Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Mbah Surip itu Teater Kontemporer!

"BERBAGAI kelompok masyarakat, dari pengamen se-Banten, komunitas reggae Jombang, sampai komunitas sepeda unik Kudus, tahlilan buat Mbah Surip!" ujar Umar. "Hal itu mereka lakukan dengan alasan, sebagai penghormatan pada keunikan pribadi Mbah Surip!"


"Semua penghormatan itu menunjukkan, Mbah Surip bukan sekadar penghibur!" sambut Amir. "Salah satu fungsi seniman, terutama penyanyi, memang menghibur. Tapi, seniman bukan barang atau benda yang hanya dinilai dari fungsinya! Khususnya lagi Mbah Surip, sebagai sosok pribadi dengan keunikan yang ditawarkan lewat gaya hidupnya sehari-hari, ekspresinya bernyanyi, dan syair dan tema lagunya, yang secara keseluruhan merupakan suatu nilai yang unik! Keunikan nilai yang ditawarkan Mbah Surip itulah 'sesuatu' yang dihormati banyak orang tersebut!"

"Nilai seperti apa?" kejar Umar.

"Nilai dari kehidupan Mbah Surip sebagai sebuah teater kontemporer!" tegas Amir. "Lazim pada teater kontemporer, di balik setiap tragedi--sedramatis apa pun itu--terselip semangat untuk bertahan hidup, meski kebanyakan lewat usaha yang karikatural! Mbah Surip hidup dalam bentuk karikatural itu sendiri!"


"Kayaknya Mbah Surip menjalani hidup demikian dengan kesadarannya!" timpal Umar. "Itu bisa ditebak dari pesannya, kalau mati minta dikubur di pemakaman Bengkel Teater milik W.S. Rendra!"

"Itu menunjukkan Mbah Surip menjalani hidup dengan cara berpikir tersendiri, yang unik!" tegas Amir. "Terpenting dari teater Mbah Surip, dalam kesulitan hidup seburuk apa pun orang harus tetap bisa bersama--®MDRV¯together®MDNM¯--mencari kehangatan, kegembiraan! Enak to! Mantep to!"


"Berarti nilai terpenting dari teater Mbah Surip, orang selayaknya menyadari untuk hidup sebagai aktor dalam kehidupan nyata!" timpal Umar. "Seperti Mbah Surip, berada di mana dan dalam kondisi apa pun, ia bergaya total memerankan keberadaan dirinya di panggung kehidupan!"

"Dari situ Mbah Surip mengingatkan kita ini hidup dalam masyarakat yang artifisial, dalam serba-kepura-puraan, semua orang adalah aktor yang menjalani hidup dengan peran sesuai topeng yang dipakai masing masing!" tegas Amir. "Menyadari peran yang dituutut topeng masing-masing itu, menjadi syarat mutlak untuk mampu berempati menempatkan diri dan berperan dalam realitas masyarakat yang hidup secara teatrikal!"


"Kalau begitu hakikat hidup ini cuma perjuangan mencari topeng! Cita-cita hanyalah topeng, suatu profil yang harus berfungsi dan berperilaku yang seharusnya menurut tuntutan topeng itu!" tukas Umar. "Pemilu, pilkada dan sebagainya cuma perjuangan mencari topeng! Mbah Surip secara karikatural memilih topeng buto--tokoh berambut gimbal dalam wayang! Dan terbukti, pilihannya itu dihormati banyak orang!" *** 

0 komentar: