SEORANG pelukis mangkal di taman melayani pengunjung yang minta disketsa wajahnya. Di hari libur banyak peminat, mereka siap antre dengan mengatur nomor giliran sendiri. Meski ia tak menetapkan tarif, orang yang puas memberinya Rp100 ribu atau lebih sketsa wajahnya yang ia garap sekitar 30 menit itu.
"Apa rahasia sukses Anda?" tanya wartawan dalam wawancara untuk penulisan profilnya.
"Anda saksikan sendiri!" jawab pelukis. "Semua puas menerima sketsa wajahnya! Mungkin karena sketsa yang saya buat tak terlalu jauh berbeda dari wajah aslinya!"
"Bagaimana mereka bisa memastikan sketsa Anda mirip wajahnya?" kejar wartawan. "Mereka kan setiap hari becermin!" tegas pelukis. "Tentu mereka bisa menilai sketsanya sungguh merupakan gambar asli wajahnya!" "Kalau sketsa Anda benar-benar mirip wajahnya yang asli, kenapa yang wajahnya jelek, seperti perempuan yang solekan wajahnya menor tadi, juga puas?" tanya wartawan.
"Soal jelek, cantik, tampan itu subjektif, citarasa pribadi setiap orang!" tegas pelukis. "Anda nilai jelek, kalau dia sendiri menilai dirinya cantik atau tampan, yang berlaku penilaian subjektif dirinya! Tentu ia puas dengan apa yang dia anggap terbaik atas dirinya!"
"Aku tak yakin orang puas kalau wajah jeleknya dilukis apa adanya!" tukas wartawan. "Kalau itu, kita wajib mengikuti ajaran agama!" tegas pelukis. "Tak boleh mengungkap apalagi menonjolkan kejelekan orang! Sebaliknya, kita harus mengangkat dan menonjolkan kebaikan dan kelebihannya!"
"Berarti itulah rahasia sukses Anda! Mengikuti dengan taat ajaran agama!" sambut wartawan. "Kejelekan pada hidung, misalnya, Anda tutupi dengan shadow seperti dilakukan pada hidung foto model! Bibir memble diberi garis penegas palsu seperti lazimnya solekan masa kini! Hasil akhirnya, wajah yang Anda sketsa jadi tampak ideal tanpa mengubah dasar wajah aslinya!"
"Itu justru model riasan gaya posmo—post modernist—di mana wajah masa kini dibuat menjadi harmonis dengan hyperreality—penegasan riasan yang menciptakan kesan ideal semua unsurnya!" tegas pelukis.
"Hyperreality itu realitas buatan yang diciptakan lewat kesan—seperti kesan yang diciptakan media seorang tokoh itu baik, dermawan! Padahal, kesan di media itu bisa jadi digenjot untuk menutupi sejati dirinya koruptor!" ***
0 komentar:
Posting Komentar