"KESEDIHAN mencekam mayoritas penonton bareng Euro 2012 saat wasit meniup peluit akhir dengan hasil Belanda dikalahkan Denmark 0-1," ujar Umar. "Rasa sedih itu tampak jauh lebih dalam dibanding saat tim Thomas dan Uber kalah bersamaan dalam sehari di perempat final!"
"Itu tak bisa dilepaskan dari pengaruh para pakar dan komentator bola negeri kita di televisi yang mengumbar prediksi Belanda akan menang dari Denmark 2-0! Lebih jauh lagi, mayoritas warga di jalanan atau warung yang ditanya reporter mengunggulkan Belanda sebagai juara Euro 2012!" timpal Amir.
"Itu membuat mayoritas penonton bola Indonesia menjagokan Belanda, sehingga ketika Belanda kalah tampak Indonesia bersedih! Padahal, kalau sikap empati dan simpati pada Belanda itu ditunjukkan pada zaman penjajahan atau masa revolusi kemerdekaan, orangnya bukan cuma dituding inlander, tapi bisa ditombak bambu runcing oleh pejuang kemerdekaan!"
"Itu yang disebut wolak-walik ing zaman!" tegas Umar. "Dalam pari'an Jawa itu zaman dimetaforakan seperti tempe yang digoreng, harus dibolak-balik agar matangnya sempurna! Kalau tidak dibolak-balik, bawahnya gosong alias hangus sedang atasnya masih mentah!"
"Jadi, bisa dipahami sikap mayoritas warga yang pro-Belanda dalam Euro 2012 itu mencerminkan suatu sikap bangsa yang cukup matang!" timpal Amir. "Sikap itu mengekspresikan Indonesia bangsa yang pemaaf, bukan bangsa pendendam! Nasionalismenya bukan yang sempit dan picik, melainkan yang berjiwa besar dan berwawasan luas, sesuai kapasitas yang dibutuhkan implementasi pembukaan UUD 1945—ikut menyelenggarakan perdamaian dunia yang abadi dan berkeadilan!
Bagaimana kita mampu menangani perdamaian dunia kalau di kampung sendiri saja kita bentrok antardesa/kelompok, antarsuku, antaragama!" "Dari sisi humanisme universal, sikap bangsa Indonesia yang telah sedemikian matang itu merupakan kemajuan esensial, yakni berhasil mengubah rasa benci menjadi cinta!" tegas Umar. "Sayangnya, kematangan sikap itu masih mengaktual secara terbatas, hanya ketika tersulut event-event mondial sejenis Euro 2012, yang durasinya amat terbatas dan kita sendiri belum mampu menyelenggarakannya! Akibatnya, setelah event itu berakhir dan layar televisi kembali dikuasai politisi dan penguasa, kehidupan bangsa kembali didominasi sikap partisan terimplikasi suku, agama, bahkan sektarianisme amat sempit! Kembali kerdil!" ***
Bagaimana kita mampu menangani perdamaian dunia kalau di kampung sendiri saja kita bentrok antardesa/kelompok, antarsuku, antaragama!" "Dari sisi humanisme universal, sikap bangsa Indonesia yang telah sedemikian matang itu merupakan kemajuan esensial, yakni berhasil mengubah rasa benci menjadi cinta!" tegas Umar. "Sayangnya, kematangan sikap itu masih mengaktual secara terbatas, hanya ketika tersulut event-event mondial sejenis Euro 2012, yang durasinya amat terbatas dan kita sendiri belum mampu menyelenggarakannya! Akibatnya, setelah event itu berakhir dan layar televisi kembali dikuasai politisi dan penguasa, kehidupan bangsa kembali didominasi sikap partisan terimplikasi suku, agama, bahkan sektarianisme amat sempit! Kembali kerdil!" ***
0 komentar:
Posting Komentar