Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Pelayanan Publik Bandar Lampung Terburuk Nasional!


"KPK—Komisi Pemberantasan Korupsi—umumkan hasil survei indeks integritas pelayanan publik, Bandar Lampung terburuk kedua nasional!" ujar Umar. "Terburuk pertama disandang Medan!"

"Kalau Medan sebagai ibu kota Provinsi Sumut tak mengejutkan, karena warganya sendiri suka terus terang menyebut Sumut itu akronim dari Semua Urusan Mesti Uang Tunai!" sambut Amir. "Tapi Bandar Lampung, akronim apa sebagai cerminan ibu kota Provinsi Lampung?"

"Bisa jadi Lampung itu—Laju, Asal Mau Pengertian Uang Ngurusnya!" tegas Umar. "Jadi, kalau tak mau pengertian, urusan tak lancar! Masih kuat pamrihnya! Pelayanan publik di Lampung belum dijalankan secara tulus oleh unsur-unsur birokrasi pemerintahan—abdi atau pelayan masyarakat!"


"Hasil survei KPK membuktikan begitu!" timpal Amir. "Medan jadi barometer provinsinya, begitu juga Bandar Lampung! Karena, warga berurusan di semua jajaran birokrasi cenderung mendapat perlakuan dan respons dengan kebiasaan sama yang terlembaga! Artinya, usaha berbenah tak cukup hanya dilakukan Pemkot Bandar Lampung—meski tetap prioritas—tapi harus dilakukan serentak pada semua jajaran birokrasi pemerintahan di Provinsi Lampung! Karena, untuk mengubah kebiasaan bersifat umum yang terlembaga dalam birokrasi dan masyarakat itu tak bisa dilakukan parsial dan terbatas—agar tak cuma hangat-hangat tahi ayam!"

"Masalahnya, di Lampung belum ada ditonjolkan praktek pelayanan publik yang dijamin bersih dari pungli dengan pelaksanaan terbuka dan rigid, jika ketahuan pungli ditindak tegas!" ujar Umar. "Soal ketentuan tertulis larangan pungli, atau usaha meniru one stop service dengan pelayanan satu atap atau satu pintu, boleh-boleh saja! Hasil survei KPK membuktikan, semua itu sekadar basa-basi dan formalitas sok good governance belaka!"

"Repotnya menjamin bebas pungli akibat kenyataan tak ada urusan yang betul-betul bebas pungutan, karena setiap SKPD bertugas menyetor ke kas pendapatan daerah!" tukas Amir. "Dengan begitu, saat warga membayar kepada petugas, semisal di pos retribusi, tak terlihat jika di dalamnya ada unsur punglinya!"

"Celakanya di Lampung, bukan usaha mengurangi aneka pungutan resmi itu yang dilakukan agar pungli bawaannya bisa dihabisi! Justru jenis pungutan yang terus bertambah!" timpal Umar. "Misal di RSUDAM, pasien miskin yang datang berkondisi darurat kritis, hingga berkas Jamkesmas-nya belum lengkap, justru diminta uang jaminan pelayanan dan jaminan menebus obat! (Tribun Lampung, 1-11) Ketentuan tak tertulis itu jelas bisa menyulitkan pasien miskin!" ***

1 komentar:

3 November 2010 pukul 09.23 Unknown mengatakan...

kirain ditinggal merantau 10th,udah tamah bagus,nggak taunya tambah parah,jadi bener2 nggak kepengen pulang!