Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Trump, Bicara Jelek Salahkan Mik!

SEPERTI peribahasa "tak pandai menari lantai dikatakan berjungkit", calon presiden AS dari Partai Republik Donald Trump menyalahkan mikrofon saat bicaranya jelek dalam debat capres melawan calon dari Partai Demokrat Hillary Clinton di New York, Selasa (27/9/2016).
Seusai debat 90 menit, Trump melontar protes dengan mendatangi ruang media, "Mereka memberikan mikrofon rusak untuk saya. Saya jadi bertanya-tanya, apa tujuan mereka?" (Kompas.com, 27/9/2016)
Klaim Trump tentang mikrofon rusak ini seolah membuktikan tudingannya bahwa pihak luar telah bersekongkol untuk menjatuhkan dia. Sebelum ini Trump telah berkali-kali berkata kepada pendukungnya, dia mungkin kalah dalam pilpres November nanti akibat dicurangi.
Karena merasa tak unggul dalam debat capres pertama itu, Trump juga melontarkan kritik kepada moderator debat Lester Holt dari stasiun televisi NBC News dengan menuding kurang seimbang dalam menjalankan tugas.
Trump menilai, Holt memberi pertanyaan terlalu berat kepadanya. Bahkan bias dengan pertanyaan terkait kepentingan bisnisnya. Misalnya kasus tuntutan diskriminasi ke perusahaan Trump pada 1970-an.
"Dia sama sekali tidak menanyakan Hillary banyak hal yang seharusnya ditanya. Tidak ada juga pertanyaan mengenai Yayasan Clinton," tukas Trump.
Trump dalam debat ini adalah Trump yang setahun terakhir dilihat publik. Agresif, meledak-ledak, kasar, gampang tersulut, dan tidak koheren. Hanya 15 menit pertama ia agak tenang menjelaskan kebijakan ekonominya.
Hillary, mantan pengacara yang aktif 40 tahun di dunia politik itu, berhasil menjebak Trump yang tersulut menghabiskan sisa waktu debat dengan sibuk membela diri dari serangan demi serangan Hillary.
Kedongkolan Trump memuncak ketika Lester Holt, moderator, menanyakan mengapa dia tak kunjung merilis pajak yang telah dibayarnya.
Ini langsung ditimpali serangan maut Hillary, dengan menyebut tiga kemungkinan alasan Trump tak sudi merilis catatan pajaknya.
Pertama, Trump tidaklah sekaya seperti yang diduga banyak orang. Kedua, Trump tidaklah sedermawan seperti yang juga diduga banyak orang. Ketiga, mungkin saja Trump tidak ingin rakyat Amerika tahu bahwa sesungguhnya dia tidak pernah membayar pajak.
Celakanya, Trump justru merespons ucapan Hillary dengan mengatakan tidak merilis pajak membuatnya terlihat pintar.
Di situ jebakan maut Hillary mengena, Trump mengesankan dirinya bukan negarawan. Trump menyia-nyiakan perebutan swing voters untuk pemilu beberapa pekan lagi. ***
Selanjutnya.....

Tax Amnesty Sukses di Dalam Negeri!

TAX amnesty awalnya dirancang untuk menarik pulang dana warga negara Indonesia (WNI) yang disimpan di luar negeri. Dalam pelaksanaannya, ternyata lebih sukses dalam membuka harta di dalam negeri yang tak dicantumkan dalam laporan wajib pajak.
Dari dana WNI di luar negeri yang semula diperkirakan pemerintah sebesar Rp11 ribu triliun, sampai Selasa malam pukul 20.00, statistik amnesti Ditjen Pajak mencatat dana asal luar negeri yang dinyatakan dibawa pulang ke Indonesia (direpatriasi) baru Rp128 triliun. Sedang dana di luar negeri yang dideklarasikan sebesar Rp666 triliun, jauh dari total perkiraannya.
Sebaliknya, deklarasi harta dalam negeri jauh lebih besar, yakni mencapai Rp1.719 triliun, sehingga total harta yang telah dideklarasikan dalam dan luar negeri mencapai Rp2.512 triliun. Dari jumlah itu, tebusan yang telah masuk sebesar Rp73,3 triliun, dari target penerimaan tax amnesty pada APBNP 2016 sebesar Rp165 triliun.
Sukses tax amnesty di dalam negeri ini masih akan berlanjut, setidaknya sampai tanggal 30 September 2016, batasan waktu tebusan sebesar 2%. Batasan tebusan itu amat menguntungkan bagi perusahaan yang semula belum melaporkan kewajiban pajaknya dengan tarif PPh badan 25% plus denda kalau tidak lewat tax amnesty.
Karena itu, tak aneh kalau animo masyarakat mengikuti tax amnesty besar sekali mendekati akhir batasan waktu tersebut. Seperti saat Presiden Jokowi meninjau Kantor Pelayanan Pajak Madya Gambir, Jakarta Pusat, Rabu pagi, ia dapati wajib pajak ada yang antre sejak pukul tiga dini hari demi mengikuti tax amnesty. (detikFinance, 28/9/2016)
Dengan antusiasme warga di dalam negeri itu, diperkirakan target penerimaan tebusannya akan tercapai. Namun, dengan itu bukan berarti tujuan semula tax amnesty menyasar harta WNI di luar negeri yang belum tercapai maksimal boleh dilupakan. Justru sebaliknya, langkah yang strategis ke depan harus disiapkan.
Untuk itu, Menkeu Sri Mulyani telah merilis dua Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 141 tentang kemudahan terkait syarat administratif dan No. 142 tentang pemilikan wajib pajak atas harta tidak langsung melalui special purpose vehicle (SPV) atau sering disebut cangkang.
Apabila wajib pajak tidak membubarkan SPV, dikenakan uang tebusan 4%. Jika dibubarkan, wajib pajak hanya dikenakan tarif 2% sebagai bentuk deklarasi luar negeri. Diharapkan, dengan kebijakan lanjutan itu, realisasi tax amnesty bisa maksimal serta seimbang di dalam dan luar negeri. ***
Selanjutnya.....

Jauhkan Pilkada dari Isu SARA!

PERTOLONGAN Ilahiah, itulah yang datang, sehingga pemilihan umum kepala daerah serentak 2017 yang semula di Ibu Kota negara nyaris terseret konflik SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan), yang bisa memecah belah bangsa dan menghancurkan negeri, justru di saat klimaks pencalonan gubernur DKI Jakarta terjadi rasionalisasi amat tajam menjauhkan pilkada dari konflik SARA.
Untuk itu, salut disampaikan kepada para pengurus pusat partai politik yang telah menetapkan calon yang lebih mengutamakan kapasitas dan kemampuan intelektual ketimbang personifikasi yang cenderung hanya mengeksploitasi isu SARA.
Itu khususnya dilakukan Gerindra dan PKS yang pada saat terakhir menetapkan pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno yang jelas akan lebih mengunggulkan kemampuan intelektual. Demikian pula poros Cikeas, Partai Demokrat, PPP, PKB, dan PAN menetapkan pasangan Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni yang mengunggulkan kapasitas calon dan jauh dari eksploitasi SARA.
Pilihan pimpinan parpol menetapkan calon yang jauh dari eksploitasi isu SARA itu amat melegakan banyak orang yang sempat mencemaskan pilkada serentak 2017 bisa menyeret bangsa dalam perpecahan akibat konflik SARA yang fatal. Apalagi, kalau konflik itu meletus di Ibu Kota negara, kekacauan bisa cepat meluas ke seantero negeri. Ancaman itulah yang telah diatasi dan diredam dengan baik oleh parpol-parpol dalam penetapan calon gubernur DKI Jakarta.
Cara bijaksana sedemikian yang telah dibuat oleh para pengurus pusat parpol, sebaiknya diikuti oleh pimpinan parpol di daerah yang juga sedang mengikuti pilkada serentak 2017. Maksudnya, para pimpinan parpol di daerah, dalam berusaha memenangkan calon yang diusung berusaha tetap menjaga agar tidak terjebak atau terseret isu SARA yang bisa mendorong ke arah konflik dan perpecahan.
Hal itu perlu ditekankan, karena dengan solidnya parpol-parpol di Jakarta menjaga massanya dari jebakan isu dan konflik SARA, bukan mustahil para penyulut isu SARA yang gagal di Ibu Kota akan merambah ke daerah untuk mencari titik terlemah tempat isu tersebut "laku dijual". Daerah yang kecolongan dalam hal ini akan rugi sendiri, masyarakatnya bisa terseret konflik fisik yang menghancurkan sarana dan prasarana daerahnya.
Untuk itu, alangkah baiknya parpol-parpol merapatkan barisan masyarakat daerahnya melaksanakan pilkada yang bersih, jauh dari isu SARA. Harapannya, mendapatkan kepala daerah terbaik, negerinya aman dan damai. ***
Selanjutnya.....

DKI, Bukti Kaderisasi Parpol Gagal!

DKI Jakarta sebagai etalase kinerja partai politik (parpol) memberi bukti kegagalan mereka melakukan kaderisasi sebagai tugas konstitusional menyiapkan barisan pimpinan bangsa. Tiga calon gubernur yang sudah terdaftar dalam Pilgub DKI berasal dari luar kader parpol.
Kinerja kaderisasi parpol di DKI Jakarta jelas merupakan etalase prestasi parpol untuk tingkat nasional. Kalau di Ibu Kota saja gagal, mudah diasumsikan di daerah yang jauh dari sorotan publik bisa lebih buruk lagi.
Padahal, kaderisasi untuk menghasilkan calon pimpinan bangsa yang berkualitas merupakan tugas konstitusional parpol. Untuk pencalonan presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah ditetapkan konstitusi hanya bisa dilakukan oleh parpol.
Malfungsi parpol ini berakibat keroposnya komponen pilar bangsa hingga konstruksi bangunannya bisa menjadi rapuh. Selain itu, konstruksi bangunan bangsa juga akhirnya hanya tersusun dari material yang sekadar ditempeli label merek tertentu, bukan produk orisinal alias KW-KW-an belaka. Bayangkan kalau akhirnya negara juga menjadi "negara KW-KW-an".
Tiga cagub DKI itu, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok diusung koalisi PDIP, Golkar, NasDem, dan Hanura. Ahok sebelumnya kader Gerindra saat sebagai cawagub pasangan Jokowi. Namun, setelah menggantikan Jokowi sebagai gubernur, Ahok melepas dukungan Gerindra.
Calon kedua Anies Baswedan, diusung Gerindra dan PKS. Anies mantan Mendikbud di Kabinet Kerja jilid I. Posisi itu tak terlepas dari aktifnya Anies sebagai tim transisi Jokowi, lawan dengan Gerindra yang mengusung Prabowo sebagai capres saingan Jokowi.
Calon ketiga Agus Harimurti Yudhoyono, diusung koalisi Cikeas, Partai Demokrat, PPP, PKB, dan PAN. Agus harus mundur dengan pangkat Mayor TNI untuk terjun ke politik.
Bukan semata karena gagal dalam kaderisasi. Menurut Koordinator Komite Pemilih Indonesia (Tepi) Jeirry Sumampow (Kompas.com, 25/9/2016), ketidakpercayaan masyarakat terhadap kader parpol menjadi salah satu alasan parpol mengusung calon nonpartai untuk cagub DKI.
Warga Ibu Kota khususnya sering disuguhi dengan perangai politikus yang terkesan "mencla-mencle" yang dinilai masyarakat sebagai bentuk ketidakkonsistenan kader serta parpolnya, ujar Jeirry. Kalaupun masyarakat pernah memilih parpol, lanjutnya, itu karena bentuk keterpaksaan.
Nah, malfungsi parpol bisa meluas hingga ditinggal pemilih. Kala pemilih tak lagi mau merasa terpaksa, karena memilih itu hak bukan kewajiban. ***
Selanjutnya.....

Penguasa yang Tidak Boleh Dilupakan!

PENGUASA yang tidak boleh dilupakan oleh para pengusaha yang ingin mendapatkan proyek di pemerintahan daerah bisa jadi hanyalah sosok kambing hitam. Betapa tidak, dalam gosip rekayasa lelang sebagai poros korupsi (Buras, Lampung Post, 17/3/2016) sosok penentu distribusi proyek ini demikian leluasa menerima setoran belasan persen dari nilai setiap proyek, tetapi tak tersentuh tindakan hukum.
Namun, sosok kambing hitam karena ketika pejabat pembuat komitmen dan bawahannya terjerat kasus korupsi, tidak satu pun dari mereka yang mengungkap dalam proses hukum kepada siapa diserahkan uang setoran belasan persen yang mereka kutip dari para pengusaha sebagai syarat mendapat proyek itu.
Dengan pasang badan, semua kesalahan mereka tanggung sendiri, begitu terkesan bahwa mereka sendirilah yang berinisiatif untuk melakukan korupsi dengan membuat segala alasan mengutip setoran dari pengusaha.
Itu karena penguasa tidak cawe-cawe menangani proses lelang dan pelaksanaan proyek sehingga bisa dikatakan tangan penguasa bersih dari noda proyek. Semua masalah terkait lelang dan pelaksanaan proyek diserahkan kepada pejabat pembuat komitmen.
Oleh karena itu, ketika kasus korupsi terbongkar, tidak ada bukti atau jejak yang bisa dikemukakan pejabat pembuat komitmen untuk mengaitkan kasusnya dengan penguasa, baik berupa tanda terima uang setoran dari pengusaha maupun saksi yang cukup.
Akibatnya, dalam kasus korupsi terkait proses lelang dan pelaksanaan proyek yang masuk bui sering hanya pejabat pembuat komitmen dan anak buahnya serta pengusaha yang terkait. Sebab, memang tidak ada bukti dan saksi yang bisa dikaitkan dengan penguasa, meski mungkin benar uang setoran pengusaha itu diteruskan ke penguasa.
Kemungkinan benarnya ada kaitan setoran proyek dengan penguasa sering dikaitkan pada mutasi atau penggantian pejabat yang acap dilakukan oleh penguasa. Pejabat yang tidak mau atau tak mampu menjalankan misi penguasa dalam pengaturan setoran proyek agar tangan penguasa tetap terjaga bersih lebih cepat diganti.
Cara bermain penguasa dengan menjaga tangan tetap bersih dari pengaturan proyek, gosip setoran kepada penguasa sekian belas persen sebagai penentu mendapatkan proyek pun bisa menjadi mitos belaka.
Apalagi kalau dijadikan justice collaborator pun pejabat membuat komitmen yang terbongkar kasus korupsinya tidak bakal punya bukti dan saksi untuk menjerat penguasa. Jadi, perlu inovasi hukum untuk bisa menjerat korupsi penguasa model ini. *

==> Buras ini sudah terbit edisi 20 Maret 2016
Selanjutnya.....

Pilkada, Oligarki Parpol Semakin Kaku!

OLIGARKI—Kekuasaan mutlak segelintir orang atau bahkan seseorang memerintah suatu organisasi—di partai politik (parpol) negeri ini cenderung semakin kaku menuju pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak 2017. Kalau sebelumnya aspirasi daerah masih dipertimbangkan, kini disisihkan total.
Contohnya Partai Golkar di Pilkada Kabupaten Pringsewu sebelumnya mengusung kadernya, Ririn. Kini, ketika Ririn selaku kader justru telah menjabat sebagai sekretaris DPD tingkat provinsi, kekuasaan oligarkis Partai Golkar di Pusat justru mendukung incumbent, lawan Ririn dalam pilkada lalu maupun sekarang. Padahal pada pilkada yang lalu, Ririn nyaris menang, bahkan ada yang meyakini Ririn sebenarnya menang.
Tapi lebih kaku lagi PDIP di DKI Jakarta. Para personal pengurus provinsi PDIP DKI menolak, bahkan anti terhadap Ahok. Tak kepalang, penolakan personal pengurus provinsi itu dituangkan dalam yel-yel yang mereka teriakkan bersama-sama:
"Bersatu padu untuk menang, gotong royong untuk menang, berjuanglah untuk menang, Ahok pasti tumbang."
"Bersatu padu untuk menang, gotong royong untuk menang, berjuanglah untuk menang, Ahok tunggang langgang."
Meski demikian, kekuasaan oligarkis di DPP parpolnya justru menetapkan Ahok sebagai calon gubernur yang mereka usung. Tak ayal lagi, sebagai bukti ketaatan pada aturan partai, orang-orang yang sama pun meneriakkan yel-yel serupa hingga bergema di kantor DPP partai, tetapi bagian akhirnya disesuaikan: "Bersatu padu untuk menang, gotong royong untuk menang, berjuanglah untuk menang, Ahok-Djarot menang." (Kompas.com, 21/9/2016)
Demikianlah praktik oligarki dalam parpol kita, yang relatif berlaku di semua parpol. Dengan parpol sebagai satu-satunya wadah masyarakat bangsa untuk berpartisipasi dalam demokrasi (pemerintahan oleh rakyat) mengelola pemerintahan negara, di mana untuk pemilihan presiden dan anggota DPR saluran konstitusionalnya hanya bisa melalui parpol, sebenarnya praktik oligarki di parpol merupakan anomali dalam sistem demokrasi. Sebab, oligarkis itu tipe penguasa yang segala sesuatu ditetapkan oleh kekuasaan segelintir orang atau minoritas, sedang demokrasi ditetapkan oleh suara orang banyak atau mayoritas.
Dominasi oligarkis di parpol-parpol yang ada jelas punya konsekuensi. Yakni, demokrasi yang ada sebenarnya hanyalah sekadar pseudomatika, cuma keseolah-olahan belaka. Sedang realitasnya, yang sebenarnya berlaku adalah apa pun maunya segelitir oligan. ***
Selanjutnya.....

George Bush Sr Mendukung Hillary!

MANTAN Presiden Amerika Serikat 1989—1993 dari Partai Republik, George HW Bush (senior), mengejutkan dunia dengan keputusannya untuk mendukung calon Presiden AS dari Partai Demokrat, Hillary Clinton, dalam pilpres November 2016 nanti.
Keputusan itu ditafsirkan sebagai bentuk ketidaksukaan Bush kepada calon presiden dari Partai Republik, Donald Trump. Dukungan Bush ini menyusul langkah sejumlah politisi Partai Republik yang secara terbuka menyatakan dukungan kepada Hillary (Kompas.com, 20/9/2016).
Bush yang sudah berusia 92 tahun ini tidak pernah secara terbuka mengkritik Trump yang mengalahkan putranya, Jeb Bush, dalam persaingan meraih tiket capres Partai Republik. Namun, Bush senior menolak memberikan dukungan kepada Trump dan juga memilih tidak hadir di konvensi Partai Republik yang mengukuhkan Trump sebagai capres.
Pilihan Bush senior ini diketahui publik setelah mantan Wakil Gubernur Maryland Kathleen Kennedy mengunggah hal ini di laman Facebook-nya. Di laman itu, Kathleen juga memperlihatkan fotonya sedang mengunjungi Bush. "Presiden Bush memberi tahu saya bahwa dia akan memilih Hillary," tulis klan keluarga Kennedy itu, dilansir Politico (20/9/2016).
Dukungan Bush senior kepada Hillary itu nyaris mustahil, mengingat pada pilpres untuk masa jabatannya periode kedua, ia dikalahkan oleh Bill Clinton, suami Hillary.
Namun, ini menjadi simpul ketidaksukaan sejumlah konstituen Partai Republik kepada Trump, yang gencar membentuk gerakan Partai Republik untuk Hillary, guna menarik pendukung Partai Republik terutama yang berhaluan moderat.
Namun, semua itu justru membuat Trump semakin cenderung rasialis, khususnya terhadap imigran, yang sengaja ia tonjolkan untuk memperkuat dukungan kalangan established, mayoritas kulit putih negerinya. Kecerdikan Trump mengeksploitasi sentimen negatif mayoritas warga AS itu yang membuat ia bisa bertahan dalam persaingan amat ketat jajak pendapat.
Persaingan ketat itu membuat Hillary sampai jatuh sakit kelelahan. Akhirnya, bagaimana kubu Hillary bisa memantapkan dukungan sayap moderat Partai Republik, menjadi kunci bagi kemenangannya.
Terpenting, jangan terulang sejarah pilpres tahun 2000, calon Demokrat Albert Gore Jr unggul dengan 50.999.897 atau 48,38% suara popular vote, lawan calon Republik George Bush Jr 50.456.002 (47,87% suara), tapi Bush yang menang pilpres karena suaranya didapat dari 271 electoral college, sedang Al Gore 266 electoral. Pengulangan sejarah itu incaran Trump. ***
Selanjutnya.....

Jokowi, Medsos Ajang Saling Hujat!

PRESIDEN Jokowi prihatin dengan semakin lunturnya nilai-nilai luhur jati diri bangsa, budi pekerti, kesantunan, semangat juang, dan juga keagamaan. Untuk itu, ia berpesan agar setiap generasi mengestafetkan nilai-nilai positif ke generasi setelahnya.
"Kita merasa kehilangan. Yang kita estafetkan mestinya nilai-nilai, bukan sebuah barang, bukan sebuah kekayaan," ujarnya, pada peringatan 90 tahun Pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor, Senin (MI, 20/9/2016).
Ia mencontohkan bagaimana nilai-nilai mulia itu tak tecermin dalam komentar pengguna media sosial belakangan ini. Presiden sedih karena pengguna media sosial justru saling menghujat, memaki, dan menegasikan.
"Coba kita lihat di media sosial itu saling menjelekkan, mencela, merendahkan, menghina, mengolok-olok. Apakah itu nilai-nilai Indonesia? Jawab saya bukan," tegas Jokowi. "Sedih kalau kita baca komentar-komentar saling hujat di situ. Ada nilai-nilai lain yang tidak sadar masuk menginfiltrasi kita dan itulah yang akan menghilangkan karakter, identitas, dan jati diri kita sebagai bangsa Indonesia."
Ia instruksikan Mendikbud agar pendidikan etika, budi pekerti, dan sopan santun diberi porsi lebih dalam kurikulum pendidikan SD dan SMP. Instruksi itu diterjemahkan Mendikbud dengan wacana full day school yang di dalamnya bertujuan menanamkan nilai-nilai positif bangsa.
Upaya untuk mengendalikan dunia maya dalam norma etika dan moralitas masyarakat bernegara-bangsa sebenarnya sudah diatur dalam UU ITE yang memasang sanksi cukup keras dan aturan pencegahan ujaran kebencian. Jika realitas pengguna media sosial sudah dianggap terlalu jauh melampaui batas etika dan moral, berarti sudah saatnya aturan itu dijalankan efektif.
Tahap awal pelaksanaannya persuasif, dengan tujuan untuk mendidik sopan santun pengguna yang cenderung lepas kontrol. Diharapkan, implementasinya bisa menjadi proses belajar bagi semua pengguna. Masalahnya, aturan tersebut selama ini baru dijalankan jika ada aduan pencemaran nama baik, terutama nama perusahaan, sedang yang terkait etika dan moral publik masih harus didorong.
Kita sepakat pendidikan etika, moral, dan budi pekerti bisa menjadi basis peradaban generasi mendatang. Namun, untuk memperbaiki kondisi masa kini yang telanjur parah, sudah saatnya diamalkan pengarahan perilaku massa lewat pelaksanaan hukum yang rigid, seperti yang dijalankan dalam mengatasi korupsi. Laku lajak dalam penggunaan dunia maya bahkan sudah jauh lebih terbuka! ***
Selanjutnya.....

Gencatan AS-Rusia di Suriah Gagal!

SIRNA sudah optimisme akan tercapainya perdamaian sejati di Suriah berkat gencatan senjata prakarsa Amerika Serikat (AS) dan Rusia sejak 12 September 2016. Senin (19/9/2016) malam, serangan udara menyasar konvoi bantuan kemanusiaan Bulan Sabit Merah dekat Aleppo, Suriah Utara, menewaskan 32 orang.
Serangan udara diduga dari pasukan Suriah atau koalisi Rusia. Namun, belum ada konfirmasi resmi dari Damaskus dan Moskwa terkait insiden yang menimpa konvoi truk Bulan Sabit Merah itu (Kompas.com, 20/9/2016).
"Dilaporkan telah jatuh korban tewas dan terluka dari kalangan sipil. Beberapa dari korban itu masih terjebak di bawah reruntuhan," kata Bulan Sabit Merah, di akun Facebook mereka. Seperti dilaporkan AFP, serangan terjadi bersamaan dengan berakhirnya gencatan senjata Senin malam.
Sebelumnya, AD Suriah mengumumkan gencatan senjata hingga Minggu malam, tetapi Rusia meminta perpanjangan dan gencatan senjata berakhir Senin malam. Minggu (18/9/2016) malam itu, serangan udara pertama tentara Suriah sejak gencatan senjata diberlakukan menghantam posisi oposisi di Kota Aleppo, menewaskan seorang warga.
Moskwa menuduh pasukan pemberontak melanggar perjanjian gencatan senjata dan mengatakan Washington harus bertanggung jawab atas aksi kekerasan ini. Kekerasan dimaksud serangan udara koalisi AS yang lebih dahulu menghantam posisi AD Suriah di wilayah timur yang menewaskan puluhan tentara Suriah.
Gagalnya gencatan senjata prakarsa AS-Rusia antara rezim Bashar Al-assad dengan oposisi jelas amat menguntungkan ISIS dan Front Fateh Al-Sham, sayap Al Qaeda, yang menduduki sebagian wilayah Suriah.
Soalnya, dengan gencatan senjata itu semula dimaksudkan agar pasukan pemerintah dan oposisi kerja sama memerangi ISIS dan Front Fateh Al-Sham, kini kedua saudara sebangsa itu malah kembali saling bunuh.
Serangan pada konvoi bantuan kemanusiaan itu memperburuk perang Suriah yang telah menewaskan lebih 290 ribu orang dan 11 juta orang mengungsi, kembali masuk jebakan keharusan membunuh atau dibunuh dan saling menghancurkan, tanpa jalan keluar yang bisa dijadikan sekadar khayalan pun.
Kecamuk perang antarberbagai pihak itu kembali menutup kemungkinan untuk berbagi kekuasaan sesama anak sebangsa guna hidup bersama secara rukun dan damai. Nafsu mau berkuasa sendiri dengan haus darah hingga merasa lebih baik membunuh sesama demi melestarikan kekuasaan, menjadi penghambat bagi segala bentuk usaha perdamaian. Suriah, tragedi buruk keserakahan kekuasaan. ***
Selanjutnya.....

Irman Gusman Akhirnya Tumbang!

IRMAN Gusman memang sedang digergaji ramai-ramai untuk ditumbangkan dari kursi Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang didudukinya.
Tak kepalang, putusan sidang paripurna DPD sudah memastikan Irman seharusnya turun dari kursi jabatan tersebut. Tapi, toh Irman tetap mampu bertahan dari pelengseran formal itu, sampai akhirnya datang operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meringkus dan menumbangkannya.
Di ujung Jumat (16/9/2016) malam, pukul 22.15, tiba bertamu ke rumah dinas Irman di bilangan Kuningan, Jakarta, Xaveriandy Sutanto, direktur utama CV Semesta Berjaya. Tamu dari Padang, Sumatera Barat, ini bersama istri, Memi Xaveriandy, dan adiknya, Willy Sutanto.
Sutanto bermasalah terdakwa di PN Padang untuk kasus pengedar gula tanpa standar nasional Indonesia (SNI). Kelebat orang yang sedang menjalani sidang pengadilan ini di Jakarta dibuntuti KPK, karena ditengarai menyuap jaksa terkait kasus yang disidang itu.
Menurut Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, Xaveriandy diduga menyuap jaksa Fahrizal Rp365 juta, yang dalam kasusnya tak hanya berperan sebagai jaksa, tapi bertindak seolah penasihat hukum XS, membuat eksepsi, dan membawa saksi yang menguntungkan terdakwa (Kompas.com, 18/9/2016).
Mereka meninggalkan rumah dinas Irman, Sabtu (17/9/2016), pukul 00.30. Saat menaiki mobil yang parkir di halaman rumah Irman, penyidik KPK mencegah mereka meninggalkan rumah itu. Penyidik KPK lalu meminta izin memasuki rumah lewat ajudan Irman. Di dalam rumah penyidik meminta Irman menyerahkan bungkusan yang diduga pemberian dari Xepriandy dan Memi.
Irman menyangkal adanya bingkisan tersebut. Namun, setelah penyidik membawa Xaperiandy dan Memi ke dalam rumah, istri Irman lalu mengambil bungkusan plastik dari dalam kamarnya. Sekitar pukul 01.00, penyidik KPK membawa Irman, Xaperiandy, Mimi, dan Willy ke gedung KPK (Kompas, 19/9/2016).
Sabtu petang pimpinan KPK menyatakan status Irman tersangka kasus korupsi dengan bukti uang tunai Rp100 juta rupiah. Selesailah usaha melengser Irman, karena dengan status tersangka, kalaupun tidak mengundurkan diri, Irman bisa diberhentikan dari jabatan ketua DPD.
Entah pakai ilmu "sirep" apa, terdakwa yang sedang disidang pengadilan sebagai umpan bisa membuat Irman, putra keluarga kaya raya di Sumbar lulusan pascasarjana Amerika itu jadi lengah saat menerima bungkusan plastik berisi Rp100 juta—yang amat kecil dibanding kedudukan Irman. Dan, Irman pun akhirnya tumbang. ***
Selanjutnya.....

Bank Singapura Jegal Tax Amnesty!

PERBANKAN swasta di Singapura mulai mengirimkan laporan suspicious transaction report (STR) atau transaksi mencurigakan kepada kepolisian setempat terkait nasabah yang mengikuti program pengampunan pajak alias tax amnesty.
Mengutip The Straits Times, Kamis (15/9/2016), unit kepolisian Singapura yang mengurusi kejahatan keuangan, Commercial Affairs Departement (CAD), tahun lalu menyatakan kepada perbankan bahwa mereka harus melapor setiap ada nasabah yang ikut dalam program pengampunan pajak.
"Ketika nasabah mengatakan kepada Anda bahwa ia mengikuti amnesti pajak, Anda memiliki kecurigaan bahwa aset yang ditempatkan pada Anda tidak comply sehingga Anda harus melapor kepada otoritas," ujar seorang eksekutif senior perusahaan wealth management Singapura (Kompas.com, 15/9/2016).
Tidak comply bisa dibaca sebagai pencucian uang hasil kejahatan penggelapan pajak. Menurut aturan di Singapura, penghindar pajak adalah tindakan kriminal. Bisa ditebak akan seperti apa warga negara Indonesia (WNI) dan hartanya jika terkena pelanggaran aturan seperti itu.
Alasan penjegalan itu diduga program amnesti pajak Indonesia bisa menghancurkan bisnis perbankan negeri itu. WNI memiliki aset lebih dari 200 miliar dolar yang ditempatkan pada perbankan swasta Singapura atau lebih 40% dari total aset perbankan negeri itu. WNI merupakan investor terbesar sektor properti Singapura. Mereka menggunakan perbankan di Singapura untuk berinvestasi di pasar uang atau saham regional.
Merespons berita dari Singapura itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut aturan yang mewajibkan bank melaporkan bila ada kegiatan yang mencurigakan merupakan aturan Financial Action Task Force (FATF), berlaku di negara yang ikut program FATF.
Namun, otoritas Singapura, Deputi Perdana Menteri Tarman menegaskan kepada Sri Mulyani saat dicek, bahwa WNI yang ikut program tax amnesty tidak bisa dianggap sebagai tindakan yang bisa menarik atau memicu investigasi kriminal.
Pemerintah RI dan Singapura, ujar Sri Mulyani, akan terus bekerja sama untuk menutup seluruh kemungkinan wajib pajak Indonesia menggunakan berbagai alasan untuk tidak mengikuti tax amnesty.
Diduga, karena takut dapat kesulitan jika ikut program tax amnesty, menjadi penyebab lambannya hasil tax amnesty dari luar negeri, terutama dari Singapura. Sehingga, hari-hari terakhir malah lebih banyak pengusaha yang mengikutkan tax amnesty hartanya di dalam negeri. Ternyata pajaknya bolong juga. ***
Selanjutnya.....

Pemerintah Blokir Aplikasi LGBT!

PEMERINTAH memutuskan memblokir aplikasi-aplikasi di ponsel pintar berbasis Android yang terkait dengan lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT).
"Sudah kami minta blokir ke Google," kata Menteri Komunikasi dan Informasi Rudiantara. Aplikasi-aplikasi itu mempromosikan gaya hidup kaum LGBT. (Kompas.com, 16/9/2016)
Rudiantara mengaku menghormati orang yang terlahir mempunyai kelainan seksual. Menurut dia, itu hak asasi manusia yang harus dilindungi. "Tetapi, mempromosikan untuk mengikuti gaya hidup mereka jelas bertentangan dengan norma agama, norma psikologis, kesehatan dan sebaganya," ujarnya.
Langkah pemerintah tersebut terkait koordinasi dengan Bareskrim Polri yang berhasil membongkar jaringan prostitusi anak untuk kaum penyuka sesama jenis, gay. Puluhan anak korban kejahatan itu diamankan polisi.
Menurut Direkrur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri Brigjen Pol. Agung Setya, sejumlah aplikasi yang bisa diunduh di ponsel itu digunakan pelaku kejahatan untuk menjual korbannya kepada kaum gay. Menurut Setya, setidaknya ada 18 aplikasi yang dianggap berpotensi dimanfaatkan untuk prostitusi anak khusus kaum gay. (Kompas.com, 8/9/2016)
Sebelumnya, Kasubdit Cyber Crime Bareskrim Polri Komisaris Besar Himawan Bayu Aji mengatakan, pelaku prostitusi anak untuk gay yang telah diringkus, AR, menjajakan para korban melalui aplikasi jejaring sosial Grindr. Aplikasi tersebut dikenal khusus untuk pria penyuka sesama jenis kelamin dan biseksual.
Dalam aplikasinya, jelas Himawan, tertulis keterangan, "Khusus untuk gay, biseksual, dan pria yang penasaran. Chat, bagikan gambar, kemudian bertemu." Korban prostitusi anak untuk klien gay sampai saat itu (8/9/2016) sebanyak 148 orang.
Menurut Kepala Bareskrim Polri Komjen Pol. Ari Dono Sukmanto, AR juga menjajakan korbannya lewat akun Facebook bernama "Brondong". AR mengiming-imingi korbannya dengan tawaran uang yang menggiurkan jika mau "berbisnis" dengannya.
Demi menyelamatkan masa depan anak bangsa, langkah pemerintah memblokir aplikasi-aplikasi terkait LGBT itu jelas didukung masyarakat, terutama kalangan ulama. Selain aplikasi yang telah terendus gelagatnya itu, diharapkan polisi dan Kementerian Kominfo terus membersihkan dunia maya dari aplikasi sejenis yang mungkin lebih terselubung.
Tak kalah pentingnya para "pengguna", sang predator dalam prostitusi anak, juga harus diburu. Setidaknya seperti pemakai narkoba, untuk direhabilitasi agar ancaman predator anak juga berkurang. ***
Selanjutnya.....

Konsistensi Vonis Koruptor kian Ringan!

VONIS hukuman terhadap koruptor cenderung semakin ringan, dari rata-rata hukuman penjara 2 tahun 11 bulan pada 2013, menjadi 2 tahun 1 bulan pada 2016. (Kompas, 13/9/2016)
Jika tren peringanan hukuman ini berlanjut, berkurang 10 bulan setiap tiga tahun, konsistensinya setelah tahun kedelapan nanti bukan hanya koruptor divonis bebas, bisa-bisa dengan perbuatan korupsinya yang terbukti, koruptor malah diberi bonus atau hadiah!
Tren demikian tak mustahil jika sikap permisif masyarakat terhadap korupsi makin kuat, hingga korupsi bukan lagi dipandang sebagai kejahatan luar biasa tak bermoral, melainkan justru berubah dipandang sebagai tindakan brilian yang layak dihormati.
Saat tahap itu tercapai, orang yang baru dibuktikan bersalah sebagai koruptor oleh pengadilan, dielu-elukan sebagai pahlawan dan diarak warga keliling kota. Keluarganya bangga dengan prestasi korupsi itu, jauh lebih bangga dari meraih medali Olimpiade.
Konsistensi ironi vonis koruptor seperti itu harus dihentikan dan diputus, dikembalikan ke arah yang benar, hukuman kepada koruptor lebih rasional sebanding kerusakan akibat korupsinya.
Sebagai antitesis atas tren vonis koruptor yang kian ringan itu, pemberantasan korupsi didorong agar koruptor juga dikenai beban membayar biaya sosial. Penerapan hukuman biaya sosial korupsi ini diharapkan bisa memulihkan kerugian keuangan negara dan perekonomian akibat korupsi, selain menumbuhkan efek jera.
Menurut Wakil Ketua KPK Laode M Syarif, KPK pernah mengkaji penerapan upaya "luar biasa" menghukum koruptor dengan tidak hanya menghitung kerugian berwujud, begitu juga yang tak berwujud. (Kompas, 14/9/2016)
Dia mencontohkan kerugian akibat jembatan roboh karena pembangunannya dikorupsi tidak hanya senilai uang yang dikorupsi, tapi juga mencakup nilai pembangunan jembatan baru, termasuk kerugian ekonomi masyarakat karena jembatan itu tak berfungsi.
Perhitungan biaya sosial korupsi terdiri dari biaya eksplisit dan biaya implisit. Biaya eksplisit, biaya yang dikeluarkan negara untuk mencegah dan menangani tindak pidana korupsi, meliputi penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pengadilan, pemasyarakatan. Sedang biaya implisit, dampak yang timbul karena korupsi.
Dengan penghitungan biaya sosial korupsi, terdakwa korupsi bisa dituntut lebih tinggi empat kali hingga 543 kali lipat dibanding selama ini.
KPK akan mengusahakan legalitas biaya sosial korupsi, meski mungkin tak mulus melalui barikade DPR dan pemerintah. ***
Selanjutnya.....

Karhutla, SP3 Tersangka Bodong!

DPR—Dewan Perwakilan Rakyat—membentuk Panitia Kerja Kebakaran Hutan dan Lahan (Panja Karhutla) untuk mengusut surat perintah penghentian penyidikan (SP3) buat 15 perusahaan tersangka pembakar hutan dan lahan di Riau, tapi di antara tersangkanya fiktif alias bodong karena sudah tak ada di Riau.
"Ini kan aneh, kok perusahaan sudah tidak ada dan tidak beroperasi di sana tetapi malah ditetapkan sebagai tersangka. Ini maksudnya apa?" tukas anggota Panja Karhutla Komisi III DPR, Asrul Sani. (Kompas.com, 14/9/2016)
Menurut Asrul, adanya perusahaan fiktif yang ditetapkan justru memunculkan dugaan baru, yakni perusahaan fiktif sengaja ditetapkan jadi tersangka untuk memproteksi perusahaan besar sebagai pelaku utama pembakaran hutan dan lahan.
"Ini kita semua seolah-olah dibohongi. Ada perusahaan yang ditetapkan tersangka, tapi ternyata sudah bodong semua. Ini kan aneh," ujar Asrul.
Kebakaran hutan dahsyat pada 2015 di Riau akibat ada unsur kesengajaan menyeret 15 perusahaan menjadi tersangka. Namun, Polda Riau kemudian mengeluarkan SP3 kepada 15 perusahaan itu. Alasannya, tak ada bukti yang mengarah bahwa 15 perusahaan tersebut membakar hutan dan lahan.
Atas dasar itu, Komisi III DPR membentuk Panja Kebakaran Hutan dan Lahan untuk mengusut penghentian kasus-kasus hukum karhutla. "Ini masalah yang sangat serius," tegas Ketua Panja Benny K Harman. "Bagaimana bisa perusahaan fiktif jadi tersangka?"
Pembentukan panja DPR itu juga didorong penyanderaan tujuh petugas Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLH) yang sedang memeriksa kebakaran hebat di areal PT Andika Permata Sawit Lestari (APSL) di Kabupaten Rokan Hulu, Riau. Kalangan DPR menyebut penyanderaan itu sebagai pelecehan terhadap pelaksana kekuasaan negara.
Di tengah situasi yang demikian, muncul pula di media sosial foto sejumlah pejabat teras Polda Riau yang tos (mengangkat gelas minuman bersama-sama) dengan Dirut PT APSL sehingga terkesan pengusaha di Riau bebas sesukanya membuka lahan dengan membakar hutan karena memang sudah amat akrab dengan pejabat-pejabat teras kepolisian daerah itu.
Dari rangkaian masalah itu, jelas pembentukan Panja DPR jadi peluang untuk menjernihkan kewibawaan Polri sekalian juga wibawa negara dari laku lajak korporasi terkait pembakaran hutan dan lahan. Langkah DPR itu diharapkan bisa menghentikan “tradisi” supremasi korporasi atas hukum, dengan mengembalikan supremasi hukum diiringi penegakan kembali kehormatan aparatnya. ***
Selanjutnya.....

Presiden, Apa Adanya Gizi Buruk!

DALAM kunjungan ke Banten pada Iduladha lalu, Presiden Joko Widodo memberi perhatian khusus gizi buruk yang masih terdapat di semua daerah. "Di semua tempat, kita harus ngomong apa adanya. Masih ada penderita gizi buruk," ujar Joko Widodo. (Kompas, 13/9/2016)
Bukan hanya di daerah yang jauh seperti Nias, di Sumatera Utara, yang baru dia kunjungi dan temukan penderita gizi buruk. Tapi di Lebak, dan kawasan lain Banten yang dia kunjungi, hanya 100 km dari Jakarta, masih ditemukan banyak penderita gizi buruk.
Bahkan, calon gubernur DKI Jakarta dari PKS, Muhammad Idrus, dikutip Okezone (18/5/2016) menyebutkan di Jakarta Pusat, kawasan Istana Presiden berada, terdapat 17 balita menderita gizi buruk. Para penderitanya rata-rata bayi berusia 2—3 tahun, ujar Idrus.
Lampung, yang menurut Data Rekap Balita Gizi Buruk di Indonesia (Per Provinsi) 2014—2015 jumlah kasusnya di peringkat dua setelah Sulawesi Selatan, disusul Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah, pada 2016 ini baru muncul satu kasus atas nama Neysa Azizah, warga Dusun Pringombo, Pringsewu Timur. (Okezone, 12/7/2016)
Sedang dari Tulangbawang, News Lampung Terkini melaporkan tahun ini ada tiga kasus gizi buruk, yang menurut Bupati Hanan A Razak, itu merupakan penurunan 96% dari 20 kasus tahun sebelumnya.
Persoalan itu, tegas Presiden, diupayakan bisa ditekan dengan pemantauan dan program pemberian makanan tambahan. Inilah yang dibagikan Presiden dan Ibu Negara ke balita dan ibu hamil dalam kunjungannya ke Nias, Banten, maupun ke Jawa Timur, Rabu (14/9/2016).
"Itu yang harus dikerjakan agar makanan tambahan sudah diberikan sejak ibu mengalami kehamilan. Diberikan pengertian betapa penting gizi atau sumber protein," tegas Presiden. Mereka harus memahami itu agar tidak ditemukan lagi anak-anak yang berat badannya tak ideal.
"Saya tidak mau ada balita yang menderita gizi buruk. Anak-anak terutama pelajar SD akan diberi makanan tambahan," tambah Presiden.
Untuk menuntaskan penderita gizi buruk dan mencegah kemunculan berikutnya, para pejabat publik harus mengikuti langkah Presiden blusukan ke sarang penderitaan rakyat. Selain menjamin anggaran untuk makanan tambahan di APBD, kepala daerah juga memantau langsung kondisi warga. Para anggota DPRD bisa membawa tunjangan komunikasi pembinaan konstituen dalam bentuk makanan tambahan.
Kalau banyak makanan tambahan diterima warga kurang mampu, ibu hamil dan balita tak kekurangan asupan, gizi buruk pun tak dapat tempat lagi. ***
Selanjutnya.....

Ugal-ugalan Peredaran Obat Ilegal!

PEREDARAN obat ilegal dan palsu belakangan cenderung ugal-ugalan. Dalam sekali razia di sebuah lokasi pergudangan di Balaraja pekan lalu, polisi bersama Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menyita lebih empat truk obat ilegal dan palsu. Bentuk butiran saja (tablet dan kapsul) mencapai 42 juta butir.
Penggeledahan juga dilakukan di Pasar Jalan Pramuka, Jakarta, Rabu (7/9/2016). Hasilnya, tujuh apotek rakyat langsung ditutup karena ditemukan banyak obat ilegal dan palsu. Setelah ditutup ketujuh apotek itu diproses hukum, kemudian izinnya akan dicabut.
Peredaran luas obat ilegal itu tentu tidak kalah berbahaya dibanding peredaran vaksin palsu yang terbongkar baru-baru ini. Tetapi kenapa sampai peredarannya begitu luas BPOM baru bertindak?
Kepala BPOM Penny Lukito dalam rapat bersama Komisi IX DPR, Selasa (13/9/2016), mengungkap hambatan dalam mengawasi peredaran obat ilegal yang masih marak, yakni tidak adanya wewenang penindakan yang dimiliki BPOM.
"Hambatan dalam pengawasan obat ilegal yaitu PPNS BPOM tidak mempunyai kewenangan dalam penggeledahan, penangkapan, dan penahanan tersangka," ujar Penny. Selama ini tindakan yang dilakukan BPOM terkait kasus hukum dikoordinasikan dengan Mabes Polri.
"Untuk menghindari pelaku menghilangkan barang bukti, BPOM (minta) secepatnya diberi kewenangan untuk melakukan penindakan, tidak hanya pengawasan dan pencatatan," kata Penny. (detikNews, 13/9/2016)
Jadi, merebaknya obat ilegal dan palsu salah satu penyebabnya faktor kelembagaan pengawasnya, yang macan ompong. Untuk itu, demi melindungi masyarakat dari banjir obat ilegal, diharapkan para pembuat aturan main DPR dan pemerintah bisa membenahi aturan yang ada. Sedikitnya, BPOM bisa diberi kewenangan polisional seperti lembaga sejenis di AS, FDA.
Jadi, bukan lagi sebatas sebagai informan polisi seperti sekarang. Sejumlah tertentu staf BPOM dilatih dan diberi kapasitas sebagai PPNS pembantu jaksa. Bantuan polisi untuk keamanan petugas melaksanakan tugasnya tetap diperlukan, karena peredaran obat ilegal tak terlepas dari mafia, kejahatan terorganisasi. Bahkan dalam membongkar kasus obat ilegal dan terlarang, kerja samanya dengan DEA—sejenis BNN di sini, yang tajam spesialisasinya untuk obat terlarang.
Pembenahan kewenangan lembaga pengawas obat dan makanan itu mendesak. Korban obat ilegal justru rakyat miskin. Lazim, ketika sakit yang pertama mereka lakukan membeli obat bebas; jika ternyata palsu, malah jadi racun! ***
Selanjutnya.....

Sontoloyo, Urus KTP Saja Tak Becus!

SEORANG penanggap dalam Bedah Editorial Media Indonesia di MetroTV, Selasa (13/9/2016) pagi, nyeletuk, "...pemerintah sontoloyo, mengurus KTP saja tidak becus." Itu terkait bahasan atas editorial MI hari itu berjudul Menyelamatkan Hak Pilih Warga.
Hal itu terkait hasil rapat Komisi II DPR dengan KPU, Bawaslu, dan Kementerian Dalam Negeri awal bulan ini, yang mengatur warga yang sudah memiliki hak pilih baru bisa ikut memilih jika sudah memiliki KTP elektronik (KTP-el) atau melakukan perekaman data kependudukan. Kalau aturan baru itu jadi dijalankan, menurut MI, jutaan orang akan kehilangan hak pilih.
Aturan baru itu, menurut MI, melanggar hak dasar setiap warga negara yang dijamin konstitusi, yakni hak untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan umum. Hak dasar itu mestinya tak bisa dikurangi apalagi dihilangkan karena persoalan administrasi kependudukan semata.
Apalagi administrasi kependudukan negeri ini masih amburadul. Program KTP-el meski telah berjalan lima tahun tak kunjung selesai. Malah terseret kasus korupsi.
Akibatnya, pekerjaan pemerintah sendiri yang tak beres, justru rakyat yang mereka hukum dengan penghilangan hak dasar konstitusionalnya.
Praktik kekuasaan seperti itu jelas tidak adil. Pemerintah yang bermasalah tak mampu menyelesaikan tugasnya malah menghukum rakyatnya dengan penghilangan hak pilih yang dijamin konstitusi itulah, mungkin yang oleh penanggap di televisi tadi layak disebut sontoloyo! Karena aturan baru itu diciptakan oleh DPR, Kementerian Dalam Negeri, bersama KPU dan Bawaslu, jelas yang dimaksud pemerintah secara komprehensif.
Karena konstitusi (UUD 1945) penjamin hak konstitusional warga yang dilanggar aturan baru itu salah satu dari empat pilar NKRI yang disosialisasikan para anggota MPR, maka tak salah kalau keluhan warga tadi dijadikan salah satu tagline sosialisasi tersebut: "Pemerintah Sontoloyo, Mengurus KTP Saja Tidak Becus!"
Tujuan tagline itu amat jelas, untuk mendorong pemerintah dalam arti komprehensif (eksekutif dan legislatif) membuktikan mereka bukan sontoloyo dengan membereskan urusan KTP-el dan mengembalikan hak konstitusional warga untuk memilih dalam pemilihan umum tanpa hambatan administratif buatan mereka.
Pembuktian pemerintah mampu membereskan urusan KTP-el ini selesai tanpa bertele-tele berkepanjangan lagi amat penting bagi rakyat. Bagaimana rakyat bisa percaya pemerintahan ini mampu menyejahterakan rakyat miskin, kalau mengurus KTP saja tidak becus! ***
Selanjutnya.....

AS-Rusia di Era Baru Perang Suriah!

PERANG Suriah memasuki era baru. Melalui perundingan Amerika Serikat (AS) dengan Rusia di Genewa, Swiss, militer rezim Bashar Al-Assad yang didukung Rusia gencatan senjata dengan pasukan oposisi moderat yang didukung AS mulai Senin (12/9/2016). Selanjutnya, AS dan Rusia bergabung memerangi ISIS dan Front Fateh Al-Sham, sayap Al Qaeda di Suriah.
Perubahan ini terjadi setelah Menlu AS John Kerry dan Menlu Rusia Sergei Lavrov mencapai kesepakatan dalam perundingan di Swiss. Kesepakatan ini diharapkan membawa perdamaian sejati di negara yang telah lima tahun perang saudara menewaskan lebih 290 ribu orang dan 11 juta orang mengungsi. (Kompas.com, 11/9/2016)
Sebelum munculnya ISIS dan Front Fateh Al-Sam, perang saudara di Suriah berlangsung antara pasukan rezim Bashar Al-Assad dengan milisi oposisi moderat yang pemerintah sebut pemberontak. Dengan gencatan senjata itu, berarti pasukan rezim Al-Assad yang selama ini memerangi semuanya, jadi tinggal memerangi ISIS dan sayap Al Qaeda.
Meski dengan gencatan senjata pasukan rezim Al-Assad diringankan, dendamnya pada milisi oposisi amat mendalam. Hingga, meski Jumat sudah diumumkan gencatan senjata berlaku mulai Senin, hari Sabtu pasukan pemerintah justru melakukan serangan besar-besaran ke daerah-daerah yang dikuasai oposisi, menewaskan sedikitnya 105 orang.
Serangan udara itu menyasar pasar di Provinsi Idib menewaskan 60 orang. Di Provinsi Aleppo 45 orang tewas, menyasar Kota Anadan dan Hreitan, dekat Aleppo, kota terbesar kedua di Suriah, lapor Organisasi Pemantau Hak Asasi Manusia Suriah (SOHR).
Dalam kerja sama itu, AS dan Rusia akan membentuk Joint Implementation Center (JIC) untuk memerangi ISIS dan Front Fateh Al-Sham. Turki dan Uni Eropa menyambut baik perkembangan baru di Suriah itu. Namun, mereka memperingatkan masih dibutuhkan aksi lebih lanjut.
Aksi dimaksud, menindaklanjuti dengan upaya bantuan mendukung kepatuhan, baik dari rezim Al-Assad maupun oposisi, untuk memenuhi kewajiban mereka. Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa Federica Mogherini melihat skema (bantuan) tersebut bisa membuka jalan bagi suatu transisi politik.
Hanya jika gencatan senjata ditindaklanjuti dengan rekonsiliasi nasional di kalangan sesama warga Suriah yang bertikai, khususnya kubu pemerintah dan oposisi, masa depan Suriah damai bisa terbayang. Kalau rakyat Suriah kembali bersatu, atas dukungan kekuatan internasional, ISIS dan sayap Al Qaeda lebih mungkin diusir. ***
Selanjutnya.....

Idulkurban, Butuh Keteladanan Pemimpin!

SETIAP Iduladha, yang juga disebut Idulkurban, lazim dikisahkan keikhlasan Nabi Ibrahim Alaihis Salam (as) menjalankan perintah Allah Subhanahu wa Taala untuk menyembelih putranya Nabi Ismail (as), yang secara ikhlas pula ditaati oleh Ismail as. Tentu kisah ini amat baik memotivasi umat untuk berkurban dengan segala makna dan konteks kekiniannya.
Namun, contoh keikhlasan Ibrahim dan Ismail itu, pengamalannya pada umat masa kini lebih bersifat simbolis. Meski ibadah kurban punya relevansi sosial yang signifikan, kaitan kontekstualnya dengan kehidupan sehari-hari umat masih perlu diperkuat.
Semangat pengorbanan dalam kehidupan warga cenderung perlu ditingkatkan. Dalam pembebasan lahan untuk proyek-proyek terkait kepentingan umum, misalnya, tingkat kerelaan masyarakat berkorban melepas tanahnya untuk kemajuan berbangsa masih cenderung terkendala oleh nilai finansial.
Masalahnya, karena para pemimpinnya di pemerintahan, baik eksekutif maupun legislatif, juga masih lebih cenderung mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompoknya, rakyat pun ikut menonjolkan kepentingan pribadinya.
Karena itu, untuk menumbuhkan semangat pengorbanan dalam masyarakat, dibutuhkan keteladanan para pemimpin. Sayangnya, orientasi terhadap kepentingan pribadi dan kelompok di kalangan pemimpin justru cenderung menguat. Lihat saja dalam pembahasan rancangan peraturan KPU (PKPU) di DPR, kental sekali orientasi kepentingan dimaksud. Bayangkan, PKPU untuk Pilkada 2017 yang berlaku nasional, dicocokkan secara paksa untuk mengegolkan kepentingan satu calon kepala daerah yang terpidana percobaan.
Contoh seperti itu yang disaksikan rakyat, bisa membuat orientasi rakyat terhadap kepentingan pribadi juga semakin kuat. Konon lagi, kepentingan rakyat itu sebenarnya ajang perjuangan dan pengorbanan para pemimpin, tapi karena ternyata para pemimpin lebih gigih memperjuangkan kepentingannya sendiri, rakyat pun jadi tak punya pilihan lain dari berjuang dan mempertahankan sendiri kepentingan mereka.
Sedihnya di antara pemimpin itu banyak yang fasih berkisah tentang keteladanan Amirul Mukminin Umar bin Khattab, atau Umar bin Abdul Aziz pada kekhalifahan Bani Umayah, tapi tak kunjung memformat keteladanan dirinya.
Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap keteladanan pemimpin, mungkin perlu dibuat program pengadaan keteladanan pemimpin. Programnya harus diprioritaskan, agar kelangkaan keteladanan pemimpin tidak berkepanjangan. ***
Selanjutnya.....

Hari Raya Haji, Persamaan Umat!

IDULADHA dalam masyarakat kita juga lazim disebut Hari Raya Haji. Itu karena prosesi Iduladha dimulai dengan puncak ibadah haji, yakni wukuf di Padang Arafah pada 9 Zulhijah yang tahun ini jatuh pada Minggu, 11 September 2016. Wukuf di Arafah adalah rukun penentu ibadah haji, tanpa wukuf di Arafah tidak sah ibadah hajinya.
Saat wukuf, lebih dari 3 juta jemaah haji dari seluruh dunia berkumpul di Padang Arafah, yang di tengahnya terdapat Bukit Jabal Rahmah, tempat pertemuan kembali Adam Alaihis Salam dan istrinya Siti Hawa setelah keduanya dilempar ke bumi dari surga. Wukuf kini menjadi momentum pertemuan cucu Adam dan Hawa dari seluruh penjuru dunia.
Sebagai ajang pertemuan umat Islam dari seluruh penjuru dunia itulah wukuf menjadi momentum Hari Raya Haji yang sesungguhnya. Keistimewaan dari ibadah wukuf itu adalah semua jemaah hanya mengenakan pakaian bernama ihram, yakni selembar kain putih tanpa jahitan.
Dengan semua jemaah mengenakan kain ihram yang serbaputih itu, tak ada perbedaan di antara semua jemaah sehingga ibadah haji dengan ihramnya mengekspresikan persamaan seluruh umat manusia di depan Sang Khalik Maha Pencipta, tak ada perbedaan baik dalam kedudukan sosial, pemimpin, dan yang dipimpin, si kaya dan si miskin, semuanya sederajat, semua sama dalam satu akidah dan pandangan hidup.
Semuanya bersama-sama mendekatkan diri ke haribaan Allah Subhanahu Wa Ta'ala, Tuhan Yang Maha Esa, dengan bersama-sama melantunkan talbiah: Labaik Allahuma labaik, labaik la syarika laka labbaik...
Itulah hakiki egalitarianisme, sumber semangat persamaan dalam hak-hak asasi manusia (HAM) universal, yang kandungan nilai-nilai luhurnya belum tergali optimal bahkan cenderung masih dikesampingkan akibat persaingan implementatif dengan HAM yang bersumber dari Barat. Padahal, tidak ada event atau momentum persamaan sebesar wukuf itu di dunia Barat sebagai orientasi nilai-nilai HAM-nya.
Untuk itu, menjadi tantangan bagi kalangan intelektual muslim menggali dan mengurai nilai HAM yang hakiki berdasar Islam, yang pasti lebih sesuai dengan masyarakat Islam. Sehingga, implementasinya bisa membuat masyarakat muslim tidak lagi dipaksakan mengikuti nilai-nilai HAM Barat—yang tidak islami.
Persamaan dan persatuan umat muslim sedunia yang diekspresikan dalam prosesi wukuf menunjukkan bahwa dalam persamaan umat, muslim bukanlah subordinat pengekor pandangan Barat. Tapi justru bagian dari ibadah wajibnya. ***
Selanjutnya.....

Korupsi, Tak Pernah Merasa Cukup!

DI Indonesia, hampir setiap hari ada orang ditetapkan sebagai tersangka korupsi. Tanpa kecuali hari Minggu, seperti Minggu (4/9/2016) lalu Bupati Banyuasin bersama beberapa staf dan kontraktor ditangkap KPK. Anehnya, para tersangka korupsi itu umumnya berkedudukan sosial baik dan secara ekonomi hidupnya tidak serbakekurangan.
Itu menunjukkan kecenderungan orang melakukan korupsi karena tak pernah merasa cukup, alias tidak qana'ah. Salah satu contohnya diangkat detikNews (7/9/2016) dengan judul "Balada PNS Tajir Pemilik 17 Mobil dari Balik Jeruji KPK", tentang mantan penjual bakso bernama Rohadi.
Tokoh ini jadi PNS di PN Jakarta Utara sejak awal 1990. Nasib baik mengantarnya jadi panitera pengganti, membuat ia bergelimang harta. Kekayaannya berkembang pesat, hingga kini memiliki rumah sakit, 17 mobil, proyek real estate, kapal, hingga water park.
Terkesan Rohadi tak pernah merasa cukup dengan timbunan kekayaannya itu, sampai ia tertangkap tangan oleh KPK saat menerima uang dari pengacara pendangdut Saipul Jamil, Berthanatalia.
Rohadi yang tinggal di rumah gedung berlantai dua dengan garasi untuk dua mobil itu didakwa jaksa pada KPK Kresno Anto Wibowo menerima uang Rp50 juta dari Samsul Hidayatullah, kakak Saipul Jamil. Uang itu dimaksudkan untuk mengurus pengaturan majelis hakim pada kasus pencabulan Saipul Jamil. Selain itu, Rohadi disangka menerima gratifikasi dan pencucian uang.
Kisah hidupnya dijuduli balada, mungkin karena Rohadi yang sukses menghimpun kekayaan itu akhirnya tiga kali melakukan percobaan bunuh diri di Rutan KPK, mulai dari makan hanya dua sendok sehari, hingga mencoba loncat dari lantai 9 Rutan KPK.
Tentu nasib seburuk itu tak terjadi seandai sang tokoh sudah merasa cukup atas harta yang dimilikinya sehari sebelum operasi tangkap tangan KPK menyasar dirinya. Demikian pula orang-orang yang diberi karunia kekuasaan, akan lolos dari jerat KPK, kejaksaan, maupun kepolisian atas kasus korupsi andai sejak hari ini merasa cukup, mengamalkan sikap qana'ah.
Artinya, frekuensi penetapan tersangka korupsi bisa menurun.
Dengan bersikap qana'ah, orang akan merasa berkecukupan, hati jadi tenteram karena ikhlas apa pun yang didapat dengan cara baik, dada terasa lapang, dan terbebas dari sifat serakah dan rakus. Sekaligus menjadi lebih dinamis untuk berusaha mencari jalan yang hak, mendapatkan karunia yang halal.
Jalan yang jauh dari jantungan dan darah tinggi, karena tak lagi mimpi buruk disadap KPK. ***
Selanjutnya.....

Bupati, Yang Muda yang Terjungkal!

BUPATI Banyuasin Yan Anton Ferdian, yang Minggu (4/9/2016) ditangkap KPK, kelahiran tahun 1984, jadi usianya masih muda, baru 32 tahun. Ia terpilih menjadi bupati pada 2013 di usia 29 tahun. Lumayan, tiga tahun menikmati hak istimewa kepala daerah.
Sementara Bupati Ogan Ilir Ahmad Wazir Nofiadi, yang ditangkap Badan Narkotika Nasional (BNN), 13 Maret 2016, dalam usianya 27 tahun terpilih sebagai bupati, menduduki kursi kepala daerah hanya satu bulan setelah dilantik. Tragis memang, dua bupati di Sumatera Selatan yang terpilih pada usia belia keduanya terjungkal oleh masalah yang konsekuensinya pencopotan jabatan.
Harian Kompas (6/9/2016) menyebut kasus bupati di Sumatera Selatan tersebut menunjukkan ada masalah serius terkait kepala daerah berusia muda produk politik dinasti. Alih-alih memberi harapan baru, keberadaan mereka justru dapat mengancam masa depan demokrasi Indonesia.
Yan Anton dan Nofiadi memang sama-sama memenangkan pilkada sebagai penerus ayah mereka pada jabatan bupati di daerahnya. Yan Anton putra bupati Banyuasin terdahulu (2003—2013), Amiroeddin Inoed. Sementara Nofiadi putra Bupati Ogan Ilir, juga dua priode, Mawardi Yahya. Ternyata, keduanya cuma membuat citra negatif sistem politik dinasti.
Buruknya realitas politik dinasti di Tanah Air, sebagian besar karena pewarisan kekuasaan dilakukan bersifat dadakan, anak yang sepanjang usianya dimanja terkapsul jauh dari masyarakat kebanyakan, tiba-tiba berkat kekuasaan multidimensi ayahnya berhasil memenangkan pilkada.
Sedikit sekali dinasti yang mengader turunan pewarisnya dengan menerjunkannya dalam pergumulan kehidupan realistis, utamanya kegiatan mengabdi masyarakat. Tidak juga digembleng dalam padepokan cantrik calon pemimpin, seperti dilakukan terhadap para pangeran dan bangsawan kerajaan Nusantara tempo doeloe.
Akibatnya, setelah terpilih sebagai kepala daerah, banyak yang tidak tahu apa yang harus dilakukan. Mending kalau ayah atau ibunya masih mengasuhnya, ikut campur memerintah dari belakang layar. Setidaknya rambu yang paling berbahaya tidak ditabrak.
Walau begitu, tetap saja kekuasaannya kurang efektif bagi kemaslahatan rakyat. Sebab, campur tangan orang tua di balik layar itu selain untuk upaya return of capital, sering menggunakan pendekatan model zamannya untuk era kekuasaan anaknya yang kadar demokrasi, moralitas, dan ketajaman pengawasan antikorupsinya sudah berbeda. Akibatnya, kekuasaan dinasti sering mencolok salah tingkahnya. ***
Selanjutnya.....

Bupati Korupsi untuk Naik Haji?

BUPATI Banyuasin Yan Anton Ferdian ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di rumahnya, Minggu (4/9/2016) pagi, seusai pengajian dalam rangka keberangkatan haji Yan dan istri. Penyidik menunggu acara selesai, sebelum akhirnya menangkap Yan bersama RUS (Kasubbag Rumah Tangga) dan UU (Kepala Dinas Pendidikan) setempat.
Sebelumnya, KPK menangkap K, penghubung dengan kontraktor, dan STY, staf UU. Terakhir, KPK menangkap ZM, kontraktor pemberi suap.
Menurut Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan, suap itu terkait proyek di Dinas Pendidikan. Yan Anton diduga menggunakan uang suap tersebut untuk menunaikan ibadah haji. Itu berdasar bukti yang disita dari tangan K, setoran biaya naik haji ke sebuah biro sebesar Rp531.600.000 untuk dua orang atas nama Yon Anton dan istri (Kompas.com, 5/9/2016).
KPK juga menyita dari Yan Anton Rp229,8 juta dan 11.200 dolar AS. Dari STY, KPK menyita Rp50 juta yang diduga bonus dari Yan Anton.
Jelas ironis sekali kalau benar seorang bupati untuk membawa istrinya naik haji harus memakai uang hasil korupsi. Selain itu, diketahui kalau orang lain mau naik haji harus antre sampai 15 tahun baru bisa berangkat, dengan uang Rp265 juta per orang bisa kurang seminggu jadwal wukuf masih bisa walimah safar di rumahnya.
Artinya, dengan uang banyak, bisa langsung berangkat haji hari itu juga. Ini menyingkap adanya hal-hal yang terselubung di balik penyelenggaraan ibadah haji, yang menyayat rasa tidak adil—di satu sisi orang dipaksa antre belasan tahun menunggu giliran, di sisi lain dengan uang banyak orang bisa berangkat haji seketika. Hal ini mungkin perlu didalami tersendiri oleh KPK, untuk menegakkan rasa adil di kalangan umat.
Bukan mustahil, akibat dengan uang banyak bisa mendapat fasilitas kemudahan naik haji seketika itu, orang jadi terdorong memaksakan diri melakukan korupsi untuk naik haji. Korelasi antara korupsi untuk ongkos naik haji itu harus diakhiri demi menjaga kesucian ibadah haji.
Gelar haji bukanlah embel-embel, bukan sekadar formalitas untuk status sosial. Kesempatan naik haji merupakan hidayah, buah dari usaha menggapai takwa (lazim disebut sebagai panggilan dari Allah untuk datang ke rumah-Nya—Baitullah), sehingga tidak pada tempatnya diamalkan dengan hasil korupsi maupun dilaksanakan dengan mencederai rasa adil umat.
Namun, selalu ada cara Ilahiah menyingkap hal-hal yang bisa menodai kesucian agama dan amalan ibadahnya. Itu terkesan kuat dalam kasus ini. ***
Selanjutnya.....

Daging Kerbau Familier di Lampung!

BULOG—Badan Urusan Logistik—memasukkan 9.500 ton daging kerbau asal India, dari kuota impor 10 ribu ton yang diberi pemerintah. Impor tersebut telah tiba di Pelabuhan Tanjung Priok Jumat (26/8/2016) dari negara bagian Uttar Pradesh yang diklaim Bulog telah bersertifikat halal dari rumah pemotongannya.
Daging kerbau tersebut akan didrop ke pasar dengan harga Rp56 ribu/kg, selanjutnya pedagang menjual ke konsumen Rp65 ribu/kg. Ini merupakan usaha untuk mencukupi kebutuhan protein rakyat dengan daging lebih murah dari daging sapi yang bertahan di atas Rp100 ribu/kg. (detikNews, 1/9/2016)
Agar misi Bulog memasarkan daging kerbau lebih lancar, idealnya dimulai dari daerah yang masyarakatnya familier dengan daging kerbau sehingga daerah lain nantinya meniru. Daerah yang familier dengan daging kerbau antara lain Lampung dan Sumatera Utara. Setiap pesta adat warga memotong kerbau, sering sampai tujuh ekor.
Meski Lampung sentra penggemukan (feedlotter) sapi nasional, dengan harga daging kerbau yang jauh lebih terjangkau didukung kebiasaan masyarakat mengonsumsinya, diharapkan Lampung bisa menjadi contoh sukses bagi program Bulog mendistribusikan daging kerbau.
Di sisi lain, Lampung juga hingga kini mungkin merupakan daerah dengan stok kerbau hidup terbesar di Indonesia, meski tidak resmi dicatat oleh Badan Pusat Statistik. Ada beberapa lokasi ulayat tempat penglepasliaran ribuan kerbau masyarakat adat, antara lain di delta Sungai Menggala (tak jauh dari kota), dan di salah satu sisi hutan Way Kambas.
Sekalipun dilepas liar, warga pemilik kerbau saling mengenali kerbau mereka, yang mana milik siapa, sehingga tidak salah mengambil milik orang lain ketika butuh untuk menangkap ternaknya. Dari lokasi-lokasi seperti itulah, kebutuhan masyarakat untuk pesta adat selama ini selalu terpenuhi.
Memang butuh waktu dan ketekunan, tapi kalau pendistribusian daging kerbau bisa meluas hingga akhirnya masyarakat terbiasa mengonsumsi daging kerbau yang murah, di sisi lain persediaan daging sapi di pasar akhirnya bisa oversuplai, harga daging sapi pun akan turun sendiri.
Bahkan, kalau kegemaran warga terhadap daging kerbau yang lebih padat dari daging sapi telah tumbuh menjadi kebiasaan baru dalam pola konsumsi masyarakat nasional, permintaan terhadap daging sapi menurun, harga daging sapi bukan mustahil bisa jadi lebih murah dari daging kerbau! Perusahaan feedloter Lampung pun mendatangkan kerbau bakalan dari India. ***
Selanjutnya.....

Antisipasi Ekses Cuaca Ekstrem!

CUACA ekstrem akan terjadi di seluruh wilayah Indonesia hingga Februari 2017. Untuk itu, Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Andi Eka Sakya berharap warga selalu waspada mengantisipasi eksesnya.
Ia mengatakan akibat cuaca ekstrem dari Agustus hingga November 2016, 92,7% wilayah di Indonesia telah memasuki musim hujan. Padahal jika cuaca ekstrem tidak terjadi, 92,7% wilayah tersebut belum memasuki musim hujan.
"Tentu saja proses transisi ini perlu diwaspadai dan akan berakibat pada potensi hujan dan longsor," ujar Andi Eka Sakya. (Kompas.com, 2/9/2016)
Pihak yang pertama diharap mengantisipasi isyarat dari BMKG tersebut tentu pemerintah daerah, terutama Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) kabupaten dan kota.
Peta rawan bencana banjir dan longsor perlu diperbarui, disesuaikan kondisi terakhir daerahnya. Peta rawan bencana itu disosialisasikan ke kawasan bersangkutan, agar semua jajaran aparat daerah dan masyarakatnya siap saat yang tak diinginkan terjadi. Dengan antisipasi itu, bisa dipastikan tak ada lagi istilah kecolongan--warga tidak menyadari saat bencana terjadi sehingga akibatnya fatal. Padahal, sebenarnya bencana sudah diperkirakan, seperti lewat isyarat dari BMKG, hingga eksesnya bisa dihindari atau dikurangi.
Penting disadari, cuaca ekstrem ini skalanya bukan lokal. Suatu kejadian terkait cuaca ekstrem gejalanya tak terbatas di suatu lokasi. Tapi bisa terimbas kejadian di lokasi relatif jauh.
Contohnya badai Hermine yang terjadi di Lautan Antlantik Jumat (2/9/2016) mencapai daratan sepanjang wilayah Teluk Florida, lanjut menjadi badai tropis menerjang negara bagian Georgia. Menurut Gubernur Florida Rick Scott, badai kategori 1 itu bisa menciptakan kondisi yang mengancam kehidupan.
Pesawat pemburu AU yang terbang dekat badai itu menunjukkan kecepatan angin badai sekitar 130 km per jam, tak lama sebelum mencapai daratan. Hujan lebat sudah melanda Florida sejak Kamis malam, badai itu diproyeksikan melintasi seluruh pantai timur Amerika, dari Florida sampai New Jersey. Gubernur Florida menyatakan keadaan darurat di wilayahnya, sedang Presiden Obama minta Badan Manajemen Darurat Federal memberi dia informasi terbaru mengenai badai itu.
Itu contoh antisipasi bencana yang membuat jajaran pemerintah dan masyarakat siap menghadapinya. Tak seperti di Indonesia, bahkan di kawasan superelite Ibu Kota, tanpa disadari mobil-mobil mewah tenggelam banjir di basement apartemen dan mal. ***
Selanjutnya.....

Awas, 3.000 Anak Korban Penyuka Sejenis!

SEIRING dibongkarnya oleh Bareskrim Polri jaringan perdagangan anak di bawah umur untuk penyuka sesama jenis di Jakarta dan Puncak (Bogor), Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPA) Yohana Yembise menyatakan ada sekitar 3.000 anak terdeteksi menjadi korban jaringan perdagangan anak untuk kalangan gay.
"Waktu saya melakukan pendataan di beberapa daerah seluruh Indonesia terkait korban jaringan perdagangan anak laki-laki ke penyuka sesama jenis, ada 3.000 anak yang masuk jaringan itu. Itu data beberapa bulan lalu," ujar Yohana. (Kompas.com, 1/9/2016)
Paling mengejutkan dari pernyataan Yohana, mereka berasal dari keluarga mampu, tak kesulitan memenuhi kebutuhan hidup. Mereka masuk perangkap lewat media sosial yang mereka gunakan, tergiur iming-iming luasnya jaringan pergaulan di media sosial.
AR, pelaku perdagangan anak, tersingkap selubungnya oleh polisi lewat akun Facebook-nya yang menawarkan korbannya. Polisi menemukan 99 anak di bawah umur jadi korban perdagangan AR di Jakarta.
Karena itu, Yohana menilai keluarga dan sekolah memiliki peranan penting dalam menjaga anak, terutama generasi sekarang yang tak berjarak dengan media sosial. Keluarga terutama, harus memiliki kepedulian terhadap anak saat menjelajah dunia maya.
Atas semua itu, jadi prioritas mengaktifkan kewajiban negara melindungi setiap warga negara dari pemangsa perdagangan anak. Untuk itu, masyarakat diharapkan mendukung desakan Menteri PPA kepada DPR agar segera mengesahkan Perppu Kebiri predator anak.
Jadi bukan hanya pelaku perdagangan anak seperti AR dan para tersangka sejenis yang digulung Bareskrim Polri dari Puncak, melainkan juga para pelanggan mereka, penyuka sesama jenis, sepantasnya dikebiri. Karena, hanya dengan habisnya kemampuan predator memangsa, anak-anak lebih aman dari ancaman mereka.
Bersamaan itu, para orang tua sebisa mungkin meningkatkan kewaspadaan terhadap putra-putri remaja mereka. Bukan dengan melarangnya bermain ponsel dan peralatan teknologi komunikasi lainnya, karena bisa ketinggalan zaman. Tapi mengawasi teman, pergaulan, dan jaringannya di luar.
Kalau ada gejala kaitan dengan komunitas yang agak aneh, segera lapor yang berwajib. Jangan lancang menangani sendiri hal-hal seperti itu, selain mungkin berbahaya, komunitasnya juga canggih, bisa mengecoh secara formal. Seperti dialami Menteri Agama, terpaksa minta maaf kepada masyarakat karena tanpa sadar ia terjebak melakukan orasi di acara terkait LGBT! ***
Selanjutnya.....

Pasal Guantanamo RUU Terorisme!

ADANYA “Pasal Guantanamo” dalam RUU Terorisme, pasal yang mencantumkan kewenangan penyidik atau penuntut untuk menahan orang yang diduga terkait teroris di suatu tempat selama enam bulan untuk diinterogasi, tidak perlu ada karena berpotensi menimbulkan pelanggaran HAM.
Penilaian itu disampaikan Wakil Ketua Panitia Khusus (Pansus) Revisi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Supiadin Aries Saputra. Politikus Partai NasDem ini menilai pasal tersebut tak menunjukkan upaya reformasi dalam penanganan tindak pidana terorisme. (Kompas.com, 31/8/2016)
"Saya saja yang berasal dari kalangan militer tidak sepakat dengan adanya 'Pasal Guantanamo' itu. Tidak perlulah ada yang seperti itu," ujar Supiadin, mantan ketua Tim Kemanusiaan Surya Paloh, yang dengan pendekatan kultural berhasil membebaskan 10 sandera awak kapal Brahma 12 dari kelompok teroris Abu Sayyaf di Filipina tanpa uang tebusan awal Mei lalu.
Supiadin mengatakan prinsip dalam RUU Terorisme mencakup tiga hal, yakni pencegahan, penindakan, dan rehabilitasi. Tentunya dalam menjalankan ketiga prinsip tersebut tidak boleh melanggar HAM, baik dari sisi tersangka, aparat, maupun korban.
"Kami maunya RUU ini setelah jadi undang-undang tidak justru digugat karena ternyata melanggar HAM. Makanya yang diperlukan bukan seperti 'Pasal Guantanamo', tetapi efektivitas dalam menggali informasi dari tersangka tanpa melanggar HAM dan tingkatkan pencegahan," ujar Supiadin.
Penyiksaan terduga teroris meniru buatan Presiden George Bush yang meresahkan bangsanya sendiri hingga penghapusannya menjadi materi unggulan kampanye Obama untuk menang pilpres dua kali itu, jelas amat berlebihan untuk Indonesia. Cara yang baik tentunya yang proporsional, pas, dan sesuai dengan kebutuhan.
Bayangkan kalau diberi waktu enam bulan untuk mengorek informasi dari terduga teroris, petugasnya santai, begitu dapat ujungnya, komplotan teroris sudah buyar, larinya jauh sekali. Tapi kalau waktunya singkat, buyar pun jaringannya masih terlihat ekornya.
Artinya, bukan cara kuno penyiksaan panjang dalam interogasi untuk mendapatkan informasi jaringan, melainkan kepiawaian lacakan intelijen yang harus bisa mengungkap rahasia jaringan teroris.
Untuk itu, mungkin politikus pembuat UU perlu menyesuaikan pada Tim Densus 88 Antiteroris, yang dengan peralatannya bisa melacak simpul-simpul teroris dan menggulung jaringannya. Jadi, jangan terjebak di asumsi politikus yang malah ketinggalan zaman. ***
Selanjutnya.....

Habisi, Eksploitasi Memangsa Anak!

KORBAN eksploitasi anak untuk penyuka sesama jenis yang dibongkar Bareskrim Polri mencapai 99 orang. Saat awal penelusuran, diketahui korbannya hanya delapan orang, terdiri dari tujuh anak di bawah umur dan satu anak berusia 18 tahun.
"AR (pelaku eksploitasi memangsa anak) tidak hanya punya tujuh (korban), dari daftar ada 99 anak. Akan kami tangani secara berkelanjutan," ujar Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri Brigjen Agung Setya. (Kompas.com, 31/8/2016)
Sementara itu, Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Asrorun Niam mengatakan prostitusi memangsa anak di bawah umur untuk penyuka sesama jenis sudah marak di Indonesia. Bahkan ada komunitas khusus untuk saling tukar informasi, salah satunya komunitas gay berondong hingga eksplotasi anak seperti dilakukan AR.
Asrorun minta polisi menghabisi para pelaku dari komunitas khusus sampai para penyalur dan pelanggannya. "Momentum kriminalisasi pada pelaku kejahatan seksual perlu diperluas mencakup hingga yang seperti ini. Harus ada pemberatan hukuman," kata Asrorun.
Menurut Agung, kasus ini terungkap saat tim Cyber Patrol menyisir media sosial. Ditemukan akun Facebook milik AR yang menjajakan anak berjenis kelamin laki-laki, menampilkan foto-foto korban dengan tarif yang telah ditentukan.
Ia memasang tarif Rp1,2 juta untuk setiap anak. Namun, AR hanya memberi upah masing-masing Rp100 ribu hingga Rp150 ribu ke korban. AR ditangkap di sebuah hotel di Jakarta Timur, menjadikan bisnisnya seolah suatu manajemen berinisial RCM.
Beberapa anak yang sudah diketahui identitasnya oleh polisi kini tengah ditangani secara medis. Mereka menjalani tes kesehatan untuk melihat apakah terpapar penyakit seksual dan sebagainya.
Asrorun berharap bisnis sejenis ini dibongkar habis oleh Polri. Momentumnya, komitmen Presiden Jokowi memerangi kejahatan seksual terhadap anak lewat memperberat hukuman dengan menerbitkan PP Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Maraknya kejahatan dan prostitusi penyuka sesama jenis terhadap anak di bawah umur di seantero negeri kita seperti disitir Ketua KPAI itu, jelas tak bisa dilepaskan dari sikap permisif sementara masyarakat dengan toleransi berlebihan terhadap komunitas penyimpangan seksual yang semakin terbuka, terang-terangan, bahkan ditonjolkan di publik.
Karena itu, terpulang ke masyarakat untuk meluruskan kembali gejala yang menyimpang dari norma agama tersebut. ***
Selanjutnya.....

Jokowi Setujui PP Tunjangan DPRD!

PERATURAN Pemerintah (PP) tentang Tunjangan Komunikasi Intensif Anggota DPRD, Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian, Jaminan Kesehatan, Dana Operasional, Belanja Sekretariat Fraksi, dan Belanja Rumah Tangga Pimpinan DPRD disetujui Presiden Jokowi. "Ini 100% sudah setuju," kata Jokowi, saat membuka Rakernas Asosiasi DPRD Kabupaten Seluruh Indonesia (Adkasi) di Jakarta, Selasa. (Kompas.com, 30/8/2016)
Namun, Jokowi melanjutkan PP tersebut tidak bisa diberlakukan sekarang. Sebab, pemerintah saat ini sedang melakukan penghematan anggaran. Jokowi minta para anggota DPRD maklum dan sedikit bersabar. Begitu waktunya sudah tepat, PP tersebut segera dinomori di Setneg dan langsung berlaku.
"Pemerintah sedang mengencangkan ikat pinggang. Saya minta kita semua pakai perasaan," ujar Jokowi.
Para anggota DPRD yang sempat bersemangat pun kembali lesu. Jokowi menyadari, PP ini sudah 13 tahun diperjuangkan Adkasi. Ia juga pernah menjanjikan PP ini segera terbit dalam dua kali pertemuan sebelumnya.
Untuk itu, Jokowi akhirnya menjanjikan PP tersebut selambat-lambatnya akan terbit akhir tahun ini. "Namun, yang jelas tidak akan menginjak tahun depan. Saya tahu ini sudah 13 tahun, saya tahu sekali," kata Jokowi kembali disambut tepuk tangan para anggota DPRD.
Artinya, persetujuannya sudah ada. Tinggal pelaksanaannya menunggu waktu yang tepat, paling lama akhir tahun. Dengan demikian, pihak pimpinan DPRD sudah bisa membuat rancangan anggarannya dalam RAPBD 2017, sekalian disepakati bersama eksekutif sehingga pada saatnya tidak tertunda lagi dengan alasan belum dianggarkan.
Namun, meski realisasi anggarannya atas persetujuan Presiden, semangat penghematan anggaran tidak boleh dilupakan. Maksudnya, jangan mentang-mentang sudah berdasar persetujuan Presiden lantas nilai anggarannya dibuat sesukanya. Seperti pesan Presiden, pakailah perasaan, tetap tenggang rasa dan tepa salira kepada rakyat yang hidupnya masih sengsara.
Tetapkanlah pada nilai yang wajar tunjangan komunikasi intensifnya maupun berbagai jaminan sosial (kemalangan dan kesehatan) dengan memakai sistem asuransi sehingga yang ditanggung negara hanya preminya.
Jangan pula untuk jaminan kemalangan (kecelakaan dan kematian) malah dipatok nilai tunai penerimaannya, yang justru ndisi'i kerso (mendahului kehendak-Nya). Jangan sampai persetujuan Presiden dijadikan kesempatan dalam kesempitan anggaran—lupa sedang mengencangkan ikat pinggang. ***
Selanjutnya.....