"HABIS manis sepah dibuang, itu makan tebu!" ujar Umar. "Kalau habis koalisi sepah dibuang?"
"Itu nasib partai-partai koalisi pendukung SBY-Boediono dalam pilpres lalu!" sambut Amir. "Hal itu disebutkan Wakil Ketua Dewan Pakar Partai Persatuan Pembangunan--PPP--Lukman Hakiem. Dia dan Sekjen PAN Zulkifli Hasan, serta Wasekjen PKS Fahri Hamzah, menyesalkan permainan politik Partai Demokrat--PD--yang secara diam-diam menekan anggota koalisi dengan bermanuver mendekati PDIP!" (Kompas, [28-8])
"Bagaimana cara menekannya?" kejar Umar.
"Kesimpulan mereka begitu berdasar pernyataan Wakil Ketua Umum PD, Achmad Mubarok,
langkah PD mendekati PDIP merupakan manuver politik untuk menekan partai-partai yang tergabung dalam koalisi agar tak menuntut macam-macam!" jelas Amir. "Menurut Lukman, pernyataan itu tidak etis, tak pantas diucapkan! Selain tak menghargai anggota koalisi, juga merupakan cara-cara berpolitik tidak transparan atau main belakang!"
"Kasihan mereka, merasa seperti sepah, dibuang setelah pasangan yang didukung memenangkan pilpres!" timpal Umar. "Anehnya, kalau partai-partai yang berjuang sejak awal memenangkan pilpres saja ditekan sedemikian rupa, elite Partai Golkar malah banyak yang ngotot untuk gabung dalam koalisi penguasa! Elite partai itu begitu cepat lupa, Partai Golkar juga pernah diremehkan oleh tokoh partai yang sama!"
"Justru melihat gelagat Golkar juga mau gabung ke koalisi penguasa, Fahri Hamzah menyatakan meski PKS ada dalam koalisi pemerintahan, karena kepentingan terjauh PKS menguatkan demokrasi dalam negara, PKS sangat berkepentingan adanya oposisi yang juga kuat!" tegas Amir. "Kata Fahri, tidak ada demokrasi tanpa ada oposisi yang kuat!"
"Pernyataan Fahri itu bisa jadi isyarat, PKS akan bermain politik seperti periode lima tahun terakhir, kaki kanan di parlemen, kaki kiri dalam pemerintahan!" sambut Umar. "Dengan model itu, untuk menjadi oposisi yang kuat susah juga. Saat ada masalah krusial, tarikan kepentingan bagian tubuhnya yang ada dalam pemerintahan akan meredam pressure-nya dari parlemen! Lain hal kalau order PKS saat masuk koalisi, enam kursi menteri, dikesampingkan--tak punya menteri di kabinet juga enggak pathe-an!"
"Menolak jatah kursi menteri terlalu emosional!" tegas Amir. "Paling mungkin, pilihannya seperti periode lalu! Ada di kabinet, tapi tetap kritis di parlemen, meski kritisnya terbatas!"
"Kalau begitu, ke depan karena semua partai yang punya suara signifikan di parlemen gabung dalam pemerintah, kondisi monolitiknya akan lebih telak dibanding era Orde Baru!" timpal Umar. "Era Orde Baru ada PPP dengan 100-an kursi DPR yang selalu beroposisi! Sedang ke depan, semua sepah ikut bancaan nikmat kekuasaan!" ***
"Kasihan mereka, merasa seperti sepah, dibuang setelah pasangan yang didukung memenangkan pilpres!" timpal Umar. "Anehnya, kalau partai-partai yang berjuang sejak awal memenangkan pilpres saja ditekan sedemikian rupa, elite Partai Golkar malah banyak yang ngotot untuk gabung dalam koalisi penguasa! Elite partai itu begitu cepat lupa, Partai Golkar juga pernah diremehkan oleh tokoh partai yang sama!"
"Justru melihat gelagat Golkar juga mau gabung ke koalisi penguasa, Fahri Hamzah menyatakan meski PKS ada dalam koalisi pemerintahan, karena kepentingan terjauh PKS menguatkan demokrasi dalam negara, PKS sangat berkepentingan adanya oposisi yang juga kuat!" tegas Amir. "Kata Fahri, tidak ada demokrasi tanpa ada oposisi yang kuat!"
"Pernyataan Fahri itu bisa jadi isyarat, PKS akan bermain politik seperti periode lima tahun terakhir, kaki kanan di parlemen, kaki kiri dalam pemerintahan!" sambut Umar. "Dengan model itu, untuk menjadi oposisi yang kuat susah juga. Saat ada masalah krusial, tarikan kepentingan bagian tubuhnya yang ada dalam pemerintahan akan meredam pressure-nya dari parlemen! Lain hal kalau order PKS saat masuk koalisi, enam kursi menteri, dikesampingkan--tak punya menteri di kabinet juga enggak pathe-an!"
"Menolak jatah kursi menteri terlalu emosional!" tegas Amir. "Paling mungkin, pilihannya seperti periode lalu! Ada di kabinet, tapi tetap kritis di parlemen, meski kritisnya terbatas!"
"Kalau begitu, ke depan karena semua partai yang punya suara signifikan di parlemen gabung dalam pemerintah, kondisi monolitiknya akan lebih telak dibanding era Orde Baru!" timpal Umar. "Era Orde Baru ada PPP dengan 100-an kursi DPR yang selalu beroposisi! Sedang ke depan, semua sepah ikut bancaan nikmat kekuasaan!" ***
0 komentar:
Posting Komentar