"DUA tim Eropa timur jadi korban kinerja wasit yang mengecewakan!" ujar Umar. "Korban pertama Kroasia saat lawan Spanyol, strikernya Mandzukic didorong dengan keras oleh Sergio Ramos dalam kotak penalti. Bukannya Ramos dinyatakan salah, malah pemain Kroasia yang mempertanyakan putusan wasit itu dikartu kuning!"
"Bahkan gol tunggal ke gawang Kroasia di menit terakhir berbau offside dua pemain Spanyol!" potong Amir.
"Itu dia!" timpal Umar. "Korban kedua justru tuan rumah, Ukraina! Setelah bola melewati garis gawang Inggris baru disontek keluar oleh Jhon Terry, tak dinyatakan wasit sebagai gol! Padahal kalau gol itu diakui, pertandingan saat itu draw!"
"Celakanya, akibat kurang fair-nya wasit pada tanding yang menentukan itu, kedua negara tersingkir dari lanjutan Euro 2012!" timpal Amir. "Jadi bukan hanya mengecewakan suporter tim bersangkutan dan penonton netral di antero jagat, melainkan juga merugikan tak kepalang negara-negara korban ketakadilan wasit!"
"Dengan begitu, penonton di dunia ketiga yang berharap bisa memetik pelajaran berharga tentang keadilan lewat tontonan kelas dunia itu, gagal mendapatkannya!" tukas Umar. "Sebaliknya justru menuai kekesalan yang mengusik hatinya!"
"Dari sisi itu, begitu adanya!" sambut Amir. "Kalau pertandingan itu di negeri kita, wasitnya mungkin dikeroyok pemain dan penonton yang turun ke lapangan, lalu sebagian membakar stadion! Tapi di sana, baik pemain maupun penonton bisa menahan diri dan tetap terkendali!"
"Sportivitas pemain, penonton, dan pelatih itulah pelajaran berharga yang layak dipetik masyarakat kita!" tegas Umar.
"Tetap sportif menerima dan menghormati apa pun putusan wasit! Contoh dramatisnya pelatih Ukraina Oleg Blokhin. Meski sepanjang akhir pertandingan ia berekspresi kesal atas putusan wasit tak mengakui gol buat timnya, begitu pertandingan usai ia ke titik tengah lapangan memanggil para pemain untuk memberi hormat pada penonton! Artinya, apa pun yang terjadi penonton bisa menilai sendiri bahwa mereka telah memberikan yang terbaik!"
"Soal itu harus dilihat dari cara berpikir warganya!" tukas Amir.
"Di sana orang membedakan game (permainan) dari kehidupan sesungguhnya, hingga bisa membedakan yang ada di lapangan itu cuma permainan! Sedang di sini, tak bisa membedakan kedua hal itu, hingga yang di lapangan itu jadi soal hidup-mati! Suporter lawan pun dianggap musuh yang harus dibunuh beramai-ramai, seperti tiga suporter Persib yang terbunuh di Senayan!"
"Itu mungkin karena kita Homo Ludens—makhluk suka bermain—yang paripurna!" timpal Umar. "Hingga saat kerja pun bermain melulu!" ***
0 komentar:
Posting Komentar