"PASTI ulah tengkulak!" entak Budi. "Pada musim kemarau panjang produksi tanaman karet cuma separuh dari saat normal, artinya penawaran turun hingga seharusnya harganya naik masak harganya malah dia turunkan jauh dari normal! Sekarang tinggal Rp5.000 per kilogram getah slab basah, padahal saat normal di atas Rp10 ribu! Demikian pula harga kelapa sawit, tandan buah segar (TBS) yang sebelumnya Rp1.300 per kilogram, kini tinggal Rp700 per kilogram!"
"Jangan suuzan pada tengkulak!" timpal Umar. "Negeri kita dilanda krisis kekeringan akibat kemarau panjang, waduk-waduk surut drastis, panenan tanaman pangan sampai tanaman industri, seperti karet, menurun tajam, tetapi akibat krisis ekonomi di Eropa dan Amerika harga bahan baku industri merosot akibat permintaan turun signifikan karena industri lesu! Jadi, yang secara nyata kita hadapi adalah dilema krisis kekeringan di balik krisis ekonomi dunia!"
"Kenapa krisis kekeringan jadi dilema, bukankah kemarau panjang itu takdir?" tukas Budi.
"Kekeringan yang melanda negeri kita akibat ulah manusia, bukan dari sononya!" sela Amir. "Seperti di Lampung, banyak register yang dalam peta masih hutan lindung, realitasnya tidak sedikit pun lagi ada hutannya! Kawasan penyangga air waduk juga banyak yang sudah kurang lestari sehingga waduk-waduk menjadi surut drastis!"
"Tetapi, di mana letak dilemanya?" kejar Budi.
"Dilemanya pada menjadi jungkir-baliknya teori ekonomi sehingga kau berprasangka buruk pada tengkulak!" tegas Umar.
"Penawaran turun harganya ikut turun! Padahal semestinya, seperti ayunan jungkat-jangkit di TK, kalau satu sisi turun sisi lainnya naik! Dilema, kedua sisi turun, ayunan jungkat-jangkit patah di tengah!"
"Patah di tengah karena anggaran merehabilitasi kerusakan hutan dan lahan tidak pernah memadai dibanding luasnya kerusakan hutan dan lahan!" timpal Amir. "Akibatnya hasil rehabilitasi tidak signifikan artinya bagi mengatasi krisis kerusakan hutan yang terlanjur merusak iklim, meskipun andaikan kompensasi moratorium (jeda) penebangan hutan dipakai untuk rehabilitasi!"
"Kalau usaha manusia memperbaiki kesalahan sendiri sudah tidak memadai begitu, akhirnya kan harus pasrah pada takdir juga!" tukas Budi. "Setidaknya agar menghadirkan seseorang yang mampu secara tepat memimpin perbaikan dari kerusakan akibat kesalahan pendahulunya!" ***
0 komentar:
Posting Komentar