"SO, what wrong ketika watak jabatan jadi lebih dominan mengaktual ketimbang integritas atau kepribadian asali sang tokoh?" tukas Umar.
"Saat tokoh idealis-kritis mendapat jabatan kekuasaan, wataknya bisa berubah jadi buto terong?"
"Dalam 2009, ada gejala memuncak di balik what wrong itu! Publik, rakyat kebanyakan atau jelata, terkulminasi didih batas kesabarannya, tecermin pada respons mereka lewat Facebook dan koin untuk Prita terkait penderitaan yang kelewat batas para korban penyimpangan watak elite!" sambut Amir.
"Bahkan keadaan jadi berbalik seperti film Robert Redford, Lions for Lambs--saat singa-singa dipermainkan domba! Publik--rakyat kecil dan lemah, sang domba--mendikte elite--singa! Kesan itu menonjol dalam gumpalan-gumpalan kumulonimbus informasi pers, yang secara komprehensif (media cetak dan elektronik) menggalang banjir bandang opini publik menggelontor tumpukan kotoran yang menyesakkan kehidupan bangsa!"
"Tapi apa inti penyebab perubahan watak itu?" potong Umar.
"Kekuasaan sebagai dunia elite itu seperti ruang besar berpengatur udara tersendiri, siapa saja masuk ruangan itu dan menghirup udaranya, tanpa sadar ia berwatak dan berperilaku seperti orang-orang dalam ruangan tersebut!" jelas Amir.
"Ruang besar itu sendiri bernama kultur, dalam hal ini kultur kekuasaan dengan ciri-ciri amat khas sesuai historisnya! Lazimnya kultur, menggerakkan dari bawah sadar! Itu disadari kaum revolusioner, yang lewat revolusi berusaha mengubah kultur kekuasaan itu, tapi secara prinsip tak pernah berhasil--sebab, saat masuk ruangan itu, watak mereka juga berubah menjadi seperti orang borjuis yang mereka singkirkan melalui revolusi!"
"Lantas, bagaimana geliat publik lewat gebrakan opininya melalui beragam media, yang dalam 2009 bisa menjadi banjir bandang melabrak penyimpangan watak elite?" tanya Umar.
"Itu kekhasan 2009, yang mungkin akan menjadi bahan studi menarik di masa depan!" jawab Amir. "Karena, seperti lazimnya banjir bandang, terjadi sekali-sekali dengan adanya proses sebab-akibat yang menjadi pemicunya! Seusai banjir bandang, biasanya orang berbenah terhadap sebab-akibat dimaksud! Di lain pihak, pers tak mudah untuk membentuk kembali gumpalan kumulonimbus opini publik guna membuat hujan besar yang bisa menjadi banjir bandang!"
"Maksudmu, banjir bandang itu hanya mengubah sedikit dan sejenak watak elite dari kultur bawah sadar kekuasaan?" kejar Umar.
"Bisa disimak saksama, perubahan sedikit dan sejenak itu pun tidaklah tulus--telunjuk lurus kelingking berkait!" tegas Amir. "Lebih tepat lagi, hal itu terjadi semata karena retorika jebol oleh banjir bandang opini publik! Menambal retorika jelas lebih mudah daripada membuat banjir bandang!" n
Kata Kunci
Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani
Sabtu, 26 Desember 2009
Notes 2009, Publik Mendikte Elite!
Langganan:
Posting Komentar
0 komentar:
Posting Komentar