Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Rendra, Maestro Kebebasan Ekspresi!

“DIALAH maestro penyair dramawan Indonesia: W.S.—Wahyu Sulaiman—Rendra, lahir di Solo, 7 November 1935, wafat di Jakarta, 6 Agustus 2009,” ujar Umar. “Putra pasangan R. Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo dan Raden Ayu Catharina Ismadillah ini menjalani masa kecil dan remaja di kota kelahirannya. Ayahnya guru Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa, juga sebagai dramawan tradisional, ibunya penari serimpi di keraton Surakarta.” (Wikipedia)

“Kematangan ekspresi seninya mencerminkan hasil proses pendidikannya di Akademi Seni Drama New York, Amerika Serikat, serta Fakultas Sastra dan Kebudayaan UGM!” timpal Amir. “Ia seniman produk proses intelektual, sejak keluarga hingga tahapan pendidikannya! Itu yang membuat ekspresi seninya, baik lewat puisi maupun teater, terasa getaran intelektualitasnya setiap kali harus nerabas melawan arus kekuasaan! Dan Rendra pantang menyerah meski rezim penguasa tak henti berusaha membungkamnya! Gebrakan Rendra bukan hanya dalam puisi dan naskah dramanya, juga intensif dalam kesenimanan, yang terpadu sebagai perjuangan kebebasan ekspresi!”

“Perjuangan kebebasan berekspresi juga bukan cuma dalam arti kebebasan warga dari rezim penguasa, melainkan juga dalam dunia seni itu sendiri!” sambut Umar. “Prof. A. Teeuw dalam bukunya Sastra Indonesia Modern (1989) menulis, dalam sejarah kesusastraan Indonesia modern Rendra tidak termasuk ke dalam salah satu angkatan atau kelompok seperti Angkatan 45, Angkatan 60-an, Angkatan 70-an. Dari karya-karyanya terlihat ia mempunyai kepribadian dan kebebasan sendiri!”

“Rendra membawa kebebasan ekspresi, termasuk ekspresi dalam menghayati makna hidup seperti tersirat dalam puisinya!” tegas Amir. “Seperti pada puisi Renungan Indah: Seringkali aku berkata,/Ketika semua orang memuji milikku/Bahwa sesungguhnya ini hanyalah titipan...../Bahwa hartaku hanyalah titipan-Nya//Tetapi, mengapa aku tak pernah bertanya, mengapa Dia menitipkan padaku?/Untuk apa dia menitipkan padaku?....//Mengapa aku justru terasa berat ketika titipan itu diminta kembali olehnya?/Ketika diminta kembali kusebut itu sebagai musibah/Kusebut itu sebagai ujian, kusebut itu sebagai petaka/Kusebut itu sebagai panggilan apa saja untuk melukiskan itu adalah derita//Ketika aku berdoa kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku/Aku ingin lebih banyak harta, ingin lebih banyak mobil, lebih banyak popularitas, dan kutolak sakit, kutolak kemiskinan, seolah semua ’derita’ adalah hukum bagiku/Seolah keadilan dan kasih-Nya harus berjalan seperti matematika/aku rajin beribadah, selayaknyalah derita menjauh dariku, dan nikmat dunia kerap menghampiriku./Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang, dan bukan kekasih/Kuminta Dia membalas ’perlakuan baikku’, dan menolak keputusan-Nya yang tak sesuai keinginanku/Gusti, padahal tiap hari kuucapkan, hidup dan matiku hanya untuk ibadah.” ***

0 komentar: