Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Gunjing Jalanan Cicak Lawan Buaya! (2)

"AKU jumpa versi lain gunjing jalanan cicak lawan buaya!" seru Amir. "Dimulai Anggoro melempar muntahan unek-unek perutnya, ditampung dan dikemas Azhari lalu dibawa pulang! Kotoran yang dilempar Anggoro dari Singapura itu, tercium dan dikerubuti buaya yang lalu dijadikan mainan!"

"Rupanya buaya xenolatry, gandrung pada apa saja yang dilempar dari luar negeri!" sambut Umar. "Muntahan kotor pun ditimang-timang!"

"Pemahaman men on the street atas hal itu justru positif, tindakan buaya itu teladan usaha daur ulang memanfaatkan kotoran jadi pupuk kompos, atau menyuling kakus jadi biogas!" timpal Amir. "Maka itu, kotoran yang kemudian dikemas dalam testimoni Antasari itu bagi buaya produk daur ulang yang berguna dan langsung dimanfaatkan!"

"Pokoknya kemasan kotoran yang formalnya pengaduan Antasari atas cicak itu, membuat buaya secara formal berkewajiban memproses dan menindaklanjutinya! Maka itu, cicak pun jadi bulan-bulanan buaya!" sela Umar.

"Dan di tempat persembunyian di luar negeri, Anggoro tertawa jingkrak-jingkrak puas mengetahui kotoran yang dia lempar berhasil menjadi mainan buaya untuk mencelakakan cicak yang memburu dirinya!"

"Kata orang-orang di jalanan, metode Anggoro ini akan jadi pelajaran penting para koruptor lain, sebagai modus operandi meloloskan diri ke luar negeri dengan melempar kotoran ke dalam negeri untuk menyulut konflik lewat mengadu kepala sesama penegak hukum!" tegas Amir. "Anggoro terbukti lihai dalam menyulut konflik, tampak dari emosi yang seperti ilalang kering, langsung marak terbakar oleh kotoran Anggoro!"

"Bahkan salah satu pihak tanpa pikir panjang mendeklarasikan diri dan korpsnya sebagai buaya, dengan mengecilkan korps lawannya cuma cicak!" timpal Umar. "Padahal di kalangan awam, buaya lebih dikenal sebagai binatang buas yang jahat, hidup dari memangsa makhluk lemah!"

"Pilihan buaya sebagai gambaran ideal diri dan korps juga mencerminkan banyak hal, terutama kebiasaan dan kegemaran yang tak terpuji!" tegas Amir. "Orang-orang jalanan memang biasa bicara lepas tanpa beban, hingga lazim dijadikan gambaran ekspresi manusia merdeka! Simpul orang jalanan yang penting disimak, betapa bodoh aparat penegak hukum mau diadu oleh Anggoro, orang yang lari ke luar negeri karena tak
berani bertanggung jawab atas perbuatannya di muka hukum negeri ini!"

"Soal nilai kotoran itu sebagai materi hukum, kita serahkan pada hakim untuk menentukan nanti!" timpal Umar. "Tapi begitulah cara orang jalanan melihat masalah, tanpa pretensi atau kepentingan tersembunyi--conflict of interest! Hal terakhir inilah yang harus dijernihkan dari setiap aparat penegak hukum, agar hukum dijalankan dengan benar secara apa adanya!"

0 komentar: