"KALAU mau disebut sebagai sarana pemerataan, uang muka teringan dalam kredit kendaraan bermotor dan pemilikan rumah yang berlaku sebelum Jumat pekan lalu, itulah yang paling efektif!" tegas Umar. "Tapi, setelah uang muka 30% diberlakukan Jumat lalu, fasilitas yang menjadi sarana pemerataan itu pupus, jadi terlalu berat bagi rakyat jelata umumnya menjangkau kedua hal yang telah menjadi kebutuhan primer bagi rakyat itu!"
"Dua hal itu yang tampaknya justru belum masuk pertimbangan pembuatan kebijakan tersebut!" sambut Amir. "Pertama bahwa keringanan uang muka kredit rumah dan otomotif—utamanya sepeda motor—merupakan fasilitas untuk terciptanya pemerataan sosial-ekonomi! Kedua, bahwa rumah dan sepeda motor itu 'kebutuhan primer' dalam realitas hidup masyarakat dewasa ini!"
"Rumah sebagai kebutuhan primer malah sudah masuk konsep lama—sandang, pangan, papan!" timpal Umar. "Sedang sepeda motor menjadi sarana cari makan—ojek, dagang keliling, transportasi keluarga untuk ke tempat kerja, antar-jemput anak sekolah, dan sebagainya! Pokoknya kalau cara mendapatkannya dipersulit, akan berpengaruh pada proses pemerataan dan keidupan sosial-ekonomi mayoritas rakyat!"
"Selain itu, dengan keterbatasan mendapatkan sepeda motor baru, kalau salah satu alasan penetapan beratnya uang muka agar jalan raya lebih aman karena jumlah sepeda motor dibatasi, realitasnya bisa justru sebaliknya!" tukas Amir. "Karena, jalan raya segera dijubeli sepeda motor tua yang tingkat aman dikendarainya terus semakin rendah! Lain hal jika 'regenerasi kendaraan' tidak dihambat!"
"Kedua hal itu—seagai sarana pemerataan dan kebutuhan primer—mungkin dikesampingkan oleh Bank Indonesia (BI) dalam pembuatan kebijakan itu karena ancaman kredit macet pada kedua jenis tersebut yang akibatnya bisa seperti nasib kredit perumahan pada krisis ekonomi 2008 di Amerika Serikat (AS), masalahnya jelas berbeda!" tegas Umar. "Di AS, jaminan kredit atas kredit perumahan telah dijaminkan secara bertingkat-tingkat (derivatif), sedang di sini umumnya kontrak leasing total lost (jaminan langsung dengan risiko yang tak laku dijual di pasar derivatif) sehingga kedua jenis kredit itu justru menggairahkan pasar asuransi!" "Masalah sebenarnya bukan hal yang realistis, melainkan paranoid yang semakin mencekam kalangan pemimpin bangsa ini, sehingga ancaman sebesar tungau di seberang pulau jadi tampak sebesar gajah!" timpal Amir. "Padahal, ancaman ketidakmerataan sosial-ekonomi jauh lebih berbahaya dari gelembung sabun kredit rumah dan sepeda motor di negeri ini!" ***
"Kedua hal itu—seagai sarana pemerataan dan kebutuhan primer—mungkin dikesampingkan oleh Bank Indonesia (BI) dalam pembuatan kebijakan itu karena ancaman kredit macet pada kedua jenis tersebut yang akibatnya bisa seperti nasib kredit perumahan pada krisis ekonomi 2008 di Amerika Serikat (AS), masalahnya jelas berbeda!" tegas Umar. "Di AS, jaminan kredit atas kredit perumahan telah dijaminkan secara bertingkat-tingkat (derivatif), sedang di sini umumnya kontrak leasing total lost (jaminan langsung dengan risiko yang tak laku dijual di pasar derivatif) sehingga kedua jenis kredit itu justru menggairahkan pasar asuransi!" "Masalah sebenarnya bukan hal yang realistis, melainkan paranoid yang semakin mencekam kalangan pemimpin bangsa ini, sehingga ancaman sebesar tungau di seberang pulau jadi tampak sebesar gajah!" timpal Amir. "Padahal, ancaman ketidakmerataan sosial-ekonomi jauh lebih berbahaya dari gelembung sabun kredit rumah dan sepeda motor di negeri ini!" ***
0 komentar:
Posting Komentar