedang terancam oleh kekuatan-kekuatan di bawah kendalinya, baik Polri maupun fraksi-fraksi koalisi pendukungnya di DPR, bukan intervensi yang diperlukan, melainkan menertibkannya agar perjuangan memberantas korupsi yang ia janjikan dalam kampanye tak dipencundangi!” 

“Begitulah logika publik!” timpal Amir. “Logika publik itu punya buntut berbentuk suuzan—prasangka buruk—jika Presiden terus-terusan berlindung di balik alasan dirinya tak dibenarkan intervensi! Karena yang diminta darinya bukan intervensi, melainkan menertibkan kekuatan-kekuatan di bawah kendalinya sehingga ketika Presiden tetap enggan melakukannya, muncul prasangka buruk: jangan-jangan justru di sanalah pangkal invisible hand tersebut! Jadi, suuzannya dipaksa hadir oleh sikap tak peduli terhadap gerakan formal melumpuhkan KPK!” ***

0 komentar: