BUPATI Banyuasin Yan Anton Ferdian, yang Minggu (4/9/2016) ditangkap KPK, kelahiran tahun 1984, jadi usianya masih muda, baru 32 tahun. Ia terpilih menjadi bupati pada 2013 di usia 29 tahun. Lumayan, tiga tahun menikmati hak istimewa kepala daerah.
Sementara Bupati Ogan Ilir Ahmad Wazir Nofiadi, yang ditangkap Badan Narkotika Nasional (BNN), 13 Maret 2016, dalam usianya 27 tahun terpilih sebagai bupati, menduduki kursi kepala daerah hanya satu bulan setelah dilantik. Tragis memang, dua bupati di Sumatera Selatan yang terpilih pada usia belia keduanya terjungkal oleh masalah yang konsekuensinya pencopotan jabatan.
Harian Kompas (6/9/2016) menyebut kasus bupati di Sumatera Selatan tersebut menunjukkan ada masalah serius terkait kepala daerah berusia muda produk politik dinasti. Alih-alih memberi harapan baru, keberadaan mereka justru dapat mengancam masa depan demokrasi Indonesia.
Yan Anton dan Nofiadi memang sama-sama memenangkan pilkada sebagai penerus ayah mereka pada jabatan bupati di daerahnya. Yan Anton putra bupati Banyuasin terdahulu (2003—2013), Amiroeddin Inoed. Sementara Nofiadi putra Bupati Ogan Ilir, juga dua priode, Mawardi Yahya. Ternyata, keduanya cuma membuat citra negatif sistem politik dinasti.
Buruknya realitas politik dinasti di Tanah Air, sebagian besar karena pewarisan kekuasaan dilakukan bersifat dadakan, anak yang sepanjang usianya dimanja terkapsul jauh dari masyarakat kebanyakan, tiba-tiba berkat kekuasaan multidimensi ayahnya berhasil memenangkan pilkada.
Sedikit sekali dinasti yang mengader turunan pewarisnya dengan menerjunkannya dalam pergumulan kehidupan realistis, utamanya kegiatan mengabdi masyarakat. Tidak juga digembleng dalam padepokan cantrik calon pemimpin, seperti dilakukan terhadap para pangeran dan bangsawan kerajaan Nusantara tempo doeloe.
Akibatnya, setelah terpilih sebagai kepala daerah, banyak yang tidak tahu apa yang harus dilakukan. Mending kalau ayah atau ibunya masih mengasuhnya, ikut campur memerintah dari belakang layar. Setidaknya rambu yang paling berbahaya tidak ditabrak.
Walau begitu, tetap saja kekuasaannya kurang efektif bagi kemaslahatan rakyat. Sebab, campur tangan orang tua di balik layar itu selain untuk upaya return of capital, sering menggunakan pendekatan model zamannya untuk era kekuasaan anaknya yang kadar demokrasi, moralitas, dan ketajaman pengawasan antikorupsinya sudah berbeda. Akibatnya, kekuasaan dinasti sering mencolok salah tingkahnya. ***
Harian Kompas (6/9/2016) menyebut kasus bupati di Sumatera Selatan tersebut menunjukkan ada masalah serius terkait kepala daerah berusia muda produk politik dinasti. Alih-alih memberi harapan baru, keberadaan mereka justru dapat mengancam masa depan demokrasi Indonesia.
Yan Anton dan Nofiadi memang sama-sama memenangkan pilkada sebagai penerus ayah mereka pada jabatan bupati di daerahnya. Yan Anton putra bupati Banyuasin terdahulu (2003—2013), Amiroeddin Inoed. Sementara Nofiadi putra Bupati Ogan Ilir, juga dua priode, Mawardi Yahya. Ternyata, keduanya cuma membuat citra negatif sistem politik dinasti.
Buruknya realitas politik dinasti di Tanah Air, sebagian besar karena pewarisan kekuasaan dilakukan bersifat dadakan, anak yang sepanjang usianya dimanja terkapsul jauh dari masyarakat kebanyakan, tiba-tiba berkat kekuasaan multidimensi ayahnya berhasil memenangkan pilkada.
Sedikit sekali dinasti yang mengader turunan pewarisnya dengan menerjunkannya dalam pergumulan kehidupan realistis, utamanya kegiatan mengabdi masyarakat. Tidak juga digembleng dalam padepokan cantrik calon pemimpin, seperti dilakukan terhadap para pangeran dan bangsawan kerajaan Nusantara tempo doeloe.
Akibatnya, setelah terpilih sebagai kepala daerah, banyak yang tidak tahu apa yang harus dilakukan. Mending kalau ayah atau ibunya masih mengasuhnya, ikut campur memerintah dari belakang layar. Setidaknya rambu yang paling berbahaya tidak ditabrak.
Walau begitu, tetap saja kekuasaannya kurang efektif bagi kemaslahatan rakyat. Sebab, campur tangan orang tua di balik layar itu selain untuk upaya return of capital, sering menggunakan pendekatan model zamannya untuk era kekuasaan anaknya yang kadar demokrasi, moralitas, dan ketajaman pengawasan antikorupsinya sudah berbeda. Akibatnya, kekuasaan dinasti sering mencolok salah tingkahnya. ***
0 komentar:
Posting Komentar