"SAAT kekuasaan Hitler dan Partai Nazi bangkit, ia melakukan swastikanisasi—simbol Nazi!" ujar Umar. "Saat Hitler berkunjung, rumah sakit jiwa dipenuhi swastika! Spanduk, umbul-umbul, jaket staf RSJ, seragam pasien, beratribut swastika!"
"Pasti Hitler puas atas sambutan itu!" tebak Amir.
"Jelas!" tegas Umar. "Tapi saat jalan keliling, di kebun terlihat tiga orang menyiram bunga tanpa atribut swastika! Kepala RSJ ditanya dan menjawab, kata dokter ketiganya sudah waras, jadi tak perlu pakai atribut swastika!"
"Huahaha...!" Amir terbahak. "Pasti Hitler marah! Karena itu berarti yang beratribut tak waras!"
"Jelas! Hitler yang mempromosikan Nazi ras Aria, ras terbaik di dunia, marah tak kepalang! Suara geramnya mengentak, dokternya pasti Yahudi!" tegas Umar. "Hitler pun perintahkan membasmi orang Yahudi dari negerinya! Ini salah satu versi konflik vertikal—penguasa lawan rakyatnya!"
"Konflik vertikal versi itu jelas seperti durian di pihak penguasa dan mentimun di pihak rakyat!" timpal Amir. "Untuk itu yang harus menahan diri justru pihak penguasa (politik maupun ekonomi), karena kalau durian yang berat dan berduri tajam ditimpakan ke mentimun, pasti mentimun remuk! Apalagi kalau hukumnya seperti pedang, cuma tajam ke bawah sedang ke atas tumpul, rakyat si mentimun dijamin lumat!"
"Maka itu, jika dalam konflik vertikal mentimun memberi perlawanan sampai membakar polsek, seperti di Gedungaji, Tulangbawang, di pihak penguasa layak mawas diri, introspeksi, jangan-jangan mereka bergaya mirip Hitler!" tukas Umar.
"Gaya itu bisa diukur, jika semangat pada penguasa membara superioritas diri hingga jalan keluar pilihannya adalah membasmi sesama yang dianggap rendah seperti membasmi coro!" "Mengingat Lampung rawan konflik vertikal, dari Mesuji hingga Gedungaji dengan berbagai varian kasus lain, untuk mengurangi gejalanya kedua pihak yang berkonflik tahap awal harus sama meyakini bahwa kekerasan, pemaksaan kehendak, dan mau benar dan menang sendiri takkan bisa menyelesaikan masalah!" timpal Amir. "Konflik menghabiskan energi semua pihak, banyak waktu, tenaga, dan dana terbuang sia-sia, padahal semua itu dibutuhkan untuk survival pribadi, keluarga maupun kelembagaan! Jalan keluarnya, jauh lebih baik share, berbagi, kedua pihak saling mengalah sedikit demi mencapai kesepakatan!" "Memaksa all or nothing peluangnya nothing!" tegas Umar. "Karena, energi dan dana yang habis dalam perjuangan yang lama, nilai riilnya bisa lebih tinggi dari yang (syukur kalau bisa) diraih!" ***
"Gaya itu bisa diukur, jika semangat pada penguasa membara superioritas diri hingga jalan keluar pilihannya adalah membasmi sesama yang dianggap rendah seperti membasmi coro!" "Mengingat Lampung rawan konflik vertikal, dari Mesuji hingga Gedungaji dengan berbagai varian kasus lain, untuk mengurangi gejalanya kedua pihak yang berkonflik tahap awal harus sama meyakini bahwa kekerasan, pemaksaan kehendak, dan mau benar dan menang sendiri takkan bisa menyelesaikan masalah!" timpal Amir. "Konflik menghabiskan energi semua pihak, banyak waktu, tenaga, dan dana terbuang sia-sia, padahal semua itu dibutuhkan untuk survival pribadi, keluarga maupun kelembagaan! Jalan keluarnya, jauh lebih baik share, berbagi, kedua pihak saling mengalah sedikit demi mencapai kesepakatan!" "Memaksa all or nothing peluangnya nothing!" tegas Umar. "Karena, energi dan dana yang habis dalam perjuangan yang lama, nilai riilnya bisa lebih tinggi dari yang (syukur kalau bisa) diraih!" ***
0 komentar:
Posting Komentar