BUPATI Banyuasin Yan Anton Ferdian ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di rumahnya, Minggu (4/9/2016) pagi, seusai pengajian dalam rangka keberangkatan haji Yan dan istri. Penyidik menunggu acara selesai, sebelum akhirnya menangkap Yan bersama RUS (Kasubbag Rumah Tangga) dan UU (Kepala Dinas Pendidikan) setempat.
Sebelumnya, KPK menangkap K, penghubung dengan kontraktor, dan STY, staf UU. Terakhir, KPK menangkap ZM, kontraktor pemberi suap.
Menurut Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan, suap itu terkait proyek di Dinas Pendidikan. Yan Anton diduga menggunakan uang suap tersebut untuk menunaikan ibadah haji. Itu berdasar bukti yang disita dari tangan K, setoran biaya naik haji ke sebuah biro sebesar Rp531.600.000 untuk dua orang atas nama Yon Anton dan istri (Kompas.com, 5/9/2016).
KPK juga menyita dari Yan Anton Rp229,8 juta dan 11.200 dolar AS. Dari STY, KPK menyita Rp50 juta yang diduga bonus dari Yan Anton.
Jelas ironis sekali kalau benar seorang bupati untuk membawa istrinya naik haji harus memakai uang hasil korupsi. Selain itu, diketahui kalau orang lain mau naik haji harus antre sampai 15 tahun baru bisa berangkat, dengan uang Rp265 juta per orang bisa kurang seminggu jadwal wukuf masih bisa walimah safar di rumahnya.
Artinya, dengan uang banyak, bisa langsung berangkat haji hari itu juga. Ini menyingkap adanya hal-hal yang terselubung di balik penyelenggaraan ibadah haji, yang menyayat rasa tidak adil—di satu sisi orang dipaksa antre belasan tahun menunggu giliran, di sisi lain dengan uang banyak orang bisa berangkat haji seketika. Hal ini mungkin perlu didalami tersendiri oleh KPK, untuk menegakkan rasa adil di kalangan umat.
Bukan mustahil, akibat dengan uang banyak bisa mendapat fasilitas kemudahan naik haji seketika itu, orang jadi terdorong memaksakan diri melakukan korupsi untuk naik haji. Korelasi antara korupsi untuk ongkos naik haji itu harus diakhiri demi menjaga kesucian ibadah haji.
Gelar haji bukanlah embel-embel, bukan sekadar formalitas untuk status sosial. Kesempatan naik haji merupakan hidayah, buah dari usaha menggapai takwa (lazim disebut sebagai panggilan dari Allah untuk datang ke rumah-Nya—Baitullah), sehingga tidak pada tempatnya diamalkan dengan hasil korupsi maupun dilaksanakan dengan mencederai rasa adil umat.
Namun, selalu ada cara Ilahiah menyingkap hal-hal yang bisa menodai kesucian agama dan amalan ibadahnya. Itu terkesan kuat dalam kasus ini. ***
Menurut Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan, suap itu terkait proyek di Dinas Pendidikan. Yan Anton diduga menggunakan uang suap tersebut untuk menunaikan ibadah haji. Itu berdasar bukti yang disita dari tangan K, setoran biaya naik haji ke sebuah biro sebesar Rp531.600.000 untuk dua orang atas nama Yon Anton dan istri (Kompas.com, 5/9/2016).
KPK juga menyita dari Yan Anton Rp229,8 juta dan 11.200 dolar AS. Dari STY, KPK menyita Rp50 juta yang diduga bonus dari Yan Anton.
Jelas ironis sekali kalau benar seorang bupati untuk membawa istrinya naik haji harus memakai uang hasil korupsi. Selain itu, diketahui kalau orang lain mau naik haji harus antre sampai 15 tahun baru bisa berangkat, dengan uang Rp265 juta per orang bisa kurang seminggu jadwal wukuf masih bisa walimah safar di rumahnya.
Artinya, dengan uang banyak, bisa langsung berangkat haji hari itu juga. Ini menyingkap adanya hal-hal yang terselubung di balik penyelenggaraan ibadah haji, yang menyayat rasa tidak adil—di satu sisi orang dipaksa antre belasan tahun menunggu giliran, di sisi lain dengan uang banyak orang bisa berangkat haji seketika. Hal ini mungkin perlu didalami tersendiri oleh KPK, untuk menegakkan rasa adil di kalangan umat.
Bukan mustahil, akibat dengan uang banyak bisa mendapat fasilitas kemudahan naik haji seketika itu, orang jadi terdorong memaksakan diri melakukan korupsi untuk naik haji. Korelasi antara korupsi untuk ongkos naik haji itu harus diakhiri demi menjaga kesucian ibadah haji.
Gelar haji bukanlah embel-embel, bukan sekadar formalitas untuk status sosial. Kesempatan naik haji merupakan hidayah, buah dari usaha menggapai takwa (lazim disebut sebagai panggilan dari Allah untuk datang ke rumah-Nya—Baitullah), sehingga tidak pada tempatnya diamalkan dengan hasil korupsi maupun dilaksanakan dengan mencederai rasa adil umat.
Namun, selalu ada cara Ilahiah menyingkap hal-hal yang bisa menodai kesucian agama dan amalan ibadahnya. Itu terkesan kuat dalam kasus ini. ***
0 komentar:
Posting Komentar