VONIS hukuman terhadap koruptor cenderung semakin ringan, dari rata-rata hukuman penjara 2 tahun 11 bulan pada 2013, menjadi 2 tahun 1 bulan pada 2016. (Kompas, 13/9/2016)
Jika tren peringanan hukuman ini berlanjut, berkurang 10 bulan setiap tiga tahun, konsistensinya setelah tahun kedelapan nanti bukan hanya koruptor divonis bebas, bisa-bisa dengan perbuatan korupsinya yang terbukti, koruptor malah diberi bonus atau hadiah!
Tren demikian tak mustahil jika sikap permisif masyarakat terhadap korupsi makin kuat, hingga korupsi bukan lagi dipandang sebagai kejahatan luar biasa tak bermoral, melainkan justru berubah dipandang sebagai tindakan brilian yang layak dihormati.
Saat tahap itu tercapai, orang yang baru dibuktikan bersalah sebagai koruptor oleh pengadilan, dielu-elukan sebagai pahlawan dan diarak warga keliling kota. Keluarganya bangga dengan prestasi korupsi itu, jauh lebih bangga dari meraih medali Olimpiade.
Konsistensi ironi vonis koruptor seperti itu harus dihentikan dan diputus, dikembalikan ke arah yang benar, hukuman kepada koruptor lebih rasional sebanding kerusakan akibat korupsinya.
Sebagai antitesis atas tren vonis koruptor yang kian ringan itu, pemberantasan korupsi didorong agar koruptor juga dikenai beban membayar biaya sosial. Penerapan hukuman biaya sosial korupsi ini diharapkan bisa memulihkan kerugian keuangan negara dan perekonomian akibat korupsi, selain menumbuhkan efek jera.
Menurut Wakil Ketua KPK Laode M Syarif, KPK pernah mengkaji penerapan upaya "luar biasa" menghukum koruptor dengan tidak hanya menghitung kerugian berwujud, begitu juga yang tak berwujud. (Kompas, 14/9/2016)
Dia mencontohkan kerugian akibat jembatan roboh karena pembangunannya dikorupsi tidak hanya senilai uang yang dikorupsi, tapi juga mencakup nilai pembangunan jembatan baru, termasuk kerugian ekonomi masyarakat karena jembatan itu tak berfungsi.
Perhitungan biaya sosial korupsi terdiri dari biaya eksplisit dan biaya implisit. Biaya eksplisit, biaya yang dikeluarkan negara untuk mencegah dan menangani tindak pidana korupsi, meliputi penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pengadilan, pemasyarakatan. Sedang biaya implisit, dampak yang timbul karena korupsi.
Dengan penghitungan biaya sosial korupsi, terdakwa korupsi bisa dituntut lebih tinggi empat kali hingga 543 kali lipat dibanding selama ini.
KPK akan mengusahakan legalitas biaya sosial korupsi, meski mungkin tak mulus melalui barikade DPR dan pemerintah. ***
Tren demikian tak mustahil jika sikap permisif masyarakat terhadap korupsi makin kuat, hingga korupsi bukan lagi dipandang sebagai kejahatan luar biasa tak bermoral, melainkan justru berubah dipandang sebagai tindakan brilian yang layak dihormati.
Saat tahap itu tercapai, orang yang baru dibuktikan bersalah sebagai koruptor oleh pengadilan, dielu-elukan sebagai pahlawan dan diarak warga keliling kota. Keluarganya bangga dengan prestasi korupsi itu, jauh lebih bangga dari meraih medali Olimpiade.
Konsistensi ironi vonis koruptor seperti itu harus dihentikan dan diputus, dikembalikan ke arah yang benar, hukuman kepada koruptor lebih rasional sebanding kerusakan akibat korupsinya.
Sebagai antitesis atas tren vonis koruptor yang kian ringan itu, pemberantasan korupsi didorong agar koruptor juga dikenai beban membayar biaya sosial. Penerapan hukuman biaya sosial korupsi ini diharapkan bisa memulihkan kerugian keuangan negara dan perekonomian akibat korupsi, selain menumbuhkan efek jera.
Menurut Wakil Ketua KPK Laode M Syarif, KPK pernah mengkaji penerapan upaya "luar biasa" menghukum koruptor dengan tidak hanya menghitung kerugian berwujud, begitu juga yang tak berwujud. (Kompas, 14/9/2016)
Dia mencontohkan kerugian akibat jembatan roboh karena pembangunannya dikorupsi tidak hanya senilai uang yang dikorupsi, tapi juga mencakup nilai pembangunan jembatan baru, termasuk kerugian ekonomi masyarakat karena jembatan itu tak berfungsi.
Perhitungan biaya sosial korupsi terdiri dari biaya eksplisit dan biaya implisit. Biaya eksplisit, biaya yang dikeluarkan negara untuk mencegah dan menangani tindak pidana korupsi, meliputi penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pengadilan, pemasyarakatan. Sedang biaya implisit, dampak yang timbul karena korupsi.
Dengan penghitungan biaya sosial korupsi, terdakwa korupsi bisa dituntut lebih tinggi empat kali hingga 543 kali lipat dibanding selama ini.
KPK akan mengusahakan legalitas biaya sosial korupsi, meski mungkin tak mulus melalui barikade DPR dan pemerintah. ***
0 komentar:
Posting Komentar