Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Cerdas-Cermat SD Kota vs Desa!

DALAM final cerdas-cermat tingkat SD, murid sekolah kota jumpa sekolah desa.
"Seorang peternak punya 10 induk sapi!" pembawa acara melontar pertanyaan. "Setelah lima tahun jadi berapa sapi peternak tersebut, jika setiap tahun setiap induk melahirkan seekor anak sapi!"

"Jadi 60 ekor!" jawab anak kota yang lebih cepat menekan bel.
"Regu B?" pembawa acara melempar pertanyaan.
"Jadi 75 ekor!" jawab anak desa.
"Uraikan jawabannya!" perintah pembawa acara.
"Semua anak sapi dari sepuluh induk bersama induknya jadi 60!" jelas anak desa.
"Lalu, anak sapi kelahiran tahun pertama pada usia jalan empat tahun sudah melahirkan, jadi beranak dua kali sampai tahun kelima! Juga anak-anak sapi kelahiran tahun kedua sudah melahirkan sekali!"
"Kalau begitu, apa bukan jadi 90?" potong pembawa acara.
"Anak sapi yang dilahirkan tidak betina semua, lazimnya satu jantan satu betina!" jawab anak desa.

"Jadi anak sapi tahun pertama itu cuma lima ekor yang betina, dua kali beranak jadi tambah 10! Lalu anak sapi tahun kedua juga cuma lima yang betina, sekali beranak menambah lima ekor! Jadi, 60 tambah 10 anak sapi kelahiran tahun pertama selama dua tahun, tambah lima ekor lagi anak sapi kelahiran tahun
kedua, jumlahnya jadi 75 ekor!"

"Regu B mendapat nilai 90!" tegas ketua tim juri. "Jawabannya cukup logis!"
"Panitia pembuat soalnya tidak fair!" gerutu Umar sambil keluar ruangan. "Masak pada anak kota diajukan pertanyaan soal sapi, jelas tidak tahu!"
"Itu dia!" timpal Amir. "Selama ini elite dari kota selalu sok tahu mendikte dan membuat program untuk warga desa, padahal sesungguhnya mereka tak tahu persis seluk-beluk kehidupan warga desa! Apalagi faktor-faktor di balik kemiskinan mereka! Akibatnya, gonta-ganti pemimpin pun kemiskinan tak kunjung berhasil diatasi, malah sebaliknya, selalu makin parah saja!"

"Tapi itu kan cuma anak-anak SD!" entak Umar.
"Tapi kan mereka calon elite, yang nantinya harus mengatur dan mendikte anak-anak desa itu!" tegas Amir. "Bayangkan kalau angkatan mereka kelak jadi pemimpin dan anak-anak desa itu yang dipimpin, masalah desa tak pernah ditangani dengan benar dan kemiskinan berlanjut turun-temurun hanya karena suara rakyat desa tak pernah didengar! Meski ada musrenbang, setiap tingkat usulan rakyat mengalami reduksi, akhirnya yang dilaksanakan tetap saja maunya elite, terutama sesuai dengan kepentingan penguasa!"

"Memang begitulah nasib rakyat, lebih-lebih yang terbelenggu kemiskinan!" timpal Umar. "Setiap pemilu didekati seolah-olah suaranya didengar, deritanya menyayat hati calon pemimpin! Usai pemilu, hanya keuntungan multidimensi pemimpin saja yang diprioritaskan!" ***

0 komentar: