Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Pajak Warteg dan Penindasan yang Tak Kenal Ampun!


"SASARAN pajak hotel dan restoran itu konsumen, yang dikenakan langsung di tanda pembayaran!" ujar Umar. "Jadi, kalau warung tegal (warteg) dijadikan wajib pungut (wapu) pajak seperti hotel dan restoran, berarti wajib pajaknya konsumen, jelas salah sasaran! Sebab, mayoritas konsumen warteg penyandang pendapatan tidak kena pajak (PTKP), yang pada 2010 besarnya Rp13,2 juta per tahun atau Rp1,1 juta per bulan, di atas UMP DKI tahun sama—apalagi UMP provinsi lain yang umumnya masih di bawah Rp1 juta per bulan!"

"Hal itu perlu ditegaskan agar daerah yang suka asal meniru tidak ikut melanggar batas ampunan pajak—PTKP—itu!" sambut Amir. "Di sisi lain, kalau pajak warteg dimaksudkan untuk pendapatan pengusaha warteg dengan PTKP Rp60 juta per tahun atau Rp5 juta sebulan, eksesnya tetap akan ditanggung konsumen, karena sulit dipastikan pengusaha warteg mau memikul beban itu sendiri dengan banyaknya cara sepihak bisa dilakukan untuk share beban itu dengan pelanggannya!"


"Masalahnya, warteg itu kegiatan 24 jam segenap keluarga (laki-bini-anak-menantu-ipar), hingga pendapatan yang terhimpun Rp5 juta per bulan itu sebenarnya penghasilan kelompok kerja, jika dibagi per orangnya juga di bawah PTKP!" tegas Umar. "Lalu, kebanyakan anggota keluarga kerja di warteg tak digaji secara eksplisit, melainkan ikut hidup bersama (mbatih) dengan pemenuhan kebutuhannya sesuai kemampuan wartegnya!"

"Untuk tidak latah asal meniru itu penting dalam penerapan pajak daerah yang berkeadilan!" timpal Amir. "Contoh pajak daerah tidak berkeadilan tapi malah terlembaga pada pajak penerangan jalan yang dikenakan pada semua pelanggan listrik, padahal mayoritas penyandang PTKP! Selain itu, penerangan jalan itu sendiri jika di DKI luar biasa benderang di semua kawasan, di kota-kota lain cuma dinikmati yang tinggal di jalan protokol!"

"Pelanggaran batas PTKP dalam pajak daerah itu terjadi akibat penerapan pajak progresif di daerah!" tukas Umar. "Celakanya, di nyaris semua daerah yang progresif cuma pengenaan pajaknya hingga yang terlindungi PTKP pun digasak, sedang dalam pemanfaatan pajaknya jauh dari progresif dan berkeadilan! Itu terjadi karena dalam distribusi manfaat pajak lewat APBD, anggaran untuk rakyat cuma 30% atau lebih kecil, sedang yang 70% lebih untuk belanja rutin aparatur alias birokrat amtenar! Jadi, penerapan pajak progresif di daerah secara nyata merupakan penindasan tak kenal ampun terhadap rakyat jelata, karena batas ampunan pajak—PTKP—dilanggar!" ***

0 komentar: