Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Pedagogisme, Masih Jauh dari Ideal!

"BANGSA kita dewasa ini tergolong penganut pedagogisme--meyakini pendidikan sebagai pendorong perubahan semua dimensi kehidupan!" ujar Umar. "Itu tercermin pada APBN 2010, anggaran sektor pendidikan terbesar dari semua depertemen! Namun, apakah isme itu telah mengaktual dalam realitas kehidupan bangsa, terutama dalam mendorong perubahan semua dimensi, atau baru sekadar legal-formal di APBN, menjadi masalah yang layak disimak!"

"Kayaknya masalah itu tak beda dengan realitas bidang-bidang lain, lebih mencolok pada legal-formal atau sekadar formalisme, sedang efektivitasnya jauh panggang dari api!" sambut Amir. "Contoh gamblang formalisme terlihat pada Badan Pengawas Daerah (Bawasda) di pemda, sedikit sekali hasil temuannya atas korupsi dan penyimpangan sampai ke ranah hukum! Polisi dan jaksa justru lebih sering dapat umpan bagi penindakan kasus korupsi di pemda dari temuan BPK--yang lolos dari jaring Bawasda! Jelas terlihat, Bawasda cuma embel-embel melengkapi struktur organisasi pemda!

Begitu pula dengan anggaran pendidikan, boro-boro membuat dunia pendidikan sebagai pendorong perubahan semua dimensi kehidupan, mengubah 'tradisi' koruptif pada tubuhnya sendiri saja belum mampu!"

"Dengan 'tradisi' koruptif yang menggerogoti dunia pendidikan kita, terutama di birokrasinya, (Febri Hendri A.A., Korupsi Menggerogoti Dunia Pendidikan Kita, Kompas, [24-9]) kehidupan pendidikan kita masih jauh dari ideal pedagogisme yang secara simultan merupakan pusat pancaran cahaya etika dan moral masyarakat!" tegas Umar. "Sebaliknya, dunia pendidikan malah jadi pusat penyebaran wabah krisis etika dan moral!"

"Dengan itu, UU Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional) sebagai skenario ideal dunia pendidikan kita, tak urung juga terimbas--dana anggaran besar yang dikucurkan tak membuahkan hasil sebanding--compang-camping fasilitas pendidikan lebih menonjol!" timpal Amir. "Penyebabnya, tulis Febri berdasar penelitian ICW, perencanaan dan penganggaran pendidikan dilakukan dari atas ke bawah. Politisi dan rekanan dengan mudah menitipkan proyek ke berbagai pos anggaran pendidikan. Akibatnya, alokasi anggaran tidak mencerminkan kebutuhan pendidikan, tetapi justru mengakomodasi kepentingan birokrasi, politisi, dan pengusaha."

"Kian jelas terlihat pedagogisme yang semu, baru sebatas legal-formal anggaran, sedang pada realitasnya dalam dunia pendidikan masih jauh panggang dari api!" tegas Umar. "Dengan begitu jangankan jadi lokomotif pendorong perubahan semua dimensi, pedagogisme semu itu malah menjadikan pendidikan sebagai lokomotif rusak yang harus didorong rakyat! Tak bisa lain, lokomotif itu harus diperbaiki overhaul, untuk diharapkan bisa berfungsi semestinya!" ***


0 komentar: