"REFORMASI itu budaya massa!" ujar Umar. "Ia ditegakkan oleh aksi massa mahasiswa melawan rezim Orde Baru yang memuncak sepanjang awal 1998. Proses klimaks dimulai Tragedi Trisakti 12 Mei, gugurnya sejumlah mahasiswa! Ini memicu amuk massa, rakyat merusak, membakar, dan menjarah dalam kerusuhan 13-15 Mei, yang berakibat negara chaos! Kulminasi tercapai saat lebih seperempat juta mahasiwa dengan aneka warna jaket almamater berhimpun di gedung DPR-MPR Senayan, hingga Soeharto terpaksa meletakkan jabatan pada 20 Mei!"
"Ciri reformasi sebagai gerakan aksi massa bukan monopoli Ibu Kota!" sambut Amir.
"Di daerah-daerah--tanpa kecuali Lampung--amuk massa merusak dan membakar simbol kekuasaan Orde Baru bahkan berlarut-larut! Termasuk menjadi sasarannya, sejumlah mapolsek--wujud fisik kekuasaan yang terdekat dengan rakyat!"
"Begitulah, hingga di daerah-daerah reformasi lebih identik dengan amuk massa yang mudah tersulut oleh masalah sepele, sampai kebiasaan membakar hidup-hidup maling!" timpal Umar.
"Namun, reformasi yang beresensi budaya massa itu kemudian dimanipulasi elite saat menyusun kembali kehidupan bernegara yang justru sangat elitis! Berkutat di balik simbol masyarakat madani (civil sosiety), amendemen konstitusi dan produk UU keturunannya lebih berorientasi kepentingan elite! Reformasi sebagai hasil perjuangan rakyat dan mahasiswa dengan budaya massa itu telah dirampas elite untuk memuaskan kepentingan mereka--lebih sempit lagi, kepentingan parpol!"
"Hal itu menonjol sekali dalam aturan rekrutmen pemimpin lembaga pemerintahan dari pusat sampai daerah yang hanya bisa diikuti (kader) partai politik--belakangan dominasi ini dikoreksi Mahkamah Konstitusi--MK!" tegas Amir.
"Lebih jauh lagi, elite politik membangun kekuatan-kekuatan tandingan untuk mengalahkan budaya massa sebagai esensi reformasi yang telah mereka rampas--berupa organisasi massa beratribut paramiliter di bawah partai! Elite pemerintahan membangun Polisi Pamong Praja (Pol. PP), yang besarnya jauh dari kebutuhan sebenarnya!"
"Masalahnya, apakah dengan segala kelicikan elite itu budaya massa sebagai esensi reformasi bisa benar-benar dieliminasikan?" timpal Umar. "Dari berbagai peristiwa, dari perlawanan rakyat Koja, Cina Benteng Tangerang, sampai bentrokan massa lawan Pol. PP (dan polisi) yang nyaris setiap hari diberitakan televisi, terbukti budaya massa masih tetap hidup! Tepatnya, budaya massa merupakan sesuatu yang tetap ada dan tetap hidup sekalipun telah dirampas oleh elite!" ***
0 komentar:
Posting Komentar