"PUBLIK--direpresentasikan massa kritis dari berbagai elemen masyarakat dari mahasiswa sampai buruh, tani dan warga miskin kota--lewat Gerakan 28 Januari di seantero negeri terbukti mampu membangun barisan oposisi nonformal bagi pemerintahan SBY-Boediono yang monolitis!" ujar Umar. "Kekuasaan monolitis dengan koalisi partai berkuasa 76 persen suara di parlemen--lebih tiga perempat--itu, membuat kekuatan pengimbang di parlemen jadi kurang efektif, publik harus membangun kekuatan pengimbang di luar struktur formal!"
"Dari jumlah demonstran dan keanekaragaman elemen masyarakat yang ikut demonstrasi pada 28 Januari 2010--100 hari pemerintahan SBY--Boediono--jauh lebih besar dibanding demo Hari Antikorupsi 9 Desember 2009, usaha publik membangun barisan oposisi nonformal cukup berhasil!" timpal Amir. "Untuk itu, makna oposisi nonformal perlu dipahami, hal yang hadir sebagai tuntutan realitas justru untuk menyelamatkan kehidupan berbangsa dari monolitisme absolut!"
"Pertama layak diperhatikan, mahasiswa dan beraneka elemen masyarakat yang ikut Gerakan 28 Januari merupakan pihak penegak perjuangan reformasi, sehingga barisan oposisi nonformal ini bangkit sebagai kewajiban mengawal kelanjutan perjuangan reformasi!" tegas Umar. "Kewajiban itu muncul sebagai tuntutan sejarah, setelah reformasi hasil perjuangan mereka itu kemudian lebih didominasi partai politik, yang oleh partai-partai politik itu dikembalikan menjadi monolitis lebih parah dari era Orde Baru dengan mayoritas tunggal 66-70 persen--kini malah 76 persen!"
"Artinya, sistem formal demokrasi telah terjebak dalam kapsul kekuasaan elite menjurus monolitis, menyimpang dari semangat reformasi dan bahkan kembali ke pola lebih buruk dari Orde Baru yang sebelumnya dikoreksi oleh reformasi! Maka itu, perjalanan sejarah memang harus diluruskan dengan gerakan ekstraparlementer seperti yang dipakai sebelumnya!" timpal Amir. "Bertolak dari situ, pemaknaan gerakan oposisi nonformal ini juga harus kembali pada hakikat semula, yakni sebagai kekuatan moral--moral forces!"
"Itu sejalan kebangkitan kembali gerakan moral forces tersebut, yang utamanya dibidani oleh memuncaknya ketidakadilan yang dirasakan masyarakat, mulai kasus Prita Mulyasari, kasus cicak lawan buaya, dan skandal Bank Century!" tegas Umar. "Terpenting, orientasi moral forces bukan kekuasaan, tapi kualitatif pada tuntutan! Karena itu, membesar atau mengecilnya gerakan moral forces tergantung pada akomodasi politik formal dalam mengakomodasi tuntutannya! Jika tuntutannya semakin banyak diakomodasi, akan mengecil gerakannya! Sebaliknya, jika tuntutan terutama esensi moralitasnya ditindas, gerakan bisa membesar tak kepalang, kekuatan setangguh rezim Orde Baru pun bisa tumbang!" ***
Kata Kunci
Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani
Jumat, 29 Januari 2010
Publik Bangun Oposisi Nonformal!
Langganan:
Posting Komentar
0 komentar:
Posting Komentar