"MONOLOG Butet Kertarajasa dalam Deklarasi Pemilu Damai yang dihadiri tiga pasangan capres-cawapres Rabu lalu menjadi polemik antarkubu pro dan kontra!" ujar Umar. "Di sisi lain, kalangan seniman netral menegaskan monolog Butet itu karya seni yang bagus! Hanya tempat pentasnya kurang tepat sehingga jadi kontroversial!"
"Monolog merupakan salah satu jenis teater yang mengangkat karya seni sastra! Dibanding dengan kebanyakan monolog mengangkat karya fiksi, monolog Butet mengangkat realitas faktual kehidupan berbangsa! Dengan aktingnya yang mengundang tawa, monolog Butet jadi sejenis karikatur!" sambut Amir. "Karikatur lucu tapi nylekit, memang itu bentuk umumnya! Karikatur mengandung kritik, juga keharusan! Monolog Butet jadi kontroversial hanya karena disajikan langsung di depan orang yang merasa jadi sasaran kritik! Ini tidak lazim dalam budaya politik Indonesia, yang terbiasa saling kritik antarpodium dari tempat yang saling berjauhan! Karikatur di koran lebih aman karena pembuat karikatur dan tokoh atau pihak yang menjadi sasaran kritik karikaturnya saling berjauhan!"
"Budaya telepolitik!" tegas Amir. "Sarana paling kena untuk itu televisi, bisa memadu dua gambar saling kritik menjadi berhadapan pada satu layar! Atau, memutar bergantian dua pernyataan yang berlawanan! Siapa yang lebih unggul dalam debat jarak jauh itu, silakan penonton menilai sendiri!"
"Kalau realitas budaya telepolitik seperti itu, cuma terlihat dekat karena
"Dilihat dari kecenderungan budaya politik yang sedemikian, monolog Butet layak dicatat sebagai terobosan budaya, meretas jarak pengkritik jadi berhadapan langsung dengan yang dikritik!" tegas Amir. "Sebagai terobosan atau 'barang baru', monolog Butet menjadi nyleneh dan aneh! Tapi tanpa terobosan itu, politisi sukar diubah dari kegandrungannya pada budaya telepolitik, yang lebih bebas mengkritik dengan bicara sesuka sendiri dari jarak jauh! Dalam budaya telepolitik, para politisi kampanye perubahan, tapi ogah dan sukar mengubah dirinya sendiri!" ***
0 komentar:
Posting Komentar