Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Pasal Guantanamo RUU Terorisme!

ADANYA “Pasal Guantanamo” dalam RUU Terorisme, pasal yang mencantumkan kewenangan penyidik atau penuntut untuk menahan orang yang diduga terkait teroris di suatu tempat selama enam bulan untuk diinterogasi, tidak perlu ada karena berpotensi menimbulkan pelanggaran HAM.
Penilaian itu disampaikan Wakil Ketua Panitia Khusus (Pansus) Revisi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Supiadin Aries Saputra. Politikus Partai NasDem ini menilai pasal tersebut tak menunjukkan upaya reformasi dalam penanganan tindak pidana terorisme. (Kompas.com, 31/8/2016)
"Saya saja yang berasal dari kalangan militer tidak sepakat dengan adanya 'Pasal Guantanamo' itu. Tidak perlulah ada yang seperti itu," ujar Supiadin, mantan ketua Tim Kemanusiaan Surya Paloh, yang dengan pendekatan kultural berhasil membebaskan 10 sandera awak kapal Brahma 12 dari kelompok teroris Abu Sayyaf di Filipina tanpa uang tebusan awal Mei lalu.
Supiadin mengatakan prinsip dalam RUU Terorisme mencakup tiga hal, yakni pencegahan, penindakan, dan rehabilitasi. Tentunya dalam menjalankan ketiga prinsip tersebut tidak boleh melanggar HAM, baik dari sisi tersangka, aparat, maupun korban.
"Kami maunya RUU ini setelah jadi undang-undang tidak justru digugat karena ternyata melanggar HAM. Makanya yang diperlukan bukan seperti 'Pasal Guantanamo', tetapi efektivitas dalam menggali informasi dari tersangka tanpa melanggar HAM dan tingkatkan pencegahan," ujar Supiadin.
Penyiksaan terduga teroris meniru buatan Presiden George Bush yang meresahkan bangsanya sendiri hingga penghapusannya menjadi materi unggulan kampanye Obama untuk menang pilpres dua kali itu, jelas amat berlebihan untuk Indonesia. Cara yang baik tentunya yang proporsional, pas, dan sesuai dengan kebutuhan.
Bayangkan kalau diberi waktu enam bulan untuk mengorek informasi dari terduga teroris, petugasnya santai, begitu dapat ujungnya, komplotan teroris sudah buyar, larinya jauh sekali. Tapi kalau waktunya singkat, buyar pun jaringannya masih terlihat ekornya.
Artinya, bukan cara kuno penyiksaan panjang dalam interogasi untuk mendapatkan informasi jaringan, melainkan kepiawaian lacakan intelijen yang harus bisa mengungkap rahasia jaringan teroris.
Untuk itu, mungkin politikus pembuat UU perlu menyesuaikan pada Tim Densus 88 Antiteroris, yang dengan peralatannya bisa melacak simpul-simpul teroris dan menggulung jaringannya. Jadi, jangan terjebak di asumsi politikus yang malah ketinggalan zaman. ***

0 komentar: